Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

            
1. Latar Belakang 
Para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader
dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal darimasuknya
islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal
dengan Borneo kala itu melalui dua jalur. 

Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur
Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai.
Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin
menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan
mendiami pesisir Barat Kalimantan. 

Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh
yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui
puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak
mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan
Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya
adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.

Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16
yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam,
telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang
disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai
milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang
diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan
Negara 
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya
lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai
masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai
dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan
(kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada
tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
2. Permasalahan 
- Menjelaskan tentang begaimana Islam datang ke Pulau Kalimantan
- Menjelaskan tentang bagaimana caranya Islam bisa berkembang di Pulau
Kalimantan.
- Menjelaskan tentang apa saja hikmah bagi Pulau Kalimantan setelah Islam
datang.

3. Tujuan 
- Untuk mengingat kembali tentang bagaimana Islam masuk ke Pulau
Kalimantan
- Supaya kita bisa mencontoh bagaimana cara berdakwah yang baik 
- Mengenang kembali jasa-jasa para pejuang terdahulu di Pulau Kalimantan
BAB II
PEMBAHASAN

Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di daerah utara tepatnya di


daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah raja Brunai memeluk Islam
(sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat penyiaran agama Islam sehingga
Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di Kalimantan Barat di dekat Muara
Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan pada abad XVI di bawa oleh
orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah Sambas ditaklukkan oleh
kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan terjadi sekitar 1550 M atas
pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di Kalimantan Selatan
memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak.
Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis yang mendapat pengaruh
Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah ini melalui jalan
perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri raja di daerah ini.

Proses Masuknya Islam Di Beberapa Daerah di Pulau Kalimantan :


A. Islam Masuk di Kalimantan Barat
Islam masuk ke Indonesia masih menyisakan perdebatan panjang,ada
tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di
Indonesia:

 1.TeoriGujarat,
2.Teori Persia dan 
3.Teori Arabia.
1. Teori Gujarat banyak dianut oleh ahli dari Belanda
Islam dari anak BenuaIndia, menurut Pijnappel orang Arab bermazhab Syafi’i
yang bermingrasi
menetap diwilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia
(Azra,1998:24) Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgonje.Moquette
iaberkesimpulan bentuk nisan di Pasai kawasan Sumatera 17 Dzulhijjah
1831H/27 September 1428, batu nisan mirip di Cambay,Gujarat.W.F.
Stuterheimmenyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-
13 Masehi,yakniMalik Al-Saleh pada tahun 1297. masuknya Islam ke
Indonesia adalah Gujarat. Relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat
Hinduistikj mempunyai kesamaan batu nisan di Gujarat.
(Suryanegara,1998:76). J.C.Van Leur pada th 674 M pantai barat Sumatera
telah terdapat perkampungan Islam, Islam tidak terjadi pada abad ke- 13
akan tetapi abad  ke-7

2.Teori Persia dikembangkan oleh: Hoesin Djajadiningrat,


titik berat pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan
Persia.Kesamaan budaya seperti peringatan 10 muharram atau Asyura
sebagai hari peringatanSyi’ah terhadap syahidnya Husain. Kedua adanya
ajaran wahdatul Wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran
sufi Persia, Al-Hallaj.Persia, dibantah K.H. Saifuddin Zuhri , apabila
berpedoman Islam
masuk abad ke -7 pada masa Bani Umayyah, Kekuasaan politik dipegangoleh
bangsa Arab, tidak mungkin Islam berasal dari Persia.
(1 )M.Natsir,S.Sos.M.Si Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah Pontianak.
Dosen pada Isipol UNTAN(2) Bahan tulisan Seminar Serantau Perkembangan
Islam Borneo, 27-28 Peb 2008 di UiTM Malaysia

3. Teori Arabia,
penganut teori  ini adalah :T.W.Arnold,Crawfurd, Keijzer, Niemann, De
Holander, Naquib Al-Attas ,A. Hasyimi, dan Hamka. 

