Anda di halaman 1dari 8

AKHIRI PERKAWINAN USIA ANAK

Oleh : Drs. H. Zulkifli Arief, S.H., M. Ag

A.PENDAHULUAN

Anak adalah amanah dan karunia Allah Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang
belum berusian 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Selama ini terdapat perbedaan di antara dua undang-undang tersebut tentang


batas usia minimal perkawinan seseorang anak, antara undang yang satu dengan yang
lain bertentangan sehingga terkesan pernikahan yang masih berstatus anak dilindungi
oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perspektif
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, sehingga untuk
mengatasi perbedaan tersebut, lahirlah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Undang Nomro 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa di dalam

1
Pasal 7 ayat (1) berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ayat (2) Dalam hal terjadi penyimpangan
terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, orang tua
pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup”. Ayat (3) Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Nomor


22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangannya dalam putusan tersebut : namun
tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita berdampak pada atau
menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara,
baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak
ekonomi, pendidikan, sosial dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan
semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan yang demikian jelas
merupakan diskriminasi. Dalam pertimbangan yang sama, juga disebutkan pengaturan
batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja
menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28.B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah
menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28.B ayat (2) UUD 1945.

Dalam hal ini ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah
dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk
keluarga. Oleh karena hal tersebut, dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi
memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. Perubahan norma dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini menjangkau
batas usia untuk melakukan perkawinan, menaikan batas minimal umur perkawinan
bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas
minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun. Batas usia tersebut dinilai telah
matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang sehat dan berkualitas. Di samping itu diharapkan akan mengakibatkan
laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kelahiran bagi ibu dan anak
serta memberikan akses pendidikan setinggi mungkin.

B.LATAR BELAKANG DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERKAWINAN USIA ANAK

Indahnya suatu perkawinan itu dalam khayalan, tak ubahnya seperti orang
memandang keindahan gunung dari kejauhan, hijau, teduh dan penuh pesona, tetapi
setelah didekati kesana ternyata hanya penuh dengan bebatuan, tanjakan terjal serta

2
onak dan duri menghadang sehingga sering kandas dalam perjalanan kehidupan.
Padahal di balik itu ada persoalan mendasar yang seharusnya dikedepankan yakni
unsur-unsur psikologis yang merupakan hikmah yang dapat dipetik dari sebuah
pernikahan mengapa pernikahan banyak yang kandas di tengah jalan, sehingga rumah
tangga berantakan disebabkan ketidaktahuan dalam hukum dan kekurangan materi
disebabkan belum matangnya secara fisik dan mental di dalam menghadapi segala
rintangan di dalam mengayuh dan memutar roda rumah tangga.

Yang menjadi latar belakang dan faktor utama terjadinya perkawinan usia anak
adalah antara lain, sebagai berikut :

1. Faktor ekonomi
Biasanya terjadi ketika keluarga si gadis berasal dari keluarga kurang mampu.
Orang tuanya pun menikahkan si gadis dengan laki-laki dari keluarga mapan.
Hal ini akan berdampak baik bagi si gadis maupun orang tua si gadis bisa
mendapat kehidupan yang layak serta beban orang tuanya bisa berkurang;
2. Faktor pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak dan masyarakat membuat
pernikahan usia anak semakin marak, wajib pendidikan 9 tahun bisa dijadikan
salah satu obat dari fenomena ini, dimisalkan seorang anak mulai belajar di usia
6 tahun, maka di saat dia menyelesaikan pendidikan tersebut dia sudah berusia
15 tahun. Di usia 15 tahun tersebut anak pasti memiliki kecerdasan dan tingkat
emosi yang sudah mulai stabil apalagi bila bisa dilanjutkan hingga wajib belajar
12 tahun. Jika wajib belajar tersebut bisa dijalankan dengan baik, angka
pernikah usia anak pastilah berkurang;
3. Faktor orang tua
Karena khawatir anak yang menyebabkan aib keluarga atau takut anaknya
melakukan zina saat berpacaran, maka ada orang tua yang langsung
menikahkan anaknya dengan pacarnya. Niatnya memang baik, untuk
melindungi sang anak dari perbuatan dosa, tapi hal ini juga tidak bisa
dibenarkan;
4. Faktor media massa dan internet
Disadari atau tidak, anak di zaman sekarang sangat mudah mengakses segala
sesuatu yang berhubungan dengan seks dan semacamnya, hal ini membuat
mereka menjadi terbiasa dengan hal-hal berbau seks dan tidak lagi
menganggapnya sesuatu yang tabu lagi. Pendidikan seks itu perlu sejak dini
tetapi bukan berarti anak-anak tersebut belajar sendiri tanpa didampingi orang
dewasa;
5. Faktor biologis
Faktor biologis ini muncul salah satunya karena faktor media massa dan
internet di atas, dengan mudahnya akses informasi tadi, anak-anak menjadi
mengetahui hal yang belum seharusnya mereka tahu di usianya, maka

