Anda di halaman 1dari 31

NIKAH DINI & SINGEL PARENT

Oleh :
Kelompok IV
Kelas IA
Faramita Hasrida
Musfira dewi Rilawati
Sri wahyuni Hardianti.k
Aulia sahnas Nurhayati
Nurul ayunita A.Dwi rusmawati

AKADEMI KEBIDANAN SYEKH YUSUF-GOWA


T.A 2013

KATA PENGANTAR

assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. alhamdulillahirabbilalamin.


Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik. shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta yakni nabi muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
PENIKAHAN DINI & SINGEL PARENT, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan
dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “pernikahan dini &
single parent” yang banyak di temui di kalangan masyarakat.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
mohon untuk saran dan kritiknya yang bersifat membangun.

14-02-2013

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan dini merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia
belakangan ini. Ini sudah seperti bagian dari budaya masyarakatnya sendiri. Menjadi agak
sulit untuk dilepaskan karena itu sudah menjadi semacam bagian dari kebiasaan masyarakat
Indonesia, terlebih mereka yang terbiasa dengan hal tersebut.
Seperti hendak memasuki jenjang pendidikan tertentu, seseorang memiliki batas usia minimal
untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Untuk anak perempuan, batas minimal
diperbolehkan menikah adalah ketika menginjak usia 16 tahun, kecuali orang-orang zaman
dahulu yang rata-rata menikah pada usia 12 tahun. Meskipun sudah matang dan
diperbolehkan untuk menikah, rasanya menikah diusia 16 tahun masih rentan terhadap resiko
yang akan terjadi pada fisik dan psikisnya.
Sementara itu, untuk laki-laki, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun. Di luar batas
minimal itu, seseorang dilarang untuk menikah, terutama di mata hukum negara. Jika
seseorang akan melangsungkan pernikahan di bawah usia tersebut, surat izin dari kedua
orang tua mutlak diperlukan, supaya pernikahan dini bisa diminimalisir.

B. Rumusan masalah
a) Apa itu perkawinan. ?
b) Apa yang harus di lakuka untuk mencegah pernikahan dini. ?
c) Apa dampak dari pernikahan dini ?
d) Factor apa yang melandasi pernikahan dini ?
e) Hukum pernikahan dini ?
f) Pandangan islam tentang pernikah dini ?
g) Apa itu single parent ?
h) Apa Penyebab Orang Tua Tunggal ?
i) Apa Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi ?
j) Masalah orang tua tunggal
k) Penaggulangan orang tua tunggal
l) Hal apal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
m) Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
n) Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil
o) Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single Parent
p) Penanganan Single Parent

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah
a. Mengetahui pernikahan dini
b. mengetahuiUpaya pencegahan pernikahan dini
c. mengetahui dampak dari pernikahan dini
d. mengetahui factor pernikahan dini
e. hukum pernikahan dini
f. pandangan islam tentang pernikahan dini
g. mengetahui apa itu single parent dan penyebabnya
h. dampak single parent bagi wanita termasuk reproduksi
i. dampah single parent bagi anak
j. ciri keluarga single paret yang berhasil
k. memperluas wawasan mahasiswa tentanf pernikakhan dini dan
single parent

D. Manfaat

a. Mengetahui apa itu pernikahan dini


b. mengetahuiUpaya pencegahan pernikahan dini
c. mengetahui dampak dari pernikahan dini
d. mengetahui factor pernikahan dini
e. hukum pernikahan dini
f. pandangan islam tentang pernikahan dini
g. mengetahui apa itu single parent dan penyebabnya
h. dampak single parent bagi wanita termasuk reproduksi
i. dampah single parent bagi anak
j. ciri keluarga single paret yang berhasil

BAB II
PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN DINI

Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan
keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut
penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya
berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah
syahwat kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang
dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak
peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja,
mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa
tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa
pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung
perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum
dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah
ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan
kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah
tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.

1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi


Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis
dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim
dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat
bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan
masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang
lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan
kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif
untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak
perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan
justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang
(seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain
itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga
sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin
mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya
Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi
humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih
mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding
dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya,
menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan
seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis
manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak
pertumbuhan kepribadian yang mengesankan ibid).
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka
perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti,
pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan
“kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena
kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta
orientasi nikah yang kuat.
Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja
barangkali tidak bias dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah
penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini
sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama
yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita akan menyaksikan kehancuran
yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para gadis (yang sudah tidak
gadis lagi) hamil di luar nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya
satu jawabnya: nikah.
2. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19
sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka
kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata
dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka
berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam
yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab
itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang
telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau
telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh
tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh
tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi
menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah
adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang
beriman. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah,
seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin
maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga
menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.”
1. Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan dini

Pernikahan dini merupakan fenomena social yang sering terjadi khususnya di


Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti
fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di
dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk
memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah
mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi bermasalah karena
masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan
informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW
dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang – undangan yang belaku di
Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah
umur. Jadi tidak ada alasan lagi pihak – pihak tertentu untuk melegalkan tindakan
mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku
terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin
melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu
sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat
mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta
sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko
terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada
masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa
pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari.
Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal
bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan
anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan
masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya
pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada
lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak
Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.

Penanganan Perkawinan Usia Muda


a. Pendewasaan usia kehamilan dengan penggunaan kontrasepsi sehingga kehamilan
pada waktu usia reproduksi sehat.
b. Bimbingan psikologis. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pasangan dalam
menghadapi persoalan-persoalan agar mempunyai cara pandang dengan
pertimbangan kedewasaan, tidak mengedepankan emosi.
c. Dukungan keluarga. Peran keluarga sangat banyak membantu keluarga muda baik
dukungan berupa material maupun non material untuk kelanggengan keluarga,
sehingga lebih tahan terhadap hambatanhambatan yang ada.
d. Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan kesehatan, perbaikan gizi
bagi istri yang mengalami kurang gizi.

2. Dampak Pernikahan Dini (perkawinan di bawah umur)

Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh
salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja laki-
laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : “Saya terpaksa menikah karena
terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil.” Lalu, “Apa yang
terjadi setelah menikah?” tanya sang penyiar tadi. “Dunia berubah 180 derajat Dari
bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam
anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun.”

Dari cerita ini bisa tergambar bagaimana sibuknya seorang remaja menata dunia
yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini.
Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan
bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut
perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ambil contoh pernikahan pasangan artis Wulan Guritno dengan Attila Syah.
Keduanya menikah pada usia di bawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama meski
sudah memiliki anak, keduanya mencoba terus bertahan dan menampilkan sosok
pasangan cukup bahagia. Namun pertahanan itu jebol juga. Perceraian tak dapat
ditolak, pertengkaran pun masih berbuntut panjang meski hakim telah memberikan
surat bukti cerai.
Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa
cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau
menikah dalam usia muda, menurut Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur
Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, memiliki dua dampak cukup berat.
“Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil
sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah
mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 – 30 tahun. Dari segi
mental pun, emosi remaja belum stabil.”
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat
itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, ungkap Edi, boleh di bilang
baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 – 24 tahun dalam psikologi,
dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya
mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka,
kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin
bertualang menemukan jati dirinya.
“Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani
suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar
tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak
dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, pisah rumah, bahkan bisa
mengalami depresi berat,” jelasnya.
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada
kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si
remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan
menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang
adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si
remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti,
perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis
kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
“Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau
remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi
mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal,” jelas psikolog yang rajin
meneliti kehidupan remaja melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
yang dibina BKKBN.
“Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka
diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan
masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau
berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari
keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan
bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.”
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi
atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam
bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena
“kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh
karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan
merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah,
itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit
dilakukan pada pernikahan usia remaja. Pada tahap awal, mungkin wanitanya bisa
berubah, tapi laki-lakinya tidak. Sehingga di wanita akan merasa capek sendiri, atau
juga sebaliknya. Lalu, perlukah orang ketiga untuk mendamaikan permasalahan
remaja?
Terkadang, remaja memiliki ambisi pribadi untuk mempertanggungkan hasil
perbuatannya dan akan mudah tersinggung bila orang lain ikut campur dalam
kehidupannya. Bahkan orangtua terkadang hanya bisa geleng kepala, melihat
tingkat remaja yang tidak mempan diberi nasihat dalam bentuk apapun. Oleh karena
itu, orang ketiga yang diharapkan mampu mendamaikan persoalan rumah tangga
remaja, tidak selalu orangtua, tetapi orang yang dituakan. Artinya, pihak ketiga itu
bisa saja saudara, teman, paman ataupun kerabat lainnya.
Pernah kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi
anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian
khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya,
perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan
anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini
atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur dapat dikemukakan sbb.

1. Dampak terhadap hukum


Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
b) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c) UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua
anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut. Amanat
Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.Sungguh disayangkan apabila
ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang
undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan
salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing
Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.

2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru
akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan
organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah
hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara
isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan)
terhadap seorang anak.

3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga
akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9
tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang
melekat dalam diri anak.

4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah
dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan
dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati
perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya
patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

5. Dampak perilaku seksual menyimpang


Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun
dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan
UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya
pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum
300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap
orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak
ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah
umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut
ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan
menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami
peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku,
melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak
lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan
untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak
terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada.
(UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).

Resiko kesehatan pernikahan dini

Resiko kesehatan terutama terjadi pada pasangan wanita pada saat


mengalami kehamilan dan persalnan. Kehamilan mempunyai dampak negative
terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya ia belum siap mental untuk
hamil, namun karena keadaan ia terpaksa, menerima kehamilan resiko tinggi.
Berikut ini beberepa resiko tinggi kehamilan dan persalinan yang dapat di
alami oleh remaja (usia kurang dari 20 tahun):
1. Kurang darah (Anemi) pada masa kehamilan dangan akibat yang buruk bagi janin
yang di kandungnya seperti pertumbuhan janin yang terlambat, kelahiran
premature(tidak cukup bulan). 2
2. Kurang gizi pada masa kehamilan yang dapat mengakibatkan perkembangan
biologois dan kecerdasan janin terhambat. Bayi lahir dengan berat badan rendah.
3. Penyulit pada saat melahirkan seperti perdarahan dan persalinan lama.
4. Keracunan kehamilan, yang di tandai bengkak teruta,ma di kaki dan tangan serta
tekanan darah tinggi. Bila ini tidak mendapat pengobatan yang baik dan benar, maka
keadaan ini dapat menimbulkan kejang-kejang yang pada gilirannya dapat
membawa maut baik pada bayi maupun ibunya.
5. Ketidakseimbangan besar bayi dengan lebar panggul. Biasanya ini akan
menyebabkan macetnya persalinan. Bila tidak diakhiri dengan operasi Caesar maka
keadaan ini akan menyebabkan kematian ibu maupun janinya.
6. Pasangan yang kurang siap untuk menerima kehamilan cenderung untuk mencoba
melakukan pengguguran kandungan (Aborsi) yang dapat berakibat kematian bagi
wanita .
7. Karena kurang pengetahuan dan perawatan kesehatan reproduksi, pernikahan dini
beresiko tinggi untuk tertular penyakit menular seksual, seperti keputihan yang tidak
normal, kencing sakit dll.
8. Kemungkinan terjadinya kanker serviks (kanker dari leher Rahim wanita) pada
perkawinan usia muda lebih besar dari pada mereka yang kawin pada usia kira-kira
dua kali lipat untuk mendapatkan kanker di bandingkan dengan wanita yang
menikah pada umur yang lebih tua.
9. Resiko kematian ibu dan janin pada saat persalinan 2-4 kali lebih tinggi dari
persalinan wanita usia 20 sampai 35 tahun.
10. Anak-anak yang di lahirkan oleh ibu remaja mengalami beberapa masalah antara
lain: Perkembangan yang terhambat, premature (berat badan lahir rendah). Hal ini
selanjutnya akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan fisik
maupun mental anak.

