Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, sehingga kelompok 5 (Lima) dapat menyelesaikan salah satu tugas
mata kuliah Profesionalisme Kebidanan. Sholawat beserta salam kami tujukan
kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan para
sahabatnya.
Dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, kami
berusaha
untuk dapat menyelesaikan penyusunan tugas “Laporan Tutorial” ini. Kami
berusaha mencari sumber-sumber informasi yang relavan dan terbaru sebagai
bahan untuk penyusunan laporan ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan dorongan yang sangat berarti dalam terselesaikannya tugas ini.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini,
hanya Allah SWT yang maha sempurna. Begitu pula dalam penyusunan Laporan
Tugas ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan masukan
baik kritik maupun saran yang sifatnya membangun. Akhir kata semoga Allah
SWT membalas semua budi baik yang telah diberikan kepada kami.

Cimahi, Januari 2023

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan fitrah manusia, dan setiap orang normal
pasti akan menjalaninya, karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh
Allah SWT. Berpasang-pasangan, ada pria ada Wanita, agar manusia
mengembangkan dan meneruskan keturunannya. Oernikahan yang
dalam istilah agama adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan Wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar suka rela dan
keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagian hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih saying ketentraman dengan cara
yang di ridhoi oleh Allah Swt. Oleh pemerintah pernikahan diatur melalui
UU No.1 Tahun 1974 yaitu undang-undang perkawinan.
Undang-undang pernikahan yang diatur pasal 7 ayat (1) No.1 tahun
1974 seseorang dapat menikah adalah harus memenuhi syarat, pria
sudah berumur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Oleh karena apabila ada orang yang belum berumur 19 tahun
(laki-laki) dan 16 tahun (perempuan) maka harus meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukkan oleh kedua
orangtua pihak laki-laki dan perempuan. Secara eksplisit ketentuan
tersebut dijelaskan bahwa, setiap pernikahan yang dilakukan oleh calon
pengantin prianya yang belum berusia 19 tahun atau wanitanya belum
berusia 16 tahun disebut sebagai “pernikahan di bawah umur” bagi
pernikahan yang belum memenuhi batas usia perkawinan, hakikatnya
disebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam pasal 81
ayat 2 UU No.23 Tahun 2002, bahwa pernikahan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun dikategorikan masih anak-anak, juga
termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan
perkawinan tegas dikatakan adalah pernikahan di bawah umur dalam
penelitian disebut istilah pernikahan dini.
Pernikahan dini atau di usia yang sangat belia kini menjadi masalah
serius. Pernikahan yang dilakukan remaja putri berusia dibawah 20 tahun
diketahui masih tinggi di Indonesia. Pemerintah pun tengah mencari
formula yang tepat untuk mengurangi tingginya angka pernikahan di
kalangan remaja. Tentu pernikahan muda-mudi di bawah usia 20 tahun
akan menimbulkan masalah. Masalah bagi pasangan yang menikah di
usia muda adalah belum siapnya alat reproduksi.
(Evy Nurachma et al. 2020)

