Disusun oleh
NIM: 200510022
FAKULTAS FILSAFAT
SINAKSAK-PEMATANGSIANTAR
2022/2023
Abstrak
Pernikahan dini merupakan salah satu masalah aktual yang masih ada di Indonesia
hingga saat ini. Persiapan pernikahan yang belum matang, status emosi yang labil dapat
mempengaruhi keutuhan dan kualitas keluarga. Pernikahan dini berdampak pada
keutuhan keluarga karena beberapa faktor yang mempengaruhi, misalnya keterbatasan
pengetahuan karena terhentinya studi akibat pernikahan dini. Tujuan dari penulisan
artikel ini adalah untuk memberikan pelajaran tentang hubungan antara pernikahan dini
dan keutuhan keluarga serta implikasinya.
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia tidak dapat tanpa interaksi dalam kehidupan sehari-hari dan membutuhkan
orang lain di sekitarnya, sehingga manusia disebut makhluk sosial. Salah satu perwujudan
manusia sebagai makhluk sosial adalah interaksi dalam keluarga; antara suami-isteri, anak-
anak, saudara, tetangga, dan lainnya. Di dalam keluarga, setiap individu mengekspresikan
dirinya. Adanya keluarga terbentuk karena pernikahan. Hubungan pernikahan dikategorikan
sebagai hubungan sosial karena banyak individu yang terlibat di dalam keluarga hasil
pernikahan.1
Pernikahan umumnya dilakukan oleh orang dewasa yang sudah matang. Pernikahan
merupakan salah satu pintu utama bagi orang-orang yang mulai tumbuh untuk membangun
kehidupan baru yang lebih mandiri.2 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
pernikahan adalah persatuan yang didirikan baik lahir maupun batin sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Tentu saja, pernikahan itu dilakukan secara sah dan kedua belah pihak saling
percaya. Menurut undang-undang yang disepakati dalam UU No. 16 Tahun 2009 (perubahan
atas UU No. 1 Tahun 1974), pernikahan diperbolehkan jika kedua belah pihak atau kedua belah
pihak telah berusia minimal 19 tahun.
1
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: Masalah dan Problematika (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,
2017), hlm. 93.
2
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya (Yogyakarta: Sari Pediatri,
2016), hlm. 136.
2
Pada realitasnya, tidak sedikit masyarakat yang melangsungkan pernikahan di usia dini.
Fenomena pernikahan dini masih sering dijumpai di beberapa negara berkembang, secara
khusus penulis melihat fenomema yang terjadi di Indonesia. Pernikahan yang dilakukan oleh
anak di bawah umur atau anak-anak dikenal dengan pernikahan dini. Pernikahan dini telah
menjadi fenomena nasional di Indonesia dan salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah
budaya karena sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Pernikahan dini
adalah pernikahan yang dilakukan secara formal maupun informal sebelum usia 18 tahun.3
Fenomena pernikahan dini menjadi tantangan bagi isu perempuan, termasuk anak-anak.
Pernikahan dini tidak hanya merupakan pelanggaran atas hak dari anak. Lebih parah lagi adalah
maraknya pernikahan dini yang membuat kondisi anak wanita di Indonesia mengalami
kemunduran, baik dari sisi mental, fisik, maupun peluang dalam ekonomi serta akses terhadap
pendidikan lebih tinggi.
Berdasarkan data child marriage report, jika dilihat dari daerah tempat tingal
menunjukkan bahwa prevalensi perkawinan anak perempuan lebih tinggi di perdesaan
dibandingkan perkotaan, baik itu usia sebelum 18 tahun maupun sebelum usia 15 tahun. Pada
tahun 2018, prevalensi perempuan 20-24 tahun di perdesaan yang melakukan perkawinan
pertamanya sebelum usia 18 tahun masih lebih tinggi perdesaan yaitu sebesar 16,87% dan
perkotaan sebesar 7,15%. Sedangkan untuk anak laki-laki, sekitar 1 dari 100 laki-laki 20-24
tahun pada tahun 2018 telah melangsungkan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Sama seperti
anak perempuan yang telah melakukan perkawinan pertama, daerah perdesaan juga memiliki
prevalensi yang tinggi untuk anak laki-laki yang telah melakukan perkawinan pertamanya yaitu
sebesar 1,44% dan perkotaan adalah 0,77%.4
Penulis mengambil tema ini berdasarkan fenomena aktual yang terjadi di Indonesia,
secara khusus di Ponogoro, Jawa Timur. Fenomena pernikahan dini akhir-akhir ini menjadi
perbincangan di Kabupaten Ponorogo. Hal itu terkait dengan jumlah permintaan dispensasi
nikah ke Pengadilan Agama (PA) Ponorogo yang mencapai ratusan. Berdasarkan fenomena
tersebut, penulis hendak menganalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab pernikahan dini
dan bagaimana dampaknya pada keutuhan rumah tangga pelaku pernikahan tersebut.
3
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 96.
4
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 96.
3
1.2 PERUMUSAN DAN PEMBATASAN TEMA
Pernikahan dini berarti pernikahan di bawah umur yang masih belum cukup dari segi
usia, Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 telah menetapkan usia minimal pernikahan dini bagi
laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Jika merujuk pada aspek kesehatan, BkkbN (dalam
Hanum & Tukiman, 2015) menyatakan bahwa pernikahan usia muda yang ideal adalah bagi
perempuan yang berusia di atas 20 tahun, yang didasarkan pada pertimbangan kesehatan
reproduksinya. Oleh karena itu, jika pasangan muda ingin menikah sebelum usia 19 atau 20
tahun, rentan akan dampak sebagai konsekuensi dari pernikahan dini. Dalam artikel ini, penulis
memfokuskan pada faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan dini dan bagaimana
pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga pelaku pernikahan.
Berdasarkan pembatasan tema itu, penulis hendak menjawab pertanyaan berkaitan
dengan pernikahan dini:
1. Apa pengertian pernikahan dini?
2. Apa saja faktor penyebab terjadinya pernikahan dini?
3. Apa saja dampak atau risiko dari pernikahan dini?
4. Apakah pernikahan dini berdampak pada keutuhan rumah tangga?
4
2. ISI
2.1 Pengertian Pernikahan dan Pernikahan Dini
2.1.1 Pengertian Pernikahan
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh remaja di bawah umur (antara
usia 13 sampai 18 tahun) yang belum matang secara fisik dan psikis karena berbagai faktor
seperti faktor ekonomi, sosial, budaya, penafsiran agama yang salah, pendidikan dan
konsekuensi sosial. Mereka yang menikah dini cenderung secara finansial dan emosional
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hlm. 145.
6
Lauma Kiwe, Mencegah Pernikahan Dini (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2017), hlm. 45.
5
tergantung pada orang tua mereka. Menurut Lutfiati, pernikahan dini merupakan intitusi agung
untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati,
2008). Sedangkan menurut Nukman, pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang
seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan (Nukman, 2009).7
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini yang dapat
dibagi menjadi dua faktor, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.9
Pengetahuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah segala sesuatu
yang diketahui, termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan kecerdasan.10 Oleh karena
itu, faktor pengetahuan sangat penting bagi seseorang yang memilikinya, karena
memungkinkan mereka untuk memahami makna pernikahan, khususnya pernikahan muda.11
7
Catur Yunianto, Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Perkawinan (Bandung; Nusa Media, 2018),
hlm 7.
Catur Yunianto, Pernikahan Dini …, hlm. 8.
8
6
sekolah, mereka malah akan mengambil cuti untuk bekerja. Pada titik ini, anak memiliki
banyak kemandirian yang membuatnya merasa mampu mengurus dirinya sendiri.12
Pengetahuan yang rendah dapat menjadi faktor pernikahan usia muda karena belum
adanya edukasi mengenai bahayanya melakukan pernikahan muda dan kesiapan dalam
membangun rumah tangga. Faktor pengetahuan ini juga bisa berasal dari keluarganya sendiri
atau orang tua, karena biasanya orang tua mendidik anak berdasarkan dengan pengetahuan
yang mereka pahami.
Pendidikan yang rendah tentu saja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya pernikahan usia muda ini, karena pendidikan akan mempengaruhi pola pikir
seseorang baik dari masyarakat sekitar, pendidikan orang tua maupun anak sendiri. Jika
lingkungan sekitarnya memiliki pendidikan yang rendah, maka kecenderungan untuk
mengawinkan lebih tinggi. Apabila, pendidikan yang dimiliki tinggi maka tentunya mereka
akan berpikir kembali untuk melakukan pekawinan. Meninjau dari berbagai perspektif tentang
bagaimana faktornya, apa yang yang akan terjadi ke depannya, dan lain-lain.
Selain itu, pendidikan yang rendah bagi seorang wanita inilah yang menyebabkan
seorang wanita untuk melakukan pernikahan dini. Ini terjadi karena mereka tidak mengetahui
betul bagaimana seluk beluk pernikahan sehingga akan cenderung lebih cepat untuk
12
N. Sahrizal et al. Pencegahan Perkawinan Anak: …, hlm. 136.
13
N. Sahrizal et al. Pencegahan Perkawinan Anak: …, hlm. 137.
7
berkeluarga dan melahirkan anak. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kematangan pribadi
seseorang, karena jika mereka menuntut pendidikan dengan baik, tentunya akan lebih mudah
untuk menyaring dan menerima suatu perubahan yang baik dan merespon lingkungan yang
dapat mempengaruhi kemampuan berpikir mereka.14
Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, hal ini sebuah solusi
yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah
melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang
tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat
besar di kemudian hari pernikahan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.15
Pernikahan dini terjadi karena akibat kurangnya pemantauan dari orang tua yang mana
mengakibatkan kedua anak tersebut melakukan tindakan seks tanpa sepengetahuan orang tua.
Masa-masa remaja adalah masa ketika pertumbuhan seksualnya meningkat dan psikis
berkembang menuju kedewasaan. Jadi, bisa saja dalam hubungannya mereka memiliki daya
nafsu seksual yang tinggi dan tak tertahan atau terkendali lagi sehingga mereka berani
melakukan hubungan seksual hanya demi penunjukkan rasa cinta.16
Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung
menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua
anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis,
maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan ada kasus, justru
anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil,
maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin.
14
S. Wawan dan D. Ariyani. Pengetahuan Sikap dan Perilaku Manusia (Yogyakarta: Nuha Medika,
2011), hlm. 74-75.
15
S. Wawan dan D. Ariyani. Pengetahuan Sikap …, hlm. 90.
16
Syafrudin. Promosi Kesehatan (Jakarta: CV Trans Info Medika, 2009), hlm. 31-32.
8
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua
bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas pernikahan
yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana pernikahan sebagaimana yang diamanatkan
UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona pernikahan anak gadis
ini kelak. Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian
hari bisa goyah, apalagi jika pernikahan tersebut didasarkan keterpaksaan.17
Hampir semua aktifitas manusia terkait dengan ekonomi, karena pada umumnya semua
aktifitas manusia berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) dalam
kehidupannya. Di sisi lain juga terlihat bahwa apapun profesi dan pekerjaan yang dilakukan
seseorang tujuannya tidak terlepas dari pemenuhan keperluan hidup baik sekarang maupun
masa depan, baik untuk keperluan sendiri atau generasi berikutnya. Orang tua menikahkan
anaknya untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Anak perempuan dinikahkan bahkan
dengan laki-laki yang usianya jauh diatasnya yang memiliki status ekonomi cukup, sehingga
bisa membiayai keluarga perempuan.18
Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah
tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis,
maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan
setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.
Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib
melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut. Ada satu kasus,
dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis
merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut
dengan segera menikahkan. Saat mejelis hakim menanyakan anak wanita yang belum berusia
16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16
tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa
17
Syafrudin. Promosi Kesehatan …, hlm 35.
18
Catur Yunianto, Pernikahan Dini …, hlm. 35.
9
pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling suka sama suka
dengan anak laki-laki adalah merupakan “zinah”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan
azab membiarkan anak tetap berzinah.19
Informasi yang semakin cepat dalam berbagai bentuk telah menyebabkan dunia
semakin menjadi milik remaja. Demikian informasi tentang kebudayaan hubungan seksual
telah memengaruhi kaum remaja termasuk di Indonesia, sehingga telah terjadi suatu revolusi
yang menjurus makin bebasnya hubungan seksual pranikah.21
Menurut Masnawi terdapat beberapa dampak pernikahan pada usia muda yaitu:22
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses pertumbuhan menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seksual, apalagi sampai terjadi
hamil dan melahirkan, jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, robekan jalan lahir yang luas
dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya dan membahayakan jiwa. 23
Pernikahan ideal dapat terjadi ketika perempuan dan laki-laki saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Akan tetapi, apabila hal tersebut tidak terjadi, maka hal-hal yang
harus dihindari dalam pernikahan adalah melakukan:
19
Catur Yunianto, Pernikahan Dini …, hlm. 29-30.
20
Catur Yunianto, Pernikahan Dini …, hlm. 32.
21
Catur Yunianto, Pernikahan Dini …, hlm. 38.
22
Y. Widyastuti et al. Kesehatan Reproduksi (Yogyakarta: Fitramaya, 2009), hlm. 78.
23
A. Burns, et al. Pemberdayaan Wanita Dalam Bidang Kesehatan (Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medica Andi, 2016), hlm 145.
10
a. Kekerasan secara fisik (misalnya, memukul, menendang, menampar, menjambak rambut,
menyundut dengan rokok, melukai).
b. Kekerasan secara psikis (misalnya, menghina, mengeluarkan komentar-komentar yang
merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam).
c. Kekerasan seksual (misalnya, memaksa dan menuntut berhubungan seksual).
d. Penelantaran (misalnya, tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja).
e. Eksploitasi (misalnya, memanfaatkan, memperdagangkan, dan memperbudakkan orang).
Apabila hal tersebut terjadi, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
a. Mendatangi fasilitas kesehatan (Puskesmas/Rumah Sakit) umtuk mengobati luka-luka yang
dialami dan mendapatkan visum dari dokter atas permintaan polisi penyidik.
b. Menceritakan kejadian kepada keluarga, teman dekat atau kerabat.
c. Melapor ke polisi (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak/UPPA).
d. Mendapatkan pendampingan dari tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
psikolog atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
2.3.2 Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seksual, sehingga
akan menimbulkan trauma yang berkepanjangn dalam jiwa anak dan sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir dengan pernikahan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya, sehingga keluarga mengalami kesulitan untuk menjadi
keluarga yang berkualitas. Selain itu, ikatan pernikahan akan menghilangkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan (setidaknya sembilan tahun), hak bermain dan menikmati waktu
luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.24
24
Noorkasiani et al. Sosiologi Keperawatan (Jakarta: EGC, 2009), hlm. 45.
25
M. Al-Mighwar. Psikologi Remaja (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2006), hlm. 68.
11
labil, gejolak darah muda, dan cara berpikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari
berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karena itu, pemerintah
hanya memberi dispensasi pernikahan di atas usia 19 tahun untuk laki-laki dan wanita.26
Pernikahan sebagai fase penting bagi seseorang adalah kebahagiaan bagi yang
menjalaninya, termasuk orangtua, keluarga, dan masyarakat. Jika pernikahan diawali
26
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 94.
27
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 95.
28
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 95.
12
dengan restu atau penerimaan semua pihak tentu akan lebih menyenangkan. Umumnya
pernikahan dini dijalankan berlandaskan keterpaksaan. Jika yang memaksa orangtua maka
anak akan menjalaninya dengan berat sehingga menimbulkan ketidakharmonisan.
Ketidakhamonisan juga terjadi pada pernikahan karena hamil di luar nikah. Jika orangtua
dan lainnya pada dasarnya tidak setuju maka akan mengalami masalah sosial tersendiri.
Setiap orang membutuhkan pengakuan dengan wujud dukungan.29
c. Budaya Masyarakat
Aspek ini biasanya merupakan faktor pendorang terjadinya pernikahan dini. Pada
golongan masyarakat tertentu pernikahan dini menjadi keharusan. Jika seseorang menyalahi
kemungkinan yang bisa terjadi adalah cemoohan dari keluarga atau masyarakat. Hal tersebut
sering kali memaksa akan untuk mengikuti adat budaya yang berlaku dan mengindahakan
segala macam cira-citanya.30
d. Status Sosial
Sama halnya dengan aspek budaya, aspek status sosial juga menjadi salah satu
pendorong terjadinya pernikahan diri. Ada beberapa kemungkinan terjadinya pernikahan
dini dilihat dari status sosial. Salah satunya adalah meningkatkan status sosial. Biasanya
pihak pria mempunyai status sosial yang lebih terpandang sehingga pihak wanita tak
berdaya menolak atau bisa juga karena pihak wanita yang ingin meningkatkan status
sosialnya.31
Aspek sosial pernikahan dini setelah pernikahan berarti interaksi sosial yang terjadi
dalam keluarga muda. Bila ditinjau dari kacamata sosiologi pernikahan dini akan membawa
pengaruh sosiak mulai lingkup individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara.
a. Miskomunikasi suami-istri
Komunikasi suami-istri sangat penting dalam menciptakan suasana rumah tangga
yang harmonis. Pasangan dengan komunikasi yang buruk akan mudah mengalami
29
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 95.
30
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 96
31
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 96
13
konflik bahkan masalah kecil bisa menjadi besar yang berdampak pada kekerasan atau
perceraian.32
b. Miskomunikasi keluarga besar
Belum siapnya aspek sosial anak khususnya dalam membangun komunikasi akan
berdampak juga pada keharmonisan dengan keluarga. Baik keluarga orangtua dan
mertua.
c. Sikap individual dan kurang toleransi
Kurang siapnya aspek sosial anak yang menjalani pernikahan dini akan membawa
sikap individual dan toleransi baik dengan pasangan, anak, orangtua, keluarga, maupun
lingkungan. Dengan sifat kekanakannya yang terbiasa disibukkan dengan egoism
membuar anak krisis rasa simpati dan empati. Hubungan sosial anak lebih kepada motif
kebutuhan pribadi. Dia menginginkan kebutuhannya terpenuhi dan tidak ada yang
merugikannya.33
2.3.4 Dampak Ekonomi
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks
dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan pernikahan seakan-akan
menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan
hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan
tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.35
32
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 97.
33
Ngiyanatul Khasanah, Pernikahan Dini: …, hlm. 97.
34
Mulyadi Fadjar. Pemberdayaan Ekonomi: Stop Pernikahan Dini (Yogyakarta: Deepublish, 2020),
hlm. 26.
35
Mulyadi Fadjar. Pemberdayaan Ekonomi: …, hlm 30.
14
2.3.5 Dampak terhadap Suami
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan
pernikahan di usia muda tidak bisa memnuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental
mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.36
Masyarakat yang telah melangsungkan pernikahan pada usia muda atau di bawah umur
akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan pernikahan
pada usia muda, pernikahan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi
wanita yang melangsungkan pernikahan di bawah umur 20 tahun, bila hamil akan mengalami
gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak yang
prematur.37
Selain berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya pernikahan di usia muda
juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila pernikahan di
antarta anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya
masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan
akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan bertambahnya biaya hidup mereka
dan yang palinng parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.38
36
Mulyadi Fadjar. Pemberdayaan Ekonomi: …, hlm. 40.
37
Mulyadi Fadjar. Pemberdayaan Ekonomi: …, hlm. 47.
38
Mulyadi Fadjar. Pemberdayaan Ekonomi: …, hlm. 51.
39
Susanti Agustina Simanjuntak et al. Perlindungan Terhadap Anak: Menghapus Pernikahan Dini di
Indonesia (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2022), hlm. 19-20.
15
f. Berat badan yang tidak naik pada trimester (masa kehamilan yang berlangsung sekitar 40
minggu) kedua hingga ketiga.
g. Bayi di kandungan gerakannya berkurang atau tidak bergerak sama sekali.
h. Anemia, yaitu kurangnya kadar hemoglobin pada darah, kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan dan perkembangn sel otak janin
dalam kandungan. Remaja putri yang hamil ketika kondisi gizinya buruk beresiko melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah sebesar 2-5 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
dilahirkan oleh wanita berusia 25-34 tahun.
i. Keguguran (abortus), yaitu berakhirnya suatu kehamilan (oleh sebab-sebab tertentu) sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu (Saifudin, 2010). Secara fisik, remaja masih terus
tumbuh. Jika kondisi mereka hamil, kalori serta zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
harus dihitung dan ditambahkan kedalam kebutuhan kalori selama hamil. Bila ibu hamil
mengalami kurang gizi maka akibat yang ditimbulkan antara lain: keguguran, bayi lahir mati,
dan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah.
j. Kanker Serviks, yaitu tumor ganas yang terbentuk di organ leher rahim reproduksi wanita
yang menghubungkan rahim dan vagina. Pernikahan usia muda meningkatkan angka kematian
ibu dan bayi, selain itu bagi perempuan meningkatkan resiko kanker serviks. Karena hubungan
seksual dilakukan pada saat anatomi sel-sel serviks belum matur.
Proses melahirkan mempunyai risiko bagi setiap perempuan. Seorang perempuan yang
melahirkan di bawah usia 20 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi. Risiko yang mungkin
terjadi adalah:
a. Prematur, yaitu kalahiran bayi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Kekurangan berbagai zat
yag diperlukan saat pertumbuhan dapat mengakibatkan semakin tingginya kelahiran prematur.
b. BBLR (berat badan lahir rendah), yaitu berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
Remaja putri yang mulai hamil ketika kondisi gizinya buruk berisiko melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah sebesar 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
berstatus gizi baik.
40
Kementerian Kesehatan RI. Kesehatan Reproduksi dan Seksual Bagi Calon Pengantin (Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2014), hlm. 109.
16
2.4 Pencegahan
Menurut Noorkasiani, dkk, (2009) upaya untuk menanggulangi pernikahan usia muda
antara lain:41
a) Remaja yang belum berkeluarga dapat diberikan pengarahan melalui kegiatan pendidikan
dalam arti meningkatkan pengetahuan remaja tentang arti dan peran pernikahan serta akibat
negatif yang ditimbulkan pernikahan pada usia yang sangat muda dengan melakukan kegiatan
yang positif.
b) Remaja yang telah berkeluarga yaitu mencegah remaja berkeluarga agar tidak segera hamil,
salah satunya dengan kegiatan pendidikan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
muda.
41
Noorkasiani et al. Sosiologi Keperawatan (Jakarta: EGC, 2009), hlm. 98.
42
N. Sahrizal et al. Pencegahan Perkawinan Anak: …, hlm. 141.
17
menyampaikan bahwa jika dalam ketahanan keluarga memiliki penyakit kronis atau cacat
justru dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan waktu untuk memperdalam hubungan dengan
orang terkasih.43
Menurut Frankenberger (dalam N. Sahrizal, 2016):44
“Ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) adalah kondisi kecukupan
dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan,
perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat dan integrasi sosial.”
Dari penjelasan tersebut berarti bahwa ketahanan keluarga merupakan sebuah kondisi
stabil yang dapat diciptakan oleh sebuah keluarga. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari semua
kebutuhan dasar dapat terpenuhi dengan baik tanpa adanya kekurangan.
Ketahanan keluarga juga berarti kemampuan keluarga untuk melindungi diri dari
berbagai permasalahan dan ancaman yang dapat mengganggu keutuhan keluarga. Dalam
membangun ketahanan keluarga ada 3 faktor laten, yaitu ketahanan fisik-ekonomi, ketahanan
sosial, dan ketahanan psikologis. Selain itu terdapat lima indikasi yang menggambarkan tingkat
ketahanan keluarga di antaranya;45
1) adanya sikap saling melayani sebagai tanda kemuliaan;
2) adanya keakraban antara suami dan istri menuju kualitas pernikahan yang baik;
3) adanya orang tua yang mengajar dan melatih anak-anaknya dengan berbagai tantangan
kreatif, pelatihan yang konsisten dan mengembangkan keterampilan;
4) adanya suami dan istri yang memimpin seluruh anggora keluarganya dengan penuh kasih
sayang; dan
5) adanya anak-anak yang menaati dan menghormati orang tuanya.
Ketahanan keluarga ini mengandung aspek yang bertujuan untuk pengembangan
individu didalam keluarga maupun keluarga secara keseluruhan. Lebih luasnya, ketahanan
keluarga bisa disebut sebagai ketahanan sosial karena keluarga merupakan unit terkecil dalam
sistem sosial. Lingkup ketahanan keluarga itu sendiri mencakup seluruh aspek mengenai
pemenuhan peran, fungsi, tugas keluarga dan bagaimana keluarga berinteraksi.46
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009, ketahanan keluarga dapat diukur
dengan menggunakan pendekatan sistem yang didalamnya meliputi sumber daya fisik dan non
43
N. Sahrizal et al. Pencegahan Perkawinan Anak: …, hlm. 151.
44
N. Sahrizal et al. Pencegahan Perkawinan Anak: …, hlm. 152.
45
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini
Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2020), hlm. 55.
46
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: …, hlm. 88.
18
fisik (komponen input), proses manajemen keluarga (permasalahan keluarga dan mekanisme
penanggulangannya) dan terpenuhinya kebutuhan fisik dan psiko-sosial. Dari pendekatan
sistem ini, berarti bahwa ketahanan keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam
memecahkan masalahnya dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki.
Keluarga dapat memiliki tingkat ketahanan keluarga yang baik apabila sudah
memenuhi aspek-aspek berikut ini;
1) ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan
kesehatan;
2) ketahanan sosial yaitu berorientasi pada nilai agama dan komitmen keluarga tinggi;
3) ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah non fisik, pengendalian
emosi secara positif, konsep diri positif dan kepedulian suami terhadap istri.
Dalam membangun ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga terdapat faktor
pendukung, diantaranya kesiapan untuk melakukan pernikahan, keberfungsian, pemenuhan
tugas, pengelolaan sumber daya, pengelolaan stress, pencegahan dan prediksi kerentanan, dan
peningkatan kelentingan keluarga (Sunarti, 2018). Faktor-faktor ketahanan keluarga ini juga
bisa menjadi sebuah prasyarat dalam membentuk ketahanan keluarga, salah satunya adalah
kesiapan untuk melakukan pernikahan.47
Ciri-ciri dari ketahanan keluarga secara garis besar adalah sikap melayani, keakraban
pasangan, orang tua yang mengajari anaknya, anak-anak yang menghormati orang tuanya, jiwa
altruism antar anggota keluarga, pemeliharaan hubungan anggota keluarga, lingkungan positif
yang tercipta dalam suatu keluarga, dll (Puspitawati, Herawati, & Sarma, 2018). Orientasi
ketahanan keluarga dilihat berdasarkan keyakinan bahwa semua keluarga memiliki kekuatan
dan potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi faktor perlindungan dan pemulihan
keluarga guna mengamankan sumber daya serta menumbuhkan ketahanan keluarga.48
Dalam membangun ketahanan keluarga, pasti banyak yang menjelaskan tentang ciri-
ciri ketahanan keluarga, di Indonesia sendiri mengacu pada indikator yang tertera dalam
peraturan menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang pelaksanaan pembangunan keluarga
terdapat 5 dimensi yang menjadi sebuah indikator ketahanan keluarga, di antaranya;49
1) landasan legalitas dan keutuhan keluarga yang terdiri dari 3 variabel (landasan legalitas,
keutuhan keluarga, kemitraan gender);
47
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: …, hlm 102.
48
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: …, hlm 105.
49
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: …, hlm 121.
19
2) ketahanan fisik yang terdiri dari 3 variabel (kecukupan pangan dan gizi, kesehatan keluarga,
ketersediaan lokasi tetap untuk tidur);
3) ketahanan ekonomi, terdiri dari 4 variabel (tempat tinggal keluarga, pendapatan keluarga,
pembiayaan pendidikan anak, jaminan keuangan keluarga);
4) ketahanan sosial-psikologis, terdiri dari 2 variabel (keharmonisan keluarga, kepatuhan
terhadap hukum);
5) ketahanan sosial-budaya, terdiri dari 3 variabel (kepedulian sosial, keeratan sosial, ketaatan
beragama).
Ketahanan keluarga yang dibangun dapat dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimiliki
oleh keluarga, karena dalam membangun sebuah ketahanan keluarga dibutuhkannya
kemampuan untuk memecahkan masalah ketika ada ancaman didalam keluarganya, sehingga
akan berpengaruh pada pengambilan keputusan. Jika seseoranng yang memiliki tingkat
pendidikan yang baik maka ia bisa menggunakan kemampuannya dengan baik dan mempunyai
pola pikir yang bisa memecahkan masalah dengan sangat baik.
Berdasarkan konsep-konsep mengenai ketahanan keluarga yang sudah dijelaskan,
maka dapat disimpulkan bahwa ketahanan keluarga itu ialah kondisi dimana kebutuhan dasar
dapat terpenuhi dan adanya kemampuan untuk bisa melindungi diri dari berbagai permasalahan
yang mengancam keluarganya baik internal maupun eksternal, namun tidak hanya kemampuan
untuk melindungi diri saja, tetapi juga bisa memecahkan masalah yang bisa datang dari mana
saja. 50
Idealnya, untuk membetuk ketahanan keluarga bisa dimulai dari individunya, yaitu
kesiapan menikah. Pada dasarnya kesiapan menikah sama dengan kesiapan untuk berkeluarga,
karena kesiapan menikah ialah suatu kondisi fisik maupun non fisik seorang individu untuk
membangun keluarga dengan segala dinamika yang ada agar tujuannya tercapai. Kesiapan
menikah menjadi sebuah faktor utama ketika seseorang memutuskan untuk melakukan
pernikahan, karena jika seseorang sudah menikah maka keberfungsian keluarganya akan
semakin baik.
Ketahanan keluarga tercipta jika kesiapan menikah semakin matang. Jika merujuk pada
konsep dari ketahanan keluarga yang berarti kondisi stabil yang dapat diciptakan oleh sebuah
keluarga maka, kesiapan menikah yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melakukan
pernikahan adalah kesiapan yang meliputi spiritual, emosi, sosial, financial, fisik, peran,
seksual dan usia. Sebab, kesiapan-kesiapan tersebut akan mempengaruhi ketahanan keluarga
50
Erma Fatmawati. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: …, hlm 115.
20
yang akan dibentuk. Jika seseorang sudah memiliki kesiapan menikah dengan baik maka
ketahanan keluarga akan mudah tercapai.51
2.6 Dampak Pernikahan Dini Terhadap Keutuhan Rumah Tangga
Pernikahan usia muda di Indonesia masih menjadi sebuah polemik, karena melihat dari
data yang ada disetiap tahunnya angka pernikahan usia muda ini terus meningkat walaupun
tidak tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan di
Indonesia telah melakukan pernikahan pada umur dibawah 18 tahun pada 2008 sampai 2015.
Sudah tercatat bahwa sekitar 1.348.886 anak perempuan yang melakukan pernikahan dibawah
usia 18 tahun pada 2012. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 300.000 anak perempuan yang
telah kawin dibawah usia 16 tahun.52
Data lainnya memiliki perbedaan dengan BPS, yaitu data SDKI menunjukkan bahwa
17% anak perempuan yang berada pada prevalensi usia 20-24 tahun sudah kawin sebelum usia
18 tahun, yang berarti hal ini digolongakan sebagai pernikahan anak. data dari SUSENAS pada
tahun 2012, setidaknya ada 25% perempuan pada prevalensi usia 20-24 tahun yang telah
melakukan pernikahan pada usia dibawah 18 tahun atau pernikahan anak.53
Adanya permasalahan mengenai pernikahan usia muda yang masih terjadi di Indonesia,
maka tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perceraian yang diakibatkan dari adanya
pernikahan muda ini. Jika kita merujuk kepada salah satu prasyarat ketahanan keluarga yang
menyatakan bahwa kesiapan menikah menjadi salah satu syarat untuk bisa membangun
ketahanan keluarga, maka tidak heran apabila tingkat perceraian di Indonesia menjadi tinggi
karena masih banyaknya pernikahan muda yang terjadi di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menyumbang angka perceraian yang
tinggi. Misalnya kasus yang terjadi di Kabupaten Mojokerto, dilansir dari detik.com
menjelaskan bahwa kasus pernikahan usia muda yang terjadi di Kabupaten Mojokerto cukup
memprihatinkan. Dalam kurun waktu Januari-Agustus 2019 tercatat ada 90 kasus pernikahan
anak dibawah umur yang dilakukan pada umur 16 tahun untuk perempuan dan dibawah 18
tahun untuk pria. Kemudian, pernikahan muda dilakukan karena terjadinya hamil diluar nikah
sebanyak 52 kasus. Sementara, kasus perceraian yang terjadi sepanjang Agustus 2019 sebanyak
2.472 kasus dan tahun 2018 sebanyak 2.992 kasus. Ribuan kasus itu, paling banyak dilakukan
oleh pasangan muda dengan rentang usia 20-30 tahun. Selain di Kabupaten Mojokerto,
51
A. Burns, et al. Pemberdayaan Wanita …, hlm. 78.
52
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 83.
53
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 85.
21
pengadilan Medan juga sudah menangani sekitar 308 kasus perceraian dini sepanjang tahun
2018.54
Kasus-kasus perceraian dari hasil pernikahan muda ini dapat menjelaskan bahwa
pernikahan muda di Indonesia sangat berpengaruh dalam ketahanan keluarga yang dibangun
sehingga berujung pada perceraian muda. Ketahanan keluarga yang dibangun menjadi keropos
disebabkan oleh berbagai permasalahan atau faktor-faktor lainnya yang akhirnya berujung
pada perceraian.55
Jika merujuk pada konsep ketahanan keluarga yang menjelaskan bahwa didalam suatu
keluarga perlu adanya kemampuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan ancaman
yang dihadapi baik itu dari dalam maupun dari luar, maka ketahanan keluarga yang dibangun
dari pernikahan muda ini belum mencapai konsep dari ketahanan keluarga itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena mereka belum memiliki pengetahuan mengenai membangun sebuah rumah
tangga. Apalagi, pernikahan muda ini mengharuskan mereka untuk berhenti sekolah sehingga
pengetahuan yang dimiliki pun terbatas.56
Prasyarat untuk membangun ketahanan keluarga sangat tergambarkan pada kasus
pernikahan muda ini. Kebanyakan pernikahan muda yang dilakukan berbagai daerah belum
memenuhi prasyarat tersebut salah satunya kesiapan menikah. Faktanya, seseorang melakukan
pernikahan bukan atas dasar dirinya telah siap untuk menikah akan tetapi didasari oleh berbagai
faktor pernikahan usia muda yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari segi psikologisnya,
seseorang yang sudah kawin diusia muda pada dasarnya belum memiliki kesiapan mental.
Kondisi emosionalnya yang masih mendominasi tentu akan mempengaruhinya dalam
membangun ketahanan keluarga. Sehingga, menyebabkan pernikahan usia muda tidak berjalan
dengan harmonis.57
Selain itu, pasangan yang melakukan pernikahan dini ini hanya mengutamakan
kesiapan fisiknya saja, tanpa memperhatikan kesiapan secara sosial, spiritual, emosional dan
ekonomi. Maka, sudah pasti seseorang yang kawin muda belum siap untuk menanggung resiko
dan konsekuensi untuk ke depannya. Sehingga tidak adanya visi ataupun tujuan dalam
membangun rumah tangganya. Kesiapan fisik berarti juga belum siap untuk memikul beban
menjadi orang tua.58
54
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 98.
55
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 99.
56
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 101.
57
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 103.
58
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 105.
22
Ketahanan keluarga juga tidak dapat dicapai apabila pasangan suami istri tidak paham
atau tidak mengerti apa perannya dalam membangun ketahanan keluarga. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor pendukung ketahanan keluarga adalah
pemenuhan tugas dalam rumah tangga. Merujuk pada teori struktural-fungsional, berarti bahwa
seseorang yang melakukan pernikahan muda berarti belum berhasil dalam membangun sebuah
keluarga. Karena, mereka belum paham apa peran serta fungsi mereka dalam keluarganya. Hal
ini dibuktikan dengan pernyataan dari seorang istri yang kawin muda menyatakan bahwa
dirinya belum paham mengenai tugas yang akan ia emban dan tidak sanggup untuk
mengerjakannya.59
Pernikahan muda tentu saja akan berpengaruh pada ketahanan keluarga, karena mereka
perlu mempunyai kemmampuan resiliensi agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Akan tetapi, yang terjadi adalah pasangan yang telah
memutuskan untuk melakukan pernikahan muda tentunya masih banyak yang belum mampu
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika merujuk pada Peraturan Menteri PPPA Nomor 6
Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, yang menyebutkan bahwa konsep
ketahanan keluarga salah satunya adalah ketahanan ekonomi. Salah satu konsep ini dapat kita
analisis untuk melihat kondisi keluarga dari pasangan yang kawin muda.60
Ketahanan ekonomi dapat digambarkan ketika kemampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhannya demi bisa melangsungkan kehidupannya dengan nyaman dan
berkesinambungan. Kehidupan yang nyaman berarti memiliki rumah yang layak dan
berkesinambungan berarti keluarga tersebut selalu memiliki pendapatan dalam jumlah yang
mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Namun, jika melihat realitanya pembangunan keluarga
dan ketahanan keluarga yang menjadi masalah dan tantangan khususnya bagi pasangan yang
telah menikah muda.61
Jika ditelaah, ketahanan keluarga yang dibangun sangat mudah keropos. Salah satunya
ketahanan ekonomi yang merupakan bagian dari ketahanan keluarga. Pasangan yang telah
kawin muda banyak yang belum bisa memenuhi kebutuhan hidup yang berkesinambungan,
dalam hal ini berarti pendapatan. Seperti yang terjadi dibeberapa daerah contohnya di
Sukabumi. Perempuan yang telah melakukan pernikahan usia muda menyatakan bahwa
ekonomi keluarganya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini
59
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 112.
60
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 119.
61
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 120.
23
dikarenakan usia mereka yang masih sangat muda menyebabkan pendapatan yang mereka
terima tidak selalu memenuhi kebutuhan hidupnya.62
Ketahanan ekonomi yang tidak dapat dipenuhi sebagai akibat dari terbatasnya
pendidikan yang dimiliki oleh pasangan suami dan istrinya. Sehingga menyebabkan belum
adanya pekerjaan yang menjamin dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya, tentu akan memunculkan
konflik didalam rumah tangga sehingga akan membuat konsep dari ketahanan keluarga itu akan
runtuh lagi, yaitu ketahanan sosial-psikologis. Pasangan yang menikah diusia muda tentu
belum memiliki emosi yang stabil apalagi dalam memecahkan masalah. Maka, apabila hal ini
terjadi maka ketahanan keluarga yang dibangun belum kuat.63
Ketahanan ekonomi ini menjadi sebuah faktor utama yang menyebabkan ketahanan
keluarga dari pernikahan usia muda menjadi roboh. Jika ada salah satu konsep ketahanan
keluarga yang tidak dapat dipenuhi, tentunya tidak akan terciptanya berpengaruh ke konsep
ketahanan keluarga yang lain hingga menyebabkan tidak harmonisnya hubungan sebuah
keluarga. Pernikahan muda berpengaruh terhadap ketahanan keluarga agar meningkatkan taraf
kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Namun, apabila kenyataannya adalah
kondisi yang tercipta tidak membuat nyaman, aman, tentram dan tidak terpenuhi ketahanan
fisik-ekonomi, sosial dan psikologis maka ketahanan keluarga yang dibangun belum mencapai
kondisi yang stabil.64
62
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 123.
63
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 125.
64
E. Fadlyana dan S. Larasaty, Pernikahan Usia Dini …, hlm. 128.
24
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan usia muda masih menjadi sebuah polemik di Indonesia karena rentan
terjadi perceraian akibat belum stabil kondisi psikologis yang dimiliki oleh pasangan muda
tersebut. Sehingga, perkawinan usia muda ini berdampak pada ketahanan keluarga yang
dibangun. Usia muda masih memiliki kerentanan dalam sisi psikologisnya, emosi yang
ketidaksiapan mental yang dimiliki dan tingkat emosi yang masih tinggi menyebabkan
ketahanan keluarga menjadi keropos.
Selain itu, jika melihat fakta lapangannya banyak diantara pasangan muda ini
melakukan perkawinan tidak atas dasar prasyarat ketahanan keluarga itu sendiri, melainkan
hanya kesiapan dari segi fisiknya saja. Padahal kesiapan menikah berarti adalah kesiapan untuk
membangun keluarga yang tentunya hal ini dijadikan sebagai pondasi untuk membangun
ketahanan keluarga. Perkawinan usia muda dilakukan setelah memutuskan untuk berhenti
sekolah maka pendidikan maupun pengetahuan yang dimiliki terbatas. Khususnya mengenai
dampak-dampak perkawinan muda ini. Hal ini akan berpengaruh terhadap konsep ketahanan
keluarga yaitu ketahanan ekonomi. Putus sekolah akan menyebabkan keluarga tersebut tidak
memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tidak
tercapainya ketahanan ekonomi yang berkesinambungan.
Kasus perkawinan muda di Indonesia ini memang perlu segera diatasi melalui
pemberian edukasi terhadap murid-murid yang bersekolah agar memahami betul dampak-
dampak yang akan didapatkan ketika melakukan perkawinan muda. Selain perkawinan muda
perlu juga adanya edukasi tentang bagaimana membangun ketahanan keluarga agar
menghasilkan keluarga yang berkualitas agar tidak ada lagi yang memaknai perkawinan hanya
sebatas memiliki anak saja dan juga memiliki kesiapan menikah yang sangat matang, tidak
hanya memiliki kesiapan secara fisik saja, aspek-aspek yang lain perlu diperhatikan dengan
tujuan menghasilkan keluarga yang sejahtera.
Pernikahan dini selain menimbulkan konsekuensi bagi anak atau remaja perempuan,
juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan oleh pasangan yang melakukan pernikahan
dini. Pada saat anak atau remaja perempuan yang masih dalam proses pertumbuhan mengalami
proses kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat
badan ibu hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi,
serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi
25
yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 20 tahun adalah prematur. Anatomi panggul yang
masih dalam pertumbuhan berisiko untuk terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan
angka kematian bayi dan kematian neonatus. Depresi pada saat berlangsungnya kehamilan
berisiko terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi yang membahayakan janin maupun ibu yang mengandungnya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini
berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan
cenderung menjadi orangtua pula di usia dini. Berbagai konsekuensi dari pernikahan dini yang
dimungkinkan untuk dialami oleh pasangan yang menikah dini menjadi suatu hambatan
tersendiri bagi pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
26
Daftar Pustaka
Ariyani, D. dan S. Wawan. Pengetahuan Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha
Medika, 2011.
Fatmawati, Erma. Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini
Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2020.
Kementerian Kesehatan RI. Kesehatan Reproduksi dan Seksual Bagi Calon Pengantin. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2014.
Larasaty, S. dan E. Fadlyana. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Yogyakarta: Sari
Pediatri, 2016.
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2016.
Sahrizal, N. et al. Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda.
Jakarta: PUSKAPA, 2020.
Yunianto, Catur. Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Perkawinan. Bandung: Nusa
Media, 2018.
27