3. faktor-faktor pernikahan dini


Dewasa ini banyak sekali remaja yang sudah terjerumus dalam jurang
kesesatan. Akan tetapi, mereka hampir tidak mempedulikanya. Memang benar, hal
yang paling menakutkan bagi remaja dalam pergaulan bebas mereka adalah
masalah kehamilan dan penyakit menular. Sehingga, saat pacaran mereka begitu
selektif dan ketat supaya tidak terjadi apa yang disebut dengan kehamilan atau
tertular penyakit seksual. Tapi teman remaja lupa, bahwa akar masalahnya justru
aktivitas pacarannya itu. Coba, dua insan berlainan jenis yang sedang dimabuk
asmara, pasti menginginkan untuk selalu bersama. Apabila rumahnya jauh, mereka
hanya memencet angka di HP-nya saja. Lalu tertawa melepas kerinduan, bahkan
tak heran mereka membicarakan hal-hal tentang pergaulan mereka. Dan bila ada
kesempatan, langsung membuat janji untuk bertemu. Pada akhirnya, jangan harap
kamu bisa mengendalikan diri.
Sebelum beranjak ke faktor-faktor, sebaiknya menjelaskan apa arti dari pacaran
itu sendiri. Pada hakikatnya pacaran tidak diperbolehkan di agama. Selain itu,
pacaran mendekati zina.

Tuduh-menuduh atau tuding-menuding tentang siapa yang harus bertanggung-


jawab, boleh-boleh saja. Namun ingat, kita harus teliti dan jangan asal tuduh. Tapi
yang pasti, pacaran sudah menjadi gaya hidup remaja. Benar, sepertinya kalau tidak
melakukan itu takut dianggap kuno. Maka jangan heran bila semua media massa
memberikan gambaran yang dibutuhkan dan harus dijalani kaum remaja, dan
pacaran adalah salah satunya Perlu diketahui, bahwa anak gadis di sana, pada usia
17 diberikan kebebasan oleh ortunya untuk bergaul dengan teman pria mereka
dengan sesuka mereka. Yang penting jangan mengkonsumsi narkoba atau berbuat
kriminal.
Dengan begitu, angka seks bebas di negara yang emang membiarkan terjadi
begitu terbukti tinggi. Sebagai contoh, dari data yang didapat PBB mengatakan
bahwa lebih dari 80% siswa SMU di Cina pernah melakukan hubungan seks bebas.
Celakanya lagi, mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang biasa. Malah
ada yang menyetujui hubungan itu. Menurut hasil survei PBB ada 30,4% yang setuju
dengan seks bebas dan 47,8% yang berpikir hal itu bisa dimaklumi.

Itu bisa terjadi bila hubungan antara dua lawan jenis ini begitu dekat dan lengket.
Sebab, tidak mungkin terjadi hal itu bila hubungannya terjaga dengan benar dan
baik. Sementara dalam pacaran, kamu tahu sendiri bagaimana aktivitasnya? Liar!
Begitulah gambaran perbuatan yang mendekati dengan perzinaan. Dan sudah jelas
bahwa aktivtas zina itu adalah haram. Firman Allah Swt:

ً‫س ِّبيل‬ َ ‫احشَةً َو‬


َ ‫سا َء‬ ِّ َ‫الزنَا ِّإنَّهُ كَانَ ف‬
ِّ ‫َوالَ تَ ْق َربُوا‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isrâ [17]: 32

Nikah dipersulit, gaul bebas dipermudah. Seringkali manusia suka terbalik


dalam menilai suatu perbuatan. Sebab, yang jadi patokan mereka dalam berbuat
cuma mengandalkan perasaan dan tidak mau menggunakan akalnya. akhirnya,
sering dibuat pusing oleh keputusannya sendiri. Dalam masalah pergaulan bebas,
masyarakat suka menilai bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan hanya dilihat
dari apakah perbuatan itu menguntungkan baginya secara materi atau tidak. Itu
salah besar. Sebab, yang kita anggap baik, belum tentu baik dalam pandangan
Allah. Dan begitupun sebaliknya. Firman Allah Swt:

َ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َوأَ ْنت ُ ْم الَ ت َ ْع َل ُمون‬ َ ‫سى أ َ ْن ت ُِّحبُّوا‬


َّ ‫ش ْيئ ًا َوه َُو ش ٌَّر لَ ُك ْم َو‬ َ ‫سى أ َ ْن تَك َْر ُهوا‬
َ ‫ش ْيئ ًا َوه َُو َخي ٌْر لَ ُك ْم َو‬
َ ‫ع‬ َ ‫ع‬
َ ‫َو‬

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 216).

