Anda di halaman 1dari 12

BATAS USIA MENIKAH DALAM DILEMA

POSITIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM


(Pernikahan Usia Anak; Antara Wacana Keagamaan dan
Upaya Perlindungan)
Mayadina Rohmi Musfiroh
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Mayadinar@yahoo.com
Telp. 081228173448

Abstrak
Undang-Undang Perkawinan telah diundangkan selama empat dekade di
Indonesia. Selama itu pula belum ada perkembangan cukup signifikan dalam hal
pemihakan Undang-Undang tersebut terhadap persoalan batas kebolehan
menikah seorang perempuan yang masih berusia 16 tahun yang masuk kategori
usia anak. Dampak yang terjadi menunjukkan fenomena pernikahan usia anak
meningkat dari masa ke masa, meskipun faktor yang menyebabkan itu terjadi bisa
beragam. Mulai dari pemahaman keagamaan, pemaknaan konsep kedewasaan,
problem kemiskinan, kehamilan tidak diinginkan, dan makin minimnya akses
sumber daya alam di pedesaan. Di sisi lain, muncul pertentangan paradigma
berpikir, yaitu perkawinan ditinjau dari paradigma keagamaan (Ibadah) atau
paradigma perlindungan (child protection). Artikel ini bertujuan melacak akar
epistimologis pernikahan usia anak dalam Islam, Batas usia menikah dalam
Islam dan hukum positif, menimbang aspek kemaslahatan dalam pernikahan Usia
Anak, solusi hukum Islam terkait batasan minimal usia nikah serta menguatkan
argumentasi pentingnya pembaharuan hukum keluarga islam khususnya terkait
menaikkan batas minimal usia perkawinan. Metode penelitian menggunakan
metode deskriptif-kualitatif dan analisis menggunakan pendekatan konsep
Maqashid.

Kata Kunci: Pernikahan usia anak; batas minimal usia menikah;


Perlindungan Anak.

Abstract
Marriage Act was endorsed over four decades in Indonesia. During that time
there has been no significant growth in terms of the Act of partiality to the
question of the limits of acceptability married a woman who was 16 years old
entering the child's age category. The impact that occurs indicates the
phenomenon of child marriage age increased from time to time, although the
factors that cause it to be able to vary. Starting from the religious understanding,
the meaning of the concept of maturity, the problem of poverty, unwanted
pregnancy and the growing lack of access to natural resources in rural areas. On
the other hand appeared a conflict paradigm thinking, whether marriage is
reviewed using religious paradigm (Worship) or paradigm of protection (child

1
protection). This article aims to trace the roots of epistemological marriage age
children in Islam, the age limit was married in Islamic and positive law,
considering aspects of the benefit in marriage Age Child, solution Islamic law
related to limit the minimum age of marriage and strengthens the argument
importance of renewing the family law of Islam in particular related to raising the
minimum limit age of marriage. The research method using descriptive-
qualitative method and analysis approach maqashid concept.

Key word: Marriage age; minimum age of marriage; the Protection of


Children.

Pendahuluan
Pada tahun 2014 lalu, telah muncul upaya dari koalisi lembaga sosial dan
masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan peninjauan kembali untuk
menaikkan batas usia minimal menikah bagi perempuan Indonesia namun ditolak
oleh Mahmakah Konstitusi dalam sidang putusan uji materi UU. No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Argumentasi yang dikemukakan yakni tidak ada jaminan
jika batas usia minimal dinaikkan akan mengurangi angka perceraian bahkan lebih
lanjut MK menyatakan tidak ada aturan dalam Islam yang menjelaskan batas usia.
Tingginya angka pernikahan usia anak merupakan salah satu persoalan
yang relevan dikaji dari berbagai perspektif. Hal ini menjadi salah satu bukti
minimnya perlindungan negara dan stakeholders terhadap anak-anak Indonesia.
Data BAPPENAS menunjukkan 34.6% anak Indonesia menikah dini, dikuatkan
dengan data PLAN International yang menunjukkan 33,5% anak usia 13 18
tahun pernah menikah dan rata-rata mereka menikah di usia 15-16 tahun. Usia
anak-anak adalah fase perkembangan baik dari sisi psikologis maupun biologis,
serta masih mencari identitas diri menuju fase dewasa. Pernikahan dini berdampak
pada tercerabutnya masa anak-anak karena anak dipaksa memasuki dunia dewasa
secara instan yang akan berpengaruh negatif pada kehidupan pernikahan dan masa
depannya.
Pernikahan usia anak cukup banyak terjadi di Rembang. Setidaknya ada
33 kasus di usia kurang dari 16 tahun, serta ada 1183 permohonan dispensasi
menikah pada usia 16-18 tahun sepanjang 2014.1. Di Jepara, tercatat 148
pernikahan anak dibawah umur pada tahun 2015. Ditambah data per bulan
Februari 2016 tercatat 21 pernikahan usia anak. 2. Meskipun alasan yang banyak
disampaikan dalam permohonan dispensasi menikah adalah kehamilan yang tidak
diinginkan, tetapi nilai budaya dan agama yang berkembang didaerah Rembang
ini juga mendukung terjadinya pernikahan anak-anak. Pada tradisi Jawa, menjadi
perempuan yang sudah menikah walau masih anak-anak lebih dihargai daripada
perempuan yang belum menikah. Bercerai dan menjadi janda bukanlah masalah
besar. Jika seseorang menolak lamaran laki-laki untuk anak perempuannya,
mereka akan terkena azab. Hal ini karena menikahkan adalah hak orang tua dan
anak adalah aset yang akan mendatangkan mahar/seserahan. Perjodohan juga
menjadi salah satu penyebab pernikahan dini. Rendahnya tingkat pendidikan dan
1
Data Pengadilan Agama Kabupaten Rembang tahun 2015
2
Data Kemenang Jepara tahun 2016

