Anda di halaman 1dari 3

UNDANG-UNDANG NO.

16 TAHUN 2019 VERSUS


FENOMENA PERNIKAHAN DINI DI INDONESIA
Feb 12, 2020 | Kesmas | 0  |     

Artikel ini ditulis oleh Aprianti, SKM, M.Kes (Dosen Kesehatan Masyarakat UDINUS)

Mungkin masih melekat di dalam benak kita tentang UU yang kontroversial yaitu UU pernikahan Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan dimana salah satu bunyi pasalnya adalah tentang batasan usia menikah. Usia
minimal menikah untuk laki – laki 19 tahun dan untuk perempuan adalah 16 tahun pada UU Nomor 1 tahun
1974, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak didefinisikan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Selain itu, batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari
16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan
menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga
mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak
terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Pertanya paling mendasar, sudah siapkah Indonesia untuk menerapkan UU No.16 ini jika kita melihat fakta
presentase umur pertama berhubungan seksual pada wanita dan pria meningkat dari 59% dari hasil SDKI tahun
2012 menjadi 74% pada SDKI tahun 2017. Hal ini juga terjadi perubahan pada umur terbanyak pada umur 18
– 19 dari SDKI tahun 2012 menjadi umur 17 – 18 sebagai umur terbanyak pada SDKI 2017.

Hal tersebut dapat disebabkan karena pada era teknologi informasi yang maju pesat, makin terbuka akses
remaja terhadap informasi, konten pornografi, pacaran dan budaya pergaulan bebas. Masalah tersebut dapat
menimbulkan pergeseran sikap remaja termasuk terkait pengalaman seksual. Hubungan seksual pada remaja
pastinya bisa berdampak pada kehamilan tidak diinginkan. Berdasarkan data dari SDKI Kehamilan tidak
diinginkan dilaporkan oleh wanita kelompok umur 15 – 19 dua kali leboh besar (16%) dibandingkan kelompok
umur 20 – 24 (8%). Laporan kejadian kehamilan tidak diinginkan dari pria tidak beda antara perkotaan dan
pedesaan. Wanita (21%) dan pria (10%) dengan pendidikan tidak tamat SMA paling banyak melaporkan
kehamilan tidak diinginkan. Persentase wanita di perdesaan yang melaporkan pernah mengalami kejadian
kehamilan tidak diinginkan hampir 2 kali lebih besar (16%) dibandingkan wanita di perkotaan (9%).

Kejaidan kehamilan tidak diinginkan pada wanita lebih banyak terjadi di desa karena, masyarakat desa
cenderung lebih menerima pernikahan muda sebagai dampak dari kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai
dengan data Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk
kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan.
Hal ini menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini banyak terjadi di desa.

Peneriman masyarakat desa terhadap pernikahan dini pada perempuan tidak terlepas dari pandangan
subordinasi pada perempuan, yaitu perempuan hanya bekerja pada sektor domestik yang memiliki tanggung
jawab untuk mengurusi rumah dan anak. Sehingga tidak ada tuntutan untuk perempuan memiliki pendidikan
yang tinggi. Akibatnya jika terdapat perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan maka akan
dinikahkan karena menganggap pendidikan tidak penting bagi perempuan. Bias gender tersebut dapat terjadi
karena dominasi budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu dapat
disebabkan salah dalam pemahaman agama. Kesalahan pemahaman agama tersebut, yaitu pertama pada
umumnya umat islam lebih banyak memahami  agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran yang
kritis khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan,kedua pada
umumnya masyarakat memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah dari para ulama yang umumnya
sangat bias gender, bukan berdasarkan kajian kritis yang mendalam terhadap sumber – sumber aslinya (Al –
Qur’an dan Sunnah). Ketiga pemahaman tentang relasi laki – laki dan perempuan dimasyarakat lebih banyak
mengacu kepada pemahaman tekstual terhapa teks – teks suci sehingga mengabaikan kontekstualnya yang
lebih egalitir dan akomodatif terhadap nilai – nilai kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai