Anda di halaman 1dari 169

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hak setiap orang sebagai bentuk membina

rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahmah, setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah. Menurut pendapat Hilman Adikusuma dalam konteks kehidupan

perkawinan merupakan suatu budaya Gharizah bertujuan untuk melanjutkan

keturunan dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.1 Negara bertanggung

jawab atas pembentukan suatu aturan hukum untuk mengatur pelaksanaan

perkawinan agar terlaksana dengan baik, mengingat perkawinan di Indonesia

tidak hanya berdasarkan aturan tertulis tetapi juga diatur dalam hukum agama

dan hukum adat.

Terdapat keberagaman perkawinan di Indonesia antara satu dengan

yang lainnya dari segi agama serta adat dan istiadat, setiap tata caranya

berbeda. Menurut pendapat Subekti keberagaman tersebut diakui pemerintah

Negara Republik Indonesia namun harus tetap berdasarkan Pancasila 2. Hak

untuk dapat melakukan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Pasal 28B Ayat (1) yang berbunyi :

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah.”

1
Hilman Hadi Kusuma,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju,hlm 11

2
Subekti,2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta;Penerbit PT. Intermasa, hlm. 1

1
Ketentuan dari Pasal 28B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Perkawinan diatur secara khusus pada Pasal 1 Undang -

Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan yang berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha.esa”.

Pendapat perkawinan menurut Subekti :

“Perkawinan adalah ikatan pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama”3

Perkawinan menurut Wirjono Prodjodikoro :

“Perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat termasuk dalam

peraturan hukum perkawinan”4

Perkawinan juga diatur secara khusus dalam hukum Islam mengingat

penduduk Indonesia yang bermayoritaskan agama Islam. Menikah adalah

fitrah manusia dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, terdapat 23 Ayat yang

mengatur tentang perkawinan di dalam Al-Qur’an, namun tidak ada satupun

Ayat yang mengatur terkait umur sebagai syarat dibolehkanya permikahan

perkawinan namun dapat ditafsirkan dalam Ayat Al-quran terkait seseorang

3
Dedi Junaedi,2003, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an
Dan Sunnah), Akademika Pressindo, Jakarta, hlm 5
4
Ibid

2
yang dianggap sudah layak untuk dinikahkan dalam QS. An-Nur Ayat 59

berbunyi :

َ ِ‫تَْأ َذنَ الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْ ۗم َكذٰل‬P‫اس‬


‫هُ َعلِ ْي ٌم‬Pّٰ‫هُ لَ ُك ْم ٰايٰتِهٖۗ َوالل‬Pّٰ‫ك يُبَيِّنُ الل‬ ْ ‫ا‬P‫تَْأ ِذنُوْ ا َك َم‬P‫طفَا ُل ِم ْن ُك ُم ْال ُحلُ َم فَ ْليَ ْس‬
ْ َ ‫َواِ َذا بَلَ َغ ااْل‬

‫َح ِك ْي ٌم‬

Artinya :
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah
mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa
meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya
kepadamu. Allah maha mengetahui, mahabijaksana.

Kedewasaan ditandainya dengan mimpi atau Rusydan Kitab al-Fiqh

‘Alâ Madzâhib al-Arba’ah, batas bâligh seorang anak biasanya ditandai

dengan tahun namun, terkadang ditandai dengan tanda-tanda yaitu mimpi

bagi laki-laki dan haidh bagi perempuan. Menurut Hanâfi tanda bâligh bagi

seorang laki-laki ditandai dengan mimpi dan keluarnya mani, sedangkan

perempuan ditandai dengan haidh5. Kematangan jiwa merupakan salah satu

pertimbangan untuk melangsungkan perkawinan, menurut Ali Wafa

berpendapat hal ini dikarenakan agama menghendaki umat yang kuat, baik

fisik maupun mental yang hanya didapat dari keturunan orang-orang yang

kuat fisik dan mentalnya, disamping itu. Perkawinan harus memiliki

persiapan mental dan fisik untuk memikul beban sebagai ibu atau ayah yang

memimpin rumah tangga6

5
Ali Imron, 2011, Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak. Artikel dalam “Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum QISTI”, Vol. 5 No. 1, hlm. 73.
6
Moh. Ali Wafa,2017, Telaah Kritis terhadap Perkawinan Usia Muda menurut Hukum
Islam,hlm.402.

3
Hilman Hadikusuma berpendapat perkawinan menurut hukum adat

adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan pribadi

satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda hukum adat

tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan 7.

Hukum adat Minangkabaulah dipakai oleh masyarakat Kabupaten Solok yang

menganut falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, yang

dimana masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sehari-harinya bertumpu

pada ketentuan syariat Islam namun harus tetap sesuai dengan hukum positif

Indonesia.

Syarat suatu perkawinan dapat diakui secara sah menurut undang-

undang salah satunya mengatur terkait dengan umur calon suami atau istri hal

ini diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perkawinan:

“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun”.

Syarat perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 19 tahun

belum sah dimata hukum untuk melaksanakan perkawinan karena tidak

memenuhi syarat dari perkawinan, upaya yang dapat dilakukan dengan cara

mengajukan dispensasi perkawinan yang diatur pada Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (2) yang berbunyi :

“Dalam hal penyimpangan terhadap Ayat (1) Pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.


7
Hilman hadikusuma,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.49.

4
Dispensasi perkawinan merupakan suatu upaya permohonan oleh

calon pasangan suami istri kepengadilan didaerah sipemohon kepengadilan

untuk memperoleh izin berupa ketetapan hakim untuk dapat melaksanakan

perkawinan di bawah umur yang sah dimata hukum dan diakui oleh negara.

Menurut Zulfiani pengajuan permohonan dispensasi perkawinan ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor baik karena ekonomi, pendidikan dan

pemahaman sosial dan budaya8. Nani Suwondo menyatakan tujuan utama

pengaturan dispensasi perkawinan adalah untuk perlindungan anak serta

kepentingan terbaik bagi anak 40% dari penduduk Indonesia yang

sehat,cerdas, berakhlak dan terlindungi ini merupakan komitmen bangsa

bahwa menghormati, memenuhi dan menjamin hak anak adalah tanggung

jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.9

Pedoman pelaksanaan dispensasi perkawinan itu sendiri diatur dalam

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi perkawinan Pengaturan terkait usia anak diatur pada

Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 19 tahun (sembilan belas

tahun) atau belum pernah kawin menurut peraturan perundang-

undangan”.