2
kemiskinan menjadikan masyarakat tidak menjadikan pendidikan sebagai
kebutuhan. Sehingga jika terjadi pernikahan dini, maka anak akan berhenti dari
sekolahnya. Ketidaksiapan mental anak-anak memasuki dunia keluarga akan
membuat keluarga rentan terjadi perceraian dan tidak stabil. Sebagian besar anak-
anak yang hamil tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kehamilan yang
akan berakibat pada anemia, pendarahan, ekslampsia dan akibat lainnya.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa
persyaratan usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk
laki-laki adalah fakta betapa tidak sinkronnya antar kebijakan terkait perlindungan
anak. UU. No. 35 tahun 2014 perubahan atas UU. No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah individu dengan usia
dibawah 18 tahun dan orang tua wajib untuk mencegah terjadinya pernikahan
dini. Walaupun ada beberapa persyaratan untuk pernikahan misalnya individu
dibawah usia 21 tahun tetap harus mendapatkan ijin dari orangtuanya untuk
menikah (PP. No. 9 tahun 1975), perlunya ijin bagi pernikahan dini dari
pengadilan agama (Kompilasi Hukum Islam), serta perlu adanya kesepakatan dari
kedua mempelai jika akan menikah, namun prakteknya pernikahan dini masih saja
terjadi karena berbagai faktor.
Tinjauan singkat Pustaka
Penelusuran konsepsional mengenai batas usia pernikahan bagi seseorang
akan membuka wawasan tentang sejauhmana fikih mengatur batas-batas usia
seseorang untuk menikah ataukah fikih hanya sekedar memberikan nilai-nilai
dasar. Karena itu pembahasan mengenai pernikahan usia anak dikupas pada
bagian awal. Desksipsi tafsir menuntun pada seluk belum berbagai pendapat
tentang ayat-ayat al-Quran dan hadist-hadist Nabi yang berkaitan dengan
pernikahan usia anak. Beberapa referensi utama yang akan digunakan dalam
penelusuran ini bersumber dari buku-buku terkait Pernikahan Usia Anak, hasil
penelitian sebelumnya, yaitu, Fikih Kawin Anak, karya Ali Mukti, Dkk., hasil-
hasil halaqah dan Bahtsul Masail. Disamping itu penulis menggunakan berbagai
macam kitab hadits, fikih dan ushul fiqh yang relevan dengan pembahasan.
Posisi tulisan ini ingin menarasikan dua kutub pemikiran yang
mendudukkan term perkawinan anak secara berbeda sehingga melahirkan bunyi
kebijakan yang berbeda pula. Satu sisi, perkawinan sebagai term bahasan hukum
agama sehingga acuan yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam menolak PK
dalam menaikkan Batas minimal usia menikah salah satunya adalah karena
argumentasi fikih, pada sisi lain dalam UU. Perlindungan Anak secara eksplisit
membatasi usia anak adalah 18 tahun yang jelas berbeda dengan batas minimal
usia menikah dalam UU. Perkawinan yakni 16 tahun. Hal ini yang belum dibahas
dalam penelitian sebelumnya.
Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk melacak akar epistimologis pernikahan usia
anak dalam Islam, mengetahui pendapat ulama terkait pernikahan usia anak
beserta argumentasinya, batas usia menikah dalam hukum positif, solusi hukum
Islam terkait batasan minimal usia nikah serta menguatkan argumentasi
pentingnya pembaharuan hukum keluarga islam khususnya terkait menaikkan
batas minimal usia perkawinan.

3
Metode penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library research) dengan
menggunakan metode deskriptif-kualitatif untuk menuturkan pandangan atau
persepsi ulama mengenai pernikahan usia anak serta batas minimal usia menikah.
Penelitian pustaka diperlukan untuk mengkaji berbagai pendapat ulama
mengenai hadits nabi serta pandangan ulama fikih yang membahas tentang
praktek Pernikahan usia anak. Dari data yang muncul akan dianalisis untuk
melacak akar epistimologis pernikahan usia anak dalam islam dan memetakan
pendapat para pakar, serta memaparkan batas usia menikah dalam hukum positif.
Selanjutnya akan dianalisis menggunakan pendekatan teori Maqashid. Hasil
analisis akan digunakan untuk menguatkan argumentasi bagi pembaharuan hukum
keluarga islam khususnya dalam hal meningkatkan batasan usia menikah.

Hasil dan Pembahasan


Pernikahan Anak dalam Islam
Pernikahan adalah sunnah dan syariat Nabi Muhammad Saw. Dalam
keyakinan agama Islam dan agama samawi lainnya, pernikahan manusia telah
dipraktikkan sejak zaman Nabi Adam dan nabi setelahnya. Dalam disiplin ushul
fikih peristiwa itu dikenal dengan istilah syaru man qablana, syariat nabi-nabi
terdahulu yang masih berlaku di zaman Nabi Muhammad Saw. Setiap nabi
membawa syariatnya masing-masing yang semuanya bersumber dari Allah SWT.
Hanya saja, setiap syariat yang berlaku dan sesuai pada masa tertentu belum tentu
selamanya sesuai dan berlaku pada masa setelahnya. Hukum selalu berubah
mengikuti perubahan pola pikir dan kebutuhan manusia. Hukum boleh berubah
tetapi tujuannya tetap sama (maqashid al-syariah).3
Dalam tinjauan bahasa, nikah berasal dari akar kata yang berarti
mengumpulkan, menggabungkan, menghimpun atau menambahkan. Secara
bahasa, nikah sama dengan wath yang artinya berhubungan seksual.
Sementara nikah secara terminologis menurut para ahli fikih adalah akad
(kontrak) sebagai cara agar sah melakukan hubungan seksual.4
Dasar al-Quran tentang nikah terdapat pada QS. Al-Nisa: 03,




.
Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim
[bilamana kamu menikahinya], maka nikahilah perempuan-perempuan [lain] yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat
adil, maka [nikahilah] seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, [QS. Al-Nisa: 03]
Juga beberapa hadis dari Rasulullah SAW,

.

3
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Dar el Fikr, Cet. I, tt..), 305.
4
Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayat al Akhyar fi Halli Ghayah al
Ikhtishar, (Kediri, Mahad al Islam Salafy, tt.), 36, lihat juga Al Fairuzzabady, al Qamus al Muhith,
Dar al Jiil, Beirut, t.t hlm. 233,

4
Barangsiapa tidak menyukai sunnahku dan ia meninggal sebelum nikah, maka di
danauku kelak di hari kiamat [surga] malaikat akan memalingkan mukanya.
Hukum asal pernikahan adalah jawaz/mubah (dibolehkan). Namun, pada
perkembangan selanjutnya tergantung pada faktor yang memengaruhi, nikah bisa
wajib, sunnah, makruh, bahkan haram. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah
hukumnya sunah. Sementara az-zahiri menyatakan wajib. Menurut Malikiyah,
bagi sebagian orang sunnah, sebagian lainnya mubah. Tergantung apakah ia takut
impoten atau tidak.5 Nikah sangat dianjurkan (sunnah) bagi mereka yang
menginginkan dan memiliki biaya untuk melaksanakannya sekaligus mampu
memberi nafkah istrinya. Nikah tak sebatas pada hasrat atau keinginan seksual,
melainkan harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami. Secara
prinsip, islam tidak memberikan batasan pasti berapa umur yang pantas atau umur
yang ideal bagi pernikahan. Yang terpenting sudah memenuhi syarat dan rukun
nikah, maka siapapun boleh dinikahkan. Syarat-syarat tamyiz, baligh, al-rusyd,
dan lainnya hampir tidak berlaku dalam pernikahan.
Nabi Muhammad SAW. sendiri tidak menentukan batasan umur yang ideal
bagi perkawinan. Terdapat sebuah riwayat yang menjadi legitimasi oleh
sekelompok orang, meskipun riwayat ini masih kontroversial, yaitu bahwa Aisyah
dinikahi Nabi dalam usia yang belum mencapai masa baligh. Baligh sendiri masih
diperdebatkan dikalangan ulama. As-Syafii, misalnya membatasi baligh bagi
laki-laki ketika sudah mencapai umur 15 tahun dan atau sudah mimpi basah.
Sementara bagi perempuan ketika sudah berumur 9 tahun atau sudah haid
(menstruasi). Sementara Abu Hanifah membatasi laki-laki 18 tahun, perempuan
17 tahun sedangkan Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan As-Syafii menyebut
15 tahun sebagai tanda baligh. Ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Para
pakar tafsir sendiri berbeda-beda dalam memaknai bulugh al-nikah seperti yang
terdapat dalam QS. An-Nisa: 06. Ibnu Katsir memaknai kalimat ini dengan
mimpi basah atau umur 15 tahun. Al-Alusi menyebut usia 18 tahun untuk anak
merdeka dan 17 tahun untuk budak. Sedangkan Abu Hayyan mengutip pendapat
An-Nakhai dan Abu Hanifah menyebut usia 25 tahun.6
Isu mengenai pernikahan anak di bawah umur (zawaj al-qashirat) sejak
dulu memang menjadi persoalan dan perdebatan hangat di kalangan umat Muslim.
Perdebatan tersebut kini semakin melebar dan mencakup berbagai aspek serta
melibatkan banyak pihak, seperti lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga
pemerintahan (eksekutif dan legislatif), dan media-media massa (online, cetak,
dan televisi) untuk memobilisasi kaum perempuan guna melawan atau
mendukung perkawinan anak.
Legalitas perkawinan anak didasarkan pada kisah Aisyah yang dinikahi
Nabi Muhammad Saw. Ketika berumur 6 tahun, meskipun baru hidup bersama
ketika mencapai umur 9 tahun. Hasil Muktamar NU ke-32 di Makassar
membolehkan kawin di bawah umur didasarkan pada hadis ini. Berbeda dari Hasil
Muktamar NU, Muhammadiyah menilai bahwa pernikahan tersebut tidak bisa
5
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayat al Mujtahid fi Nihayat al Muqtashid, ( Dar
al Fikr, 2003), 2.
6
Mukti Ali, dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 91.

5
dibuat sebagai acuan dasar diperbolehkannya pernikahan di bawah umur.
Muhammadiyah kurang bisa menerima hadis yang menceritakan tentang usia
Aisyah yang baru 6 tahun sudah dinikahi Nabi, karena ada kejanggalan yang
mustinya diungkap. Muhammadiyah cenderung sepakat dengan UU. No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.7 Sebagaimana tersurat
dalam keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah dalam, Fikih
Perempuan dalam Perspektif Ulama Muhammadiyah.

Kelompok yang Mendukung Perkawinan Anak


Kelompok ini, berpijak kepada sejumlah dalil baik dari al-Quran maupun
hadits. Sebagaimana dipaparkan oleh Mukti Ali Dkk., bahwa Syaikh Majid Al-
Zindani menilai dokumen CEDAW atau Convention on the Elimination of all
forms of Discrimination Against Women (konvensi tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan) yang dikeluarkan PBB pada 1979,
sebagai salah satu dokumen paling berbahaya bagi umat muslim. Dan Dokumen
Hak-Hak Anak yang disetujui PBB tahun 1989, disebut sebagai dokumen yang
mengampanyekan seks bebas di kalangan anak-anak/remaja. Dalam karyanya,
Abu Ammar menyajikan banyak alasan dibolehkannya pernikahan usia dini:
Pertama, alasan teologis, yaitu mengacu pada al-Quran, Hadits dan Ijma
Ulama. Dalil yang pertama disebut adalah Surah At-Thalaq: 4, ayat ini
merupakan dalil bolehnya perempuan anak-anak/kecil dinikahi bahkan digauli
oleh suaminya. Dan yang menjadi ukuran berjima adalah kesempurnaan postur
tubuhnya (iktimal binyatiha), dan hadits yang menyinggung perkawinan Aisyah
dengan Rasulullah Saw. Menguatkan hal itu juga adanya kesepakatan para ulama
dengan syarat yang menjadi walinya adalah ayahnya sendiri, atau kakek dari
pihak ayah.8
Kedua, alasan moral, sosial, dan budaya diantaranya: Pertama,
Perkawinan usia dini meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku
menyimpang di kalangan muda-mudi. Kedua, Perkawinan dini akan membuat
anak muda berpikiran positif dan terhindar dari perilaku menyimpang. Ketiga,
Perkawinan usia dini tidak hanya dilakukan di kalangan umat muslim, tetapi
menjadi budaya di seluruh dunia, termasuk Eropa-Barat. Misalnya; di wilayah
Colorado Amerika menetapkan bahwa usia pernikahan yang baik adalah suami 12
tahun, dan istri 12 tahun.
Ketiga, alasan kesehatan. Diantaranya:
1) Laporan dari pusat studi sebuah Universitas Amerika, mengatakan bahwa
semakin mundur usia nikah, akan semakin menurun semangat orang untuk
menikah. Dan ini banyak terjadi di negara-negara barat. Banyak perempuan
Amerika yang melahirkan dan merawat anak tanpa melalui proses pernikahan.
Tahun 60-an 25,3% dari seluruh jumlah kelahiran anak di Amerika dari para
ibu yang tidak pernah menikah. Angka ini meningkat paling tinggi di tahun
1997, yaitu 32%.

7
Mukti Ali, dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 99.
8
Mufti Ali, Dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 57

6
2) Kanker payudara dan kanker rahim sedikit terjadi pada perempuan-perempuan
yang sudah mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda.
3) Gangguan kehamilan dan persalinan, operasi Caesar, kelahiran premature,
cacat fisik, kematian janin di dalam rahim atau setelah lahir, semua secara
relatif akan semakin besar kemungkinannya manakala usia sang ibu hamil
juga bertambah.
Keempat, alasan ideologis, bahwa perkawinan anak usia dini dapat
meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan
pernikahan usia dini, akan mengalami peningkatan populasi yang lebih besar dari
umat lainnya. Penolakan terhadap pernikahan dini sebenarnya merupakan upaya
orang-orang kafir untuk mengurangi jumlah umat muslim. Di samping itu, tentu
saja untuk menanamkan keraguan di hati umat muslim terhadap sunnah
Rasulullah Saw, sebagai pribadi yang mashum (terhindar dari kesalahan).
Sebagaimana dikutip oleh Mukti Ali, dkk, Arif ibn Ahmad membedakan
antara al-zawaj al mubakkir (pernikahan usia dini/setelah baligh) dengan zawaj
al-shigar (perkawinan anak-anak/belum baligh), kemudian memaparkan berbagai
teks dari Al-Quran maupun Hadits yang menganjurkan perkawinan usia dini
yang didasarkan pada hadits Rasulullah Saw,
:
, :
.
.



Abdullah bin Masud menuturkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, wahai para
pemuda barang siapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya dia
menikah, karena dengan pernikahan tersebut bisa lebih menundukkan pandangan
mata dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah
dia berpuasa sebab puasa itu dapat meredam syahwatnya, (HR. Al-Bukhari-
Muslim).9
Kalimat Al-Syabab menurut Arif ibn Ahmad adalah orang-orang yang
sudah baligh dan belum mencapai usia 30 tahun. Allah SWT. telah berjanji akan
memberi kecukupan orang-orang yang menikah dan berumah tangga sebagaimana
firman Allah dalam QS. Annur: 32.
Sumber dari Hadits yang digunakan untuk mendukung argumentasi adalah
hadits yang berbunyi, Tiga hal akan memberikan pertolongan [kepada manusia],
yaitu jihad di jalan Allah Swt, kewajiban-kewajiban yang ditunaikan, dan
pernikahan yang berakhir bahagia dan penuh kasih sayang. [HR. Tirmidzi].
Mufti Nasional Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Ali al-Syaikh, pernah
mengatakan jika seorang perempuan sudah berusia 10 atau 12 tahun, ia boleh
dikawinkan. Orang yang menganggapnya masih kecil, maka orang itu telah keliru
dan zalim terhadap perempuan tersebut.10

Kelompok yang Menolak Perkawinan Anak


Kelompok ini, lebih memprioritaskan upaya perlindungan terhadap anak-
anak perempuan dari eksploitasi seksual, pemerkosaan, dan bahaya-bahaya lain
9
Al Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al Mughirah, Shohih
bukhori, (Dar al Fikr, Beirut, t.t.), hlm. 187
10
Mufti Ali, Dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 85

7
yang mengancam mereka. Dari sisi syariat, kelompok ini berpegangan pada fatwa
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dan lainnya yang membolehkan taqyid al-mubah
(pembatasan hal yang boleh) untuk suatu kemaslahatan. Dalam hal ini,
pembatasan usia perkawinan boleh dilakukan selama untuk tujuan kemaslahatan
umat.
Dalam buku Dalil Qadhaya al-Shihhah al-Injabiyah li al-Murahiqin wa
al-Syabab min Manzhur Islami,11 menjabarkan perkawinan usia dini dari empat
sudut pandangan. Pertama, perkawinan anak usia dini ditinjau dari segi
kesehatan reproduksi. Kedua, ditinjau dari sudut pandang kekerasan terhadap
perempuan. dan ketiga, perkawinan anak usia dini ditinjau dari sudut pandang
keagamaan, Keempat, perkawinan anak usia dini ditinjau dari aspek psikologis.
Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian dimaksud:
1) Pertama, dari sudut pandang kesehatan reproduksi. Undang-Undang Negara
Mesir membatasi usia pernikahan perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki
18 sama halnya dengan Hukum Keluarga di Pakistan, dinyatakan perkawinan
dapat dilakukan jika usia perempuan 16 tahun dan laki-laki 18 tahun.12
2) Dari sudut pandang kesehatan reproduksi, usia perempuan yang siap
mengalami reproduksi tidak boleh kurang dari 18. Dan usia yang ideal bagi
kehamilan adalah usia antara 20-35 tahun.
3) Perkawinan anak usia dini ditinjau dari sudut pandang kekerasan terhadap
perempuan. disebutkan terdapat ada dua jenis kekerasan terhadap perempuan,
yaitu kekerasan non-fisik (al-unf al-manawiy) dan kekerasan fisik (al-unf
al-badaniy). Terdapat dua kekerasan non-fisik terhadap perempuan, yaitu
perkawinan usia dini (al-zawaj al-mubakkir) dan perkawinan paksa (al-zawaj
al-qahriy), lebih lanjut pernikahan anak usia dini berakibat pada terjadinya
domestifikasi perempuan.13
4) Perkawinan anak usia dini ditinjau dari sudut pandangan pemikiran
keagamaan, terdapat perdebatan di kalangan ulama klasik terkait dengan
persoalan pernikahan anak usia dini, dengan sekurang-kurangnya ada
beberapa pendapat berikut:
a) Sebagian besar ulama, berpendapat bahwa pernikahan anak usia dini
diperbolehkan. Mereka berargumen dengan landasan dalil Al-Quran,
Sunnah/Hadits, praktik-praktik yang dilakukan para sahabat Nabi.
Tentunya teks-teks tersebut dibaca menggunakan metode tersendiri hingga
menghasilkan ketetapan hukum.
b) Ibn Hazm berpendapat bahwa perkawinan anak usia dini diperbolehkan
bagi anak kecil perempuan. sementara bagi laki-laki kecil tidak
diperbolehkan. 14

