Anda di halaman 1dari 11

http://www.mustaqimjnet.com/2015/01/makalah-pernikahan-dini-menurut.

html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Statistik kejadian pernikahan dini meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca
beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audiovisual) akan
pernikah dini yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan
tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat
konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh
masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang
berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan
bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan dini yang
dilakukan oleh selebritis) yang melatarbelakangi kami untuk memilih topik Pernikahan
Dini sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari berbagai
pemberitaan akan Pernikahan Dini yang terjadi, masih banyak orang yang salah
mengartikan pernikahan dini dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu
juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik Pernikahan Dini
ini.
Kami berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai sumber
informasi terkait topik pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaikbaiknya untuk mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber dan narasumber
untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh
pihak-pihak yang membutuhkan.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini antara lain :
a. agar siswa (pembaca makalah dan audiens presentasi) memahami berbagai definisi akan
pernikahan dini.
b. agar siswa dan siswi mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait memnikah diusia dini
baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan pembahasan berbagai rancangan undang-undang.
c. agar siswa mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari prenikahan dini.
d. siswa dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait pernikahan diusia dini dan
e.

berdiskusi satu sama lain.


Memenuhi salah satu syarat atau tugas mata pelajaran pendidikan agama islam.

1.3 Manfaat
a.

Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif-positifnya pernikahan diusia
dini, siswa akan dapat mengerti bahwa menikah diusia dini lebih banyak menimbulkan hal
negatif dan pada akhirnya dapat dijadikan pencegahan akan terjadinya pernikahan dini.

b. Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan tidak baiknya menikah diusia
dini terutama untuk latar belakang non-kekurangan biaya.
c.

Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya pernikahan dini itu dan tindakan apa yang
dapat kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya pernikahan diusia dini.

d.

Menambah pengetahuan siswa agar memahami berbagai fakta, pro dan kontra terkait
pernikahan diusia dini dan hukum-hukum yang terkait di dalam pernikahan dini.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Pernikahan Dini
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang
sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau
Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks
pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di
bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun
perguruan tinggi.
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah?
Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu
sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan
di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena
kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca
jelas dalam senetron Pernikahan Dini yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun

televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi,
untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh
sinetron tersebut.
1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial
telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya
Indahnya Pernikahan Dini, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya Children
Development Through: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah
bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran
utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa
menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu
dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa
menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet
nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan
hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi
dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak
(Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M.
Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di
usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna
dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya,
menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang
sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada
gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian
yang mengesankan ibid).
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian
meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang
rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal
ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali
tidak bias dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90%

mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan
bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita
akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para
gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum
remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.
1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama
Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka
bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah.
Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga
kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya
adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap
aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan
mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas
tahun.

Ada

Sebelumnya,

menarik

apa
diperhatikan

dengan
sabda

syabab?
Nabi

savv,

perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan
tempat tidurnya (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah
isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju
kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad yang silam. Kini,
dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik)
yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering
terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah
dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Masud ra, selalu membangun orientasi menikah
kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi
isteri yang shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah
kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman. Bukankah

Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam
suratal-Nur ayat 32 yang artinya, dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya
kaya dengan karunia-Nya. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya,
Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.
2.2. Cinta dan Perkawinan
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa
menemukannya?
Gurunya menjawab, Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan
tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan
ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.
Gurunya bertanya, Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?
Plato menjawab, Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur
kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak
tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut
Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting ranting yang
kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada
akhirnya
Gurunya kemudian menjawab Jadi ya itulah cinta
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, Apa itu perkawinan? Bagaimana saya
bisa menemukannya?
Gurunya pun menjawab Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh
mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah
jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa
itu perkawinan
Plato pun menjawab, Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah
hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini,
aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk
menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkannya
Gurunyapun kemudian menjawab, Dan ya itulah perkawinan

Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.


Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.
Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah
kehampaan tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali.
Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.
Terimalah cinta apa adanya.
Perkawinan

adalah

kelanjutan

dari

Cinta.

Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan
yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.
Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia sialah waktumu dalam mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Hukum Pernikahan
Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua
orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian
masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga
Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun
Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 1220% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan
usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya
di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 2528 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah
berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun
mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat,

hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional,
ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa
merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang
melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor
yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
3.2. Dampak Pernikahan Dini
Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena
merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan
berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.:
1. Dampak terhadap hukum
Adanya
a.

pelanggaran
UU

terhadap

No.

Undang-undang
tahun

di

1974

negara

kita

tentang

yaitu:

Perkawinan

Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
b.
Pasal

UU

No.

26

mengasuh,

(1)

23
Orang

tahun
tua

2002

berkewajiban

memelihara,

tentang
dan

mendidik

dan

Perlindungan

bertanggung

jawab

melindungi

Anak
untuk:
anak

1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c.

UU

No.21

tahun

2007

tentang

PTPPO

Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang
mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut.
Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari
perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing
Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan
yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi
ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks
dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2
menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan
menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak
lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk
melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku
untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).
3.3. Upaya Menyikapi atau mencegah Terjadinya Pernikahan Dini
Sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat
luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan
anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi
bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang
kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW
dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang undangan yang belaku di Indonesia
dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada
alasan lagi pihak pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan
pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan
hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak pihak yang
ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu
sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang
undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi sanksi bila melakukan
pelanggaran dan menjelaskan resiko resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan
anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu
dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus
dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal
bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di
bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat

merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di
bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban
akibat pernikahan tersebut dan anak anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa
depannya kelak.

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi
dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh
bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat
yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktorfaktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah
umur. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

B. Saran

Menikahlah kamu diusia yang cukup matang. Idealnya untuk perempuan adalah 2125 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan
secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan
keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan
fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik
sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

a.
b.
c.
d.
e.

Artikel Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan


Google.com keyword : definisi PERNIKAHAN DINI
Buku Agama Islam Sekolah Menengah Atas kelas XII
www.2pik.co.cc
www.apikkondang.co.nr

Anda mungkin juga menyukai