Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan dini banyak terjadi dari dahulu sampai sekarang.
Kebanyakan para pelaku pernikahan dini tersebut adalah remaja desa yang
memiliki tingkat pendidikan kurang. Remaja desa kebanyakan malu untuk
menikah pada umur 20 tahun keatas. Anggapan remaja desa lebih
memungkinkan untuk menikah diusia muda karena disana ada anggapan atau
mitos bahwa perempuan yang berumur 20 tahun keatas belum menikah berarti
“Perawan Tua”. Persoalan mendasar dari seorang anak perempuan yaitu
ketika dia memasuki usia dewasa, banyak orang tua menginginkan anaknya
untuk tidak menjadi perawan tua. Menjadi perawan tua bagi kebanyakan
masyarakat dianggap sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri
perempuan. Untuk itu, dalam bayangan ketakutan yang tidak beralasan
banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda. Kondisi itulah
yang menjadikan timbulnya persepsi bahwa remaja desa akan lebih dulu
menikah dari pada remaja kota. Anggapan-anggapan tersebut muncul karena
kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai pentingnya pendidikan
bagi remaja
Pernikahan usia dini akan berdampak pada kualitas anak, keluarga,
keharmonisan keluarga dan perceraian. Karena pada masa tersebut, ego
remaja masih tinggi.Dilihat dari aspek pendidikan, remaja Di Dusun Nglamuk
mayoritas lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas (SMA). Kebanyakan dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi, dikarenakan faktor sosial budaya dan tingkat pendidikan rata-rata
orang tua mereka juga rendah, sehingga kurang mendukung anak melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apa paktor penyebab seseorang melakukan pernikahan dini ?
2. Apa dampak positif dan negative dari pernikahan dini ?
3. Bagaimana pandangan agama islam terhadap pernikahan dini?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Agar lebih mengetahui penyebab seseorang melakukan pernikahan dini
2. Agar lebih mengetahui dampak positif dan negative dari pernikahan dini
3. Agar lebih mengetahui Bagaimana pandangan agama islam terhadap
pernikahan dini

1.4 Manfaat Penulisan


1. Manfaat Bagi penulis
Dengan ditugaskannya makalah ini penulis lebih memahami dan
mengetahui tentang pembuatan makalah yang baik dan benar, dan
menambah wawasan tentang pernikahan dini dan dampak yang di
timbulkannya.
2. Manfaat bagi pembaca
a. Remaja
Dengan lebih mengetahui dan memahami tentang dampak yang
ditimbulkan oleh pernikahan dini, diharapkan juga dapat menekan
angka pernikahan dini di kalangan remaja.
b. Masyarakat
Dengan adanya makalah ini, masyarakat bisa lebih memahami,
mengetahui dan sadar atas dampak yang ditimbulkan oleh
pernikahan dini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pernikahan Dini


Istilah pernikahan dini atau pernikahan muda ini sebenarnya tidak
dikenal dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) tetapi yang lebih
popular adalah pernikahan di bawah umur yaitu pernikahan pada usia dimana
seseorang tersebut belum mencapai dewasa (Koro, 2012: 72). Umumnya
pernikahan ini dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang belum mencapai
taraf ideal untuk melangsungkan suatu pernikahan. Bisa dikatakan mereka
belum mapan secara emosioal, financial, serta belum siap secara fisik dan
psikis.
Dalam istilah Internasional pernikahan dini dikenal dengan child
marriage atau early marriage, adalah pernikahan yang terjadi pada anak di
bawah usia 18 tahun. Pembatasan dalam angka 18 ini sesuai dengan batas usia
perlindungan anak yang ditetapkan dalam konvensi Hak-hak Anak
International (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1989.
(Justice for Iran, 2013: 13)
Majlis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan dini adalah perkawinan
yang dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun satu diatara
kedua mempelainya belum balig dan secara psikis belum siap menjalankan
tanggung jawab kerumahtanggaan (Imron, 2013: 256). Dalam kajian fiqh
juga takaran balig bagi laki-laki yaitu mimpi basah, apabila batasan balig itu
ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan diusia muda (belia)
adalah pernikahan di bawah umur 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh, di
bawah umur 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.(Muhammad, 2001: 68)
Sekalipun ada kesepakatan dalam definisi pernikahan, namun batasan
usia masih menjadi hal yang kerap kali diperdebatkan. Mengenai hal ini akan
dibahas lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.

3
2.2. Faktor Penyebab Pernikahan Dini
Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari
perkawinan usia muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda,
baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan
anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono
disebabkan oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki
apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam
keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya)
(Soekanto, 1992 : 65).
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan
masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur.

4
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern
kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

2.3. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini


2.3.1. Dampak positif
a. Dukungan emosional
Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan
emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan keuangan
Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi
menjadi lebih menghemat.
c. Kebebasan yang lebih
Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas
melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka
secara finansial dan emosional.
d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini
Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung
jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini
mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada
orang tua.
e. Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

5
2.3.2. Dampak negative
a. Dari segi Pendidikan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang
yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda,
tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia
pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang
melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu
keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh
pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat
terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan
mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka
lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat
menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita
yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai
pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan
demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang
dimilikinya.
b. Dari segi kesehatan
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit
Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan,
perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki
banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid.
Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini
ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit
kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini,
antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini
terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa
yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang
tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.

6
c. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan,
Rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim
adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau
16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia
19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35
tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan
terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur
di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat
keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang
melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan
kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini
akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir
masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah
umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai
bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat
mengalami trauma.
d. Dari segi psikologi
Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan
dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan
oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang
belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya
memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya,
pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita.

2.4. Pandangan Agama Islam Terhadap Pernikahan Dini


Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal
Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al
nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan
bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan

7
legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak
mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan
semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan
dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-undang
Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini
menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,
pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum
baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno
yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut
kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya
benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons
kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama
melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya,
nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak
yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.
Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada.
Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat
itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan
khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan
dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4.
Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi
dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang
lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan

8
ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat
rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup
menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara
yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada
jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara/kafaah”. Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis
bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak
segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas
orang tuanya”.
Dalam agama Islam, tentang usia pernikahan telah di sebutkan dalam
sebuah hadis yang pernah dikatakan oleh Ibnu Mas ud, Aku pernah
mendengar Rosulullah SAW. Bersabda Wahai para pemuda, barangsiapa
diantara kalian mencapai ba‟ah, kawinlah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan kemaluan. Dan
barang siap belum mampu melaksanakanya, hendaklah ia berpuasa karena
sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual” (HR.
Bukhari). Dalam hadis ini, Rasulullah saw. Menggunakan kata syabab yang
sering dimaknai sebagai pemuda. Syabab adalah seorang yang telah mencapai
masa aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Masa aqil
baligh umumnya telah dialami oleh tiap orang pada rentang usia sekitar 14-
17 tahun. Generasi yang lahir pada zaman kita banyak yang telah memiliki
kemasakan seksual, tetapi belum meiliki kedewasaan berpikir. (Adhim, 2002,
pp. 46-47)
Menurut yang menganut madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Syafiiyah baligh untuk laki-laki adalah ketika sudah mengalami mimpi basah
dan untuk perempuan, ketika sudah mengalami haid dan dapat hamil.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, jika tanda-tanda itu belum muncul, maka
batasan menurut usia 18 tahun untuk lakilaki, dan 17 tahun untuk perempuan.
Sedangkan Imam Syafii memberi batasan 15 tahun untuk laki laki, dan 9
tahun untuk perempuan. Dalam menentukan diperbolehkanya seseorang
melakukan perkawinan, ahli fiqih juga berbeda pendapat dalam hal syarat

9
baligh. Menurut Imam Maliki dan Syafii, mensyaratkan harus baligh bagi
laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan perkawinan, sedangkan
menurut Imam Hanafi tidak ada syarat baligh dalam perkawinan, karena
adanya hak ijbar. Sedangkan undang-undang perkawinan di Indonesia
mensyaratkan batas minimum usia pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-
laki dan 16 tahun untuk perempuan. Walaupun pernikahan itu adalah urusan
pribadi yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah,
namun demi menghindari pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dan
untuk kestabilan sosial, maka pemerintahpun berhak untuk membuat
peraturan yang berkaitan dengan masalah ini. Melihat kerugian yang timbul
akibat pernikahan usia dini cukup besar utamanya terkait kehidupan rumah
tangga yang akan dijalani serta kehidupan bermasyarakat, maka pemerintah
berhak membuat persyaratan batas minimum pada usia pernikahan
sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun
1974 pasal 7 ayat (1) dan KHI pasal 15 ayat (1) yang bertujuan untuk menjaga
kemaslahatan keluarga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hal
ini sesuai dengan kaidah ushul maslahah mursalah yaitu dengan asumsi
bahwa hukum ini hanyalah alat yang tujuan akhirnya adalah untuk
menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Kesalahan yang fatal
manakala hanya mempertahankan materi hukum yang ada sedangkan
kemaslahatan umat terabaikan. (Rohmat, 2009, pp. 16- 8)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal pernikahan dini.
Golongan pertama menolak dengan tegas pernikahan di bawah umur.
Sementara golongan kedua membolehkan dengan adanya syarat tertentu
seperti kafa’ah dan kemaslahatan. Golongan yang ketiga membedakan antara
anak laki-laki dan perempuan, yakni tidak boleh bagi anak laki-lakitapi boleh
bagi perempuan dengan berdasar pada hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika
menikah dengan Nabi Saw.
Diantara ulama’ yang masuk golongan pertama adalah Ibnu
Syubrumah, Abu Bakar al A’sham dan al-Butty. Ketiganya menolak
pernikahan di bawah umur dengan berdasar pada surat an-Nisa’ ayat 6 Yang
artinya “sampai mereka cukup umur untuk kawin”. Ketiganya juga