8
Zulfiani,1974, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol 12 Nomor 2, Juli-Desember 2017,hlm
212
9
Nani Suwondo,1989,Hukum Perkawinan dan Kependudukan di Indonesia, Bandung :Bina
Cipta,hlm 42

5
Anak menurut Abdul Rahman Kanang berpendapat sebagai berikut:

“Anak adalah subjek hukum dan masa depan keluarga, masyarakat

dan negara yang perlu dilindungi, dipelihara, dan ditumbuh

kembangkan untuk mencapai kesejahteraan”10

Dispensasi perkawinan itu sendiri menurut Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan Pasal 1 Ayat (5) yang berbunyi :

“Dispensasi perkawinan adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan

kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk

melangsungkan perkawinan”.

Penetapan dispensasi bertujuan sesuai dengan Perma Nomor 5 Tahun

2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin Pasal 3 Huruf C yang

berbunyi :

“Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam upaya pencegahan

perkawinan anak”

Ali Imron berpendapat perkawinan ini disebutkan dalam

KUHPerdata Pasal 424, dan juga dibahas dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 kemudian diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan. Menurut

Ali Imron HS batas usia minimal perkawinan dipahami sebagai batas usia

10
Abdul Rahman Kanang,2014, Hukum Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seks Komersial:
Perspektif Hukum Nasional dan Internasional (Cet. I; Makassar: Alauddin Press), hlm. 25.

6
minimal laki-laki atau perempuan diperbolehkan melangsungkan

perkawinan11. Dispensasi perkawinan merupakan suatu bentuk upaya untuk

meminta pendewasaan atas dirinya oleh sianak, karena ingin dinikahkan

secara sah dimata hukum. Hal ini disebutkan dalam KUHPerdata, yakni

pendewasaan (handlichting) dalam Pasal 424 KUHPerdata yang berbunyi :

“Anak yang telah dinyatakan dewasa, dalam segala hal sama dengan
orang dewasa akan tetapi mengenai pelaksanaan perkawinan, dia tetap
wajib dari para orang tuanya atau dari kakek neneknya. atau dari
pengadilan negeri menurut ketentuan-ketentuan Pasal 35 dan 37,
sampai ia mencapai umur dua puluh satu tahun penuh, sedangkan
terhadap anak-anak luar kawin yang telah diakui, Pasal 39 alinea
pertama tetap berlaku sampai mereka mencapai umur dua puluh satu
tahun penuh.”

R. Soetojo Prawirohamidjojo berpendapat :

“Pendewasaan adalah upaya hukum yang digunakan untuk

meniadakan keadaan minderjarigheid, baik keseluruhannya, maupun

hal-hal tertentu”12

Pendewasaan menurut P.N.H Simanjuntak :

“Pendewasaan adalah daya upaya hukum untuk menempatkan


seseorang yang belum dewasa (minderjarigheid) menjadi sama
dengan orang yang telah dewasa (meerderjarigheid), baik untuk
tindakan. Sehingga ia memiliki kedudukan yang sama dengan orang
dewasa”13.

11
Ali Imron HS, 2011, “Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak”, Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 1, Januari,, hlm.72
12
R.Soetojo Prawirohamidjojo dan marthalena Pohan,1991 Hukum Orang dan Keluarga
( Personen en Familie- Recht), Surabaya : Airlangga University Press, Hlm 234
13
P.N.H Simanjuntak1991, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambatan, Hlm 25.

7
Konsep hukum perdata merumuskan, pendewasaan seseorang dapat

dilakukan dengan dua cara yakni, pertama pendewasaan penuh, mereka

yang termasuk dalam pendewasaan ini adalah anak yang telah mencapai

umur 20 tahun. Pemberian surat pendewasaan oleh presiden (menteri

kehakiman) dengan prosedur tertentu. Kedua pendewasaan terbatas,

mereka yang mendapatkan pendewasaan ini minimal berumur genap 18

tahun. Instansi yang memberikannya adalah pengadilan negeri di tempat

tinggalnya14

Upaya pemerintah dalam mengurangi terjadinya perkawinan dibawah

umur harus diiringi dengan pelaksanaan dan penerapan aturan hukum yang

sudah diatur dalam pasal 15 Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi perkawinan yang didalamnya dapat disimpulkan

bagaimana pedoman hakim memeriksa anak yang dimohonkan untuk

dispensasi perkawinan diantaranya :

a. Mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua.


b. Mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi
audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau tempat lain.
c. Menyarankan agar anak didampingi pendamping.
d. Meminta rekomendasi dari psikolog atau dokter/bidan, pekerja
social professional, tenaga kesejahteraan sosial,pusat pelayanan
terpadu,perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A), komisi
perlindungan anak Indonesia/daerah (KPAI/KPAD) dan,
e. Menghadirkan penerjemah/orang yang biasa berkomunikasi dengan
anak,,dalam hal dibutuhkan.

Pelaksanaan dispensasi ini belum pernah diatur sebelumnya, diharapkan

peraturan mahkamah agung ini dapat menahan tingkat perkawinan di bawah

14
Sanawiah and Muhamad Zainul, 2018, Batasan Kedewasaan dan Kecakapan Hukum Pewasiat
Menurut KHI dan KUHPerdata, Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 5 Issue 1,Hlm. 7

8
umur yang dilaksanakan secara siri maupun dibawah tangan, serta

melindungi hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (2) :

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur


sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.”

Pengaruh dari disahkanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

perkawinan, jika merujuk pada aturan diatas didalamnya memberikan

pengaturan pada :

1. Tata cara pengajuan dispensasi perkawinan

2. Tata cara pemeriksaan dispensasi perkawinan

3. Pertimbangan hukum penetapan dispensasi perkawinan

Hal diatas memberikan kepastian hukum dalam proses beracara

dispensasi perkawinan. Proses pengajuan dispensasi perkawinan yang diatur

dalam Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan yakni :

“Pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi perkawinan

adalah orang tua “

Pentingnya peran orangtua maupun keluarga dalam proses

pelaksanaan dispensasi perkawinan, pada pasal 6 diatas diharapkan orang tua

dapat mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur dan meningkatkan rasa

tanggung jawab orang tua pada kehidupan serta masa depan anak.

9
Pelaksanaan pemeriksaan dispensasi perkawinan ini diatur dalam Pasal 10

hingga Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan yang didalamnya

mengatur pelaksanaan pemeriksaan dispensasi sesuai dengan Pasal 10 Ayat

(1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan yakni :

“Pada hari sidang pertama, pemohon wajib menghadirkan :


a) Anak yang dimintakan permohonan Dispensasi perkawinan
b) Calon Suami/Istri
c) Orang Tua/ Wali Calon Suami/Istri”

Pasal 10 Ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan yakni :

“Dalam hal pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak


sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) pada hari sidang ketiga,
permohonan dispensasi perkawinan tidak dapat diterima “

Pasal diatas merupakan suatu bentuk terjaminnya kepentingan terbaik

bagi sianak, karena perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif

bagi tumbuh kembang anak, akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar

anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil

anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. 15 Pengesahan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan dalam pelaksanaan

permohonan dispensasi perkawinan memastikan bahwa perkawinan pada

15
Kamarusdiana, Ita Sofia, Dispensasi Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, salam jurnal,Vol. 7 No. 1,2020 .hlm 60

10
anak dibawah umur tidak bertentangan dengan asas mengadili permohonan

dispensasi perkawinan.

Pasal 12 dan13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan dalam

pengambilan keputusan hakim diwajibkan dalam melakukan pertimbangan

penetapan dispensasi perkawinan memberikan nasehat kepada pemohon,

anak, calon suami/istri dan orang tua wali calon suami/istri. Pemberian

nasehat oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan berpengaruh pada para

pemohon agar mempertimbangkan kembali terkait keputusan untuk

melakukan perkawinan dibawah umur. Hal ini merupakan upaya agar anak

memperoleh masukan terkait apa saja pengaruh dari perkawinan dibawah

umur.

Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan ini jika

dilaksanakan dengan sepenuhnya tentu akan berpengaruh pada jumlah

dispensasi perkawinan. Di Indonesia pengajuan permohonan dispensasi

perkawinan setiap tahun jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. 16

Dispensasi perkawinan di Sumatera Barat, dari data yang diperoleh dari

Pengadilan Tinggi Agama Padang, Sumatera Barat tahun 2018 kasus

dispensasi yang masuk sejumlah 159, ditahun 2019 kasus dispensasi

perkawinan masuk sejumlah 285, namun terjadi peningkatan yang cukup

tinggi pada tahun 2020 yakni sebesar 937 kasus dispensasi perkawinan di

16
Mardi Candra, 2018,Aspek Perlindungan Anak Indonesia , Analis Tentang Perkawinan Di
Bawah Umur, Jakarta: Kencana-Prenada Media Group,hlm 2

11
Sumatera Barat.17. Pelaksanaan dispensasi perkawinan berpedoman pada

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan dalam pengajuan permohonan

dan pemeriksaan perkara dispensasi perkawinan.

Hasil penelitian yang penulis peroleh dilapangan ada beberapa point

penting yang yang belum terlaksana dengan semestinya jika merujuk pada

Perma No. 5 Tahun 2019:

1. Tidak terlaksannya penerapan Pasal 3 Huruf C Perma Nomor 5 Tahun

2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin yakni :

“Pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin bertujuan untuk

meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak”

2. Mengatur pedoman pemeriksaan permohonan yang melibatkan pihak-

pihak diluar pengadilan agama untuk dapat meminta pertimbangan

rekomendasi. Pada Pasal 15 Huruf (D) Perma Nomor 5 Tahun 2019

Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin terkait setiap kasus

dispensasi sesuai dengan amanatnya yakni berupa dari Psikolog atau

Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial,

Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A),

Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD) namun

dalam prakteknya tidak dilaksanakan dengan ketentuan yang sudah

diatur.

3. Hakim yang mengadili dispensasi perkawinan adalah :


17
Data dispensasi masuk di Sumatera Barat, Tahun 2018-2020, Pengadilan Tinggi Agama Padang

12
Amanat Pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi Kawin :

“Hakim yang sudah memiliki surat keputusan ketua mahkamah


agung sebagai hakim anak, mengikuti pelatihan dan/atau
bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum
atau bersertifikat sistem peradilan anak atau berpengalaman
mengadili dispensasi perkawinan”

“Pelaksanaan dispensasi perkawinan di wilayah hukum Pengadilan

Agama Koto Baru, Kabupaten Solok cendrung dikabulkan oleh hakim,

sedangkan menurut Munir Fuadi hakim membentuk hukum berdasarkan

putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku para pihak yang

awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian akan

bertindak serta berperilaku menurut hukum18. Hasil dari data prapenelitian

yang penulis lakukan jika di lihat dalam tahun 2017 sejumlah 33 permohonan

dispensasi kawin diajukan, tahun 2018 sejumlah 39 Permohonan dispensasi

kawin , tahun 2019 sejumlah 48 Permohonan dispensasi kawin, tahun 2020

sejumlah 139 Permohonan dispensasi kawin. Rata-rata permohonan

dispensasi perkawinan yang masuk di Pengadilan Agama Koto Baru Solok di

latar belakangi karena orang tua takut anaknya berbuat hal yang tidak

semestinya karena sianak sudah putus sekolah dan orang tua bekerja diladang

sehingga tidak dapat menjaga sianak”19

Kehadiran Perma Nomor 5 tahun 2019 ini diharapkan. Pemohon

dispensasi perkawinan akan memperoleh landasan hukum dalam pelaksanaan

18
Munir Fuady,2013, Teori-teori Besar dalam Hukum (Grand Theory) Jakarta: Kencana, 247

19
Data Permohonan Dispensasi perkawinan Tahun 2015-2020 di pengadilan agama Koto Baru

13
beracara dispensasi perkawinan di pengadilan agama. Uraian di atas

mendorong penulis untuk melakukan penelitian di Pengadilan Agama Koto

Baru, Kabupaten Solok. Untuk melihat bagaimana pelaksanaan dispensasi

perkawinan sesuai dengan pedoman Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi perkawinan.

Dalam prakteknya hasil wawancara prapenelitian yang dilakukan dengan

Prima Yeni sebagai Panitera selaku Panitera Muda mengatakan :

“Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi perkawinan tersebut mengalami kendala

dalam penerapan sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah.

Seperti untuk menerapkan asas sebagaimana dimaksud Pasal 3 Huruf C,

yakni meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatar

belakangi pengajuan permohonan dispensasi perkawinan; dan mewujudkan

standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi perkawinan di

pengadilan agama Koto Baru, Kabupaten Solok.

Pemberian klasifikasi terkait hal-hal mendesak apa saja yang

menjadi landasan hakim untuk mengabulkan permohonan dispensasi

perkawinan tersebut, pemberian pertimbangan kondisi anak oleh

psikolog, ruangan khusus persidangan anak pada Pengadilan Agama Koto

Baru Kabupaten Solok dan terkait bagaimana pelaksanaan Peraturan

14
Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi perkawinan”20

Pentingnya pelaksanaan dispensasi perkawinan yang sesuai dengan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi Perkawinan pada permohonan dispensasi perkawinan

ini akan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa dan anak tersebut,

kesigapan dan upaya pemerintah akan pentingnya menahan jumlah

perkawinan anak di bawah umur berdasarkan latar belakang diataslah

penulis akan mengangkat tesis dengan judul PELAKSANAAN

DISPENSASI PERKAWINAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN

AGAMA KOTO BARU SOLOK DITINJAU DARI PENERAPAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 2019

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan dipengadilan Agama

Koto Baru, Kabupaten Solok ?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengabulkan dispensasi

perkawinan setelah disahkanya Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun

2019?

20
Hasil wawancara dengan panitera pengganti pengadilan agama Koto Baru, Prima Yeni,S.H,
Tanggal 27 November 2020

15
3. Mengapa hakim mengenyampingkan Pasal 15 dan Pasal 20 Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 dalam beracara di Pengadilan

Agama Koto Baru Kabupaten Solok ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan penelitian agar diperoleh data yang benar

diperlukan dan diharapkan, sehingga penelitian dapat dilakukan secara

terarah. Penulis sebelumnya telah menentukan tujuan-tujuan dalam

melaksanakan penelitian, yaitu:

1. Untuk Mengetahui Penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinandi Pengadilan

Agama Koto Baru, Kabupaten Solok

2. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan

Dispensaasi Perkawinan Setelah Disahkanya Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 5 Tahun 2019

3. Mengapa Hakim mengenyampingkan Pasal 15 dan Pasal 20 Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 dalam beracara di Pengadilan

Agama Koto Baru Kabupaten Solok

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

kontribusi dan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di

16
bidang hukum, khususnya hukum perdata dalam pelaksanaan dispensasi

perkawinan di Pengadilan Agama Koto Baru sesuai dengan penerapan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.

2. Manfaat Praktis.

Manfaaat penelitian ini secara praktis, dapat memberikan manfaat,

di antaranya oleh orang tua, pelaku dispensasi perkawinan, dan

pemerintah dalam mengeluarkan peraturan pemerintah terkait alat-alat

bukti untuk keadaan mendesak. Diharapkan dengan hasil penelitian ini

dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi

penegak hukum mengenai ilmu hukum perdata yang telah diperoleh

dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktik dan memberikan

masukan bagi para penegak hukum dalam rangka pedoman dalam

pelaksanaan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Koto Baru.

E. Keaslian Penelitian

Penulis dalam hal ini menemukan tesis atas nama:

1. Tesis atas nama Ridwan Harahap, magister ilmu hukum, Universitas

Andalas, dengan judul “Penetapan Dispensasi perkawinan di

Pengadilan Agama Padang Panjang” permasalahan yang diteliti adalah :

(1) Apa faktor-faktor penyebab permohonan dispensasi perkawinan di

Pengadilan Agama Padang Panjang ? (2) bagaimana proses

permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Padang

Panjang ? (3) apa saja yang menjadi pertimbangan hakim pengadilan

17
agama Padang Panjang dalam penetapan permohonan dispensasi

perkawinan ?

Kesimpulan dari penelitian di atas adalah: a. Faktor-faktor

permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Padang Panjang

ada 4 (empat) faktor yaitu kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan

anaknya, anak pemohon yang sudah berhubungan badan dengan

pacarnya, anak pemohon atau pacar anak pemohon yang sudah hamil

duluan dan ke inginan anak untuk segera kawin. Dari 4 faktor tersebut

faktor kekhawatiran orang tua menjadi faktor yang dominan dalam

pemohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Padang Panjang.

b. prosedur permohonan dispensasi kawin diajukan oleh orang tua

sesuai ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, permintaan dispensasi perkawinan dapat

dimintakan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau

Pengadilan Negri yang berada di wilayah tempat tingal pemohon.

Mekanisme pengajuan permohonan perkara dispensasi kawin

diawali dengan mengajukan permohonan perkara ke Pengadilan Agama

Padang Panjang dengan membayar panjar biaya perkara. Proses

sebelum persidangan permohonan dispensasi kawin dilaksanakan harus

terlebih dahulu melalui proses persiapan persidangan mulai dari

penunjukan majelis hakim, penunjukan panitera penganti, penetapan

hari sidang serta pemangilan para pihak yang mengajukan permohonan

dispensasi kawin. Proses persidangan diawali dari proses pemeriksaan

18
identitas pemohon sampai dengan pembacaan penetapan atau putusan.

c. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara permohonan dispensasi

kawin yang menjadi acuan adalah Pasal 7 Ayat (2) 19 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dengan didasarkan kepada keterangan pemohon,

anak pemohon, calon istri/calon suami anak pemohon dengan didukung

oleh alat bukti dan menjadi landasan hukum bagi hakim dalam

mengabulkan dispensasi kawin adalah dengan dalil fiqih yaitu menolak

kemudratan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih

kemaslahatan (kebaikan).

Penjelasan diatas terkait dengan hasil penelitian ini mempunyai

perbedaan dengan tesis penulis yakni tesis Ridwan Harahap dilakukan

pada tahun 2017 sebelum disahkannya Perma Nomor 5 Tahun 2019.

Memiliki perbedaan dengan tesis penulis yang meniliti bagaimana

penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman mengadili

dispensasi kawin di wilayah hukum pengadilan agama Koto Baru,

Kabupaten Solok. Pentingnya penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019

ini secara keseluruhan akan bertujuan untuk mengurangi tingkat

perkawinan pada usia anak.

2. Tesis atas nama Rudi Mayandra, Program magister ilmu hukum,

Universitas Andalas, dengan Judul Pengaturan Dispensasi perkawinan

Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor.22/PUU-XV/2017 permasalahan yang diteliti adalah:

1) Bagaimana pengaturan hukum terhadap dispensasi perkawinan di

19
Indonesia setelah putusan Makamah Konstitusi Nomor

22/PUU-XV/2017 ? 2) Bagaimanakah sikronisasi pengaturan usia

kawin anak antara Undang-undang Perkawinan dengan Undang-undang

Perlindungan Anak ?

Kesimpulan dari penelitian diatas adalah :

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.22/PUU-XV/2017 yakni

lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

dengan mengubah beberapa ketentuan yakni terkait dengan penyetaraan

umur untuk syarat perkawinan menjadi umur 19 tahun bagi laki-laki

dan perempuan dan pengaturan terkait dispesansi, adanya ketentuan

terkait Pasal 7 Ayat 2 Undang- Undang No.16 Tahun Tentang

Perkawinan penyetaraan umur 19 tahun yang tidak sinkron dengan

beberapa pasal-pasal terkait.

Perbedaan dari kajian permasalahan tesis ini dengan yang sebelumnya

terdapat dengan tesis yang ingin saya tulis dan teliti beberapa point yang

terdapat perbedaan terhadap proposal tesis yang penulis buat yakni : Penulis

dalam hal ini melakukan penelitian di Pengadilan Agama Koto Baru,

Kabupaten Solok. Melihat bagaimana pengaruh dari disahkannya Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, bagaimanakah hakim menerapkan

pasal 15 dan pasal 20 Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi perkawinan. Melakukan

penelitian dengan teknik sampel purposive dengan mewawancarai dan

20
menganalisis 6 dari Permohonan dipensasi kawin yang penetapanya

dikabulkan oleh hakim pengadilan agama Koto Baru. Kabupaten Solok.

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual


1) Kerangka Teoritis

M Solly Lubis berpendapat kerangka teori adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus atau

permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis

dalam penelitian.21 Burhan Ashofa mengungkapkan suatu teori

merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan antara konsep.22 Teori menurut Snelbecker adalah : sebagai

perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang

mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana

untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. 23. Pada

penelitian tersebut diperlukan suatu teori yang mendasar. M. Solly Lubis

berpendapat:

“Fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimasikan


penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi
atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini
untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu

21
M. Solly Lubis, 1996, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, Hlm. 80

22
Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 19

23
Lexy J Moleong, 1989, Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, Hlm
195

21
penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat
dinyatakan benar. Maka oleh karena itu teori yaitu suatu hipotesis
yang dipergunakan untuk argument atau investigasi.24”

Kerangka teori yang digunakan, dalam penulisan ini, yaitu:

a. Teori Efektifitas Hukum

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang

berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.

Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan

penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut kamus

besar bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya

(akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu

undang-undang atau peraturan25

Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan

dalam tercapainya tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pada sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai

a tool of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi

seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu

24
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian , Bandung: Mandar Maju, Hlm 80

25
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka. Hlm. 284.

22
keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam

masyarakat. Hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool

of social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana

pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam

mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang

tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.

Efektivikas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya

hukum berlaku efektif dan dapat terlaksanakan sesuai dengan

tujuan dari dibentuknya aturan tersebut.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah

bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)

faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).


2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup26

Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang


banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan
adalah profesional dan optimal pelaksanaaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:


26

PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 8

23
yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam penegakan
perundang-undangan tersebut.27”

Kesimpulan penjelasan diatas efektifitas hukum mengandung

beberapa arti yakni tercapainya sasaran yang telah ditentukan

sebelumnya oleh suatu aturan hukum, tercapainya tujuan dari

amanat aturan hukum khususnya Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan yang dimaksud adalah hadirnya aturan tersebut

memberikan suatu pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat

berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola

pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional

atau modern merupakan suatu bentuk efektifitas hukum karena

terlaksananya dispensasi perkawinan yang sesuai dengan ketentuan

Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili

Dispensasi Kawin adalah untuk mencapai tujuan dilahirkan aturan

tersebut. Teori efektifitas hukum ini bertujuan agar keberhasilan

dalam pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak,

optimalnya pelaksanaan peran penegak hukum yang berwenang

dan menahan .

Sarana dan prasarana yang tidak mendukung berjalannya

penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi Kawin khususnya pada Pasal 15 pada

pemeriksaan perkara dispensasi kawin ini yakni dalam terjadinya

27
Ibid.Hlm.379

24
multitafsir terkait syarat pemberian dispensasi kawin dalam

keadaan mendesak, peran tenaga ahli kesehatan baik dari segi

reproduksi dan segi kesiapan jiwa dan psikolog anak dapat

menanggulangi dan mendukung penerapan dispensasi kawin yang

sesuai dengan amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin, fakta terkait kesiapan anak

dalam melaksanakan kehidupan perkawinan mereka kedepannya.

bagaimana efek keberhasilan dari Perma Nomor 5 Tahun 2019 ini

jika melihat pada lingkungan dan kebudayaan dalam pergaulan

hidup mengingat kentalnya penerapan norma adat dan norma

asusila di daerah Kabupaten Solok.

b. Teori Kepastian Hukum


Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu

pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan

dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Menurut Gustav Radbruch :

“Keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian


yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan
dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum
harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara.
Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori

25
kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
keadilan dan kebahagiaan”28

Menurut Peter Mahmud Marzuki:

“Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam


undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan
hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan.”29

Satjipto Rahardjo berpendapat kepastian Hukum sebagai berikut :

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des rescht selbst” (kepastian


tentang hukum itu sendiri), ada empat hal yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum :
1) Bahwa hukum itu postif artinya bahwa hukum itu adalah
perundang-undangan ( gesetzliches Recht)
2) Bahwa hukum itu di dasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan
suatu rumusan tentang penilai yang nati akan dilakukan oleh
hakim, seperti kemauan baik,kesopanan.
3) Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas
sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan
4) Hukum postif itu tidak boleh sering di ubah-ubah.30

Sedangkan Jan M. Otto berpendapat:

Kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai

berikut:

28
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 95
29
eter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 2, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, hlm.158.

30
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam jagad ketertiban,Jakarta : UKI Press, Hlm 135-136.

26
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten
dan mudah diperoleh yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.
b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk
dan taat kepadanya.
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi
dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-
aturan tersebut.
d. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.31

Pengertian terkait teori kepastian hukum yang penulis

paparkan mulai dari beberapa definisi para ahli dan makna-makna

dari teori kepastian hukum dapat disimpulkan bahwa. Kepastian

hukum merupakan upaya untuk memberikan landasan, dan batasan-

batasan terhadap aturan hukum yang masih dapat mengundang

adanya multi tafsir pada pelaksanaan oleh para pihak penegak

hukum, dibutuhkanya teori ini diharapkan akan memberikan

benang merah terhadap apa amanat dari perundang-undangan yang

ada.

Teori kepastian hukum ini jelas sangat relevan dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, disahkannya

Perma Nomor 5 Tahun 2019 yang sudah terhitung 1 tahun

lamanya namun belum terlaksannya seluruhnya. Ketentuan yang

diatur pada Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mnegadili Dispensasi Kawin. Pada Pasal 3 Huruf C tujuan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mnegadili Dispensasi

31
Jan M Otto dalam Shidarta, 2006, Moralitas Suatu Hukum Tawaran Kerangka Berfikir,
Bandung: PT. Revika Aditama, Hlm. 85

27
Kawin yakni dispensasi perkawinan bertujuan meningkatkan

tanggung jawab orangtua dalam rangka mencegah perkawinan

anak, belum dilaksanakaanya setiap amanat yang dinyatakan oleh

Perma Nomor 5 Tahun 2019 khususnya terkait pemeriksaan

bahwa hakim dimintakan mendengarkan keterangan para ahli

kesehatan, dalam pelaksanaanya belum pernah terlaksana

sekalipun.

Pelaksanaan Pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin terkait dengan amanat

Pasal 20 ketentuan Hakim yang mengadili dispensasi kawin

adalah hakim yang mempunyai SK sebagai Hakim anak. Ketidak

taatanya pelaksanaan Perma Nomor 5 Tahun 2019 ini sehingga

norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh

berfungsi sebagi peraturan yang ditaati.

2) Kerangka Konseptual

a. Pengaruh

Pengaruh menurut kamus Besar Bahasa Indonesia

(2015:1045) pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari

sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan,

atau perbuatan seseorang. Pengaruh merupakan suatu daya atau

kekuatan yang timbul dari sesuatu, baik itu orang maupun benda

serta segala sesuatu yang ada di alam sehingga mempengaruhi apa-

apa yang ada disekitarnya Yosin, 2012:1. Menurut Surakhmad

28
(2012: 1), Pengaruh adalah kekuatan yang muncul dari sesuatu

benda atau orang dan juga gejala dalam yang dapat memberikan

perubahan yang dapat membentuk kepercayaan atau perubahan.

Dapat disimpulkan pengaruh merupakan suatu daya atau kekuatan

yang dapat timbul dari sesuatu, baik itu watak, orang, benda,

kepercayaan dan perbuatan seseorang yang dapat mempengaruhi

lingkungan yang ada di sekitarnya.

b. Penerapan

Penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

pengertian penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan

menurut beberapa ahli. Penerapan adalah suatu perbuatan

mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai

tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh

suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun

sebelumnya.

“Usman berpendapat, penerapan (implementasi) adalah


bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem.Implementasi bukan sekedar aktivitas,
tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai
tujuan kegiatan.”32

“Setiawan berpendapat, penerapan (implementasi) adalah


perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi
antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta
memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif”.33
32
Nurdin Usman, 2002, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Bandung, CV Sinar
Baru,Hlm 70
33
Setiawan, Guntur. 2004. Impelemtasi dalam Birokrasi Pembangunan. Jakarta: Balai
Pustaka,Hlm 39

29
Pengertian implementasi di atas dapat disimpulkan

implementasi merupakan upaya untuk melaksanakan ide-ide dan

ketentuan yang diamanatkan oleh suatu peraturan atau undang-

undang upaya penerapan yang diharapkan dapat mencapai

efektifitas hukum pada dispensasi perkawinan.

Pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun

2019 diharapkan dapat dilaksanakan dan mencapai tujuan dan

sasaran sehingga meperolehnya hasil pada pelaksanaan dispensasi

perkawinan, khususnya pada Pengadilan Agama Koto Baru,

Kabupaten Solok.

c. Perkawinan

Perkawinan atau perkawinan dalam fikih berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih,

nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam

pergaulan atau masyarakat yang sempurna, Pasal 2 Kompilasi

Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang

sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada ayat 1,

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa perkawinan Menurut Subekti

30
“perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama34” Wirjono

Prodjodikoro, mengatakan bahwa perkawinan adalah “hidup

bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu”35.

Kesimpulan yang diperoleh perkawinan merupakan suatu

bentuk akad atau perjanjian suatu hubungan antara seorang laki-

laki dengan seorang wanita untuk membina kehidupan dan

membentuk rumah tangga. Pelaksanaan perkawinan harus

berdasarkan pada peraturan yang ada untuk memberikan kepastian

hukum karena pelaksanaan perkawinan akan berpengaruh pada

kehidupan selanjutnya, contohnya pelaksanaan perkawinan yang

sesuai dengan ketentuan peraturan hukum yang ada akan

memberikan perlindungan begitu juga dengan pelaksanaan

dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten

Solok setelah berlakunya Peraturan Makhkamah Agung Nomor 5

tentang Pedoman mengadili dispensasi perkawinan, yaitu meminta

untuk memperoleh izin dari orang tua dan dari pengadilan agama

agar terlaksananya perkawinan sesuai dengan aturan hukum

perkawinan36.

34
Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
dan UU No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Pradnya Paramita, Hlm 3
35
Wirjono Prodjodikoro, 1981,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandunhg, Hlm. 7-8.

36
Amelia, Disharmoni Pengaturan Pemberian Izin dan Dispensasi Melangsungkan Perkawinan
dengan Pengaturan Perlindungan Anak atas Kesehatan, Artikel dalam“Rechtidee Jurnal Hukum”,

31
d. Peradilan Agama

Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini. Kewenangan peradilan agama dalam pelaksanaan

dispensasi perkawinan ini berlandaskan pada pasal 49 Undang-

undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang

berbunyi :

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,


memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”

e. Wilayah Hukum

Wilayah hukum adalah tempat berlakunya sebuah undang-

undang yang berdasarkan hukum, wilayah hukum Pengadilan

Agama Koto Baru Solok berada di Kabupaten Solok, memiliki

wilayah yuridiksi meliputi Kecamatan Gunung Talang, Kecamatan

Kubung, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kecamatan Bukit Sundi,

Vol. 9, No. 1, Tahun 2011, hlm. 1i0

32
Kecamatan Lembang Jaya, Kecamatan Lembah Gumanti

Kecamatan Danau Kembar, Kecamatan Tiga Lurah, Kecamatan

Payung Sekaki, Kecamatan X Koto Singkarak, Kecamatan IX

Sungai Lasi, Kecamatan Junjung Sirih, Kecamatan X Koto Diatas.

Kesimpulan diatas maka dapat disimpulkan bahwa wilayah

hukum yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah Pengadilan

Agama Koto Baru Solok dimana penulis fokus meneliti kepada

kasus dispensasi kawin yang diajukan oleh pihak perempuan pada

umumnya pengajuan dispensasi perkawinan semenjak berlakunya

peraturan mahkamah agung nomor 5 tahun 2019 tentang pedoman

mengadili dispensasi perkawinan

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah

penelitian yuridis empiris, menurut Bambang Sugono penelitian

yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung di

lapangan untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi,

kemudian akan dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan teori hukum yang ada.37

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan sesuai dengan permasalahan

tersebut di atas adalah bersifat deskriptif yaitu berusaha memperoleh

37
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta hlm. 75

33
gambaran yang lengkap, menyeluruh, dan sistematis mengenai

pelaksanaan dispensasi perkawinan di wilayah hukum pengadilan

agama Koto Baru, ditinjau Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

Perkawinan selanjutnya dianalisis dengan mengacu kepada bahan

pustaka.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

1) Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan dengan cara meneliti pihak-pihak yang berkaitan

langsung dengan masalah yang penulis teliti seperti wawancara

langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Koto Baru, serta

pihak-pihak lain yang terkait dengan topik penelitian.

2) Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka

(data kepustakaan). Data sekunder ini mempunyai kekuatan

mengikat kedalam dan dapat dibedakan atas38 :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer Yaitu berupa perundang-undangan

yang mengikat, yang terdiri dari :

38
Ibid,Hlm. 118.

34
1. Undang-Undang Dasar 1945,

2. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

3. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama

4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

tentang Pedoman Pelaksanaan Dispensasi perkawinan

5. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Convention on the Rights of the Child

(Konvensi tentang Hak-Hak Anak)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

yaitu berupa buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat-pendapat

para sarjana, maupun hasil penelitian yang dilakukan

sebelumnya.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang

memberi petunjuk maupun penjelasan tentang bahan

hukum primer dan sekunder, misalnya kamus hukum dan

ensiklopedia, dan buku-buku yang mengkaji mengenai

35
dispensasi perkawinan yang dapat memberikan penjelasan

terhadap penelitian ini.

b. Sumber Data

1) Penelitian Kepustakkan (Library Research)

Penelitian ini menggunakan data kepustakaan yang

bersumber antara lain :

a) Perpustakaan Universitas Andalas.

b) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas.

c) Perpustakaan Hukum Pascasarjana Universitas Andalas

d) Perpustakaan Daerah Kota Solok

2) Penelitian Lapang (Field Research)

Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang

dilakukan dalam kehidupan yang sebenarnya. Penelitian

lapangan ini pada hakekatnya merupakan metode untuk

menemukan secara spesifik dan realistis tentang kehidupan

manusia. Penilitian lapangan (field research) dilakukan

ditempat terjadinya masalah yang sedang terjadi. Dalam hal ini

penelitian ini penelitian lapangan dilakukan Pengadilan Agama

Koto Baru Kabupaten Solok.

4. Teknik Sampling/ Populasi Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh dispensasi perkawinan

yang dikabulkan melalui penetapan oleh hakim di Pengadilan Agama

Koto Baru Kabupaten Solok. Sampel yang digunakan dalam penelitian

36
ini adalah 6 kasus dari seluruh permohonann dispensasi perkawinan di

Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten Solok, teknik sampling yang

digunakan adalah Sampel Purposive ( Purposive or Judgment Sampling)

yaitu teknik penarikan sampel diambil oleh pertimbangan penulis

sendiri.

5. Teknik Pengumpulan Data

a) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan metode yang digunakan dengan

meneliti dan mempelajari bahan kepustakaan yang ada seperti

buku-buku, jurnal, dan dokumen serta artikel yang dapat

mendukung permasalahan yang dibahas.

b) Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang

dipergunakan untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan dari

pihak-pihak yang berwenang dan instansi-instansi yang terkait

yang diperlukan dalam penyelesaian penelitian ini. Dalam hal ini

wawancara akan dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait

dengan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Koto Baru

Kabupaten Solok.

6. Pengolahan Dan Analis Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam analisis ini menggunakan cara sebagai

berikut:

37
1. Editing

Editing adalah cara memeriksa ulang data yang telah

terkumpul dengan maksud untuk mengetahui kelengkapan dan

kejelasannya. Tahap ini, yang dikoreksi meliputi beberapa hal

yaitu, lengkapnya tulisan atau catatan, kejelasan makna,

kesesuaian jawaban satu sama lainnya, relevansi jawaban dan

keseragaman data serta melakukan identifikasi data yang

disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.

b. Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara

dan studi dokumen kemudian dikumpulkan dan disusun secara

sistematis dan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang

tidak menggunakan rumus statistik karena tidak berupa angka-

angka. Disajikan secara deskriptif yaitu dengan

menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan tentang

pengaruh penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan

Dispensasi perkawinan di wilayah hukum Pengadilan Agama

Koto Baru Kabupaten Solok

38
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

39
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau didalam agama disebut juga dengan istilah (menikah),

perkawinan aslinya merupakan hubungan sexsual, tetapi arti majazi

(mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan

halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan

wanita. Nikah artinya perkawinan sedangkan aqad artinya perjanjian, jadi

akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam

perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk

keluarga bahagia dan kekal. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa :

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa

Perkawinan menurut Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam

juga mengatakan: “pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”39

dapat disimpulkan perkawinan menurut islam merupakan suatu upaya

untuk membina hubungan suami istri yang suci sehingga membentuk

keluarga bahagia. Pentingnya pelaksanaan perkawinan yang memenuhi

syarat sesuai dengan ketentuan per undang-undangan dan hukum yang

mengatur agar menghindari terjadinya perceraian dan masalah ekonomi

calon suami/istri.
39
Riduan Syahrani,2006, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, Banjarmasin; PT. Alumni, hlm 23

40
2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dari segi hukum perkawinan adalah perikatan yang

bertujuan untk memberikan kepastian, perkawinan sebagai akad, yaitu

perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami istri untuk membina

rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah pihak

terikat dengan janji yang dibuatnya. Karena itu, dengan akad nikah

menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. Ikatan yang lahir dari

kata sepakat oleh kedua belah pihak untuk mau mengikatkan dirinya satu

sama lain sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing

pihak. Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam

Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan

dengan laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan

keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya40, dari uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk ikatan

oleh pasang suami atau istri dan melaksanakan hak dan kewajiban untuk

menciptakan kehidupan keluarga antar suami isteri dan anak-anak serta

orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah),

pergaulan yang saling mencintai (mawaddah), dan saling menyantuni

(rahmah)

3. Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa
40
Ahmad Azhar Basyir, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UI Pres, hlm. 86

41
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara

perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Dalam arti

perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah

sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur

yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di

luarnya dan tidak merupakan unsurnya.

Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang

berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Menurut Amir Syarifudin

ada pula syarat itu berdiri  unsur -unsur rukun :

a) Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1) Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang
secara syar’i untuk menikah.
2) Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikan posisi wali.
3) Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang
mewakilinya.
4) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah
atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
5) Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya
suatu pernikahan

b) Syarat Nikah

Pasal 6 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

mengatur terkait syarat sah perkawinan yakni :

42
1. Perkawinan merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa
adanya paksaan
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluhsatu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua
3. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1)
perubahan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.41

4. Asas-asas Perkawinan

Asas perkawinan menurut Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, asas-asas

perkawinan, yaitu :

a) Asas Sukarela
Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, yaitu perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua mempelai.
b) Asas Partisipasi Keluarga
Dalam asas ini, untuk menikah diperlukan partisipasi keluarga untuk
merestui perkawinan itu.Bagi yang masih berada dibawah umur 21
tahun (pria dan wanita). Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2,3,4,5,6)
UU No.Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c) Asas Perceraian Dipersulit
Asas ini terdapat dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyebutkan “perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
d) Asas Poligami Dibatasi Secara Ketat
Asas ini terdapat dalam Pasal 3 dan 4 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, begitu pula sebaliknya, namun Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

e) Asas Kematangan Sosial

41
Amir Syarifuddin,2009, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, hlm. 59

43
Asas ini terdapat dalam Pasal 7 ayat (1,2,) UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,di dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Pasal 7 Ayat (2) menyebutkan “dalam hal penyimpangan terhadap

batas usia minimal perkawinan dapat meminta dispensasi kepada

pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita”. Ketentuan apabila keadaan salah seorang atau

kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya, maka izin dispensasi perkawinan di bawah

umur, cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua

yang mampu dalam menyatakan kehendaknya.

Ketentuan terkait apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih

hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Tinjauan Umum Perkawinan dibawah Umur

Perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh

anak yang dianggap belum dewasa atau belum memenuhi persyaratan

umur sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan yakni minimal

berumur 19 tahun, terjadinya perubahan persyaratan umur dalam

Tri Lisiani Prihatinah, “Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol.8, No.2, Mei 2008,hlm 32-35

44
permohonan dispensasi perkawinan dalam undang-undang 16 Tahun 2019

Tentang Perkawinan perubahan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 7 Ayat (2) :

Perkawinan hanya dizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19

(sembilan belas tahun).

