Anda di halaman 1dari 9

PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP TREN WAITHOOD

MENURUT PARA MUFASIR

Nabilatus Tsuroyya1, Noor Shania Qurratina2

1
07040320139@student.uinsby.ac.id, 207010320023@student.uinsby.ac.id

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Abstrak: Penelitian ini membahas mengenai pandangan al-Qur’an terhadap tren waithood,
yaitu fase tanggung jawab dewasa. Dengan menganalisis ayat-ayat al-Qur’an serta pandangan
mufasir yang bertujuan memahami kacamata Islam. Kehadiran fenomena waithood yang
menejelaskan penundaan pernikahan tidak terlepas dari faktor internal maupun faktor eksternal
individu. banyak kekhawatiran yang muncul jika mengatakan persoalan bahwa pernikahan
merupakan sesuatu ibadah yang lama. Fenomena tersebut tidak terlepas juga dari kontruksi
sosial suatu wilayah lokal maupun lintas negara. Beberapa individu cenderung takut terhadap
konsekuensi yang akan terjadi jika pernikahan tidak berlandaskan pada suatu kesiapan. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa Islam mempunyai pedoman terhadap pernikahan tetapi juga
dalam kehidupan bersosial, individu juga mempunyai beragam situasi individual yang berbeda.
Jika melihat dari ayat al-Qur’an dan hadist Nabi saw. terdapat beberapa hukum atau anjuran
terhadap individu yang mampu dan tidak mampu untuk menikah, anjuran tersebut juga harus
dilandaskan dengan niat ibadah. Allah swt. berfirman bahwasannya individu akan diberikan
kecukupan rezeki jika mereka takut miskin. Al-Qur’an mendorong pernikahan sebagai suatu
langkah yang positif tetapi juga mempertimbangkan faktor kematangan emosional dan
finansial sebelum menikah. Menurut para mufasir bahwasanya menunda pernikahan
merupakan suatu hal yang boleh dilakukan dengan syarat individu dapat menjaga kesuciannya
dan akan seegera menikah jika sudah mampu.
Kata Kunci: Pandangan al-Qur’an, Waithood, Mufasir

Pendahuluan

Pernikahan merupakan bagian dari fitrah setiap manusia yang disarankan dalam agama
untuk menaati perintah Allah untuk menyempurnakan ibadah. Setiap pernikahan memiliki
tujuan, yaitu terbentuknya keluarga yang sakinah yang dibangun atas dasar hubungan yang
mawaddah wa rahmah, kemudian perkawinan tersebut mendapatkan keridhaan dari Allah swt.
sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan,
kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik. Namun dalam setiap pernikahan pasti banyak
terjadi permasalahan dan ujian yang harus dihadapi bersama. Suami dan istri harus saling
mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, menunaikan tugasnya dengan penuh tanggung
jawab dan ikhlas dengan mengharap pahala dan rida Allah swt. sehingga rezeki akan senantiasa
hadir dalam kehidupan rumah tangga.
Pernikahan memiliki fungsi utama sebagai penerus keberlangsungan hidup manusia.
Terdapat status ayah dan ibu dengan tanggung jawabnya yang jelas, pengasuhan yang baik dari
mereka dan anak-anak bertumbuh kembang menjadi manusia dewasa. Hal yang demikian itu,
eksistensi manusia akan terus berlanjut dengan berfungsinya keluarga. Tanpa adanya keluarga
terbukti perkembangan hidup manusia menghadapi beragam masalah. Akan tetapi, berbagai
persoalan sosial-psikologis dalam kehidupan manusia juga banyak dihadapi bagi seseorang
yang berkeluarga. Pada beberapa kasus terdapat kecenderungan dikalangan pemuda untuk
menunda bahkan mengabaikan urusan pernikahan.1

