1
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
rahmat serta karunianya, sehingga sampai saat ini saya mampu
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Perkawinan Anak dibawah Umur
Menurut Undang-Undang di Indonesia” dengan tujuan memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Keluarga.
Shalawat serta salam semoga tetap senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikutnya yang setia sampai
akhir zaman.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena
terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi.
Selanjutnya, tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu/Bapak
yang membimbing saya dalam proses pembuatan makalah ini, dan saya
mengucapkan terimakasih kepada para pembaca yang telah meluangkan
waktunya untuk membaca makalah ini. Semoga Allah memberkahi makalah
saya sehingga benar-benar bermanfaat bagi saya, dan pembaca sekalian.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan
2
mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan
yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai
subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai
kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (UU
No. 23 Tahun 2002).
Dalam Hukum Positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang
tertuang di dalam UU No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan sesorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka
yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan
seperti dalam Pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 yang tertera bahwa,
batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah berusia 19
(Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (Enam belas)
Tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum
berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai
“Perkawinan di bawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang
belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih
berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No.23
Tahun 2002, “Bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak
yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan tegas
dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.
Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh
Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan
berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak
masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap
anak-anak seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun
2002. Dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah adanya
perkawinan pada usia muda.
Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap
wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah
umur bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi
kasus hukum seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan
Lutviana ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi
terhadap kasus perkawinan di bawah umur ini.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan
Islam?
3. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur menurut pandangan
Hukum Adat?
4. Apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur?
5. Bagaimana upaya mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?
BAB II
PEMBAHASAN
4
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi
warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan
menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa
dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh
adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan
perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran
dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang
menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya
perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang
perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak
mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No.
23 tahun 2002 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya,
Pasal 11 UU No.23 Tahun 2002: setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan :
a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan
f) perlakuan salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat 1 UU no. 23
tahun 2002 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
5
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
6
Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek
sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur.
Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat
dikemukakan sbb.
• Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
➢ Pasal 7 (1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun.
➢ Pasal 6 (2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.
b. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) Orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
2. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya dan
3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
• Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi
yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas
dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau
adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap
seorang anak.
• Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa
anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya
yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas
7
putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak
anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan
menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri
anak.
• Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam
masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan
pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk
agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender
yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
• Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),
namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini
bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun,
minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60
juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang
menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada
efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
8
a. Masalah ekonomi keluarga.
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki
apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam
keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya).
Selain menurut para sarjana/ahli hukum di atas, ada beberapa faktor yang
mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di
lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern
kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
10
BAB III
PENUTUP
11
DAFTAR PUSTAKA
• Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
• Drs. M. Thahir Hi. Salim, MH, Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009
• http://sosiologihuku.blogspot.com
• http://www.kikil.org
• Kitab Undang-undang Hukum Perdata
12