Angka pernikahan dini di Indonesia adalah 20 : 1.000. Artinya,


dalam 1000 orang, terdapat 20 kasus pernikahan dini. (BKKBN)
Berdasarkan data UNFPA, sebanyak 33.000 anak perempuan di bawah
usia 18 tahun akan dipaksa menikah di seluruh dunia yang biasanya
dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Di Indonesia sendiri, satu dari
sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum
mencapai usia 18 tahun. Saat ini, ada 1,2 juta kasus perkawinan anak
yang menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dari segi angka
perkawinan anak secara global. UNICEF pada tahun 2018
memperkirakan sekitar 21 persen perempuan muda (usia 20 hingga 24
tahun) melangsungkan perkawinan pada usia anak.
Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan
terhadap anak. Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu
harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan yang
lebih besar baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi
mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Dampak
perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan,
namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi
memunculkan kemiskinan antar generasi.
Kesadaran banyak pihak tentang bahaya perkawinan anak telah
mulai terlihat, yang tercermin dari banyaknya praktik baik dan upaya
pencegahan perkawinan anak yang diinisiasi oleh berbagai stakeholder.
Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya melalui penetapan
target penurunan perkawinan anak secara nasional dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dari 11,2
persen di tahun 2018 menjadi 8,74 di tahun 2024.
(Gaib Hakiki et al. 2020)
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan pembuatan makalah ini adalah
untuk membuat rancangan rencana asuhan Kebidanan untuk remaja
sesuai dengan wisdom
C. Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat menjadi bahan diskusi untuk mahasiswa,
khususnya mahasiswa kesehatan prodi Kebidanan untuk bahan diskusi
belajar dalam memberi pilihan rancangan asuhan kebidanan pada remaja
menggunakan pendekatan wisdom
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi pernikahan anak
Pernikahan usia anak adalah pernikahan yang terjadi sebelum anak
berusia 18 tahun serta belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan
psikologis untuk mempertanggungjawabkan pernikahan dan anak hasil
pernikahan tersebut, serta sah menurut agama dan negara (Erulkar,
2013; Bomantama, 2018)
UU Nomor 7 Tahun 1974 PS. 1 Perkawinan hanya diizinkan apabila
pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan pasal 7 ayat
(1) dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan
wanita mencapai umur 19 (sembilan belas) Pernikahan usia anak dapat
dilaksanakan apabila mendapatkan persetujuan dispensasi dari
Pengadilan.
B. Kasus pernikahan dini
Peringkat Indonesia di dunia terkait pernikahan usia anak menurut
UNICEF (2018) berada di peringkat 7, sedangkan untuk wilayah ASEAN
berada pada peringkat ke-2, dengan angka pernikahan usia anak 27,6
persen atau sekitaR 23 juta anak yang menikah di Indonesia tahun 2018
(KPPPA, 2018).
Berdasrkan studi statistik unicef Di Asia Selatan, di mana lebih dari
48 per persen anak berusia 15-24 tahun menikah sebelum mereka
mencapai usia 18 tahun. Di Afrika 42 persen (meskipun ini meningkat
menjadi lebih dari 60 persen di beberapa bagian Afrika Timur dan Barat)
Di Amerika Latin dan Karibia angkanya 29 persen. üDi Timur Tengah,