Teori Arabiah yang dipertegas Hamka ia menolak keras terhadap teori


Gujarat, teori ini dikemukan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di
Medan, 17-20 Maret 1963 ia menolak bahwa Islam masuk ke Indonesia abad
13 jauh sebelumnya abad ke-7 Masehi. Adapun keberadaan Islam di
Kalimantan Barat tidak diketahui secara pasti,namun dari beberapa literatur
dan pendapat yang ada masih merupakan  sebuah prediksi yang
dikemukakan oleh para peneliti maupun dari bekas-bekas peninggalanyang
ada, baik yang terekam di masyarakat melalui ajaran atau kepercayaan,
dapat juga dilihat dari situs-situs yang masih ada dan sejarah keberadan
keraton yang banyak didominasi oleh kesultanan Islam.(Doc.Natsir)

B. Islam Masuk di Kalimantan Selatan

Barangkali sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan


pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara
Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut
daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah daerah sepanjang sungai
Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak
diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung
Mangkurat atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut memberitahukan bahwa di
daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu
Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan
dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan
yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha
diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia
meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan
sengketa dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat
dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan
demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan
bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam
Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak.
Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan
daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan
tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika
dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang
juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering
mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan mengeluarkan darah.
Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi atau Juragan Balaba yang
berasal dari Surabaya. Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya
sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba
sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji
Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian diambil
menjadi menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden
Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke
Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang
adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan
perdagangan dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan
Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya
sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya
adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang
memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar
Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai
sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang
menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha
dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan
dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi
masalah adalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan
melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan
Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah
memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama yang
bergelar Sunan Serabut, adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden
Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya belum
kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara
Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum
Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari
Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu
pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya
antara lain bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik
menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat.
Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah
Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van
Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang
melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha. Pangeran
Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan
pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta bantuan
pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah Majapahit.
Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10
buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa
sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De
Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi
surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam
huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika
Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika
menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana
putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya
Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula
pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000
galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10
pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf
Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas
menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di
Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian
membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama.
Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16,
maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin
sudah terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke
Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin.
Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan
Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian
sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan.
Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya
meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera
berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia
adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran Samudera
terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan
pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Patih
Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa
Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia
sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui
tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai
upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih
mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung,
Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka
menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja
Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah
Balandean, Serapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi
raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil
merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan
bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi
Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu
pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang
tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan
bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti
dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha
sampai Banjarmasin dari :
1. Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2. Maharaja Sukarama
3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan
musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden
Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Hindu
Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun
dinasti Islam Banjarmasin.
C. Islam Masuk di Kalimantan Timur
       Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600) kerajaan
Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Syekh
Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri
Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang Parangan. Seperti yang di kisahkan
dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah untuk
menyebarkan agama islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota Untuk
memeluk agama Islam, pada awalnya ajakan ulama ini di tolak oleh Aji Raja
Mahkota dengan alasan bahwa agama di kerajaan Kutai Kartanegara adalah
Hindu.
Langkah dakwah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota di
tolak oleh sang Raja. Bahkan karena langkah dakwah ini buntu, Tuan ri
Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan
tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir,
Tunggang Parangan menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk
mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka
sang raja bersedia untuk memeluk islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota
yang akan menang maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya
untuk kerajaan Kutai Kartanegara.
Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja Mahkota. Adu kesaktian
akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai
konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota Akhirnya masuk Islam. Sejak
Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi
dengan kerajaan  majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan
pengaruh Islam dan sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk
agama hindu kemudia tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah
pinggiran kerajaan.

