Oleh :
Kelompok IV
Kelas IA
Faramita Hasrida
Musfira dewi Rilawati
Sri wahyuni Hardianti.k
Aulia sahnas Nurhayati
Nurul ayunita A.Dwi rusmawati
KATA PENGANTAR
14-02-2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan dini merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia
belakangan ini. Ini sudah seperti bagian dari budaya masyarakatnya sendiri. Menjadi agak
sulit untuk dilepaskan karena itu sudah menjadi semacam bagian dari kebiasaan masyarakat
Indonesia, terlebih mereka yang terbiasa dengan hal tersebut.
Seperti hendak memasuki jenjang pendidikan tertentu, seseorang memiliki batas usia minimal
untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Untuk anak perempuan, batas minimal
diperbolehkan menikah adalah ketika menginjak usia 16 tahun, kecuali orang-orang zaman
dahulu yang rata-rata menikah pada usia 12 tahun. Meskipun sudah matang dan
diperbolehkan untuk menikah, rasanya menikah diusia 16 tahun masih rentan terhadap resiko
yang akan terjadi pada fisik dan psikisnya.
Sementara itu, untuk laki-laki, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun. Di luar batas
minimal itu, seseorang dilarang untuk menikah, terutama di mata hukum negara. Jika
seseorang akan melangsungkan pernikahan di bawah usia tersebut, surat izin dari kedua
orang tua mutlak diperlukan, supaya pernikahan dini bisa diminimalisir.
B. Rumusan masalah
a) Apa itu perkawinan. ?
b) Apa yang harus di lakuka untuk mencegah pernikahan dini. ?
c) Apa dampak dari pernikahan dini ?
d) Factor apa yang melandasi pernikahan dini ?
e) Hukum pernikahan dini ?
f) Pandangan islam tentang pernikah dini ?
g) Apa itu single parent ?
h) Apa Penyebab Orang Tua Tunggal ?
i) Apa Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi ?
j) Masalah orang tua tunggal
k) Penaggulangan orang tua tunggal
l) Hal apal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
m) Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
n) Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil
o) Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single Parent
p) Penanganan Single Parent
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah
a. Mengetahui pernikahan dini
b. mengetahuiUpaya pencegahan pernikahan dini
c. mengetahui dampak dari pernikahan dini
d. mengetahui factor pernikahan dini
e. hukum pernikahan dini
f. pandangan islam tentang pernikahan dini
g. mengetahui apa itu single parent dan penyebabnya
h. dampak single parent bagi wanita termasuk reproduksi
i. dampah single parent bagi anak
j. ciri keluarga single paret yang berhasil
k. memperluas wawasan mahasiswa tentanf pernikakhan dini dan
single parent
D. Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERNIKAHAN DINI
Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan
keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut
penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya
berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah
syahwat kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang
dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak
peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja,
mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa
tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa
pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung
perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum
dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah
ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan
kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah
tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.
Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19
sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka
kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata
dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka
berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam
yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab
itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang
telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau
telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh
tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh
tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi
menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah
adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang
beriman. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah,
seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin
maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga
menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.”
1. Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan dini
Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh
salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja laki-
laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : “Saya terpaksa menikah karena
terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil.” Lalu, “Apa yang
terjadi setelah menikah?” tanya sang penyiar tadi. “Dunia berubah 180 derajat Dari
bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam
anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun.”
Dari cerita ini bisa tergambar bagaimana sibuknya seorang remaja menata dunia
yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini.
Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan
bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut
perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ambil contoh pernikahan pasangan artis Wulan Guritno dengan Attila Syah.
Keduanya menikah pada usia di bawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama meski
sudah memiliki anak, keduanya mencoba terus bertahan dan menampilkan sosok
pasangan cukup bahagia. Namun pertahanan itu jebol juga. Perceraian tak dapat
ditolak, pertengkaran pun masih berbuntut panjang meski hakim telah memberikan
surat bukti cerai.
Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa
cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau
menikah dalam usia muda, menurut Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur
Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, memiliki dua dampak cukup berat.
“Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil
sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah
mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 – 30 tahun. Dari segi
mental pun, emosi remaja belum stabil.”
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat
itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, ungkap Edi, boleh di bilang
baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 – 24 tahun dalam psikologi,
dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya
mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka,
kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin
bertualang menemukan jati dirinya.
“Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani
suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar
tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak
dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, pisah rumah, bahkan bisa
mengalami depresi berat,” jelasnya.
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada
kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si
remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan
menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang
adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si
remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti,
perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis
kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
“Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau
remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi
mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal,” jelas psikolog yang rajin
meneliti kehidupan remaja melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
yang dibina BKKBN.
“Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka
diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan
masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau
berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari
keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan
bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.”
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi
atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam
bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena
“kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh
karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan
merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah,
itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit
dilakukan pada pernikahan usia remaja. Pada tahap awal, mungkin wanitanya bisa
berubah, tapi laki-lakinya tidak. Sehingga di wanita akan merasa capek sendiri, atau
juga sebaliknya. Lalu, perlukah orang ketiga untuk mendamaikan permasalahan
remaja?
Terkadang, remaja memiliki ambisi pribadi untuk mempertanggungkan hasil
perbuatannya dan akan mudah tersinggung bila orang lain ikut campur dalam
kehidupannya. Bahkan orangtua terkadang hanya bisa geleng kepala, melihat
tingkat remaja yang tidak mempan diberi nasihat dalam bentuk apapun. Oleh karena
itu, orang ketiga yang diharapkan mampu mendamaikan persoalan rumah tangga
remaja, tidak selalu orangtua, tetapi orang yang dituakan. Artinya, pihak ketiga itu
bisa saja saudara, teman, paman ataupun kerabat lainnya.