pernikahan anak adalah hal biasa üdi Yaman dan Palestina, Dan di sini
sekitar setengah dari anak di bawah 18 tahun sudah menikah. Statistik
tentang prevalensi perkawinan anak mengungkapkan sektor atau wilayah
negara - seperti kelompok etnis, agama atau sosial-ekonomi - di mana
sebagian besar remaja perempuan menikah sebelum ulang tahun kelima
belas mereka. (Rumble., et al., 2018)
C. Faktor2 yg menyebabkan pernikahan dini
1. Tingkat pendidikan
Tingkat pernikahan pada anak perempuan lebih rendah pada anak
perempuan yang mampu menyelesaikan pendidikan menengah atas
atau lebih tinggi. Menyelesaikan sekolah hingga wajar 12 tahun,
bahkan dilanjutkan ke perguruan tinggi, dapat melindungi anak
perempuan dari pernikahan usia anak
2. Kemiskinan
Utang keluarga maupun kemiskinan secara langsung dibebankan
orang tua pada anak perempuan yang dianggap sebagai aset untuk
segera dinikahkan agar beban keluarga berkurang .
3. Kritik social
Anggapan bahwa anak di atas 15 tahun 18 tahun yang belum
menikah dianggap aib bagi keluarganya, sehingga keluarga akan
segera mencarikan jodoh untuk anak perempuannya
4. Budaya/ tradisi/ kepercayaan
Perempuan masih dianggap sebagai entitas yang harus diawasi,
dilindungi, dan diarahkan, sehingga pernikahan usia anak dianggap
sebagai wadah yang sah bagi sebagian masyarakat untuk
dilaksanakan dengan dasar melindungi harkat dan martabat anak
perempuan
5. Ikatan keluarga
Perkawinan atau pertunangan anak-anak di beberapa bagian Afrika
dan Asia dinilai sebagai cara untuk mengkonsolidasikan hubungan
yang kuat antara keluarga, untuk menyegel kesepakatan atas tanah
atau properti lainnya, atau bahkan untuk menyelesaikan perselisihan.
Pernikahan juga bisa menjadi cara untuk mempertahankan hubungan
etnis atau komunitas.
6. Ketidaksetaraan jenis kelamin
Budaya patriarkal memaksa anak perempuan dan perempuan
menerima peran domestik mereka dan memiliki peran terbatas dalam
masyarakat yang lebih luas sehingga menghasilkan ketergantungan
total perempuan pada laki-laki.
7. Tradisi dan budaya
Di masyarakat di mana pernikahan anak lazim terjadi, ada tekanan
sosial yang kuat pada keluarga untuk menyesuaikan diri. Kegagalan
untuk menyesuaikan diri seringkali dapat menyebabkan ejekan,
ketidaksetujuan atau rasa malu keluarga.
8. Strategi kemiskinan dan kelangsungan hidup ekonomi
Perkawinan anak dinilai sebagai strategi koping ekonomi yang
mengurangi biaya membesarkan anak perempuan. Dalam pengertian
ini, kemiskinan menjadi alasan utama pernikahan anak karena
dirasakan manfaatnya bagi keluarga dan anak perempuannya.
9. Kontrol atas seksualitas dan melindungi kehormatan keluarga
Ada tekanan besar pada orang tua untuk menikahkan anak
perempuan lebih awal untuk menjaga kehormatan keluarga dan
meminimalkan risiko aktivitas atau perilaku seksual yang tidak pantas
10. Ketidakamanan
Situasi ketidakamanan dan kemiskinan akut, khususnya selama
bencana seperti perang, kelaparan atau epidemi HIV dan AIDS,
mendorong orang tua atau wali menggunakan pernikahan anak
sebagai mekanisme perlindungan atau strategi bertahan hidup.
11. Resiko kesehatan
 Pengantin muda memiliki keterbatasan akses penggunaan
kontrasepsi serta layanan informasi kesehatan reproduksi.
 Mayoritas terpapar hubungan seksual pada usia awal dan sering
serta mengalami kehamilan berulang dan melahirkan sebelum
mereka matang secara fisik dan psikologis
 Kematian terkait kehamilan merupakan penyebab utama
kematian pada anak perempuan berusia 15-19 tahun, dan