Perkembangan kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi


berdekatan dengan kerajaan kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman pada
awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika Kerajaan
Kutai Kartanegara di perintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing
Martadipura (1605-1635 M) terjadi perang antara dua kerajaan besar ini. Di
akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara di lebur menjadi
satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama
dari penggabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji
Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M).
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing
Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja
Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh
pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Karta Negara ing Martadipura.
Indikator dari pengaruh islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar
Kerajaan yang di kenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39
Pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang
Beraja Nanti” yang memuat 164 Pasal peraturan. Kedua Undang-Undang
tersebut berisi peraturan tentang yang di sandarkan pada Hukum Islam.
Pemimpin pertama yang memakai gelar “Sultan” adalah Aji Su;tan
Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La
Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat
Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie), Sultan Wajo meminta bantuan Aji Sultan Muhammad
Idris. Permintaan bantuan pun di penuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris.
Kemudian berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi
Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya
memberikan bantuan tersebut Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dunia.
Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan
Kutai Kartanegara ing Martadi pura di pegang oleh dewan perwakilan. Tetapi
ketika Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dalam pertempuran di Sulawesi,
timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta terjadi
antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu putra Mahkota Aji Imbut
dan Aji Kado.
Pada awal awal perebutan tahtta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan
lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La MAdukelleng. Aji
Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang telah
menduduki ibukota kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang
terletak di pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah
berpindah dari Kutai lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Aji Imbut Akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan. Di dukung
oleh orang-orang Wajo dan Bugis dan Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji
Kado dan memduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura dengan Gelar Aji Marhum Muslihuddin (1739-1782 M).
sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan dimakamkan di pulau jembayan.
Di Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri
Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota)
tunduk kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan
hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid. Tahun
1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah
sampai ke pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman,
dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.

D. Islam Masuk di Kalimantan Tengah


seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di
Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin. Ulama tersebut adalah
Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus oleh Kesultanan
Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Kedatangan
Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh Sultan Mustainubillah. Oleh
sang Sultan, Kiai Gede kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah
Kotawaringin, sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan baru di
wilayah ini.
Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun
wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi
jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat
Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun,
hadiah yang paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah
dibangunnya sebuah masjid yang kelak bukan sekedar sebagai tempat
beribadah, melainkan juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
bagi Kiai Gede dan para pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu
itu hanya berjumlah 40 orang, Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin
dari hutan belantara menjadi sebuah kawasan permukiman yang cukup maju.
Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini menjadi salah satu kota yang
terbilang maju diKalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar
Kiai Gede dan para pengikutnya. Kiai Gede membangun Sebuah Masjid yang
bernama Masjid Kiai Gede, Mesjid ini menjadi saksi sejarah
perkembangan Islam di Kotawaringin.Masjid Kiai Gede dibangun pada tahun
1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa
pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat
dari Kesultanan Banjarmasin.

Pendidikan Islam di Kalimantan


dipelopori oleh Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918
M, hal ini menjadi inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah
dan Tsanawiyah yang lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah)
Di antara madrasah yang masyhur adalah Madrasah Perguruan Islam
(Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922 M. Proses
pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus vak
agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah
pengetahuan umum.
Al-Raudlatul Islamiyyah
Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak, didirikan pada
tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat pendidikan yaitu
Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun. Materi yang
diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu
umum.
Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP)
SMIP didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan
Selatan. Lama pelajarannya selama 5 tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran
Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum
sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP Negeri.
Normal Islam Amuntai
Madrasah ini didirikan pada tahun 1928 oleh H. Abdur Rasyid, seorang
lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama Arabische School. Pada akhir 1941
tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M. Arif Lubis, salah satu guru di
Pondok Modern Gontor Ponorogo (Madiun) dan berubah namanya menjadi
Ma’had Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama madarasah berubah
menjadi sekolah guru dengan nama Normal Islam IMI Amuntai, dengan lama
pelajaran selama 6 tahun dan rencana pelajarannya disesuaikan dengan
hajat masyarakat.
Selain madrasah-madrasah tersebut banyak madrasah-madrasah lainnya,
diantaranya Madrasah Imad Darussalam di Martapura, Madrasah Sekolah
Menengah Islam di Kandangan, Madrasah Al-Ashriah di Banjarmasin dan lain-
lain.

Organisasi Perkumpulan Madrasah di Kalimantan


Di kalimantan ada beberapa organisasi perkumpulan madrasah, diantaranya :
a. Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PERMI)
Permi didirikan di Pontianak pada tahun 1954 dengan tujuan untuk
menyatukan nama madrasah dengan nama yang sederhana yaitu Madrasatul
Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah. Tujuan lainnya adalah
menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan kitab-kitab
keluaran Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada
madrasah-madrasah itu terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan
pengetahuan umum dengan porsi pengetahuan umum sekurang-kurangnya
30%. Permi juga mempunyai tujuan untuk menyatukan madrasah-madrasah
dalam organisasi ini.

b. Ikatan Madrasah Islam (IMI) Amuntai


IMI didirikan pada tanggal 15 Maret 1945 dengan tujuan menciptakan
adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan
tinggi Islam dan memperbaiki organisasi dan leerplan perguruan-perguruan
Islam yang telah ada agar sesuai dengan hajat hidup orang banyak.
Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan rapat-rapat dengan guru-
guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan perguruan-perguruan Islam
jika memungkinkan.

