Anda di halaman 1dari 9

Polifarmasi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien
yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara
klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):
1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas
2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama
3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi
4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat
5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.
Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi
lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses
penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan
perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).
2.1 Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid
(ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu,
perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.
2.1.1 Efek Samping Obat
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan
interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen
(Terrie, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien
harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak
adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga
menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat,
meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari
8 obat digunakan (Terrie, 2004).
Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom
geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping
ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).
Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis
klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk
menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal.
Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan oleh penghentian obat.
Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani
dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek
penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian penggunaannya.
Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu
dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya
perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang
panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun

atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi,
penting untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).
2.1.2 Interaksi Obat
Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara keseluruhan,
insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan banyaknya obat yang
dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat
menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar
obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010).
2.1.2.1 Inhibisi
Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang signifikan
secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan,
analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan
obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan tetrasiklin, perubahan pH
lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung
dan melambatnya motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et
al.,2010).
2.1.2.2 Potensiasi
Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai
berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba
untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk
mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan warfarin mempengaruhi
faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga
meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada
pasien (Lin, 2003).
2.1.2.3 Akumulasi
Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia
ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh
sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang
diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan renal
clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang diterapi dengan angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics
dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).
Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim, seperti cytochrome P450
(CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat
pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat
lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat
menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge, et al.,2010).

Polifarmasi
Posted on January 22, 2012 by shigenoiharuki under IPD
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien
yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara
klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas


2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama
3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi
4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat
5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.
Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi
lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses
penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan
perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).
2.1 Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid
(ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu,
perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.
2.1.1 Efek Samping Obat
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan
interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen
(Terrie, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien
harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak
adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga
menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat,
meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari
8 obat digunakan (Terrie, 2004).
Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom
geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping
ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).
Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis
klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk
menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal.
Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan oleh penghentian obat.
Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani
dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek
penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian penggunaannya.
Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu
dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya
perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang
panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun
atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi,
penting untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).
2.1.2 Interaksi Obat
Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara keseluruhan,
insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan banyaknya obat yang
dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat
menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar
obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010).
2.1.2.1 Inhibisi

Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang signifikan
secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan,
analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan
obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan tetrasiklin, perubahan pH
lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung
dan melambatnya motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et
al.,2010).
2.1.2.2 Potensiasi
Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai
berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba
untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk
mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan warfarin mempengaruhi
faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga
meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada
pasien (Lin, 2003).
2.1.2.3 Akumulasi
Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia
ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh
sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang
diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan renal
clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang diterapi dengan angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics
dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).
Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim, seperti cytochrome P450
(CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat
pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat
lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat
menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge, et al.,2010).
2.2 Farmakokinetik
Linjakumpu, T. 2003. Drug use among the home-dwelling elderly. Oulun yliopisto. University of Oulu.
ISBN 951-42-7102-5.
Standrigde JB, Zylstra LG, Miller KE, Ruiz DE, Simpson JD. 2010. Caring for Elderly Individual:
Polypharmacy
and
Drug
Interaction.http://www.researchresidency.com/goppert/FP2010/FP_Comprehensive/FPE_297/section3_polypharmacy.html.
Terrie YC. 2004. Understanding
http://www.pharmacytimes.com

and

Managing

Polypharmacy

in

the

Elderly.

Lin, P. 2003. Drug Interaction and Polypharmacy in the Elderly. The Canadian Alzheimer Disease
Review, September 2003, p 10-14.
Juurlink DN, Mamdani M, Kopp A, Laupacis A, Redelmeier DA. 2003. Drug-Drug Interactions
Among Elderly Patients Hospitalized for Drug Toxicity.JAMA. 2003;289(13):1652-1658. doi:
10.1001/jama.289.13.1652

TINJAUAN PUSTAKA MASALAH PEMBERIAN POLIFARMASI


PENDAHULUAN
Pemberian polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema di
negara-negara yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukup
serius di negara yang telah maju. Banyak obat yang tidak ada hubungannya
dengan penyakit pasien diberikan pada pasien, yang tentu saja merupakan
pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat.
Dalam suatu survei di Zimbabwe, dokter Raymond mendapatkan banyak dokter di
Zimbabwe memberikan obat sampai 14 jenis. Tujuh jenis di antaranya
sebenarnya tidak diperlukan sama sekali oleh pasien, sedangkan tiga jenis
obat lainnya diberikan untuk melawan efek samping obat lain(1). Selain itu,
dalam sebuah workshop tentang Penggunaan Obat Rasional di Pakistan terungkap
masih banyak terdapat pemberian obat secara polifarmasi dengan perkiraan
rata-rata 3,6 jenis obat per satu resep(2). Dalam sebuah survei di Denpasar
juga didapatkan 84,4% resep yang diberikan pada pasien anak mengandung lebih
dari 4 jenis zat aktif(3).
Faktor penyebab dari pemberian obat secara polifarmasi tidak saja terletak
pada dokter sebagai pemberi obat, tapi juga pada sediaan obat yang ada, yang
memang sudah dalam bentuk polifarmasi. Sediaan obat dalam bentuk polifarmasi
masih banyak dipasarkan di Indonesia, seperti sirup obat batuk, sirup obat
flu, juga ada dalam bentuk tablet yang mengandung 4 sampai 6 bahan aktif.
Dokter seringkali terjebak kalau kurang hati-hati, karena kurang hafal pada
kandungan sediaan obat polifarmasi.
Di samping penyebab di atas, penggunaan polifarmasi juga bisa disebabkan
oleh faktor pasien. Beberapa pasien kadang-kadang minta supaya setiap gejala
yang dirasakannya diberikan obat secara tersendiri, misalnya pasien minta
obat sakit kepala, obat nyeri badan, atau obat demam. Padahal, sebenarnya
semua gejala tersebut dapat diatasi dengan satu jenis obat karena semua
gejala yang dideritanya merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit. Dalam
tulisan ini akan dibahas beberapa jenis polifarmasi yang sering ditemukan
dalam praktik, dan beberapa jenis sediaan polifarmasi yang beredar di
pasaran Indonesia.
JENIS POLIFARMASI YANG DIBERIKAN
Beberapa jenis polifarmasi yang sering diberikan ialah:
KOMBINASI ANTARA DUA JENIS OBAT ATAU LEBIH YANG MEMPUNYAI EFEK YANG
SAMA
ATAU MIRIP UNTUK MENGOBATI SATU SIMPTOM
Seringkali parasetamol dikombinasi dengan salicylamide dan acetylsalicylic
acid untuk mengobati pasien demam. Ketiga obat ini termasuk golongan
antipyretic analgetic yang digunakan untuk menghilangkan demam dan rasa
nyeri. Tujuan utama kombinasi obat sebenarnya untuk tercapainya potensiasi
dan menurunkan efek samping obat. Tapi, contoh kombinasi di atas tidak
menunjukkan adanya tujuan tersebut, malah menimbulkan efek samping yang
lebih banyak, yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat.
Jenis kombinasi seperti ini tidak saja ditulis secara tersendiri oleh
dokter, tapi juga telah ada sediaan obat dalam bentuk kombinasi tetap
seperti kombinasi antara parasetamol dengan salicylamide, antara acetyl
salicylic acid dengan parasetamol, atau antara metampyron dengan
salicylamide. Kombinasi analgesik ini tidak memberikan keuntungan secara

nyata, malah mungkin dapat menimbulkan bahaya dan yang jelas harganya akan
menjadi lebih mahal.
Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek samping
masing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya. Kombinasi ini lebih
sering menyebabkan kerusakan ginjal daripada penggunaan secara tunggal.
Banyak lagi contoh-contoh polifarmasi yang tersedia dalam bentuk kombinasi
tetap seperti obat reumatik, obat batuk, obat diare, obat asma bronkhiale,
dsb yang dianggap tidak rasional dan mengundang lebih bayak timbulnya efek
samping.
MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENGURANGI ATAU
MENGHILANGKAN EFEK
SAMPING OBAT UTAMA
Sama seperti contoh di atas, kombinasi sejenis ini tidak saja ditulis secara
tersendiri oleh dokter, tapi juga tersedia dalam bentuk kombinasi tetap.
Obat anti rheumatic (anti inflamasi) secara umum dapat menimbulkan iritasi
mukosa lambung, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui
proses penekanan synthese prostaglandin. Untuk mengurangi efek iritasi ini
maka obat anti rheumatic ini dikombinasi dengan antasida, antagonis reseptor
H2 (cimetidine, ranitidine), proton pump inhibitor (PPI), atau dengan
derivate PGEI (misoprostol).
Tujuan kombinasi obat di sini ialah mengurangi efek samping obat utama,
tidak mengharapkan terjadinya potensiasi, tapi mengabaikan proses interaksi
obat yang dikombinasi, yang mungkin saja mengurangi efek obat utama. Dalam
hal ini, obat kombinasi yang diberikan juga mempunyai efek samping dan
kemungkinan lebih besar daripada obat utama. Kalau demikian halnya, maka
akan berderet jumlah obat yang fungsinya menghilangkan efek samping obat
lainnya, tapi justru akan menambah efek samping yang baru, sehingga akhirnya
menyimpang dari tujuan pengobatan semula.
Selain contoh obat kombinasi di atas, masih banyak lagi ditemukan di pasaran
obat kombinasi yang sejenis. Misalnya, efek ngantuk Chlorpheniramine maleate
dihilangkan dengan cafein, efek insomnia dari Aminophyline atau ephedrine
dengan phenobarbital.
MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENINGKATKAN ABSORPSI (RATE
OF
ABSORPTION AND EXTEND OF ABSORPTION) OBAT UTAMA
Secara klinis, kombinasi ini ada yang bermakna dan ada pula yang tidak
bermakna. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan tentang efikasi obat,
risk/benefit ratio, dan tentu saja harga.
Contoh yang menarik ialah kombinasi antara parasetamol dengan metoklopramid.
Metklopramid mempengaruhi rate of absorption paracetamol sehingga puncak
konsentrasi parasetamol dalam darah cepat dicapai. Tetapi, tidak
mempengaruhi extend of absorption, sehingga jumlah parasetamol yang terdapat
dalam darah tidak berubah. Efek yang sama efektifnya akan didapat dengan
memberikan parasetamol dosis yang agak lebih tinggi. Kalau dipertimbangkan
secara cost/benefit ratio maka didapat bahwa kombinasi antara metoklopramid
dan parasetamol sama efektifnya dengan parasetamol dosis agak tinggi dengan
harga yang jauh lebih murah dan tidak menambah efek samping obat.
Berbeda halnya dengan kombinasi antara ergotamin dengan kafein. Ergotamin
sulit diabsorpsi di saluran cerna sehingga untuk membantu absorspsinya (rate
& extend of absorption) setiap 1 mg ergotamin/dikombinasi dengan 100 mg

