MAKALAH
Disusun oleh :
B. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru
akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan
organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah
hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara
isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan)
terhadap seorang anak.
Dokter spesialis obseteri dan ginekologi dr Deradjat Mucharram Sastraikarta
Sp OG yang berpraktek di klinik spesialis Tribrata Polri mengatakan pernikahan pada
anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak pada tempatnya.
”Apa alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu
matang fisik maupun psikologis”. Kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan
kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor
dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk berhubungan seks.
Ia memanbahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun.
Namun psikologisnya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari
tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan
berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak akan lurus di dalam
perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum matang dan belum
berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.
C. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang
sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9
tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang
melekat dalam diri anak.
Menurut psikolog dibidang psikologi anak Rudangta Ariani Sembiring Psi,
mengatakan ”sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu
pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggungjawab yang harus diemban
seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah
cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalan baik ekonami,
pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum
cukup mampu menyelesaikan permasalan secara matang”.
Ditambahkan Rudangta, ”Sebenarnya kalau kematangan psikologis tidak
ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti
anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa”. Kondisi
kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap
pola asuh anak di kemudian hari. ” yang namanya mendidik anak itu perlu
pendewasaan diri untuk dapat memahami anak. Karena kalau masik kenak-kanakan,
maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa
terbebani karena satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia
harus mengurusi keluarganya”.
D. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah
dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan
dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati
perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya
patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
c. Pasal 9 ayat 1
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya,
d. Pasal 11
setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demipengembangan diri,
e. Pasal 13 ayat 1
setiap anak selama dalam pengasuhanorang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab ataspengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
(a) diskriminasi
(b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
(c) penelantaran
(d) kekejaman,kekerasan, dan penganiayaan
(e) ketidakadilan
(f) perlakuan salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
terhadap anak seperti yang tertulis di f. UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26ayat 1
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
(a) mengasuh,memelihara, mendidik, dan melindungi anak
(b) menumbuhkembangkan anaksesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya
(c) mencegah terjadinyaperkawinan pada usia anak-anak.
Pada 2006 jumlahnya 12, 2007 ada 6, 2008 sebanyak 21 anak, 2009
sebanyak 31 anak dan 2010 sampai dengan Juli jumlah anak menikah usia dini
sebanyak 28, kata Sekretaris Cabang KPI Rembang, Iin Arinta Fahadiana dalam
Diskusi Publik Refleksi Hari Anak Nasional dengan tema 'Perkawinan Anak, Salah
Siapa' di Gedung BPPT,Thamrin, Jakarta, kemarin.
Sementara data lain menunjukkan, ada beberapa penyebab terjadinya
pernikahan anak usia dini. DR Sukron Kamil, salah seorang peneliti dari UIN
menyatakan, 62 persen wanita menikah karena hamil, 21 persen pernikahan karena
ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan dan sisanya karena dipaksa
orangtua dan karena status sosial.
Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi
di Indonesia terutama di pedesaan, mungkin, kita masih ingat beberapa tahun lalu
dan sampai menjadi konsumsi media nasional adalah pernikahan Ulfa yang waktu itu
masih berumur 12 tahun dengan Pujiono yang berusia 46 tahun.
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal
26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan
bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak-anak.
Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan
keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak
yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak
anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak
untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya
keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.
Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas
dasar factor ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin
beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di
bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat
membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun
negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur.
Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan”
atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset
keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas
dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi agama.
Adanya gambaran fenomena tersebut diatas, beberapa hal yang harus
dilakukan dalam memberikan perlindungan anak secara komprehensif adalah:
Memberikan pemahaman kepada keluarga dan masyarakat tentang hak-hak anak
yang melekat pada diri seorang anak itu sendiri; Memberikan pemahaman tentang
kesehatan reproduksi sejak anak-anak; Mendorong keluarga dan masyarakat untuk
menciptakan lingkungan yang ramah anak; Adanya kebijakan negara yang lebih
melindungi hak anak terutama dalam peraturan tentang persoalan pernikahan anak
di bawah umur.
Satu hal yang juga harus menjadi perhatian bersama adalah mengedepankan
kepentingan terbaik bagi anak dalam memberikan hak pendidikan, hak tumbuh
kembang, hak bermain, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, segala
bentuk eksploitasi, dan diskriminasi. Serta yang paling penting adalah menempatkan
posisi anak pada dunia anak itu sendiri untuk berkembang sesuai dengan usia
perkembangan anak
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur lebih bayak mudharat dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut
ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan
menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau harus memahami peraturan
perundang-undangan untuk melindungi anak.
Namun dilain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi
agama terutama dari sisi agama Islam. Karena menurut Agama Islam jika dengan
menikah muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur
kemaksiatan maka menikah adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan
menunda pernikahan sampai usia matang mengandung nilai positif maka hal ini
adalah lebih utama.
3.2 Saran
Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur
a k a n semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta dalam
pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar
mereka. K e r j a s a m a a n t a r a p e m e r i n t a h d a n m a s y a r a k a t
m e r u p a k a n j u r u s t e r a m p u h sementara ini untuk mencegah terjadinya
pernikahan anak di bawah umur s e h i n g g a k e d e p a n n y a d i h a r a p k a n
t i d a k a k a n a d a l a g i a n a k y a n g m e n j a d i korban akibat pernikahan tersebut
dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
DAFTAR PUSTAKA
· (http://nyna0626.blogspot.com/2008/10/pernikahan-dini-pada-kalangan-remaja-
15.html : 28/03/2012, 00:20 WIB)
· (http://macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/pernikahan-dini; 28/03/2012, 00:24
WIB)
· (http://nyna0626.blogspot.com/2008/10/pernikahan-dini-pada-kalangan-remaja-
15.html : 28/03/2012, 00:20 WIB)
· (http://macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/pernikahan-dini; 28/03/2012, 00:24
WIB)