Tokoh-tokoh Penyebar Agama Islam di Kalimantan

      Agama Islam mulai masuk ke Kalimantan pada awal abad ke-16. Akan
tetapi, Islam mulai berkembang setelah para pejuang Islam dari Kesultanan
Demak datang ke Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh
Pangeran Samudra untuk memadamkan perselisihan di Daha.
      Setelah memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk
agama Islam dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar.
Pangeran Samudra menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara.
Namun demikian, agama Islam belum berkembang luas. Agama Islam
tersebar luas di Kalimantan, khusunya di Kesultanan Banjar, setelah dua
orang ulama terkemuka berdakwah di Kalimantan Selatan. Ulama tersebut
adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis.
Kedua ulama ini sangat berpengaruh dan merupakan tokoh penting dalam
penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.

a) Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari

Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar
1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim
yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya
Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang
membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan
ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan
bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya
kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat
(kaligrafi).

Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah)


mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung
Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan
yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya,
maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui
kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk
mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru
berusia ± 7 tahun.

Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh.


Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas
anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang
diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang
tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad
dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta
keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan
hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak
kandung sendiri.

Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah


bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada
suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia,
seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh.
Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah.
Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih
muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari
sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-
citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada


masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry,
al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh
Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf,
dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan
khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai
khalifah.

Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia


pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari,
Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis
dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan
“Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al
Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan
kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang
diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung
pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang
akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya
Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan


upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan,
sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang
‘alim lagi wara’.

Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa


metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun
metode-metode tersebut, yaitu:

Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-
laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung
oleh murid-murid beliau.

Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja,
baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.

Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga
lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.
Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin
Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan
Pattani (Thailand selatan).

Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah


Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M)
Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad
ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan
dimakamkan di desa
Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal
dengan sebutan Datuk Kalampayan.

b) Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari

   Dalam deretan ulama Banjar, nama


Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tak
kalah masyhur dibanding Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau
Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli
syariat, maka Muhammad Nafis dikenal
sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil
menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.
   Dialah pengarang “Durr Al-Nafis” (permata yang indah), kitab berbahasa
Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang
masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah
Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum
muslimin di Kalimantan.
   Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun
1148 H/1735 M, di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga
bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung
hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang
memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.
   Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu
Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan
Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah
bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad
Arsyad Al-Banjari.
   Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun
wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning
Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada
catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan
ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat
pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.
Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari
masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga
kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani,
Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-
Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-
Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
   Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian
lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi
gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk
mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian
itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan
perenungan yang sangat lama.
   Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara,
diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah
Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis
tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan
berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari
Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar
Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.
Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau
oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis
mengenalkan Islam di sana.         Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian
menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.
Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.
   Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang
tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu
Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa
sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis
berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang
diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan
secara diametral.
   Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga,
menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah,
Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan
Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan
bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya
mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan
tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.
   Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme
yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan
transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme
fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum
muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan
hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.
   Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan
semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah,
konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati.
Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad.
Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk
menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai
pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia
wafat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
        Setelah Islam datang ke Indonesia terutama di Pulau Kalimantan
banyak perubahan-perubahan yang terjadi terutama bagi rakyat yang
menengah ke bawah. Mereka lebih di hargai dan tidak tertindas lagi karena
Islam tidak mengenal sistem kasta, karena semua masyarakat memiliki
derajat yang sama. Islam juga membawa perubahan-perubahan baik di
bidang politik, ekonomi dan agama. Islam juga bisa mempersatukan seluruh
masyarakat Indonesia untuk melawan dan memgusir para penjajah.
B. SARAN
        Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya.
Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran,
kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas kelompok kami
ini
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di


Indonesia",   dalam    Seminar Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik
Islam di Indonesia", Jakarta:
 International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama
dan    Filsafat UIN Jakarta, 10 Juni 2003
Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet .
ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999
Http://NovalBunglon.blogspot.com
http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-
kalimantan.html

Anda mungkin juga menyukai