Ini memang aneh, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul bebas
dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan dipermudah
aksesnya. Kalau dipikir secara logis ibadah yang ingin kita lakukan dipersulit tapi,
kalau mau mejalankan maksiat selalu dipermudah. Kalau untuk nikah saja kita harus
mengurus beragam administrasi. Selain itu kita masih dihadang dengan peraturan
pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan.

Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal,
yakni belum siap mental dan belum punya biaya. Inilah dilema bagi remaja. Maka
jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang
tidak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas. Sehingga, makin
menambah keyakinannya bahwa MBA adalah jalan terbaik bila saat pacaran mereka
kebablasan. Bukan tak mungkin pula bila kemudian ada remaja yang nekat
menghamili pacarnya bila hubungan mereka tak direstui oleh ortunya. Dan ini
sebagai bukti bahwa ternyata nikah dipersulit kecuali kalau “kecelakaan”.

Kendala internal insyaAllah masih bisa dicari jalan keluarnya. Tapi kalau
sudah kendala eksternal itu sulit. karena melibatkan komponen yang lebih rumit dan
sulit diajak kompromi.

Inilah salah satu produk kapitalisme, yang memang membolehkan setiap


individu untuk berbuat sesukanya, sebab semuanya dijamin dengan kebebasan
bertingkah laku yang ada dalam peraturan HAM. Inilah rusaknya sistem demokrasi.

Dalam ajaran agama kita telah diatur dengan jelas, bagaimana seharusnya kita
bersikap dan bertingkah laku. Tentu supaya kita selamat di dunia dan di akhirat. Jadi
sebetulnya, nikah dalam usia dini lebih baik dari pada MBA. Nikah ibadah, gaul
bebas maksiat. Namun, bila kita masih belum mampu ke arah sana. Lebih baik
hindari pacaran, seringlah berpuasa, dan fokus belajar

Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda:


1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia
muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi
mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan
orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda
hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan
oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis
akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan,
pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
d) Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih dibawah umur.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-
laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.

4. Hukum Pernikahan Dini

Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan


suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
ijin dari kedua orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai
sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah
umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu
daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di
Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru.
Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda usia rata-rata
umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan usia
pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri
khususnya di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang
telah melangsungkan perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun
sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan
secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk
melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia
itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan
keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari
satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan
bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah
pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini
dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.

5. Pandangan Islam Tentang Pernikahan Dini


Islam telah menganjurkan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk
melangsungkan pernikahan. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “wahai
pemuda siapa saja diantara kalian telah mampu memikul beban, hendaklah ia
segera menikah, karena hal itu dapat menundukkan pandangan mata dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa,
karena hal itu dapat menjadi perisai
Berdasarkan riwayat yang dituturkan oleh Al-Hasan yang bersumber dari samurah
Nabi SAW telah melarang hidup membujang.Al-Qur’an juga membawa ayat-ayat
yang jelas mengenai anjuran untuk melangsungkan pernikahan.Allah SWT berfirman
dalam QS. An Nisa[4] :3 yang artinya “nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang
kalian senangi dua, tiga atau empat”.
Dengan demikian, sebenarnya dalam islam tidak ada batasan tentang usia dimana
seorang harus menikah, tetapi yang ditekankan adalah kesiapan untuk membina
rumah tangga, kesiapan disini dari segi ilmu, mental, dan ekonomi. Jadi pernikahan
dini dalam Islam boleh-boleh saja,bahkan sangat dianjurkan agar menjaga
pandangan mata dan kehormatan

Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini


Dampak positif
a. Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan
emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban
ekonomi menjadi lebih menghemat.
c. Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka
bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara
finansial dan emosional.
d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa
sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka,
disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang
tua.
e. Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