11
Buku ini merupakan hasil diskusi dan penelitian para pakar lembaga International
Islamic center for population studies & research Al-Azhar yang disusun menjadi buku oleh Prof.
Dr. Gamal Serour, Direktur lembaga dan seorang guru besar dalam bidang kebidanan (obstetrics)
dan ginekologi (gynecology)
12
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, Text and Comparative
Analysis (New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987), 270.
13
Mukti Ali, dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 141.
14
Ibn Hazm, al Muhalla, (Beirut, Dar al Fikr, tt.), 459, tt.

8
c) Ibn Sabramah dan Abu Bakar al-Asham berpendapat bahwa pernikahan
anak usia dini hukumnya terlarang, dan mereka menyatakan bahwa
perkawinan Nabi dengan Aisyah adalah sifat kekhususan (Khushushiyyah)
Nabi Muhammad Saw, sedang bagi umatnya tidak diperbolehkan.15 Dalam
kitab-kitab Ushul Fikih klasik disebutkan bahwa ada banyak kekhususan
Nabi yang dilarang ditiru oleh umatnya, diantaranya yaitu berpuasa sehari
semalam yang diistilahkan dengan shawm al-wishal dan beristri 9.
Kekhususan ini ditambah lagi oleh Ibn Sabramah dan Abu Bakar al-
Asham, yaitu Nabi menikahi Aisyah dalam usia yang dini.
d) Perkawinan anak usia dini adalah sunnah sebab dicontohkan oleh Nabi
Muhammad pada saat menikahi Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq.
International Islamic Center for Population Studies & Research Al-Azhar
menyatakan bahwa perkawinan anak usia dini tidak memiliki dasar dan
argumentasi keagamaan yang kuat dan shahih dalam perspektif Islam.16 Ditinjau
dari aspek psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah antara 19 sampai dengan
25 tahun, yang di affirmasi oleh Ibnu Masud RA. menggunakan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Lima. Ciri-ciri psikologis yang paling mendasar adalah
adalah mengenai pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku tampak diantaranya:
pertama, stabilitas mulai timbul dan meningkat; kedua, citra diri dan sikap
pandangan lebih realistis. ketiga, menghadapi masalahnya secara lebih matang.
Keempat, Perasaan menjadi lebih tenang.17 Secara psikologis, pernikahan usia
anak tidak dibenarkan terkait dengan kesejahteraan psikologis seorang anak belum
terpenuhi.

Batas Usia Menikah dalam Hukum Positif


Pengaturan mengenai batas usia minimal perkawinan merupakan
kesepakatan nasional sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy)
pembentuk undang-undang yang melihat secara bijaksana dengan berbagai
macam pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang nyata dihayati
masyarakat. Sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) sewaktu-
waktu dapat diubah oleh pembentuk UU. sesuai dengan tuntutan kebutuhan
perkembangan yang ada, yang apa pun pilihannya, tidak dilarang selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan UUD 1945 tidak mengatur secara
jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak.
Beragam masalah konkrit yang terjadi dalam perkawinan tidak murni
disebabkan dari aspek usia semata. Dengan demikian maka ketentuan mengenai
batas umur diizinkannya perkawinan dalam UU. Perkawinan yang dianggap
disharmoni dengan UU Perlindungan Anak adalah konstitusional, yakni harmoni
dengan UUD 1945.18
15
Ibn Hajar al Asqalany, Syarah Muslim, (Beirut, Darul Fikr, tt.), 237.
16
Mukti Ali Dkk, Fikih Kawin Anak, (Rumah Kitab, Ford Foundation, 2015), hlm. 147-
152.
17
Andi Mapreane, Psikologi Remaja (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 36 - 40.
18
Disampaikan Oleh Dr. Fadhil, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Workshop
Pernikahan Usia Anak yang diselenggarakan Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Indonesia-
FITRA Jawa Tengah-PLAN Internasional pada tanggal 18 April 2016 di Horison Semarang Jawa
Tengah.

9
Meskipun secara normatif, tafsir konstitusional yang melandasi putusan
MK atas permintaan peninjauan kembali batas minimal usia nikah tidak
berlawanan dengan UUD 1945 dan batas umur diizinkannya perkawinan dalam
UU. Perkawinan yang dianggap disharmoni dengan UU. Perlindungan Anak
adalah konstitusional, namun dalam perspektif perlindungan anak tetap saja terasa
janggal. Karena definisi anak dalam UU. No. 35 tahun 2014 perubahan atas UU.
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa anak adalah setiap anak
yang berusia dibawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Konsep Maqashid as-Syariah dalam Pernikahan Usia Anak


Maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) merupakan suatu metode ijtihad
yang berupaya menyingkap tujuan kemanusiaan universal di setiap ketetapan
syariat untuk memenuhi aspek kemaslahatan bagi manusia serta salah satu
pendekatan penting dalam menimbang ketentuan suatu hukum syariah.19
Ditegaskan dalam kitab al-Muwafaqat, prinsipnya berupaya menjelaskan hal-hal
yang harus dijamin pemenuhannya bagi manusia sebab hal tersebut sangat
fundamental dan menjadi sendi kehidupan yang sehat dan bermartabat. Al-
Syathibi membagi maqashid menjadi dua; Maqashid al-Syari, atau Maqashid al-
Syariah, dan Maqashid al-Mukallaf atau Niat. Maqashid al-Syari dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu; dharuriyyat (hak primer) hajiyyat (hak sekunder) dan
tahsiniyyat (hak suplementer).
Muhammad Thahir Ibn Asyur seorang Ulama Tunisia pada abad 18,
mengembangkan Maqashid syariah dalam kitabnya, Maqashid al Syariah.
Menurutnya ada 7 macam maqashid syariah. Ia menambahkan 2 tujuan universal
yang telah dirumuskan ulama sebelumnya yakni al syathibi, yaitu hifdz al
hurriyah dan al Musawah.20 Maqasid an nikah dalam berbagai literatur ulama
diantaranya, mensyiarkan ajaran agama, membangun keluarga yang harmonis,
melampiaskan hasrat biologis sesuai norma agama, menjaga keberlangsungan
umat manusia, menjaga garis nasab agar tidak terjadi kerancuan.
Pada ranah kajian maqasid, pernikahan usia anak bisa dikaitkan dengan
hierarki Ad dharuriyat al Khoms (Lima prinsip) dalam maqasid syariah, yaitu
hifdz ad din, hifdz an nafs, hifdz al aql, hifdz an nasl, hifdz al mal. Dalam masalah
pernikahan anak terdapat benturan antara hifdz an nafs, hifdz al aql dengan hifdz
an nasl. Dimana usia anak masih sangat beresiko untuk melakukan hubungan
seksual apalagi kesiapan organ reproduksinya. Selain itu usia anak lebih tepat
dipergunakan untuk masa pengembangan fungsi akal dan pendidikan daripada
untuk reproduksi dengan menikah dan memiliki keturunan. Sehingga
mendahulukan keselamatan jiwa anak dari resiko yang ditimbulkan akibat
pernikahan dan pengembangan fungsi akal lebih didahulukan daripada hifdz an
nasl. Pernikahan usia anak juga dianggap tidak sejalan dengan salah satu maqasid
an nikah (tujuan nikah) yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah dari suami istri, dimana psikologi anak belum memahami semua itu
kecuali kasih sayang dari kedua orangtuanya.
19
Al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Syariah, (Beirut, Dar al Kutub al Islamiyah,
2003), 3.
20
Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqashid as syariah, (Kairo, Dar al Ilm, 1999), 288.

10
Kesimpulan
Secara epistimologis, perkawinan usia anak telah mendapatkan legitimasi
teks agama dari penafsiran ulama terhadap ayat al Quran QS. Ath Thalaq ayat 4,
meski tidak ditegaskan secara eksplisit (sharih) dalam bunyi teksnya. Pada
prinsipnya, islam tidak memberikan batasan pasti berapa umur yang pantas atau
umur yang ideal bagi pernikahan. Yang terpenting sudah memenuhi syarat dan
rukun nikah, maka siapapun boleh dinikahkan. Para pakar tafsir sendiri berbeda-
beda dalam memaknai bulugh al-nikah seperti yang terdapat dalam QS. An-Nisa:
06. Ibnu Katsir memaknai kalimat ini dengan mimpi basah atau umur 15 tahun.
Al-Alusi menyebut usia 18 tahun untuk anak merdeka dan 17 tahun untuk budak.
Sedangkan Abu Hayyan mengutip pendapat An-Nakhai dan Abu Hanifah
menyebut usia 25 tahun.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
persyaratan usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk
laki-laki. Sedangkan UU. No. 35 tahun 2014 perubahan atas UU. No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah individu
dengan usia dibawah 18 tahun dan orang tua wajib mencegah terjadinya
pernikahan dini. Walaupun ada beberapa persyaratan untuk pernikahan misalnya
individu dibawah usia 21 tahun tetap harus mendapatkan ijin orangtua untuk
menikah (PP. No. 9 tahun 1975), perlunya ijin bagi pernikahan anak dari
pengadilan agama (Kompilasi Hukum Islam), serta perlu adanya kesepakatan dari
kedua mempelai jika akan menikah. Alasan yang menarik atas penolakan MK atas
uji materiil UU. Perkawinan terkait menaikkan batas usia minimal perkawinan
diantaranya adalah alasan bahwa agama/fikih tidak mengaturnya. Memperhatikan
hal tersebut, sebetulnya terdapat kekosongan hukum fikih dan tersedia ruang
ijtihad untuk menaikkan batas usia perkawinan agar terformalisasi dalam hukum
positif.
Positifikasi hukum terkait batas usia menikah sangat memungkinkan
dilakukan, mengingat adanya celah yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Ulama
tafsir juga berbeda pendapat mengenai batasan usia menikah dalam QS. Annisa; 6.
Tersedia pilihan mulai 15 tahun sampai 25 tahun. Jika dianalisa menggunakan
teori maqashid, dalam praktek perkawinan anak terjadi benturan antara hifdz an
nafs, hifdz al aql dengan hifdz an nasl, dimana usia anak masih sangat beresiko
untuk melakukan hubungan seksual dan lebih tepat dipergunakan untuk masa
pengembangan fungsi akal dan pendidikan daripada untuk reproduksi. Pada sisi
lain juga tidak sejalan dengan maqashid an nikah (tujuan nikah) yaitu
membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Upaya lain yang secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan adalah melakukan penelitian empirik secara
serius terkait perkawinan anak dan berbagai dampaknya (Kesehatan, psikologis,
kerentanan perceraian), agar menjadi dasar pijakan bagi revisi UU. Perkawinan
terkait batas minimal usia menikah.

Daftar Pustaka

11
Al Ghazi, Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad,
Fath al Qarib al Mujib Fi Syarh alfadz al taqrib, Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet.
I, 2005.
Al Syatibi, Abu Ishaq, al Muwafaqaat fii Ushul al Syariah, (Juz I), Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiyyah, Cet. I, 2003.
Al Fairuzzabady, al Qamus al Muhith, Dar al Jiil, Beirut, t.t
Al Alusi, Abi al Fadhl Syihabuddin sayyid Mahmud, Ruh al Maani fi tafsir al
Quran al Adzim wa as sabul matsani, Beirut, Dar al Fikr, t.t.
Al Ramli, Nihayah al Muhtaj (Jilid VI), Kairo: Thabah al Halabi, Cet. I, 1938
Al Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al Mughirah,
Shohih bukhori, Dar al Fikr, Beirut, t.t.
Ibn Mandhur, Jamaluddin Abi al Fadhl Muhammad bin Mukkarom, Lisan al Arab,
Dar al kitab al Ilmiyyah, Beirut, cet. 1 1424 H-2003. Kairo: Dar el Fikr el
Arabi, Cet. I, 2004
Al Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Jilid IX), Beirut: Dar El Fikr, tt.
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Kairo, Dar el Fikr el araby, Cet. I, 2004.
Al Jashshash, Abi Bakar Ahmad ar Razi, Ahkam al Quran, Dar al Fikr, Beirut,
Cet. 1, 1421 H-2001 M.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad, al Mujam al mufahras li alfadh al quran al
karim, Dar al Fikr, cet.2 , 1412 H-1992 M.
Ash Sabuni, Muhammad Ali, Rawai al Bayan fi tafsir ayat al Ahkam min al
Quran, Dar al kutub al islamiyah, Jakarta, cet. 1, 1422 H-2001 M.
Ali, Mukti, Dkk, Fikih Kawin Anak, Rumah Kitab-FF, Cet. I, 2015
Al Husaini, Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad, Kifayat al Akhyar fi Halli
Ghayah al Ikhtishar, Kediri, Mahad al Islam Salafy, tt.
Hasyim, Syafiq, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, Kata Kita, Depok, 2010
Ibn Asyur, Muhammad thahir, Tafsir at tahrir wa at tanwir, Dar as suhun, Tunis,
t.t
________________________, Maqashid Asy Syariah, Dar al Ilm, Kairo, 1999.
Ibn Hazm, al Muhalla, Beirut, Dar al Fikr, tt.
Ibn Hajar al Asqalany, Syarah Muslim, Beirut, Darul Fikr, tt.
McAuliffe, Jane Dammen (Ed), The Cambridge Companion to The Quran,
Cambridge University Press, New York, 2006
Mapreane, Andi, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Mubarok, Jaih. Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2015
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016
Yanggo, Huzaemah Tahido, Muhadlorot fi al fiqh al Muqaran, Juz 2, Jakarta; UIN
Syarif Hidayatullah, 1999
Zuhaili, Wahbah, tafsir al munir fi al Aqidah wa asy syariah wa al manhaj, dar al
Fikr, Beirut, cet. 1, 1411 H-1991 M.

12

Anda mungkin juga menyukai