Di era globalisasi ini, banyak kaum laki-laki dan perempuan di kalangan masyarakat
Indonesia yang sudah memasuki usia cukup dan matang untuk menikah bahkan lebih tetapi
memilih untuk tetap membujang. Peristiwa ini dianggap bertentangan dengan perintah dalam
al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. yang memerintahkan untuk menyegerakan menikah bagi para
pemuda pemudi yang sudah mampu. Peristiwa telat atau menunda pernikahan ini sudah lama
terjadi dan tidak ada pencegahan dari pihak manapun karena dianggap tidak penting. Bahkan
peristiwa ini kini telah menjadi suatu tren yang normal dan juga marak dilakukan di berbagai
negara di dunia. Peristiwa ini dikenal dengan istilah waithood. Penyebab terjadinya peristiwa
ini ialah banyaknya informasi dan edukasi yang terdapat dalam internet sehingga masyarakat
menjadi melek terhadap realitas bahwa setiap pilihan itu pasti memiliki konsekuensi.

Oleh karena itu, dalam artikel ini akan mencari jawaban mengenai bagaimana al-Qur’an
merespon fenomena waithood ini, apakah al-Qur’an menyetujuinya begitu saja atau
memperbolehkannya tapi dengan syarat atau malah menolaknya tanpa terkecuali, dengan
mengkaji beberapa pandangan mufasir kontemporer terhadap penafsiran ayat al-Qur’an
tentang anjuran menikah dalam surah an-Nur ayat 32-33 dan mengkontekstualisasikannya
dengan fenomena waithood.

Tren Waithood di Indonesia

Waithood adalah istilah dipakai untuk menggambarkan periode penantian yang bisa
berlangsung lama yang dialami anak muda saat ini.2 Fenomena waithood atau menunda
pernikahan sebenarnya sudah ada sejak lama dan berkembang terutama di dunia barat. Namun

1
Widyanto Naufal Mahdy, Konsep Menunda Pernikahan Perspektif Al-Qur’an: Studi Komparatif Tafsir Al-Jami’
Li Ahkam Karya Imam Al-Qurthubi dan Tafsir Fathul Qadir Karya Al-Shawkani, (Tesis: UIN Sunan Gunung
Djati Bandung, 2022), 2
2
Hopipah, Mengenal Waithood: Fenomena Mengerikan Bagi Generasi Muda,
https://gensindo.sindonews.com/read/552226/700/mengenal-waithood-fenomena-mengerikan-bagi-generasi-
muda-1632722947 diakses pada Minggu, 12 November 2023

2
baru berkembang di Indonesia. Fenomena ini merupakan salah satu bentuk dari perkembangan
perubahan perilaku sosial dalam masyarakat. Perkembangan fenomena ini dapat dilihat sebagai
bentuk pengaruh dari adanya media sosial. Merujuk pada teori konstruksi sosial, maka adanya
perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat ini berdampak pada perubahan
persepsi sosial terhadap fenomena tertentu.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena waithood ini, diantaranya ialah
faktor ekonomi yang merasa bahwa ia masih belum mempunyai rezeki yang cukup untuk
membangun sebuah rumah tangga, keinginan untuk menyelesaikan studinya demi masa depan
yang lebih cerah, usaha untuk mengejar karirnya demi meningkatkan status sosial atau
kedudukan, dan masih banyak lagi lainnya. Paradigma ini telah memengaruhi pandangan
masyarakat, seolah-olah pernikahan yang sukses dan bahagia adalah mereka yang kaya dan
memiliki status sosial yang tinggi. Akibatnya, banyak pemuda pemudi yang memilih untuk
melajang daripada mereka harus hidup susah dalam berumah tangga yang dapat mengakibatkan
perceraian.

Dalam kasus waithood, perubahan ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor sosial
yang timbul baik di dalam dan di luar masyarakat, sehingga terjadinya perubahan perilaku
masyarakat ketika melihat fenomena waithood ini. Fenomena ini dapat dianggap sebagai
bentuk baru dari kesadaran akan budaya yang perlu dilihat kembali relevansinya dengan
konteks sosial hari ini.3 Oleh karena itu, pemahaman terhadap fenomena waithood perlu
mendapat kajian yang serius dalam upaya menyeimbangkan perilaku sosial masyarakat dengan
mengintegrasikan dari perspektif Islam. Ada beberapa penyebab terjadinya penundaan
pernikahan ini4, diantaranya ialah:

1. Kurang Kesiapan Mental

Salah satu sebab seseorang menunda pernikahan adalah mental yang dirasa
belum memadai. Kesiapan mental atau kematangan emosional memang tidak diukur
dari jumlah usia. Melainkan usia dapat menjadi salah satu indikator yang paling
mudah untuk mengetahui tingkat kematangan jiwa seseorang. Jika merasa belum siap
secara mental, maka hendaknya ia rencanakan usaha-usaha yang patut dilakukan agar

3
Andika, dkk. “Fenomena Waithood di Indonesia: Sebuah Studi Integrasi Antara Nilai-Nilai Keislaman dan Sosial
Kemanusiaan”, Jurnal Riset Agama vol 1, (2021), 769
4
R. Rachmy Diana, “Penundaan Pernikahan Perspektif Islam dan Psikologi”, Jurnal Psikologi vol. 1 no. 2,
(Desember, 2008),174-175

3
menjadi siap secara mental. Salah satunya adalah ikut pelatihan-pelatihan cara
komunikasi. Apapun masalah yang dihadapi akan selalu ada jalan keluarnya karena
telah tersedia kapasitas yang memadai dalam diri manusia untuk memencahkan segala
persoalan yakni dengan berfikir kreatif, berhati jernih, dan usaha yang sungguh-
sungguh.

2. Belum Kecukupan Material

Kecukupan materi bukanlah suatu hal yang dapat menghambat seseorang untuk
menikah sebab materi dapat dicari setelah menikah. Paradigma ini telah
mempengaruhi pandangan masyarakat, seolah-olah pernikahan yang sukses adalah
yang kaya dan memiliki statsus sosial tinggi. Sebagaimana firman Allah dalam surah
an-Nur ayat 32 yang menjelaskan bahwa Allah telah menjajikan kelapangan rezeki
bagi setiap mukmin dan mukminah yang menikah. Manusia hanya diminta untuk
berikhtiar dan berdoa, karena dengan kemampuan berusaha dapat mengantarkan
pribadi dan keluarga pada kehidupan yang layak.

3. Kesulitan Memperoleh Pasangan

Salah satu penundaan pernikahan adalah kesulitan memperoleh pasangan. Kalau


ini yang terjadi, maka ada beberapa kemungkinan persoalan, diantaranya cara mencari
pasangan yang tidak tepat, pasangan yang dicari secara nalar sulit untuk diperoIeh
karena perbedaan-perbedaan yang amat besar, atau dapat pula karena belum saatnya
ia mendapatkan pasangan. Adapun cara untuk mengatasi faktor yang terakhir ini ialah
dengan berserah diri dan berdoa kepada Allah dan terus memperbaiki diri supaya
menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Pandangan Al-Qur’an Terhadap Tren Waithood

Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk menikah sebagai
sarana penyempurnaan separuh agamanya. Pandangan ini berbeda dengan pandangan dalam
agama-agama lain, yang beranggapan bahwa tidak menikah dan tidak beristri merupakan salah
satu sarana untuk menuju puncak kesucian seseorang. Satu-satunya tujuan diciptakan-Nya
manusia ialah untuk selalu beribadah kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surah adz-
Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:

ِ ‫نس إِ ََّّل ِليَ ْعبُد‬


‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْٱل ِج َّن َو‬
َ ‫ٱْل‬
4
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Adapun cara Allah untuk menilai keberhasilan manusia dalam mengisi kehidupannya
di dunia ialah dengan melihat sebagaimana ia mengabdikan hidupnya pada Allah dengan
bertakwa. Apabila ia melakukan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah
dengan ikhlas, maka ia termasuk sebagai makhluk yang berhasil menjalani hidup di dunia.
Upaya untuk menjadi makhluk yang berhasil ialah dengan menyempurnakan separuh agama
melalui pernikahan, karena menikah memiliki posisi yang sangat penting dalam meningkatkan
kualitas keagamaan seseorang.5 Menikah termasuk salah satu sunnah Nabi saw. yang sangat
dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap umat muslim dan tidak dianggap sebagai umat Nabi
saw. apabila ia sudah mampu namun tidak menyegerakannya. Hal ini selaras dengan salah satu
hadits Nabi saw. yang artinya:

"Bamngsiapa dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak melakukanya, maka bukanlah ia dari
golonganku." (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Berikut merupkan salah satu hadits Nabi saw. yang menjelaskan tentang anjuran
menikah bagi para pemuda yang sudah mampu dan anjuran berpuasa atau menahan nafsu bagi
yang belum mampu, yang artinya:

"Wahai kaum muda, apabila ada di antara kalian yang telah kuasa untuk menikah, maka menikahlah!
Karena sesungguhnya perkawinan itu lebih mampu menjaga mata dan kemaluan. Dan barangsiapa
yang belum kuasa), maka hendaklah ia berpuasa, sebab puasa menjadi benteng baginya." (HR.
Muttafaq 'Alaih)

Perintah untuk menyegerakan menikah juga telah Allah cantumkan langsung dalam
firman-Nya surah an-Nur ayat 32 yang berbunyi:

۟ ُ‫لص ِل ِحينَ ِم أن ِعبَا ِد ُك أم َوإِ َمآئِ ُك أم ۚ إِن يَ ُكون‬


‫وا فُقَ َرآ َء يُ أغنِ ِه ُم ٱّللُ ِمن فَ أ‬
َ ‫ض ِل ِهۦ ۗ َوٱّللُ َٰ َو ِس ٌع‬
‫ع ِلي ٌم‬ ۟ ‫َوأَن ِك ُح‬
َٰ ‫وا ٱ أْل َ َٰيَ َم َٰى ِمن ُك أم َوٱ‬
‫ف ٱلذِينَ ََل يَ ِجدُونَ نِكَا ًحا َحت َٰى يُ أغنِيَ ُه ُم ٱّللُ ِمن فَ أ‬
... ‫ض ِل ِهۦ‬ ِ ‫۞ َو أليَ أستَ أع ِف‬

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (32)
Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya...(33)

Adapun makna mufrodat dari kata ‫ ااَّلَيَامٰ ى‬merupakan bentuk jamak dari kata ‫ أَي َم‬yang
berarti orang yang belum beristri atau bersuami, baik statusnya itu perawan atau perjaka
maupun sudah janda atau duda. Secara gampangnya ialah mereka yang tidak berpasangan, baik
laki-laki maupun perempuan. Kata َ‫ص ِل ِح اين‬
ّٰ ‫ ال‬bermakna ‘yang layak dikawini’, yakni yang

5
R. Rachmy Diana, “Penundaan Pernikahan Perspektif Islam dan Psikologi”..., 162

5
mampu secara mental dan spiritual untuk membina suatu rumah tangga. Meskipun mereka
dapat memelihara diri dari zina dan dosa, kita sebagai sesama umat Islam yang bertakwa agar
tetap membantu mereka untuk menikah.6

Kata ‫س ٌع‬
ِ ‫ َوا‬berarti Dzat yang memiliki kekayaan yang luas yakni Allah swt., yang
memberikan rezekinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Jadi kita sebagai hamba-Nya
harus pandai berdoa dan bersyukur supaya menjadi hamba yang dikehendaki untuk diberi
ِ ‫ َو اليَ استَعا ِف‬merupakan sebuah perintah untuk menjauhkan diri, yang
rezeki-Nya. Dan kata ‫ف‬

berasal dari kata dasar ‫ ال ِعفة‬yang menurut orang Arab berarti menahan diri dari sesuatu yang
tidak halal dan tidak baik. Namun ada juga yang mengartikan dengan sabar dan menjauhkan
diri atau membersikan dari sesuatu.7