Dampak negative
a. Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang
yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan
membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil
contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau
SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh
pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain,
pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
b. Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam
masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja
sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan
yang dimilikinya.
c. Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit
Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang
menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah
mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh
pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit
kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi
pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa
peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya
pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19
tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi
kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau
dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah
usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke
atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan,
keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko
meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang
melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah
tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak
kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan
anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat
mengalami trauma.
Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini
dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria
dan 16 tahun untuk wanita.
B. SINGEL PARENT
a) Definisi Single Parents
Single parent adalah seorang ayah atau seorang ibu yang memikul tugasnya
sendiri sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Orang tua tunggal atau
biasa disebut dengan istilah single parent adalah orang tua yang hanya terdiri dari
satu orang saja, dimana didalam rumah tangga ia berperan sebagai ibu dan juga
berperan sebagai ayah. Saat ini keluarga orang tua tunggal memiliki serangkaian
masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orang tua yang
membesarkan anak. Bila diukur dengan angka mungkin lebih sedikit sifat positif
yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan dengan
keluarga dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi
anak dan perkembangannya karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai
pasangan untuk saling menopang.
Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilhan yang sangat berat,
walaupun demikian daripada aborsi dan menambah beban dosa, mereka lebih ikhlas
menjadi oarng tua tunggal. Untuk iini mereka juga harus siap menerima reaksi dari
orang tua, keluarga dan dikucilkan entah untuk sementara atau untuk selamanya.
Belum lagi menjadi gunjingan maupun dicibirkan oleh teman, tetangga maupun
rekan kerja. Untuk menjalani semua itu dibutuhkan kekuatan hati dan daya juang
yang tinggi, termasuk mengikis perasaan dendam kepada silelaki notabene ayah
dari anaknya sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang sudah menikah siap atau
tidak predikat janda dengan anak yang disandangnya. Untuk menjadi orang tua
tunggal itu tidaklah mudah.

b) Penyebab Orang Tua Tunggal

Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah
menikah dan sempat atau pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa
saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal oleh pasangan hidupnya, ataupun
akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau
bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja
yang terlibat dalam pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :
• Perceraian
• Kematian
• Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi
anak orang lain (majalah ayah bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya
atau perceraian, dan beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk
mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara
yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak
mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu
menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai
terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi
kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak.
Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan
dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan
perceraian dan mereka paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14
tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
1. pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang
pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya
kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
2. masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi
keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
3. adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
4. pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
5. tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
6. sering mabuk dan judi;
7. ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
8. keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
9. kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
10. berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian
dan kebersamaan di antara pasangan;
11. tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak
sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004;
155)
c) Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal
seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak
memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena
terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap
tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi,
sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun
sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma
dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah
perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri dalam karir mereka dan
tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai usia 30-an. Pada saat
itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka bertemu
jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki
anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih
muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi
hamil dengan cara inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa
dokter tidak mau artifisial membuahi seorang wanita yang belum menikah. Beberapa
yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat
dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya,
terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak
memerlukan hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin
membesarkan anak sendiri dan takut bahwa jika mereka tahu ayah, ia kemudian
bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang
bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan
terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak akan menikah.
Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan
anak-anak mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka
menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab
yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi
baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu
tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan
juga di Internet).

