Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN PERNIKAHAN

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU Pernikahan ini diatur dalam
pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika ada penyimpangan terhadap pasal 7
ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita (pasal 7 ayat 2).

Pernikahan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela
dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara diridhoi Allah SWT. (Ihsan,
2008).

Pernikahan adalah hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar
masing-masing dapat menikmati yang lain (istimtaa’) dan untuk membentuk keluarga yang
sakinah dan membangun masyarakat yang bersih (Utsaimin, 2009).

TUJUAN PERNIKAHAN

Untuk memenuhi tuntunan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk keluarga yang tenteram (sakinah), cinta
kasih (mawaddah) dan penuh rahmat, agar dapat melahirkan keturunan yang sholeh dan
berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga bahagia (Ihsan, 2008).

MANFAAT PERNIKAHAN MENURUT ISLAM

1. Melaksanakan perkawinan merupakan salah satu ibadah bagi umat islam.


2. Dapat terpelihara dari perbuatan maksiat.
3. Dapat terbentuk suatu rumah tangga yang bahagia, damai, tentram serta kekal disertai rasa
kasih sayang antar suami istri.
4. Dapat diperoleh garis keturunan yang syah, jelas dan bersih, demi kelangsungan hidup
dalam keluarga dan masyarakat.
5. Dapat terlaksakannya pergaulan hidup antara seseorang atau kelompok secara teratur,
terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk Allah yang lain (Ihsan, 2008).

PENGERTIAN PERNIKAHAN DINI


Pernikahan dini yaitu merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang
masih remaja dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008).

Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk
melaksanakan pernikahan (Nukman, 2009).

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI

Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari
anak dan dari luar anak.

1. Sebab dari Anak.

a. Faktor Pendidikan.

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus
sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut
sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan
waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah
satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat
kehamilan di luar nikah.

b. Faktor telah melakukan hubungan biologis.

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan
biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung
segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak
perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

* Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, hal ini sebuah solusi yang
kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu
kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa
anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari
perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

c. Hamil sebelum menikah

Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung
menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua
anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis,
maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.
Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya,
tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi
kawin.

Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan
hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan
dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan
agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak.
Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bisa
goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan.

2. Sebab dari luar Anak

a. Faktor Pemahaman Agama.

Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan
dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi
dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan
dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus
mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelis hakim menanyakan anak wanita
yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika
menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap
bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling suka
sama suka dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut
dengan azab membiarkan anak tetap berzina

b. Faktor ekonomi.

Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak
mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka
anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan setelah
anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.

c. Faktor adat dan budaya.

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang


perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera
dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-
anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan
dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang
diamanatkan UU. (Ahmad, 2009)
DAMPAK PERNIKAHAN DINI

Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, sebagai berikut :

1. Segi kesehatan

Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka
kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat
kesehatan ibu dan anak.

Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara
usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas
(lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan
ketulian.

2. Segi fisik

Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan
fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor
ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan
kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya
bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

3. Segi mental/jiwa

Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang
merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih
memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.

4. Segi pendidikan

Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup.

5. Segi kependudukan

Perkawinan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas
(kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.

6. Segi kelangsungan rumah tangga

Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat
kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian (Ihsan, 2008).

Sumber : http://dr-suparyanto.blogspot.com/
DAFTAR PUSTAKA

1. Alimul, Aziz. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Rineka
Cipta.
2. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
3. Ahmad. (2009). Pernikahan Dini Masalah Kita Bersama. http://pa-bantul.net. Diakses 29
Maret 2010.
4. Alfiyah. (2010). Faktor-faktor Pernikahan Dini. http://alfiyah23.student.um.ac.id. Diakses 28
Maret 2010.
5. Budiarto, Eko (2003) Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
EGC.
6. Effendy, N. (2004). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC.
7. Ihsan. (2008). Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia. Surabaya. BP-4 Jatim.
8. Lutfiati. (2008). Pernikahan Dini Pada Kalangan Remaja (15-19 tahun).
http://nyna0626.blogspot.com. Diakses 4 April 2010.
9. Lany. (2008). Mengatasi Masalah Pernikahan Dini. http://www.solutionexchange.or.id.
Diakses 5 April 2010.
10. Lubis. (2008). Keputusan Menikah Dini. http://wargasos08yess.blogspot.com. Diakses 3
April 2010.
11. Mubarok. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam
Pendidikan. Yogyakarta. Graha Ilmu.
12. Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
13. Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
14. Nugroho. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta. EGC.
15. Nukman. (2009). Yang Dimaksud Pernikahan Dini. http://www.ilhamuddin.co.cc. Akses 28
Maret 2010.
16. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan :
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Salemba Medika.
17. Sugiyono. (2006). Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta : Bandung.
18. Utsaimin. (2009). Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga. Surabaya. Risalah Hati.

Anda mungkin juga menyukai