Anda di halaman 1dari 17

PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM KONTEMPORER

PERNIKAHAN DINI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


HUKUM ISLAM

Disusun oleh :

1. Alzami Aulia Rachman C100200407


2. Tanuhita Kumara Putri Azalia Sukoco C100200033
3. Ernesto Febrian Adi Nugroho C100200351
4. Salma Khairun Nisa C100200042
5. Alifannisa Shella Hermininda C100200060
6. Putri Sari Asih C100200419
7. Hafid De Fatimah Jati C100200319
8. Ferdinand Putra Pratama C100200333
9. M. Afrizal Zulfar C100200119

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKRTA
2020/2021
BAB 1

A. LATAR BELAKANG

Pernikahan dini merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi di


berbagai wilayah. Fenomena pernikahan dini bagai fenomena gunung es yang
hanya tampak sebagian kecil di permukaan, sangat sedikit terekspos di ranah
publik, tetapi kenyataannya begitu banyak terjadi di kalangan masyarakat luas.
Ketika kita menelusuri akar sejarah tentang pernikahan dini di Indinesia,
khususnya di pulau Jawa sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang lumrah
dilakukan oleh kakek dan nenek moyang kita. Pada konteks mereka, terdapat
stigma negative jika seorang perempuan menikah di usia matang dalam
komunitas mereka. Tulisan ini akan mendiskusikan fenomena pernikahan dini
dalam konteks hukum Islam.

Diskursus tentang pernikahan dini se-benarnya bukan hal baru untuk di


per bin-cangkan. Masalah ini sudah sering diangkat se bagai topik utama di
berbagai diskusi. Sekalipun demikian, masalah ini selalu me narik keinginan
para kawula muda un-tuk menelisik lebih jauh tentang apa dan bagaimana
pernikahan dini. Istilah per-nikahan dini merupakan istilah yang relatif kon
temporer. Dini biasanya dikaitkan dengan wak tu, yakni waktu yang sangat awal.
La-wan nya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada
awal abad 20 atau sebelumnya, pernikahan dini ada lah sesuatu yang biasa
dilakukan, bukan se suatu yang dinilai tabu dan tidak penting un tuk
dimunculkan ke permukaan.

Seiring berkembangnya zaman, imageyang berkembang di masyarakat


justru se ba-liknya. Arus globlalisasi yang melesat sangat cepat banyak merubah
paradigm berpikir ma syarakat secara luas. Pernikahan di usia yang sangat belia
dianggap sebagai sesuatu yang tabu, karena dipandang sebagai banyak mem
bawa efek negatif khususnya bagi pihak perempuan. Sekalipun demikian
fenomena per nikahan dini masih banyak dijumpai ter utama di daerah-daerah
yang mayoritas ting kat kesadaran pendidikannya masih re-latif rendah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan pernikahan dini ?
2. Apa hukum dan dalil pernikahan dini menurut islam ?
3. Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif hukum islam ?
4. Mengapa terjadi pernikahan di bawah umur ?
5. Apa dampak dari pernikahan dini ?
6. Upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi tingginya angka
pernikahan dini ?

C. TUJUAN
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut :
1. Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat terutama para
remaja yang melakukan pernikahan dini
2. Mengungkap upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
pernikahan dini
3. Mengetahui pemahaman pengetahunan remaja tentang pernikahan dini

BAB 2

PEMBAHASAN

1. Apa yang di maksud dengan pernikahan dini ?


Pengertian pernikahan dini
Seperti yang sudah banyak diketahui bahwa fenomena pernikahan dini
sudah ada dari zaman dahulu hingga sekarang. Bahkan jumlah yang melakukan
pernikahan dini lebih banyak pada zaman sekarang ketimbang zaman dahulu.
Tentunya hal itu terjadi dengan banyaknya juga faktor-faktor yang menyebabkan
fenomena tersebut bisa terjadi. Kebanyakan fenomena pernikahan dini terjadi
pada masyarakat pedesaan yang memiliki pendidikan yang minim. Suatu
pernikahan dapat dikatakan termasuk kedalam pernikahan dini tentunya dilihat
dari segi usia. Menurut Diane E. Papalia dan Sally Wendkos dalam bukunya
Human Development 1995, mengemukakan bahwa usia terbaik untuk melakukan
pernikahan bagi perempuan adalah 19 sampai dengan 25 tahun, sedangkan untuk
laki-laki usia 25 sampai 28 tahun diharapkan sudah menikah. Karena ini adalah
usia terbaik untuk menikah baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun
untuk mengasuh anak pertama. Dari penjelasan diatas dapat dipastikan bahwa
seseorang yang menikah dibawah umur 19 tahun sudah dapat dikategorikan
menikah pada usia muda atau menikah dini.
Pernikahan usia dini terdiri dari dua kata yaitu pemikahan, dan usia dini.
Pernikahan berasal dari bahasa Arab yaitu An-nikah yang berarti menghimpun
dan mengumpulkan. Dalam pengertian fiqih nikah adalah akad yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafaz perkawinan/pernikahan
atau yang semakna dengan itu. Usia dini menunjukkan usia belia, digunakan
untuk menyebutkan sesuatu yang dilakukan sebelum batas usia minimal. Dengan
demikian pernikahan dini berarti pernikahan yang dilaksanakan di bawah umur
enam belas tahun. Pernikahan dini juga dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri di usia yang masih
muda/remaja. Jadi baik pria atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun) dan
melangsungkan pemikahan maka dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini.1
Pernikahan dini juga merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita
yang dilakukan saat kedua belah pihak masih berusia dibawah 18 tahun atau
masih dalam sekolah menengah yang sudah akil baliqh. Pernikahan disebut
dengan pernikahan dini jika kedua belah pihak atau salah satu orang masih berusia
dibawah 18 tahun. Islam sendiri merupakan agama yang sesuai dengan tabiat
manusia sehingga sangat jelas jika kesucian dan juga kebersihan seksual akan
mengembalikan kita ke dalam ajaran ajaran Islam.

1
https://www.scribd.com/document/324491162/Pengertian-Pernikahan-Dini
Hukum Islam sendiri memiliki beberapa prinsip yakni perlindungan pada
agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Menikah muda menurut Islam sendiri
tidak melarang adanya sebuah pernikahan asalkan sudah baligh dan sudah
sanggup memberikan nafkah jasmani serta rohani. Istilah pernikahan dini sendiri
merupakan istilah kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu. 2

2. Apa hukum dan dalil pernikahan dini menurut islam ?


Sedangkan menurut pandangan beberapa ulama Menurut Ibnu Syubromah
bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh).
Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.
Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada.
Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu
berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus
bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya, mayoritas pakar
hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil
interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat
bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula
pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini
tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh
dan mudah terpatahkan.

2
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/pernikahan-dini-dalam-islam
3. Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif hukum islam ?
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam
ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh
sebab itu, Syekh Ibrahim menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga,
hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan.
Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur
keturunan) akan semakin kabur.3
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini.
Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang
Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut
negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini
ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang
sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang
terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. Agama
melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai
esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan
keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia
lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.
Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada.
Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu
berusia usia 6 tahun),Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi
Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini.
Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu,
sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat
muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan

3
Ibrahim, al Bajuri , vol. 2, (Toha Putra, Semarang, 2006), h. 90
sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini
tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh
dan mudah terpatahkan.4
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik
dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh
diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak
bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.5 Hadis Nabi kedua
berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak
perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa
dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.6
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu,
saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak
mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas,
akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakantindakan asusila di masyarakat.
Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam
pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi
manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan
selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam
Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini
bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon
dinamika perkembangan zaman.7

4
Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol. Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 9 h.237.
5
Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir , Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.210.
6
Ibid., h.501.
7
Imam Syatibi, al Muwafaqot , Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.220
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun
hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang
pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula
agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
Sebuah permasalahan yang cukup dilematis. Menyikapi masalah tersebut, penulis
teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al
Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut
untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.8
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat
individualrelatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi
masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari
kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik.
Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang”
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.

4. Mengapa terjadi pernikahan di bawah umur ?


Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. 9
Perkawinan adalah perintah Alllah Swt., perintah pelaksanaan perkawinan ini
dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam berinteraksi satu sama
lainnya. Arti pentingnya perkawinan tersebut sehingga Negara hadir untuk
merumuskan sebuah aturan Perkawinan yakni dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan perkawinan
merupakan perjanjian antara calon suami dan calon isteri sebelum menapaki
ikatan perkawinan.10

8
Izzudin Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam , vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.90
9
Beni Ahmad Saebani. (2008). Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Perspektif
Fiqh Munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya. Bandung: CV
Pustaka Setia, hal. 13
10
Bukido, R. (2016). Urgensi Perjanjian dalam Lalu Lintas Hubungan Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah
Al-Syir'ah, 6(1).
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang dasar perkawinan,
syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, dan lain-lain. Salah satu dasar
perkawinan yang diatur dalam UU tersebut adalah tercantum dalam Pasal 2 ayat
(2) yakni tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Perkawinan di bawah umur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah semua
bentuk perkawinan yang dilakukan di masyarakat yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 tahun 1974.
Rumusan Pasal tersebut adalah perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia
16 (enam belas) tahun.
Perkawinan di bawah umur yang terjadi di masyarakat sangat bertentangan
dengan Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Perkawinan
yang dilaksanakan tersebut tergolong sebagai perkawinan anak sebab umur
mereka saat melangsungkan perkawinan belum mencapai 18 tahun. Perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut
bertentangan dengan UU Perlindungan Anak sebab syarat minimum yang
dijelaskan dalam Pasal 7 tersebut (perempuan 16 tahun laki-laki 19 tahun)
tergolong kategori anak bagi pihak perempuan.

A. Penyebab perkawinan di bawah umur


Penyebab utama terjadinya perkawinan anak di bawah umur adalah keinginan
untuk segera mendapat tambahan anggota keluarga, tidak adanya pengetahuan
mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda baik bagi mempelai maupun bagi
keturunannya. Faktor utama lainnya adalah mengikuti adat secara mentah-
mentah.Hollean dan Suryono, perkawinan di usia muda terjadi karena masalah
ekonomi keluarga terutama di keluarga si gadis. Orang tuanya meminta keluarga
laki-laki untuk mengawinkan anak gadisnya, sehingga dalam keluarga gadis akan
berkurang satu anggota keluarga yang jadi tanggungjawab (makanan, pakaian,
pendidikan dan lain sebagainya).Faktor penyebab lainnya adalah ekonomi,
pendidikan, orang tua, media massa dan internet, biologis, hamil di luar nikah,
dan faktor adat.
a. Faktor ekonomi Hal ini terjadi karena keluarga si gadis berasal dari
keluarga yang kurang mampu. Orang tuanya pun menikahkan si
gadis dengan laki-laki dari keluarga mapan. Hal ini tentu akan
berdampak baik bagi si gadis maupun bagi orang tuanya. Si gadis
bisa mendapat kehidupan yang layak serta beban orang tuanya bisa
berkurang. Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga
yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang
tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang
dianggap mampu.
b. Faktor Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak
dan masyarakat membuat terjadinya perkawinan anak di bawah
umur.
c. Faktor Orang Tua Orang tua khawatir anak menyebabkan aib
keluarga atau takut anaknya melakukan zina saat berpacaran maka
mereka langsung menikahkan anaknya dengan pacarnya. Niat ini
memang baik, untuk melindungi sang anak dari perbuatan dosa.
d. Faktor Media Massa dan Internet Disadari atau tidak, anak di
zaman sekarang sangat mudah mengakses segala sesuatu yang
berhubungan dengan seks dan semacamnya. Hal ini membuat
mereka “terbiasa” dengan hal-hal berbau seks dan tidak
menganggapnya.tabu lagi. Pendidikan seks itu sangat penting sejak
dini, tapi bukan berarti anak-anak tersebut belajar sendiri tanpa
didampingi orang dewasa.
e. Faktor Biologis Faktor ini muncul salah satunya karena media
massa dan internet. Mudahnya akses informasi tadi, anak-anak jadi
mengetahui hal-hal yang belum seharusnya mereka tahu di
usianya. Akibatnya adalah terjadilah hubungan di luar nikah yang
bisa menjdi hamil di luar nikah. Mau tidak mau, orang tua harus
menikahkan anak gadisnya.
f. Faktor Hamil Di Luar Nikah Hamil di luar nikah bukan hanya
karena “kecelakaan” tapi bisa juga karena diperkosa sehingga
terjadilah hamil di luar nikah. Orang tua yang dihadapkan dalam
situasi tersebut pastilah akan menikahkan anak gadisnya, bahkan
bisa dengan orang yang sama sekali tidak dicintai orang si gadis.
Hal ini semakin dilematis karena tidak sesuai dengan Undang-
Undang Perkawinan. Rumah tangga berdasarkan cinta saja bisa
goyah, apalagi karena keterpaksaan.
g. Faktor Adat Faktor ini sudah mulai jarang muncul, tapi masih tetap
ada. Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut
anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.Faktor
lainnya yang mempengaruhi terjadinya perkawinan di bawah umur,
yaitu : keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota
keluarga , tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun
keturunannya, sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang
dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa
mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena
mengikuti adat kebisaaan saja.
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono
disebabkan oleh masalah ekonomi keluarga, orang tua dari gadis meminta
masayarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya,
bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, dalam keluarga gadis akan
berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan,
pakaian, pendidikan dan sebagainya).Pernikahan anak di bawah umur merupakan
suatu fenomena sosial yang kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena
pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es,
sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah
masyarakat luas.
5. Apa dampak dari pernikahan dini ?