Ayat ini masih saling berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumnya,
Allah memerintahkan umat Islam untuk menjaga pandangannya dari hal-hal yang dapat
mendorong terangsangnya naluri seks supaya mereka terhindar dari perbuatan yang dapat
mengotori kehormatannya. Kemudian pada ayat ini Allah memerintahkan orang-orang yang
tidak bersuami dan tidak beristri untuk memelihara kesucian dirinya dengan menikah. Tidak
perlu takut kekurangan harta benda, karena Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepadanya.
Namun apabila ia bener-benar belum mampu, maka hendaklah ia tetap menjaga
kehormatannya itu. Sebagai sesama Muslim, hendaknya membantu dan mendorong orang yang
merasa belum sanggup untuk memenuhi semua keperluan pernikahan dan kebutuhan rumah
tangga supaya ia segera melaksanakan niat baiknya untuk menikah karena yang terpenting
adalah kemauan yang kuat untuk melakukannya.8

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan perintah dari Allah untuk para wali agar
segera menikahkan siapapun yang tidak memiliki pasangan dan layak menikah, serta tidak
boleh menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk menolak lamaran mereka. Dan pada ayat
selanjutnya bermakna bahwa para calon dituntut untuk tidak boleh mendesak para wali agar
segera menikahkan mereka. Adapun mereka yang belum memiliki kemampuan materi untuk
menikah dan belum mampu memikul tanggungjawab untuk berkeluarga, untuk tetap

6
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir jilid 9, terj Abdul Hayyie al-Kattani dkk, cet 1 (Jakarta: Gema Insani, 2013),
512
7
Ibid
8
Tafsir Kemenag, Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 6, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 598-600

6
memeliharanya kesuciannya dengan berpuasa, olah fakir, serta melakukan kegiatan-kegiatan
positif lainnya sampai tiba saatnya yang telah Allah tentukan.9

Menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan perintah Allah untuk segera mencarikan
jodoh bagi setiap laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami, baik
perawan atau perjaka maupun janda atau duda yang diceraikan dan ditinggal mati. Hal ini
merupakan tugas dari Allah untuk seluruh masyarakat Islam yang mengelilingi orang tersebut
untuk mencegah terjadinya zina karena nafsu kelamin. Begitu juga dengan nasib para pembantu
di kota, carikan jodohnya apabila ia masih layak dan patut untuk menikah untuk menjaga
akhlaknya agat tidak sampai rusak dan jatuh pada perbuatan zina. Tidak perlu khawatir akan
kehidupan setelah menikah, karena pintu rezeki Allah selalu terbuka.10

Orang Islam yang qana’ah akan selalu merasa cukup dengan apa yang ada tanpa perlu
menengadahkan perbelanjaan yang mewah. Yang terpenting disini ialah keamanan jiwa,
dengan rumah tangga yang tentram akan menjadikan sumber inspirasi untuk selalu berusaha
untuk membuka pintu rezeki yang Allah janjikan. Kemudian pada ayat 33, perintah untuk
berbuat ‘iffah bagi mereka yang belum mampu menikah dengan menahan nafsu dan syahwat
serta memelihara kehormatan diri agar tidak sampai terperosok pada perbuatan zina. Namun ia
harus tetap berniat untuk segera berumahtangga karena hal itu merupakan perintah Allah.
Dengan kesucian diri, juga akan menjadi inspirasi untuk berusaha dengan halal sehigga Allah
akan melimpahkan rezeki-Nya dengan sendirinya.11

Menurut Hasbi ash-Shiddiqy, perintah yang terkandung dalam ayat ini bukan sebuah
keharusan, melainkan anjuran. Pada dasarnya perintah ini bukan wajib karena pada
kenyataannya masih banyak orang-orang yang dibiarkan untuk hidup membujang pada masa
Nabi saw. Namun perintah ini dapat dikatakan wajib apabila dikhawatirkan akan timbul fitnah
jika tidak segera menikahkan para bujang. Tidak boleh melihat dari segi kemiskinan ketika
hendak menikahkan karena Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan tidak
membedakan antara yang akan menikah dan yang sudah menikah. Namun bagi orang-orang
yang memang tidak mampu menikah, hendaknya ia bersabar dan menangguhkan niatnya

9
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, jilid 9 cet. 5 (Jakarta: Lentera Hati,
2005), 335-338
10
Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 7, terj. Syed Ahmad Semait, (Singapura: Pustaka Nasional, 1982), 4931-4940
11
Ibid