10
berpendapat bahwa pernikahan anak di bawah umur tidak membawa faidah.
Menikahkan anak kecil juga dianggap tidak sah dan batal pernikahannya
ketika mereka sudah balig. (Zuhaili, 2007: 174)
Sementara itu, Imam Syafi’i membolehkan pernikahan di bawah umur
apabila didalamnya terdapat kemaslahatan. Lebih lanjut, Imam Syafi’I juga
menegaskan bahwa hanya Ayah dan Kakek yang boleh menikahkan anak usia
dini, dan itu pun harus melalui izin sang anak. Apabila seorang ayah
menikahkan anak kecil tanpa seizin anak tersebut, maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi:
1. Tidak adanya permusuhan atau kebencian yang nyata antara anak
perempuan dengan calon suaminya.
2. Menikahkan dengan laki-laki yang sekufu dengan anaknya.
3. Menikahkannya dengan calon suami yang mampu memberi mahar
yang pantas
4. Mahar harus merupakan mata uang Negara tersebut
5. Suami jangan sampai kesulitan memberikan mahar
6. Tidak menikahkan dengan laki-laki yang menjadikannya menderita
dalam pergaulan, seperti dengan laki-laki tuna netra, tua renta, dan
sebagainya.
Berbeda dengan Imam Syafi’i yang membolehkan secara bersyarat,
Imam Hanafi berpendapat bahwa para wali berhak untuk menikahkan anak-
anaknya yang masih di bawah umur tanpa perlu meminta izin kepada anak
tersebut. Pernyataan ini senada dengan pendapat beliau yang menyatakan
bahwa hak ijbar (paksa) wali hanya diberlakukan bagi anak di bawah umur,
bukan anak yang sudah dewasa ataupun janda. (Zuhaili, 2007: 174)
Sedangkan diantara ulama yang membedakan antara pernikahan dini
bagi anak laki-laki dan anak perempuan adalah Ibnu Hazm dan Al-Zhahiri.
Keduanya hanya membolehkan pernikahan dini pada anak prempuan karena
dalil-dalil yang ada menurutnya hanya tentang anak perempuan, sedangkan
analogi anak laki-laki kecil dengan anak perempuan kecil menurutnya tidak
boleh.

11
Kajian mengenai pernikahan anak usia dini mendapatkan perhatian
yang khusus dikalangan fuqaha’ baik klasik maupun kontemporer. Sekalipun
saling berbeda, masing-masing pendapat memiliki dasar hukum yang
merujuk pada al-Qur’an dan hadis, dan kesemuanya baik dari kalangan
fuqaha’ klasik maupun kontemporer yang menolak maupun menyetujui
pernikahan dini mengarah pada tujuan yang sama yakni asas kemaslahatan
yang menjadi “ruh” dari syari’at Islam.

2.5. Hukum yang Bertalian dengan Menikah Dini


Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan
oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi
yang masih kuliah atau mereka yang baru lulus SMA. Hukum yang berkaitan
dengan nikah dini pada umumnya sama dengan pernikahan biasanya, namun
ada pula hal–hal yang memang khusus yang bertolak dari kondisi umum,
seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu
memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi
syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam
tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Kesiapan ilmu
yaitu kesiapan tentang pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan
dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum
khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah,
maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat
pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi
seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari
dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. Selain itu
kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping
menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut
ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan.
Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat
dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah

12
dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman dan (orang-orang
beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat- amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.” (QS Al Mu`minun: 8)
b. Kesiapan materi/harta
dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar
(maskawin) (lihat QS An Nisaa`: 4) dan harta sebagai nafkah suami
kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al
asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS
Al Baqarah: 233, dan Ath Thalaq: 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak
mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa
manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami
mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer,
wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara
dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal
isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Al Maliki, 1963: 174- 175).
c. Kesiapan fisik/kesehatan
khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya
sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya
Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits
anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu
tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An
Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan
keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah (An Nabhani,
1990:163).

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran
kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah
usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur
kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan
menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka
hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam
Kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur
maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai
pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata
juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.

14
3.2 Saran
Agar Pernikahan dini yang terjadi di masyarakat tidak semakin meningkat,
sebagai orang tua perlu terus menerus melakukan pendampingan pada anak agar
dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Selain itu juga para orang
tua tidak membiarkan anak-anak perempuannya yang masih belia, dipinangpria
pujaan walau diiming-imingi “angin surga,” yang kemudian ternyata
menghancurkan masa depan anak perempuan itu.

15

Anda mungkin juga menyukai