Hak asasi adalah hak yang paling dasar melekat pada diri manusia. Hak tersebut
digunakan dengan tujuan agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam
kehidupannya, sehingga mereka akan merasakan keadilan ketika melakukan suatu hal
yang menjadi kewajibannya.
Guna menunjang pengetahuan tentang hak asasi manusia itu, pembahasan dalam
makalah ini mengarah pada penentuan titik terang dilematis antara hak asasi menikah
dan hak asasi perlindungan anak dalam kontroversi pernikahan anak di bawah umur ,
dengan demikian di waktu yang akan datang diharapkan hak asasi manusia bisa
terpenuhi tanpa adanya suatu problema (kontroversi).
Demi penyempurnaan makalah ini, kami mengharapkan kritik serta saran dari
para pembaca dan pemakai makalah ini, khususnya Bapak / Ibu dosen pengajar mata
kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk memacu kepedulian
manusia dalam menghormati dan menghargai hak asasi.
BAB I
0
PENDAHULUAN
A.
Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih
kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluarga dapat terbentuk
secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana
konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi
yang lain.
Oleh karena itu, kami merasa perlu mengupas tuntas tentang keberadaan
pernikahan anak di bawah umur yang masih menjadi topik pembicaraan yang hangat
bagi masyarakat, sebab pernikahan anak di bawah umur terus dibayangi kontroversi
mengenai dilematis dua hak asasi manusia yaitu hak asasi pernikahan/perkawinan dan
hak asasi perlindungan anak yang keduanya dihadapkan pada suatu perdebatan sengit
terkait dengan hak asasi manakah yang diprioritaskan lebih dulu, mengingat kedua hak
asasi tersebut sama-sama penting bagai seseorang yang berkehendak untuk menuntut
akan pemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya.
Perdebatan dilematis tersebut kian merebak menjadi masalah sosial, sehingga
memicu munculnya berbagai komentar atau opini anggota masyarakat dari berbagai
kalangan. Untuk itu, perlu adanya pengkajian terhadap masalah ini, agar kita bisa
menemukan jawaban yang memuaskan dan mencari solusi yang tepat guna menghadapi
sekaligus menyelesaikan permasalahan ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai permasalahan sosial,
hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salah satu fenomena yang menjadi
topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau
perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan tersebut telah memicu
munculnya kontroversi yang hebat. Adapun tokoh yang terlibat dalam problema
tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela
yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah
duduk sebagai pihak yang kotra.
Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji, seorang
pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 tahun,
menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia
mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan
tidak perlu diributkan khalayak ramai.
Sedangkan di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku Menteri Agama
mempunyai argumen tersendiri tentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau
berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak benar dan bisa-bisa pelakunya dikenai
sanksi sesuai pelanggaran yang dia lakukan. Di sela-sela kesibukannya membuka
Halaqah pengembangan pondok pesantren di Hotel Mercuri, Jakarta beberapa waktu
lalu, Menteri Agama menjelaskan bahwa di Indonesia orang Islam terikat dengan dua
ukuran. Di satu sisi sebagai muslim, dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain
sebagai warga negara yang terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU perkawinan,
dari sudut pandang peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut tidak sah dan
berpotensi menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak. (Sumber :
kompas.com). Namun, argumen beliau tersebut bertolak belakang dengan opini pihak
yang membenarkan pernikahan tersebut.
Tak berhenti pada statement tersebut, Dosen Jurusan Sastra Arab Universitas
Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau menegaskan
bahwa klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih
meneladani sunnah Rasul itu adalah bermasalah, baik dari segi normatif (agama)
maupun sosiologis (masyarakat). (Sumber : islamlib.com).
BAB III
3
PEMBAHASAN
A. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI
BAWAH UMUR
Berdasarkan kutipan- kutipan yang dijelaskan pihak-pihak terkait dapat
dipahami bahwa realita pro dan kontra tentang pernikahan anak di bawah umur masih
belum menemukan titik penyelesaian, faktor utama yang membuat permasalahan itu
berlarut-larut adalah tidak adanya kesepahaman antara dua kubu yang mempunyai
pandangan yang berbeda. Kelompok yang setuju berambisi mempertahankan haknya
untuk menikahi anak di bawah umur dengan alasan beribadah, mendapat persetujuan
orang tua dari anak yang hendak dinikahi, dan beberapa alibi lain yang digunakan
sebagai pendukung tanpa memperhatikan kepentingan atau hak asasi utama si anak.
Adapun kelompok yang melarang penikahan anak di bawah umur, berusaha
memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh anak. Jika dilihat dari aspek
sosial ekonomi, Pernikahan ini dicap menimbulkan masalah dalam hal perlindungan
anak, sebab dalam relita yang sebenarnya terjadi di masyarakat, pernikahan ini acapkali
dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau mengorbankan anak mereka
demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, jika si anak adalah
pihak perempuan, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan anak di bawah umur telah
mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabat perempuan. Dampak dari
perilaku pernikahan ini menyebabkan trauma seksual serta berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi pada anak perempuan. Secara mental psikologis, si anak juga
dirasa belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung
beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalah
untuk orang yang sudah cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anak secara
tidak disadari banyak efek negatif yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini, mulai
dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak sebaya yang
berimbas pada perkembangan mental dan emosional si anak.
B. HUKUM PERNIKAHAN
PANDANGAN ISLAM
ANAK
DI
BAWAH
UMUR
MENURUT
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran
Islam, yakni Al Quran. Apakah Al Quran mengijinkan atau justru melarang
pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang
secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat
dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah
4
tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski
demikian, petunjuk Al Quran mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita
terapkan pada anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : Ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya.
(Q.S. An Nisa : 6).
Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapak asuh
diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka sampai usia
menikah sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al
Quran mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal kematangan fisik dan
kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus
mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak
diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang
masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik
dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq,
seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun,
untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah
berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit dibayangkan bahwa Nabi
SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan Aisyah
pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan
kematangan intelektual yang ditetapkan Al Quran. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW,
itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya.
Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita
sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang
dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang
diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual. Adalah tidak
terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan puterinya yang masih kanakkanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal, Aisyah masih suka bermain-main
dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai
utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9
tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang
klausa persetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi
Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa
secara fisik dan matang secara intelektual.
dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
(d) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
UU pelindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan anak, jadi sangatlah mengherankan jika masih banyak pelanggarn
yang terjadi terhadap anak dalam konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur.
Hal seperti ini sangatlah tidak bisa diterima, dimanakah keberadaan pemerintah sebagai
pemegang otoritas tertinggi di RI ? Pernikahan di bawah umur sebenarnya kerap kali
terjadi di masyarakat khususnya di daerah pedesaan tertinggal dimana kemiskinan dan
kebodohan masih menjadi momok yang menakutkan, contohya : salah satu kabupaten di
Jawa Barat terkenal dengan pernikahan anak di bawah umur dimana para anak gadis
yang masih lugu sengaja dijual orang tuanya untuk melakukan pernikahan dengan
tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal seperti sangatlah memilukan,
pemerintah acapkali tutup mata dengan kasus pernikahan anak di bawah umur dan baru
bertindak jika kasusnya terekspos ke khalayak luas oleh media seperti yang sempat
terjadi beberapa waktu lalu dimana pernikahan syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis
yang belum genap berusia 12 tahun terekspos oleh media dan menjadi kontroversi di
masyarakat. Pemerintah diharapkan lebih serius menindak setiap pelanggaran yang
berkaitan dengan anak dalam konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Setiap
pelanggaran terhadap pernikahan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana
sesuai UU no. 23 tahun 2002 Pasal 77 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Selain UU perlindungan anak ada UU alternatif lain yang bisa dijadikan acuan
dalam menentang perkawinan anak di bawah umur, yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai
sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 :
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 :
untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah
mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena
masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan
informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan
Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak
ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang
berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku
terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan
pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum
melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait
pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran
dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di
bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu
dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus
dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin
maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan
pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah
dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya
pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi
anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa
lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga
kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat
berlangsungnya pernikahan tersebut.
Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah
masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihakpihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah
diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait
pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan
masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar
pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin
keberadaannya di tengah masyarakat.
Nama
No. Mahasiswa
Dosen Pengempu
: Vito Alexander
: 13-410-438
: Karimatul ummah SH.,M.HUM
10