cafein. Kombinasi ini akan mempercepat dan memperbanyak absorpsi ergotamin


(4).
Walaupun kombinasi ini secara cost/benefit ratio menguntungkan, tapi tetap
dianggap kurang rasional, karena ada cara pemberian yang lebih efektif,
yaitu pemberian secara intravena atau intramuskuler.
MEMBERIKAN KOMBINASI OBAT YANG TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN KINETIK
DAN
DINAMIK OBAT SERTA DENGAN PENYAKIT PASIEN.
Kombinasi antara metampiron dengan vitamin neurotropik (B1, B2, B6, B12)
banyak beredar di pasaran yang dikemas alam bentuk kombinasi tetap. Indikasi
utama pemberian vitamin adalah penderita defisiensi vitamin(5). Vitamin
neurotropik ini tidak menyembuhkan mialgia, sefalgia, ataupun atralgia dan
pemberiannya pada pasien yang tak memerlukan akan membuang-buang obat dan
uang.
Contoh lain ialah pemberian antara antasid dengan tranquilizer seperti
diazepam atau klordiazepam pada pasien yang menderita gastritis.
Tranquilizer bukan obat gastritis, tapi obat penenang yang diberikan pada
pasien yang mengalami ansietas. Tidak menjadi masalah kalau pasiennya juga
menderita ansietas, tapi kalau tidak maka diazepam atau klordiazepoksid yang
diberikan akan menjadi mubazir. Malah akan menambah efek samping atau
menimbulkan masalah ketergantungan.
MEMBERIKAN OBAT LEBIH DARI 3 JENIS DALAM SEKALI PEMBERIAN, JUGA
TERMASUK
KATEGORI POLIFARMASI.
Pemberian obat jenis ini sering diberikan pada pasien dengan banyak keluhan
atau memang menderita banyak penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, dan rheumathoid arthritis. Dalam keadaan seperti ini,
dokter harus bijaksana dalam mempertimbangkan dan menentukan penyakit
dasarnya serta penyakit yang merupakan komplikasi penyakit dasar.
MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN TUJUAN TIMBULNYA EFEK POTENSIASI.
Pemberian kombinasi obat ini sering dilakukan pada antibiotika, baik secara
kombinasi tetap atau tidak tetap. Sampai saat sekarang, hanya ada dua jenis
antibiotika kombinasi tetap yang benar-benar bermakna secara klinik dan
diakui oleh WHO, yaitu kotrimaksazol (kombinasi antara trimethoprim dengan
sulfametoksazol) dan koamoksiklaf (kombinasi antara amoksilin dengan asam
klavulonat).
Sedangkan kombinasi lainnya harus dapat dibuktikan secara laboratoris
sebelum dipakai. Kombinasi jenis ini juga sering dilakukan pada analgesik,
terutama kombinasi dengan kafein. Banyak orang menganggap bahwa kafein
adalah suatu analgesik yang poten dan dapat meningkatkan efek analgesik obat
lain. Namun belum ada bukti penelitian yang menunjang pernyataan tersebut.
SEDIAAN OBAT POLIFARMASI
Tersedianya sediaan obat polifarmasi banyak memberi andil pada pemberian
obat secara polifarmasi. Sirup batuk bahkan ada yang mengandung 6 zat aktif,
seperti difeenhidramin, amonium klorida, mentol, alkohol, natrium sitrat,
dan dekstrometorfan.
Yang paling tidak rasional terlihat dalam antara ekspektoran (amonium
klorida, natrium sitrat) dengan antitusif dekstrometorfan(6). Harus diingat
bahwa batuk merupakan proses fisiologi untuk mengeluarkan dahak atau lendir
yang mengental pada bronkhus pada jenis batuk yang produktif. Kalau

dikombinasi dengan antitusf maka batuk akan terhenti dan dahak dan lendir
yang kental tidak bisa keluar dengan lancar. Sedangkan antitusif hanya
digunakan pada pasien yang batuk nonproduktif yang sampai mengganggu
tidurnya. Kalau diperhatikan maka sediaan obat batuk di atas banyak
mengandung zat aktif yang sebenarnya tidak diperlukan.
Ada pula sediaan obat flu yang mengandung 6 bahan aktif dalam satu tablet,
yaitu parasetamol, salisilamid, phenylpropanolamine (PPA), dekstrometorfan,
klorfeniramin, dan kafein. Obat flu ini dibuat untuk pasien flu dengan
gejala demam, hidung buntu, batuk, alergi dan ngantuk. Kombinasi ini
maksudnya ada untuk menguatkan obat lainnya. Ada pula yang bertujuan untuk
menghilangkan efek samping obat utama. Kalau semua gejala ada pada pasien,
mungkin obat kombinasi ini cocok dan pas untuk pasien ini. Tetapi, kalau
pasien hanya demam dan hidung buntu maka bahan aktif lainnya seperti
dektrometorfan, klorfeniramin, dan kafein menjadi mubazir, tidak diperlukan,
dan dapat menimbulkan efek samping obat.
Ada pula sediaan obat untuk asma bronkial yang terdiri dari prednisolon,
efedrin, teofilin, fenobarbital, dan klorfeniramin maleat(7). Penderita asma
bronkial yang ringan cukup diberikan efedrin dan teofiline, sedangkan
penggunaan prednisolon seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami
status asthmaticus atau pasien dengan eksaserbasi akut yang berat(8).
Pemberian fenobarbital malah merupakan indikasi kontra pada pasien asma
bronkial karena dapat menyebabkan depresi nafas dan spasme bronkhus yang
menambah sesaknya pasien(9).
Begitu juga pemberian klorfeniramin maleat suatu antihistamin yang mempunyai
efek antikolinergik (atropin like effect) merupakan indikasi kontra pada
pasien asma bronkhiale, karena dapat mengentalkan cairan lendir bronkhus
sehingga pasien bertambah sulit bernapas.
Selain sediaan obat seperti disebutkan di atas, di bawah ini beberapa contoh
sediaan obat polifarmasi yang tidak rasional seperti:
(a) obat antasid tersedia dalam bentuk kombinasi antara magnesium trisikat,
alumunium hidrosid, papaverin HCl, klordiazepoksid, vitamin B1, B2, B6, B12
kalsium pantothenat, nikotinamid;
(b) obat anti asma yang terdiri dari ekstrak belladona, efedrin, kafein,
parasetamol, teofilin, khlorfeniramin,
(c) obat antikolik yang terdiri dari metampiron, salisilamid, fenobarbital,
cafein, hiosin N, metilbromide,
(d) obat analgesik yang terdiri dari metampiron, khlordiazepoksid, diazepam,
vitamin B1, B2, B6, B12, kafein,
(e) obat anti reumatik yang terdiri dari prednisolon, sulfirin,
fenilbutazone, magnesium trisilicate(7).
Dari contoh di atas, terlihat banyak penggunaan kafein. Kafein bukanlah
suatu analgesik atau antiinflamasi, juga tidak dapat memperkuat efek
analgesik atau anti inflamasi obat lain. Malah, ia dapat meningkatkan efek
iritasi aspirin terhadap lambung.
RESIKO YANG DIHADAPI
Semakin banyak bahan aktif yang diminum oleh pasien, semakin banyak
kemungkinan efek samping yang akan timbul. Kalau pasien ternyata alergi
obat, sulit untuk menentukan bahan aktif yang mana sebagai penyebab
alerginya.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan seperti berikut:
1. Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnya

bagi pasien.
2. Banyak bahan obat aktif yang mubazir sehingga timbul pemborosan obat dan
uang.
3. Kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin besar.
4. Kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta penyakit karena
obat semakin meningkat.
SARAN
Supaya pengobatan lebih mendekati rasional maka disarankan hal-hal berikut:
1. Sediaan obat polifarmasi harus dikurangi di pasaran.
2. Sediaan obat kombinasi tetap yang dalam bentuk polifarmasi sebaiknya yang
bersifat potensiasi dengan harga yang tidak lebih mahal dari masing-masing
komponen.
3. Obat sirup batuk atau sirup obat flu sebaiknya berisi tidak lebih dari 3
bahan aktif.
4. Kurangi penjualan obat bebas (over the counter).
5. Promosi obat harus dibatasi. Sebaiknya dilakukan oleh medical
representative yang terlatih, dan tidak lagi lewat media masa, radio, serta
televisi.
6. Para dokter harus mengetahui dan memahami kandungan obat kombinasi yang
diresepkan. Jangan meresepkan obat yang belum diketahui kandungannya.
7. Pemakaian obat harus tetap berpegang pada paling sedikit 4 faktor, yaitu
efficacy khasiat obat, safety keamanan obat, suitability kesesuaian
obat pada pasien, dan cost harga obat sehingga dapat dipilih obat yang
efektif, aman, tidak ada indikasi kontra, serta harganya dapat dijangkau
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Raymond T. Mossop. Essential Drugs Monitor No. 21,1996
2. Rational drug use workshop for universities in Pakistan. Essential Drugs
Monitor No. 16,1993
3. Aman G.M. Polypharmacy in pediatric practice in Denpasar. Majalah
Kedokteran Udayana Vol.31, No. 109, Juli 2000
4. Burkhalter A, Julius D.J, Katzung B.G. Clinical pharmacology of ergot
alkaloids in Basic & Clinical Pharmacology a Lange Medical Book, seventh
edition. Edited by Bertram G Katzung MD, PhD, 1998
5. Chetley A. Vitamine preparation. Problem Drugs, Amsterdam, Health Action
International, 1993
6. Chetley A. Cough and cold preparations. Problem drugs, Amsterdam, Health
Action International, 1993
7. IIMS, 1994
8. Xaliner .M.A, Barnes P.J, Persson CLG.A. Asthma, Its Pathology and
Treatment, Vol. 49, 195)
9. Hartog R. Barbitutate Combinations, risks without benefits. Essential
Drugs Monitor No. 16.1993

Anda mungkin juga menyukai