mereka yang berusia di bawah 15 tahun lima kali lebih mungkin
meninggal daripada mereka yang berusia di atas 20 tahun.
 Kematian bayi dua kali lebih tinggi pada bayi dari ibu yang
sangat muda.
 Wanita muda hamil dari komunitas yang lebih miskin delapan kali
lebih kecil kemungkinannya untuk melahirkan dengan bantuan
dukun terlatihtidak menggunakan kontrasepsi banyak yang
merasa ditekan oleh keluarga untuk membuktikan kesuburan
mereka sangat awal dalam pernikahan tidak menggunakan
layanan reproduksi
 Pengantin anak juga paling tidak mungkin menggunakan layanan
reproduksi karena kekuasaan pengambilan keputusan yang
terbatas dan ketergantungan ekonomi mereka.
 negosiasi rendah Tidak dapat menegosiasikan penggunaannya
karena takut akan kekerasan dari pasangan mereka, yang sering
cenderung lebih tua.
 Peningkatan kerentanan terhadap HIV/ AIDS resiko kekerasan
seksual Wanita yang lebih muda, khususnya mereka yang
berusia 15-19 tahun, dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah memiliki risiko kekerasan fisik atau seksual yang lebih
tinggi yang dilakukan oleh seorang mitra di semua negara studi
kecuali Jepang dan Ethiopia.
D. Dampak pernikahan dini
Pernikahan dini tidak bisa di pungkiri akan menghasilkan berbagai
macam dampak yang merugikan bagi mereka yang melakukan nya,
karena dilakukan tanpa adanya kesiapan secara fisik, mental, dan
materi. Banyak ditemukan pasangan suami- istri muda tidak dapat
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, banyak juga yang tidak
menyadari akan adanya hak dan kewajiban baru yang melekat
pada dirinya setelah menjalin hubungan rumah tangga. Dampak
dari pernikahan usia dini juga tidak hanya dirasakan oleh mereka
pasangan suami-istri, namun bisa berdampak pada masing-masing
keluarga, dan juga anak yang mereka lahirkan. Dibawah ini
merupakan berbagai macam dampak (positif maupun negative )
yang dirasakan akibat adanya pernikahan usia dini ;
 Dampak bagi Suami-Istri : terjadinya perselisihan antara suami-
istri karena sifat egois yang cenderung tinggi, tidak adanya
kesinambungan dalam menjalankan hubungan rumah tangga
karena minimnya pengetahuan tentang kehidupan pernikahan,
kurangnya kesadaran akan hak dan kewajiban baru yang
melekat setelah menjadi suami-istri
 Masing-masing Keluarga : Beban ekonomi keluarga berkurang
karena salah satu anaknya sudah menjadi tanggung jawab
sang suami, jika terjadi perceraian maka akan memutus tali
silaturahmi keluarga serta merusak nama baik keluarga itu
sendiri
 Anak : Anak akan mengalami gangguan-gangguan dalam masa
perkembangannya karena orang tua yang cenderung tidak
memperhatikan dengan baik, tingkat kecerdasan anak
cenderung rendah karena orang tua tidak cukup pandai untuk
mendidik, usia anak dan orang tua tidak jauh berbeda sehingga
anak dapat lebih terbuka. Dampak lain yang dirasakan akibat
melakukan pernikahan usia dini sebagian besar terkait pada
kesehatan reproduksi. Banyak perempuan muda yang
melakukan pernikahan dini memiliki potensi mengalami
kehamilan yang beresiko tinggi. Selain gangguan reproduksi,
banyak perempuan yang menikah di usia muda akan
mengalami gangguan kesehatan mental. Mereka umumnya
seringkali mengalami stress yang mendalam ketika
meninggalkan keluarga, dan bertanggung jawab atas
keluarganya sendiri. Selain itu, pernikahan yang dilakukan oleh
anak juga akan membawa dampak buruk bagi anak perempuan
sebab mereka akan rentan mendapat perlakuan kasar dari
suaminya (KDRT).

Selain dampak-dampak diatas, dilihat banyak juga anak yang


melakukan pernikahan dini dan tidak dapat melanjutkan
Pendidikan, tidak bisa menimkmati kehidupan layaknya anak-anak
lain yang senang bermain, dan menggapai potensi mereka. Serta,
dampak pada perempuan yang akan dilihat dari berbagai bidang
seperti Ekonomi, Sosial, Kesehatan, dan Psikologi.
 Dampak Kesehatan
Perempuan yang menikah muda umumnya belum siap dalam
mengurus atau mengasuh seorang anak, sehingga banyak
diantara mereka yang melakukan aborsi untuk menghindari
kesulitan mengurus anak. Aborsi yang dilakukan juga
cenderung aborsi yang tidak aman sehingga dapat
membahayakan kesehatan dan keselamatan sang ibu dan
bayinya. Selain ketidak-siapan sang ibu dalam mengurus anak,
kekerasan pada calon ibu juga bisa terjadi jika kehamilan
datang disaat yang tidak diinginkan. Suami cenderung bersikap
kasar karena tidak bisa menerima bahwa akan ada anggota
keluarga baru, dan tanggung jawab baru yang harus dilakukan.
Kehamilan yang tidak diinginkan juga membuat sang ibu tidak
mendapatkan pelayanan-pelayanan kesehatan yang memadai
sehingga merusak tumbuh dan kembang bayi dalam Rahim ibu.
Penting untuk diketahui bahwa kehamilan yang terjadi pada
perempuan yang usia nya kurang dari 17 tahun akan
meningkatkan resiko komplikasi medis, pada ibu dan anak.
Serta, dinyatakan bahwa anak yang hamil pada usia 10-14
tahun dinilai memiliki resiko lima kali lipat meninggal saat hamil
maupun saat melahirkan, sementara itu resiko ii akan
meningkat dua kali lipat pada perempuan yang hamil pada usia
15- 19 tahun.
 Dampak Psikologis
Dampak psikologis akan sangat mudah ditemukan pada
pasangan muda-mudi yang melakukan Pernikahan Usia Muda.
Mereka pada umumnya belum bisa menerima dan belum siap
secara mental dalam menghadapi perubahan peran dan
masalah yang ada dikehidupan barunya setelah menikah. Hal
tersebut bisa menimbulkan rasa penyesalan karena mereka
harus meninggalkan bangku sekolah dan meninggalkan masa
remaja mereka. Kehamilan yang tidak diinginkan oleh
perempuan yang menikah di usia muda juga bisa berdampak
psikologis pada dirinya, karena perempuan tersebut akan
minder dan tidak pede dengan badannya yang bertumbuh
besar.
 Dampak Ekonomi
Pernikahan usia dini tanpa disadari merupakan penyebab
adanya ‘siklus kemiskinan’ dalam keluarga. Hal tersebut dapat
terjadi dikarenakan, anak yang melakukan pernikahan dini
umumnya belum mapan atau tidak bisa mendapatkan
pekerjaan selayaknya orang dewasa. Karena, dengan menikah
di usia muda maka mereka akan dikeluarkan dari sekolah dan
terpaksa menjadi ibu rumah tangga dan terisolasi, sehingga
mereka cenderung masih menjadi tanggungan bagi
keluarganya. Akibat dari masalah tersebut, orang tua memiliki
beban ganda karena harus menghidupi anggota keluarga baru.
Siklus kemiskinan ini dapat dihindari jika memiliki pasangan
yang sudah mapan, karena mereka yang sudah mapan pasti
memiliki pekerjaan dan penghasilan yang mencukupi sehingga
dapat menghidupi keluarganya sendiri.
 Dampak Sosial
Dilihat dari sisi sosial, pernikahan usia muda akan berdampak
pada perceraian dan perselingkuhan. Hal ini dikarenakan
adanya perubahan emosi yang belum stabil pada diri remaja
sehingga mudah terjadi pertengkaran diantara keduanya.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan
ini meliputi kekerasan seksual yang dialami oleh istri karena
adanya relasi hubungan yang tidak seimbang.
E. Bimbingan pranikah oleh KUA
F. Kesehatan reproduksi remaja pranikah
G. Komunikasi efektif dan etika pergaulan laki-laki dan perempuan
BAB III

Dimensi Wisdom

A. Definisi
Teori wisdom diambil dari model kepemimpinan dari Sternberg.
WICS adalah singkatan dari wisdom (kearifan), intelligent (kecerdasan),
creativity (kreativitas)dan synthesized.
Menurut WICS, wisdom didefinisikan sebagai kemampuan
menggunakan successful intelligent, kreatifitas dan pengetahuan, yang
mengarah pada kebaikan bersama dengan menyeimbangkan
kepentingan intrapersonal, interpersonal dan ekstrapersonal, dalam
jangka waktu pendek dan panjang, dengan memasukkan nilai-nilai dalam
upaya menyesuaikan, membentuk dan memilih lingkungan.
Wisdom adalah kemampuan individu dalam menerima dan
memahami makna dari segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya
(Ardelt & Edwards, 2015).
B. Dimensi Wisdom

