Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG YANG


BERLAKU DI INDONESIA
Mata Kuliah Hukum Keluarga

Di susun oleh : Putri Larasati


Npm : 19810222

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA) MUHAMMAD ARSYAD AL-


BANJARY FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

1
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
rahmat serta karunianya, sehingga sampai saat ini saya mampu
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Perkawinan Anak dibawah Umur
Menurut Undang-Undang di Indonesia” dengan tujuan memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Keluarga.
Shalawat serta salam semoga tetap senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikutnya yang setia sampai
akhir zaman.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena
terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi.
Selanjutnya, tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu/Bapak
yang membimbing saya dalam proses pembuatan makalah ini, dan saya
mengucapkan terimakasih kepada para pembaca yang telah meluangkan
waktunya untuk membaca makalah ini. Semoga Allah memberkahi makalah
saya sehingga benar-benar bermanfaat bagi saya, dan pembaca sekalian.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan

2
mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan
yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai
subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai
kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (UU
No. 23 Tahun 2002).
Dalam Hukum Positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang
tertuang di dalam UU No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan sesorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka
yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan
seperti dalam Pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 yang tertera bahwa,
batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah berusia 19
(Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (Enam belas)
Tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum
berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai
“Perkawinan di bawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang
belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih
berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No.23
Tahun 2002, “Bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak
yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan tegas
dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.
Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh
Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan
berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak
masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap
anak-anak seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun
2002. Dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah adanya
perkawinan pada usia muda.
Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap
wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah
umur bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi
kasus hukum seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan
Lutviana ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi
terhadap kasus perkawinan di bawah umur ini.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan
Islam?
3. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur menurut pandangan
Hukum Adat?
4. Apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur?
5. Bagaimana upaya mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?

BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan Negara Hukum, dimana warga Indonesia harus


mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh yang berwenang. Di sinilah
terdapat beberapa penilaian dari faktor hukum, adat, adanya dampak
terjadinya perkawinan di bawah umur dan upaya mencegah terjadinya
Perkawinan di bawah umur.

1. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Peraturan Perundang-


undangan yang Berlaku Di Indonesia
Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan
syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum
melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat 1 UU no.1 tahun 1974 :
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
Pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 : untuk melangsungkan perkawinan
seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 : perkawinan

4
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi
warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan
menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa
dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh
adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan
perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran
dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang
menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya
perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang
perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak
mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No.
23 tahun 2002 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya,
Pasal 11 UU No.23 Tahun 2002: setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan :
a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan
f) perlakuan salah lainnya.

Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat 1 UU no. 23
tahun 2002 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

5
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Islam


Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari
ajaran Islam, yakni Al-Qur’an. Apakah Al-Qur’an mengizinkan atau
melarang perkawinan di bawah umur? Perkawinan adalah suatu aqad yang
sangat kuat (misaqan ghalizan) untuk menaati perintah Allah swt dan
melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Yang bertujuan untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Dan
hukumnya dapat berubah sesuai berubahnya “illah”, ayaitu dapat sunnah,
makruh, haram dan wajib.
Sebagaimana terlihat dalam Hadist berikut “ …… sedangkan aku menikah,
maka barangsiapa tidak suka sunnah (petunjukku), maka bukan dari
golonganku”. Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak
memberikan batasan umur, namun ditekankan perlunya kedewasaan
seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan (hal-hal
buruk). Sehingga kedewasaan secara psikologis dan biologis secara
implicit di anjurkan melalui beberapa Hadist dan yang tertera dalam ayat
Al-Qur’an. Namun, muncul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan
seseorang untuk boleh menikah, yang berimplikasi terhadap tidak ada
keberatan atas pernikahan di bawah umur dari pandangan Islam.

3. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Adat


Hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk
melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan
anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal
ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja
merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan
persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur
atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat
karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang
dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak
melarang perkawinan kanak-kanak.

4. Dampak Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur

6
Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek
sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur.
Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat
dikemukakan sbb.
• Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
➢ Pasal 7 (1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun.
➢ Pasal 6 (2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.
b. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) Orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
2. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya dan
3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

• Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi
yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas
dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau
adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap
seorang anak.
• Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa
anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya
yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas

7
putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak
anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan
menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri
anak.
• Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam
masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan
pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk
agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender
yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
• Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),
namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini
bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun,
minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60
juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang
menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada
efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

Para sarjana/ahli hukum berpendapat faktor- faktor yang mempengaruhi


terjadinya perkawinan dalam usia muda :
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan
usia muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan
anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono


disebabkan oleh:

8
a. Masalah ekonomi keluarga.
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki
apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam
keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya).

Selain menurut para sarjana/ahli hukum di atas, ada beberapa faktor yang
mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di
lingkungan masyarakat kita yaitu :

a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern
kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

5. Upaya Mencegah Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur


Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang
kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah
umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan
atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat
9
luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan
pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi
SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat
banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan
informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW
dengan 'Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan
pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-
pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan
pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang
berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang
ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali
terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus
semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur
beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan
resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah
umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat
tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu
yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di
bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut
serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur
yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat
merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya
pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak
akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan
anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya
kelak.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah
umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu
patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan
menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus
memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan
class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus
melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya
pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap
pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada.
(UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

10
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN


Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk
menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan
sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan
agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan
tersebut.
Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah
masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan
diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah
umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara
Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang
berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di
bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan
masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini
agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal
mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

• Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
• Drs. M. Thahir Hi. Salim, MH, Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009
• http://sosiologihuku.blogspot.com
• http://www.kikil.org
• Kitab Undang-undang Hukum Perdata

12

Anda mungkin juga menyukai