d) Peran Seks dalam Perkawinan


Seks memegang peran penting dalam sebuah perkawinan. Pasangan suami-istri
membutuhkan seks sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka
dan sarana untuk menghasilkan generasi baru. Berdasarkan berbagai survei di
Amerika, % dari perceraian yang terjadi diberikan kepada wanita. Fenomena ini
menggambarkan konsep/paradigma wanita dalam memandang arti perkawinan yang
lebih besar bagi mereka dari pada laki-laki, ketergantungan mereka dan kepuasan
untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan itu sendiri (Goode, 2004; 196).
Sebaliknya, terdapat satu pengembangan penelitian yang menemukan bahwa para
suami lebih sering melakukan perceraian. Argumentasinya adalah hampir semua
waktu, energi dan tenaga suami dihabiskan di luar rumahnya. Kesempatan atau
keadaan demikian membuka peluang kepada suami untuk terlibat dalam tingkah
laku yang rentan terhadap keharmonisan keluarganya. Suami boleh saja menjalin
banyak persahabatan dengan lawan jenisnya. Akibatnya, terjadi jarak atau
kurangnya keterikatan kepada rumahnya sebagaimana halnya, istrinya, dan lebih
banyak kemungkinan untuk memperoleh kegembiraan hiburan, dan juga kesibukan
di luar rumah. (Goode, 2004: 197).
Goode lebih lanjut menjelaskan bahwa norma-norma persamaan hak modern,
kelakuan sang suami itu mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Sementara,
bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak kekuasaan/otoritas untuk
mengendalikan atau memaksanya agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada
permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami
kemungkinan merasa bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa laki-laki
mungkin mengembangkan pola tingkah laku yang menimbulkan celaan, kutukan dan
pelecehan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya pertengkaran antar
keduanya yaitu membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya
(dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan
(2004; 197).

e) Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami – Istri


Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan
suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap
peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social
relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal
perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain
adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan
suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk
menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi
sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai
masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut
berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai
sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam
kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda
perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang
membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang
kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara,
Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak
perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya.
Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan
ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).
Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap
pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta
peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)
Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian
mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh
kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan
harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai
sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan
merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraian.
Perceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah
penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan
lingkungan sosial (social relationship), (Goode lewat Ihromi, 2005: 156)
Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep
pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”.
Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi
kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler
berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang
membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia
mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami
perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now
light that old ties cannot give’”
Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian
seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan
pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa
benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan
seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan
secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan
dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali
mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah
“kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.

f) Masalah orang tua tunggal


Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada
masalah ekonomi, dan bagi pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan
menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas
ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran
anaknya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu,
cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan
dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin
mengetahui dimana ayah mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita
mengalami depresi yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula
para ibu tunggal yang berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas
yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala
konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu
walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.

g) Penaggulangan orang tua tunggal


Orang tua tunggal bisa tetap bahagia menjalani hidup ini dengan tetap
menggunakan pendekatan yang positif. Dengan menjadikan hsl-hsl ysng positif
dalam hidup menjadi pemicunya, maka kebahagiaan tersebut juga bisa didapatkan.
Barikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua tunggal agar tetap bisa
bahagia :
o Focus pada anak-anak. Jika anak-anak adalah pusat kehidupan anda, dengan
sendirinya anak-anak tersebuta akan menhetahui dan merespons apapun yang
terjadi pada diri orang tuanya.
o Mengenal diri sendiri. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengenal diri sendiri dan
merasa nyaman dengan kesendirian tinggalkan segala pikiran yang negative tentang
kesendidrian dan berlatihlah untuk merasa cukup nyaman dengan diri sendiri.
o Libatkan anak-anak dalam mencerminkan peran orang tua yag hilang. Dalam hal ini
bukan berarti harus menemukan pengganti dari seorang ibu atau ayah, tapi bisa
dengan membuata anak dekat dengan paman, bibi atau kakek dan nenek untuk
mengisi kekosongan salah satu orang tua.
o Biarkan anak-anak tahu bahwa dirinya dapat melengkapkan hidup anda. Jika anda
percaya bahwa anda tetap bisa bertahan tanpa seorang laki-laki atau seorang
perempuan disamping anda maka anak-anakpun akan mempercayai itu. Karena
anak adalah cerminan oleh apa yang dirasakan oleh orang tuanya.
o Memahami bahwa anda tidak bisa menjadi segalanya bagi anak-anak. Dengan
memahami hal tersebut akan membuat merasa tidak terlalu tertekan namun bukan
berarti anak-anak tidak bisa kasih saying yang sempurna. Kasih saying bisa
didapatkan dari saudara atau orang-orang terdekat anda.

h) Dampak Single Parent Dikaitkan Dengan Fungsi Keluarga :