Dampak Positif dan Negatif dari Pernikahan Dini


 Dampak Positif
Berbagai dampak positif pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur
dapat dikemukakan sebagai berikut.:
a. Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih
kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan
beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
c. Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan
mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup
mereka secara finansial dan emosional.
d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu
masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada
orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka
tanpa bergantung pada orang tua.
e. Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

 Dampak Negative
Berbagai dampak positif pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur
dapat dikemukakan sebagai berikut.:
a. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru
akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan
organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan
apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi
antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
b. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang
sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir
pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain
itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta
hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
c. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya
dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama apapun termasuk agama Islam (Rahmatan lil Alamin) yang sangat
menghormati perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki
yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
d. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun
dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan
dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81,
ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana
denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal
akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh
bagi yang lain.
e. Dampak terhadap masing-masing keluarga
Dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antarta
anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya
masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak
bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan
bertambahnya biaya hidup mereka dan yang palinng parah lagi akan memutuskan
tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.11

6. Upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi tingginya angka


pernikahan dini ?
Melihat maraknya kasus pernikahan dini di Indonesia disertai dengan
dampak yang akan didapat akibat pernikahan dini, maka penting bagi kita untuk
menyadarkan masyarakat bahwa pernikahan dini perlu untuk diantisipasi atau
diatasi. Untuk itu, berikut adalah cara-cara yang bisa diterapkan untuk membantu
mengurangi adanya risiko pernikahan dini.
Menurut Maholtra, dkk (2011), terdapat banyak  program penanganan pernikahan
dini yang telah diterapkan diberbagai negara, namun berikut beberapa program
pencegahan pernikahan yang disampaikan:

A. Memberdayakan anak dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan


pendukung lainnya.
Program ini berfokus pada diri anak dengan cara pelatihan, membangun
ketrampilan, berbagi informasi, menciptakan lingkungan yang aman, dan
mengembangkan jejaring dukungan yang baik. Program ini bertujuan agar anak
memiliki pengetahuan yang baik mengenai diri mereka dan agar mereka mampu
mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi baik secara jangka panjang maupun
jangka pendek.
Beberapa program yang telah dilakukan sebelumnya yaitu:
latihan keterampilan hidup tentang kesehatan, nutrisi, keuangan, komunikasi,
negosiasi, pengambilan keputusan, dan tema yang terkait lainnya:
1. Pelatihan keterampilan vokasional agar anak-anak yang berisiko
mengalami pernikahan dini memiliki aktivitas yang berpenghasilan..
2. Pelatihan pengetahuan mengenai kesehatan sexual dan reproduksi.

11
https://www.academia.edu/34297318/
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan
anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan
menggunakan berbagai media.
4. Mentoring dan pelatihan peer group yang ditujukan untuk
pemuda/pemudi, orang dewasa lainnya, guru, dll, agar menunjang
penyebaran informasi dan mendukung anak-anak perempuan yang
berisiko menikah dini.
5. “Safe spaces” atau forum, kelompok, dan pertemuan yang memungkinan
adanya proses tatap muka, berkumpul, terhubung, dan bersosialisasi
dengan lingkungan di luar rumah.
B. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak
digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk
menciptakan suatu lingkungan yang baik, disebabkan karena ditangan keluarga
dan anggota masyarakat yang tua-lah keputusan pernikahan anak dilakukan atau
tidak.
Program yang melibatkan strategi ini diantaranya ialah:
1. Pertemuan tatap muka dengan orangtua, komunitas, dan pemuka agama
untuk  memperoleh dukungan.
2. Edukasi terhadap kelompok dan komunitas mengenai konsekuensi dan
alternatif terhadap pernikahan anak.
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan
anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan
menggunakan berbagai media.
4. Kampanye yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat yang berpengaruh,
kepala keluarga, dan anggota komunitas.

C. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak


Penelitian banyak yang menemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan
sangat berkorelasi dengan penundaan usia menikah. Di sekolah, anak dapat
mengembangkan ketrampilan sosial sehingga memungkinkan adanya perubahan
norma mengenai pernikahan dini.
1. Menyiapkan, melatih, dan mendukung anak-anak perempuan untuk
mendaftar sekolah.
2. Program peningkatan kurikulum sekolah dan pelatihan guru untuk
menyampaikan materi dan topik seperti ketrampilan hidup, kesehatan
sexual dan reproduksi, HIV/AIDS, dan kesadaran peran gender.
3. Program pemberian uang tunai, beasiswa, subsidi, seragam, dan suplai
lainnya agar anak-anak perempuan bersedia menjalani proses belajar
mengajar.12

BAB 3
KESIMPULAN

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah umur yang


telah ditetapkan dalam pernikahan usia sehat menurut BKKBN, yaitu perempuan
yang menikah pertama kali pada umur di bawah 20 tahun dan laki-laki di bawah
umur 25 tahun pada pernikahan pertamanya. Penetapan ini berkaitan dengan
kesehatan reproduksi. Berdasarkan kesehatan reproduksi, kehamilan di bawah
umur 20 tahun bagi perempuan akan banyak risikonya karena kondisi rahim dan
panggul belum berkembang optimal.
Pernikahan dini berkaitan dengan banyaknya remaja yang putus sekolah
dan pendidikan yang rendah, akibatnya perekonomian semakin terpuruk karena
keahlian belum ada. Kebanyakan dari informan penelitian adalah mereka yag
tidak atamat sekolah dasar (SD), karena pendidikan yang rendah sehingga dalam
mendidik anak tidak dengan pola asuh yang benar dan akhirnya anak juga
melakukan pernikahan dini.

12
Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., (2011). Solutions to end child marriage: what the
evidence shows. Washington, DC: ICRW; 2011.
Selanjutnya yaitu karena motif ekonomi yang ingin mengurangi beban
orang tua, agar kebutuhan sehari-hari menajadi tanggung jawab suami. Maka
ketika sudah ada yang melamar mau-mau saja menikah dini, tapi pada
kenyataannya malah menambah beban orang tua karena belum memiliki
pekerjaan.
Selain itu juga ada pengaruh dari teman sebaya (peer group), kebanyakan
pernikahan dini yang terjadi juga karena pengaruh lingkungan yang melihat
teman-teman menikah sehingga juga punya keinginan untuk segera menikah.
Mereka hanya memikirkan senang kalau sudah menikah karena melihat
temantemannya yang sudah menikah dan takut juga kalau harus kehilangan
pasangannya jika tidak segera menikah.
Jadi kesimpulanya adalah pernikahan dini itu lebih banyak memberikan
efek negatif daripada efek positifnya dikarenakan kebanyakan dari pernikahan
dini itu pelakunya adalah para remaja yang pada dasarnya belum siap secara
ekonomi, fisik, mental dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
BAB V.pdf (unand.ac.id)
eprints.stainkudus.ac.id/1088/4/FILE 4 BAB I.pdf
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/terampil/article/download/1323/1051
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/pernikahan-dini-dalam-islam
https://media.neliti.com/media/publications/23616-ID-pernikahan-dini-dalam-
perspektif-hukum-islam.pdf
https://www.academia.edu/34297318/
https://www.scribd.com/document/324491162/Pengertian-Pernikahan-Dini
Jurnal Penelitian Keislaman Vol.14 No.2 (2018): 153-161
Jurnal Prudentie Vol 5 Nomor 2 Desember 2018
Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., (2011). Solutions to end child
marriage: what the evidence shows. Washington, DC: ICRW; 2011.

Anda mungkin juga menyukai