3
terjadilah hubungan di luar nikah, maka mau tidak mau orang tua harus
menikahkan anak gadisnya;
6. Faktor hamil di luar nikah
Hamil di luar nikah bukan hanya kecelakaan tetapi bisa juga karena diperkosa
sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Orang tua yang dihadapkan kepada
situasi tersebut pastilah akan menikahkan anak gadisnya bahkan bisa dengan
orang yang sama sekali tidak dicintai si gadis. Hal ini semakin dilematis karena
ini tidak sesuai dengan Undang-undang perkawinan, rumah tangga berdasarkan
cinta saja bisa goyah apalagi karena keterpaksaan;
7. Faktor adat
Faktor ini sudah mulai jarang muncul tetapi masih tetap ada.

C.DAMPAK DAN AKIBAT PERKAWINAN USIA ANAK

Perkawinan usia anak atau perkawinan dini masih menjadi masalah serius bagi
bangsa Indonesia sampai saat ini dan tercatat bahwa pernikahan anak perempuan usia
di bawah 18 tahun masih cukup tinggi yang akan berdampak buruk terhadap generasi
muda dan berujung pada semakin terpuruknya sosio ekonomi bangsa. Berdasarkan
survei sosial dan ekonomi nasional SUSENAS yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik)
tahun 2012 tercatat di antara perempuan yang kawin 20 – 24 tahun, 25 % di antaranya
menikah sebelum usia 18 tahun dan tercatat pula 340.000 orang anak perempuan usia
di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Tingginya angka tersebut merefleksikan
bagaimana kualitas generasi muda bangsa yang masih perlu perhatian khusus dari
masyarakat maupun dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi.

Kemudian fakta BPS (Badan Pusat Statistik) merilis angka persentase


pernikahan usia anak di Tanah Air meningkat menjadi 15,66 % pada tahun 2018
dibanding tahun tahun 2017, 14,18 % kenaikan persentase pernikahan usia anak
tersebut merupakan catatan tersendiri bagi Pemerintah yang sedang terus berusaha
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari catatan BPS jumlah presentase pernikahan
muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 27,77 %, Jawa Barat 20,93 %, Jawa
Timur 20,73 %. Sebagai perbandingan pada tahun 2017 presentase pernikahan muda
di Jawa Barat 17,28 % angka itu lebih rendah dari Jawa Timur 18,44 % dan Kalimantan
Selatan 21, 53 %, dengan demikian peningkatan presentase pernikahan muda pada
tahun 2018 di Jawa Barat jauh lebih signifikan dibanding provinsi lainnya.

Pernikahan usia muda dapat menyebabkan berbagai dampak negatif bagi


kesehatan ibu dan anak yang dilahirkan, ibu hamil dalam usia muda memiliki faktor
resiko komplikasi kehamilan yang lebih besar sehingga perempuan berusia di bawah
18 tahun memiliki resiko lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan
persalinan dibandingkan dengan perempuan usia 20 sampai 24 tahun. Selain dari itu
anak perempuan yang telah menikah di bawah usia 18 tahun akhirnya meninggalkan
pendidikan mereka dan berakibat rendahnya pendidikan dan kualitas hidup generasi

4
muda dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Faktor lain rendahnya
kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat.

Menurut Kepala BPS Suhariyanto pernikahan di usia muda berpengaruh


signifikan pada tingkat kematian bayi dan angka harapan hidup. Menurutnya, seorang
ibu yang siap secara fisik dan mental akan menekan tingkat kematian bayi. Jika seorang
menikah secara dini, secara psikologi dan kesehatan ibu akan buruk dan berpengaruh
kepada tingkat kematian bayi sehingga angka harapan hidup berkurang. Di samping itu
menurut BPS angka IPM manusia pada tahun 2018 meningkat yang mencapai 71,39
angka ini meningkat 0,58 poin atau tumbuh 0,82 % dibandingkan tahun 2017. Meski
begitu, angka ini lebih rendah dari target anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(APBN) 2018 sebesar 71,5. BPS menyatakan meningkatnya angka pernikahan muda
menjadi salah satu penghambat laju IPM nasional tahun 2018.