7
menikah sampai ia memperoleh kemampuan untuk itu dengan menahan syahwat dan tidak
menuruti hawa nafsu.12

Berdasarkan penafsiran dari beberapa mufasir diatas, dapat disimpulkan bahwasannya


tren waithood atau menunda pernikahan karena merasa belum mampu untuk melaksanakannya,
baik dari segi finansial maupun dari segi mental, diperbolehkan dalam al-Qur’an dengan syarat
ia harus mampu menjaga kehormatannya dan tetap memiliki niat untuk menikah ketika suatu
saat ia merasa telah mampu. Namun perlu dipahami kembali bahwasannya pernikahan yang
sukses dan bahagia bukan dinilai dari segi kekayaan hartanya, melainkan dilihat dari segi
kekuatan niatnya untuk berumah tangga karena Allah telah menjanjikan rezeki yang
berkecukupan bagi mereka yang mau berusaha.

Menikah merupakan perintah Allah dan sunnah Nabi saw. sebagai sarana beribadah
terpanjang dengan tujuan untuk menyempurnakan setengah agamanya. Oleh karena itu,
alangkah baiknya seorang muslim untuk tidak menunda pernikahan dalam jangka waktu yang
lama. Apabila ia sudah cukup umur dan memiliki kemampuan yang matang, baik dari segi
mental dan finansial, maka segeralah menikah demi menjaga kehormatannya. Untuk urusan
dunia yang lain, seperti meneruskan studi dan mengejar karir, masih dapat dilanjutkan lagi
nantinya ketika setelah menikah.

Kesimpulan

Istilah Waithood dipakai untuk menggambarkan periode penantian yang bisa berlangsung lama
yang dialami anak muda saat ini. Istilah waithood yang sekarang menjadi tren di Indonesia
dimaksudkan sebagai penundaan pernikahan. Fenomena menunda pernikahan ini sebenarnya
sudah ada sejak lama dan berkembang terutama di dunia barat, namun baru berkembang di
Indonesia baru-baru ini. Terjadinya penundaan pernikahan ini disebabkan karena tiga faktor,
yakni kurangnya kesiapan mental, belum tercukupinya material, dan kesulitan untuk
memperoleh pasangan. Berdasarkan penafsiran beberapa mufasir kontemporer, dapat
disimpulkan bahwa al-Qur’an memperbolehkan terjadinya waithood atau penundaan
pernikahan bagi umat Islam yang memang belum mampu menikah dengan syarat harus bisa
menjaga kehormatannya. Namun ketika sudah mampu dan sudah bertemu dengan jodohnya,

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 4, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
12

Putra, 2000), 2820-2822

8
maka harus segera melaksanakannya karena menikah merupakan perintah Allah dan sunnah
Nabi saw. yang sangat dianjurkan.

Daftar Pustaka

Andika, dkk. “Fenomena Waithood di Indonesia: Sebuah Studi Integrasi Antara Nilai-Nilai
Keislaman dan Sosial Kemanusiaan”, Jurnal Riset Agama, vol. 1, 2021.

Diana, R. Rachmy. “Penundaan Pernikahan Perspektif Islam dan Psikologi”, Jurnal Psikologi,
1(2), 2008.

Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 7, terj. Syed Ahmad Semait. Singapura: Pustaka Nasional, 1982.

Hopipah, Mengenal Waithood: Fenomena Mengerikan Bagi Generasi Muda,


https://gensindo.sindonews.com/read/552226/700/mengenal-waithood-fenomena-
mengerikan-bagi-generasi-muda-1632722947 diakses pada Minggu, 12 November
2023

Kemenag RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 6. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Mahdy, Widyanto Naufal. Konsep Menunda Pernikahan Perspektif Al-Qur’an: Studi


Komparatif Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Karya Imam Al-Qurthubi dan Tafsir Fathul
Qadir Karya Al-Shawkani. Tesis: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2022.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 4. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2000.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, jilid 9 cet. 5.
Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir jilid 9, terj Abdul Hayyie al-Kattani dkk cet 1. Jakarta:
Gema Insani, 2013.

Anda mungkin juga menyukai