• Fungsi seksual dan reproduksi
• Fungsi sosialisasi
• Fungsi ekonomi
• Fungsi budaya
• Fungsi edukasi
• Fungsi agama
• Fungsi perlindungan

i) Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent


1. Keterbukaan
Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang
harus ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif,
sebagian orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justru bukan
sesuatu yang buruk.
2. Mengisi waktu
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa
kesepian, rasa kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedang
dilanda masalah.
3. Membuka diri untuk masa depan
Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi
yang bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga
dilakukan oleh mereka yang tidak siap menjalani statusnya sebagai single parent
(janda/duda). Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri untuk
pergaulan meski tetap masih memilih-milih teman.
Adapun hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan
Anaknya, antaralain :
o Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua
orang tuanya itu senantiasa hadir ditengah-tengah mereka
o Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhungan
dengan kehidupan pribadi dapat berpengaruh pada diri anak
o Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan
mendidik anak bukan berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain
o Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang
wajar dan tidak bermegah-megahan
o Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang
akan mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain

j) Dilema anak
Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat
saling memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk
selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak
o Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar
dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
o Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak
kehilangan kepercayaan diri
o Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia
untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri

k) Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak


o Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat
berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri
o Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang
sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu
o Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga,
sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya
keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam
keluarga
o Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan
anak kurang sempurna dan tidak optimal
o Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak
jauh dari nilai agama
o Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila
dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau
gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak
6 Karakter Dalam Keluarga Single Parent Yang Prima
a. Adanya kualitas waktu yang dihabiskan bersama dalam anggota keluarga.
b. Memberikan perhatian lebih, termasuk dalam hal-hal kecil, seperti meninggalkan
pesan yang melukiskan perhatian dari orang tua
c. Keluarga yang prima adalah keluarga yang saling komitmen satu sama lainnya
d. Menghormati satu sama lain, contohnya : dengan mengucapkan atau
mengekspresikan rasa sayang kepada anak-anak, mengucapkan terima kasih pada
saat anak-anak selesai melakukan tugas yang diberikan
e. Kemampuan berkomunikasi penting dalam membangun keluarga yang prima
f. Kondisi krisis dan stress dianggap sebagai tahapan kesempatan untuk terus
berkembang

Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil


a) Menerima tantangan yang ada selaku single parent dan berusaha melakukan dengan sebaik-
baiknya.
b) Pengasuhan anak merupakan prioritas utama.
c) Disiplin diterapkan secara konsisten dan demokratis, orang tua tidak kaku dan tidak longgar.
d) Menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengungkapan perasaan.
e) Mengakui kebutuhan untuk melindungi anak-anaknya.
f) Membangun dan memelihara tradisi dan ritual dalam keluarga.
g) Percaya diri selaku orang tua dan independent.
h) Berwawasan luas dan beretika positif.
i) Mampu mengelola waktu dan kegiatan keluarga.
Penanganan Single Parent
a) Memberikan Kegiatan Yang Positif.
Berbagai macam kegiatan yang dapat mendukung anakk untuk lebih bias mengaktualisasi diri
secara positif antara lain dengan penyaluran hobi, kursus sehingga menghindari anak
melakukan hal-hal negative.
b) Memberi Peluang Anak Belajar Berperilaku Baik
Bertandang pada keluarga lain yang harmonis memberikan kesempatan bagi anak untuk
meneladani figure orang tua yang tidak di peroleh dalam lingkungan keluarga sendiri
c) Dukungan Komunitas.
Bergabung dalam club sesame keluarga dengan orang tua tunggal dapat memberikan
dukungan karena anak mempunyai banyak teman yang bernasib sama sehingga tidak merasa
sendirian.
Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single Parent
1) Pencegahan terjadinya kehamilan di luar nikah.
2) perceraian dengan mempersiapkan perkawinan dengan baik dalam segi psikologis ,
keuangan, spiritual.
3) Menjaga komunikasi dengan berbagai sarana teknologi informasi.
4) Menciptakan kebersamaan antar anggota keluarga.
5) Peningkatan spiritual dalam keluarga.

l) Pentingnya Konseling Agar Dapat :


o Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
o Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
o Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
o Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan
suami/ayah

Anda mungkin juga menyukai