Sementara itu pengamat sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri


Suyatna mengatakan, pernikahan muda akan memunculkan sejumlah resiko antara
lain, menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat,
kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan bunuh diri. Untuk itu pernikahan muda
harus dicegah dengan meningkatkan kesadaran laki-laki dan perempuan sejak masih
remaja, sebab usia remaja merupakan masa transisi di mana anak masih suka meniru
dan suka mencoba hal-hal yang baru. Umumnya anak remaja masih tergantung pada
lingkungan sosial dan belum mampu mandiri, tetapi sudah ingin dilepas oleh orang
tuanya untuk belajar mandiri katanya. Menurutnya pesatnya kemajuan teknologi
selain membawa dampak positif berupa kemudahan dalam mengakses informasi, juga
berdampak negatif. Dengan berbagi kemudahan tersebut tentunya berbagai informasi
dapat dengan cepat didapatkan hanya saja jika salah dalam mengakses informasi
tentunya akan berdampak kurang baik, terutama konten-konten yang mestinya belum
saatnya diakses oleh anak-anak.

D.KETERLIBATAN PENGADILAN AGAMA TERHADAP PERKAWINAN USIA ANAK

Muncul pertanyaan di tengah masyarakat bahwa Kantor Urusan Agama


Kecamatan dan/atau Catatan Sipil telah menolak perkawinan di bawah umur akan
tetapi pengadilan mengizinkan ?, sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut, bahwa
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang
beragama nonmuslim, hanyalah sebagai pintu darurat bagi kecelakaan perkawinan
dengan alasan yang sangat mendesak, seperti pergaulan bebas yang sudah melampaui
batas, telah hamil duluan sebelum menikah, pemerkosaan, sehingga jalan keluar satu-
satunya hanyalah melangsungkan perkawinan dan yang namanya pintu darurat tidak
selalu dibuka hanyalah di saat-sat genting yang boleh dikatakan di saat terjadinya
darurat moral berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang
tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada

5
pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.

Kemudian di dalam Perma (Peraturan Mahkamah Agung RI) Nomor 5 Tahun


2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Pasal 1 ayat (11)
menyatakan bahwa hakim yang dimaksud dalam perma tersebut adalah Hakim
Tunggal bukan Hakim Majelis. Pasal 11 ayat (2) menjelaskan bahwa hakim dan Panitera
Pengganti yang memeriksa perkara Dispensasi Kawin tidak memakai atribut
persidangan. Pasal 13 ayat (1) orang yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) yaitu,
(Pemohon di persidangan wajib menghadirkan anak yang dimintakan dispensasi, calon
suami/istri dan orang tua/wali dari calon istri/suami) di dengar keterangannya dan
Pasal 13 ayat (3) berbunyi : jika Pasal 13 ayat (1) tidak terlaksana, maka penetapan
batal demi hukum.

E.P E N U T U P

A.K E S I M P U L A N

1. Perbedaan dan pertentangan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak menyangkut batas usia minimal anak telah dapat
diselesaikan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang didasari oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017;

2. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak terdapat lagi
diskriminasi batas umur minimal perkawinan antara pria dan wanita Indonesia;

3. Faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya perkawinan usia anak adalah


media sosial dan internet;

4. Antara pengawasan orang tua dengan sekolah terhadap anak-anak harus


diseimbangkan;

5. Pengawasan penggunaan Hendphon Android bagi anak-anak harus dengan super


ketat.

B.S A R A N - S A R A N

1. Diharapkan fungsi mamak kepala kaum di dalam mengawasi anggota kaumnya


perlu ditingkatkan semaksimal mungkin;

2. Kepada Pemerintah Daerah Sumatera Barat diharapkan adanya Perda-perda


yang menyangkut dengan pengawasan moral anak-anak;

6
3. Kepada para pemimpin Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat membuat
langkah-langkah konkrit guna mengantisipasi terjadinya perkawinan usia anak.

REFERENSI :

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan;
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
4. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman
Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin;
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017;
6. Suhariyanto Kepala BPS;
7. Hempri Suyatna, pengamat sosial Universitas Gadjah Mada (UGM);
8. Kompas.com;
9. Detik News
10. Sindonews.

Padang, 4 Desember 2019

Drs. H. Zulkifli Arief, S.H., M. Ag

7
AKHIRI PERKAWINAN USIA ANAK

Makalah

Dipresentasikan dalam Rangka Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan


(HAKTP) 2019 dengan Agenda Kegiatan Dialog di Tinggkat Provinsi Dari Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar dan Kota Padang Tanggal 5 Desember 2019
di Aula Kantor Dinas PPKBKPS Rimbo Kaluang Padang Barat

PENGADILAN TINGGI AGAMA PADANG TAHUN 2019

Anda mungkin juga menyukai