Pernah kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi
anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian
khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya,
perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan
anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini
atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur dapat dikemukakan sbb.
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru
akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan
organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah
hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara
isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan)
terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga
akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9
tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang
melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah
dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan
dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati
perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya
patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
Itu bisa terjadi bila hubungan antara dua lawan jenis ini begitu dekat dan lengket.
Sebab, tidak mungkin terjadi hal itu bila hubungannya terjaga dengan benar dan
baik. Sementara dalam pacaran, kamu tahu sendiri bagaimana aktivitasnya? Liar!
Begitulah gambaran perbuatan yang mendekati dengan perzinaan. Dan sudah jelas
bahwa aktivtas zina itu adalah haram. Firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isrâ [17]: 32
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 216).
Ini memang aneh, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul bebas
dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan dipermudah
aksesnya. Kalau dipikir secara logis ibadah yang ingin kita lakukan dipersulit tapi,
kalau mau mejalankan maksiat selalu dipermudah. Kalau untuk nikah saja kita harus
mengurus beragam administrasi. Selain itu kita masih dihadang dengan peraturan
pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan.
Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal,
yakni belum siap mental dan belum punya biaya. Inilah dilema bagi remaja. Maka
jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang
tidak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas. Sehingga, makin
menambah keyakinannya bahwa MBA adalah jalan terbaik bila saat pacaran mereka
kebablasan. Bukan tak mungkin pula bila kemudian ada remaja yang nekat
menghamili pacarnya bila hubungan mereka tak direstui oleh ortunya. Dan ini
sebagai bukti bahwa ternyata nikah dipersulit kecuali kalau “kecelakaan”.
Kendala internal insyaAllah masih bisa dicari jalan keluarnya. Tapi kalau
sudah kendala eksternal itu sulit. karena melibatkan komponen yang lebih rumit dan
sulit diajak kompromi.
Dalam ajaran agama kita telah diatur dengan jelas, bagaimana seharusnya kita
bersikap dan bertingkah laku. Tentu supaya kita selamat di dunia dan di akhirat. Jadi
sebetulnya, nikah dalam usia dini lebih baik dari pada MBA. Nikah ibadah, gaul
bebas maksiat. Namun, bila kita masih belum mampu ke arah sana. Lebih baik
hindari pacaran, seringlah berpuasa, dan fokus belajar
Dampak negative
a. Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang
yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan
membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil
contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau
SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh
pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain,
pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
b. Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam
masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja
sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan
yang dimilikinya.
c. Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit
Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang
menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah
mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh
pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit
kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi
pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa
peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya
pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19
tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi
kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau
dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah
usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke
atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan,
keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko
meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang
melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah
tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak
kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan
anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat
mengalami trauma.
Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini
dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria
dan 16 tahun untuk wanita.
B. SINGEL PARENT
a) Definisi Single Parents
Single parent adalah seorang ayah atau seorang ibu yang memikul tugasnya
sendiri sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Orang tua tunggal atau
biasa disebut dengan istilah single parent adalah orang tua yang hanya terdiri dari
satu orang saja, dimana didalam rumah tangga ia berperan sebagai ibu dan juga
berperan sebagai ayah. Saat ini keluarga orang tua tunggal memiliki serangkaian
masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orang tua yang
membesarkan anak. Bila diukur dengan angka mungkin lebih sedikit sifat positif
yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan dengan
keluarga dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi
anak dan perkembangannya karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai
pasangan untuk saling menopang.
Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilhan yang sangat berat,
walaupun demikian daripada aborsi dan menambah beban dosa, mereka lebih ikhlas
menjadi oarng tua tunggal. Untuk iini mereka juga harus siap menerima reaksi dari
orang tua, keluarga dan dikucilkan entah untuk sementara atau untuk selamanya.
Belum lagi menjadi gunjingan maupun dicibirkan oleh teman, tetangga maupun
rekan kerja. Untuk menjalani semua itu dibutuhkan kekuatan hati dan daya juang
yang tinggi, termasuk mengikis perasaan dendam kepada silelaki notabene ayah
dari anaknya sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang sudah menikah siap atau
tidak predikat janda dengan anak yang disandangnya. Untuk menjadi orang tua
tunggal itu tidaklah mudah.
Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah
menikah dan sempat atau pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa
saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal oleh pasangan hidupnya, ataupun
akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau
bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja
yang terlibat dalam pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :
• Perceraian
• Kematian
• Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi
anak orang lain (majalah ayah bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya
atau perceraian, dan beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk
mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara
yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak
mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu
menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai
terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi
kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak.
Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan
dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan
perceraian dan mereka paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14
tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
1. pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang
pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya
kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
2. masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi
keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
3. adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
4. pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
5. tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
6. sering mabuk dan judi;
7. ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
8. keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
9. kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
10. berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian
dan kebersamaan di antara pasangan;
11. tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak
sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004;
155)
c) Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal
seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak
memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena
terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap
tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi,
sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun
sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma
dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah
perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri dalam karir mereka dan
tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai usia 30-an. Pada saat
itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka bertemu
jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki
anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih
muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi
hamil dengan cara inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa
dokter tidak mau artifisial membuahi seorang wanita yang belum menikah. Beberapa
yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat
dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya,
terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak
memerlukan hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin
membesarkan anak sendiri dan takut bahwa jika mereka tahu ayah, ia kemudian
bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang
bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan
terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak akan menikah.
Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan
anak-anak mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka
menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab
yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi
baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu
tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan
juga di Internet).
j) Dilema anak
Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat
saling memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk
selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak
o Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar
dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
o Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak
kehilangan kepercayaan diri
o Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia
untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri