A.PENDAHULUAN
Anak adalah amanah dan karunia Allah Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang
belum berusian 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
1
Pasal 7 ayat (1) berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ayat (2) Dalam hal terjadi penyimpangan
terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, orang tua
pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup”. Ayat (3) Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan.
Dalam hal ini ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah
dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk
keluarga. Oleh karena hal tersebut, dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi
memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. Perubahan norma dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini menjangkau
batas usia untuk melakukan perkawinan, menaikan batas minimal umur perkawinan
bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas
minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun. Batas usia tersebut dinilai telah
matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang sehat dan berkualitas. Di samping itu diharapkan akan mengakibatkan
laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kelahiran bagi ibu dan anak
serta memberikan akses pendidikan setinggi mungkin.
Indahnya suatu perkawinan itu dalam khayalan, tak ubahnya seperti orang
memandang keindahan gunung dari kejauhan, hijau, teduh dan penuh pesona, tetapi
setelah didekati kesana ternyata hanya penuh dengan bebatuan, tanjakan terjal serta
2
onak dan duri menghadang sehingga sering kandas dalam perjalanan kehidupan.
Padahal di balik itu ada persoalan mendasar yang seharusnya dikedepankan yakni
unsur-unsur psikologis yang merupakan hikmah yang dapat dipetik dari sebuah
pernikahan mengapa pernikahan banyak yang kandas di tengah jalan, sehingga rumah
tangga berantakan disebabkan ketidaktahuan dalam hukum dan kekurangan materi
disebabkan belum matangnya secara fisik dan mental di dalam menghadapi segala
rintangan di dalam mengayuh dan memutar roda rumah tangga.
Yang menjadi latar belakang dan faktor utama terjadinya perkawinan usia anak
adalah antara lain, sebagai berikut :
1. Faktor ekonomi
Biasanya terjadi ketika keluarga si gadis berasal dari keluarga kurang mampu.
Orang tuanya pun menikahkan si gadis dengan laki-laki dari keluarga mapan.
Hal ini akan berdampak baik bagi si gadis maupun orang tua si gadis bisa
mendapat kehidupan yang layak serta beban orang tuanya bisa berkurang;
2. Faktor pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak dan masyarakat membuat
pernikahan usia anak semakin marak, wajib pendidikan 9 tahun bisa dijadikan
salah satu obat dari fenomena ini, dimisalkan seorang anak mulai belajar di usia
6 tahun, maka di saat dia menyelesaikan pendidikan tersebut dia sudah berusia
15 tahun. Di usia 15 tahun tersebut anak pasti memiliki kecerdasan dan tingkat
emosi yang sudah mulai stabil apalagi bila bisa dilanjutkan hingga wajib belajar
12 tahun. Jika wajib belajar tersebut bisa dijalankan dengan baik, angka
pernikah usia anak pastilah berkurang;
3. Faktor orang tua
Karena khawatir anak yang menyebabkan aib keluarga atau takut anaknya
melakukan zina saat berpacaran, maka ada orang tua yang langsung
menikahkan anaknya dengan pacarnya. Niatnya memang baik, untuk
melindungi sang anak dari perbuatan dosa, tapi hal ini juga tidak bisa
dibenarkan;
4. Faktor media massa dan internet
Disadari atau tidak, anak di zaman sekarang sangat mudah mengakses segala
sesuatu yang berhubungan dengan seks dan semacamnya, hal ini membuat
mereka menjadi terbiasa dengan hal-hal berbau seks dan tidak lagi
menganggapnya sesuatu yang tabu lagi. Pendidikan seks itu perlu sejak dini
tetapi bukan berarti anak-anak tersebut belajar sendiri tanpa didampingi orang
dewasa;
5. Faktor biologis
Faktor biologis ini muncul salah satunya karena faktor media massa dan
internet di atas, dengan mudahnya akses informasi tadi, anak-anak menjadi
mengetahui hal yang belum seharusnya mereka tahu di usianya, maka
3
terjadilah hubungan di luar nikah, maka mau tidak mau orang tua harus
menikahkan anak gadisnya;
6. Faktor hamil di luar nikah
Hamil di luar nikah bukan hanya kecelakaan tetapi bisa juga karena diperkosa
sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Orang tua yang dihadapkan kepada
situasi tersebut pastilah akan menikahkan anak gadisnya bahkan bisa dengan
orang yang sama sekali tidak dicintai si gadis. Hal ini semakin dilematis karena
ini tidak sesuai dengan Undang-undang perkawinan, rumah tangga berdasarkan
cinta saja bisa goyah apalagi karena keterpaksaan;
7. Faktor adat
Faktor ini sudah mulai jarang muncul tetapi masih tetap ada.
Perkawinan usia anak atau perkawinan dini masih menjadi masalah serius bagi
bangsa Indonesia sampai saat ini dan tercatat bahwa pernikahan anak perempuan usia
di bawah 18 tahun masih cukup tinggi yang akan berdampak buruk terhadap generasi
muda dan berujung pada semakin terpuruknya sosio ekonomi bangsa. Berdasarkan
survei sosial dan ekonomi nasional SUSENAS yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik)
tahun 2012 tercatat di antara perempuan yang kawin 20 – 24 tahun, 25 % di antaranya
menikah sebelum usia 18 tahun dan tercatat pula 340.000 orang anak perempuan usia
di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Tingginya angka tersebut merefleksikan
bagaimana kualitas generasi muda bangsa yang masih perlu perhatian khusus dari
masyarakat maupun dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi.
4
muda dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Faktor lain rendahnya
kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat.
5
pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.
E.P E N U T U P
A.K E S I M P U L A N
B.S A R A N - S A R A N
6
3. Kepada para pemimpin Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat membuat
langkah-langkah konkrit guna mengantisipasi terjadinya perkawinan usia anak.
REFERENSI :
7
AKHIRI PERKAWINAN USIA ANAK
Makalah