Cognitive :
Pernikahan anak

Affective :
Reflective :
 Pencegahan pernikahan
Pemberian Materi
anak
 Bimbingan pranikah
C. INOVASI PENCEGAHAN PERNIKAHAN PADA ANAK
 Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, ketrampilan,
dan jaringan pendukung
 Mendidik dan memobilisasi orang tua dan anggota masyarakat
 Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak
perempuan
 Menawarkan dukungan ekonomi dan insentif untuk anak perempuan
dan keluarganya
 Mengembangkan kerangka kerja hukum dan kebijakan
D. Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, keterampilan,
dan jaringan pendukung
 Pelatihan kecakapan hidup
 Pelatihan keterampilan kejuruan dan mata pencaharian
 Pelatihan kesehatan seksual dan reproduksi
 Kampanye informasi, pendidikan, komunikasi (KIE)
 Mentoring kelompok sebaya untuk dukungan berkelanjutan kepada
anak perempuan
 Ruang aman” untuk anak perempuan bertemu, berkumpul,
terhubung, dan bersosialisasi di luar rumah.
E. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak
perempuan
 Mempersiapkan, melatih, dan mendukung anak perempuan untuk
pendaftaran atau pendaftaran ulang di sekolah.
 Membangun sekolah, meningkatkan fasilitas (terutama untuk anak
perempuan), dan merekrut guru perempuan
 Meningkatkan kurikulum sekolah dan melatih para guru untuk
menyampaikan konten tentang topik-topik seperti keterampilan hidup,
kesehatan seksual dan reproduksi, HIV / AIDS, dan sensitivitas
gender
 Uang tunai, beasiswa, subsidi biaya, seragam, dan persediaan
sebagai insentif bagi anak perempuan untuk mendaftar dan tetap
bersekolah.
Daftar pustaka

Gaib Hakiki, Asnita Ulfah, Maarif Ibnu Khoer, Sugeng Supriyanto, and Muhammad
Basorudin. 2020. Pencegahan Perkawinan Anak : Percepatan Yang Tidak Bisan
Ditunda. PUSKAPA Center on Child Protection .
Evy Nurachma, Dwi Hendriyani, Meity Albertina, Badar, and Susi Purwanti. 2020.
PENGARUH PASANGAN PERNIKAHAN DINI TERHADAP POLA
PENGASUHAN ANAK. NEM.
Arianto, H. (2019). Peran Orang Tua Dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini.
Lex Jurnalica, 16(1), 38-43

BPS. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 -Laporan


Pendahuluan. Jakarta: BPS

Bomantama, R. (2018). Tribun. Angka Pernikahan Usia Anak Indonesia Tertinggi


Ketujuh di Dunia dan Dua se-ASEAN. Retrieved from
https://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/14/angka-pernikahan-usia-anak-
indonesia-tertinggi-ketujuh-di-dunia-dan-nomor-dua-se-
asean

Chae, S., & Ngo, T.D. (2017). The Global State of Evidance on Interventions To
Prevent Child Marriage. New York: Population Council

KPPPA. (2018). Profil Anak Indonesia Tahun 2018. Jakarta: KPPPA


Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., & Rife, S.L. (2011). Solution to End
Child Marriage. New York: International Center for
Research on Women

Octaviani, Fachria, and Nunung Nurwati. "Dampak Pernikahan Usia Dini


Terhadap Perceraian Di Indonesia." Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial
HUMANITAS 2.2 (2020): 33-52.
Rumble,L., et al., 2018. Ending child marriage: A guide for global policy action.
Londpn: IPPF.
Warria, A. (2017). Forced Child Marriages as a Form of Child Trafficking. Journal
of Children and Youth, 79(1), 274-279

Anda mungkin juga menyukai