Perkawinan menurut hukum positif Indonesia memang memberikan

batas yang cukup jelas terkait minimal umur seorang calon suami/istri

dapat diizinkan untuk melaksanakan perkawinan. Negara dalam

memberikan batasan umur ini berdasarkan beberapa pertimbangan antara

lain agar anak dalam melangsungkan perkawinannya terhindar dari

kemashalatan dalam rumah tangga baik itu kesiapan secara mental, fisik,

dan kesiapan dari segi ekonomi agar menghindari kemashalatan terjadinya

perceraian baik karena kekerasan dalam rumah tangga maupun karena

masalah ekonomi dalam keluarga.

Batas umur perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 15

Ayat (1) di dasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan

rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan

undang-undang perkawinan. Bahwa calon suami dan calon istri harus telah

masak jiwa dan raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik

dan sehat tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan

yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara

calon suami istri yang masih dibawah umur.

45
B. Tinjauan Khusus Tentang Dispensasi perkawinan

1. Pengertian Dispensasi perkawinan

 Pengertian dispensasi dalam kamus besar Bahasa Indonesia,

dispensasi artinya pengecualian aturan umum untuk keadaan yang

khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan.42 Dispensasi

merupakan upaya oleh anak yang belum memenuhi syarat usia

perkawinan yang diatur dalam undang-undang. Untuk memperoleh

izin agar dapat melangsungkan perkawinan yang sah dimata hukum.

Menurut Pasal 1 Ayat 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun

2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi perkawinan , dispensasi

perkawinan adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada

calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk

melangsungkan perkawinan. Dari rumusan tersebut jelas bahwa

dispensasi itu merupakan bentuk penyimpangan atau pengecualian

dari suatu aturan,43 upaya untuk memperoleh izin kawin agar dapat

perkawinan yang sah dimata hukum.

Roihan A Rayid berpendapat secara etimologi dispensasi

perkawinan/nikah terdiri dari dua kata, dispensasi yang berarti

pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus,

atau pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan.44 Menurut


42
Departmen Pendidikan dan kebudayaan, kamus besar Bahasa indoensia, edisi 10/ cet IV,(Jakarta;
Balai Pustaka,1995) hlm 2
43
Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta: Balai pustaka) hlm 238

44
Roihan A. Rayid, 2002,Hukum Acara Peradilan Agama,Jakarta: Raja Grafindo Persada,, Hlm
203

46
kamus Bahasa Indonesia nikah (kawin) adalah ikatan perkawinan

yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.45

Dispensasi menurut Mochamad Fuad Hassan :

“Dispensasi nikah/ dispensasi perkawinan merupakan izin atau


dispensasi yang diberikan pengadilan agama kepada calon
pengantin yang belum cukup umur untuk melangsungkan
perkawinan. Bagi pria yang yang belum mencapai umur 19 tahun
dan wanita berusia di bawah 16 tahun, jika ingin melangusngkan
perkawinan, maka yang bersangkutaan harus meminta dispensasi
perkawinan ke pengadilan agama yang berbentuk permohonan
(voluntair) “46

2. Asas-Asas Dispensasi perkawinan

Pembaruan hukum Indonesia terkait dispensasi perkawinan diatur

pada pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

tentang Pedoman Mengadili Dispensasi perkawinan, Hakim

mengadili permohonan dispensasi perkawinan berdasarkan asas :

a. Kepentingan terbaik bagi anak;


b. Hak hidup dan tumbuh kembang anak;
c. Penghargaan atas pendapat anak;
d. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
e. Non-diskriminasi;
f. Kesetaraan gender;
g. Persamaan di depan hukum;
h. Keadilan;
i. Kemanfaatan; dan
j. Kepastian hukum

45
Departemen Pendidikan Nasional,2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Hlm. 335
46
Mochamad Fuad Hassan, 2012,Penerapan Metode Hukum (rechvinding) oleh hakim pengadilan
agama blitar dalam perkara dispensasi perkawinan, skripsi: malang, Universitas Islam nigari
maulana malik Ibrahim,Hlm 71

47
Pradigma dalam perkawinan anak sesuai dengan namanya

dispensasi perkawinan maka hukum yang dipakai dan diterapkan

adalah hukum pengecualian dari hukum normal karena didalam

dispensasi perkawinan ini memperboleh sesuatu yang sebenarnya

tidak boleh/ dilarang menjadi diizinkan/diperbolehkan berdasarkan

putusan pengadilan dalam buku Pembaruan hukum dispensasi

perkawinan oleh Mardi Candra, dispensasi perkawinan juga harus

diselaraskan dengan beberapa asas perkawinan :

1. Asas sukerala
2. Asas persetujuan dan tidak ada paksaan, untuk kesempurnaan
perkawinan perlu adanya khitbah atau peminangan yang
menjadi langkah sebelum perkawinan
3. Asas perkawinan untuk selamanya
4. Asas suami sebagai kepala keluarga
5. Asas kematangan calon mempelai47

Menurut Amir Syafrudin pandanganya terkait asas dispensasi

perkawinan yakni hukum Islam memang tidak mengatur asas

dispensasi perkawinan namun asas ini dapat diterima dengan alasan

kemashalatan.48 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

dispensasi perkawinan tidak hanya harus memenuhi asas-asas

dispensasi perkawinan namun harus juga diselarasakan dengan asas

hukum perkawinan pada normalnya. Hal ini agar pelaksanaannya

dapat dilaksanakan sama dengan perkawinan oleh orang yang sudah

47
Candra Mardi,2021, Pembaruan Hukum Dispensasi perkawinan Dalam System Hukum
Indonesia , Jakarta: Kencana.hlm.38
48
Amir Syafrudin,2014, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:Prenada Media Group)hlm 28

48
memenuhi usia yang dianggap dewasa, ini adalah upaya agar adanya

peningkatan kualitas pada dispensasi perkawinanan.

3. Syarat-Syarat Dispensasi perkawinan

Pengaturan terkait persyaratan administrasi dispensasi perkawinan

diatur Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun

2019 Syarat administrasi dalam pengajuan permohonan dispensasi

perkawinan adalah :

a. Surat permohonan;
b. Foto copy kartu tanda penduduk kedua orang tua/ wali;
c. Foto kartu keluarga;
d. Foto kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak dan/atau akta
kelahiran anak;
e. Foto copy kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak dan/atau
akta kelahiran calon suami/istri; dan
f. Foto copy ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat
keterangan masih sekolah

Pembaruan hukum dalam terciptanya pengaturan terkait dispensasi

perkawinan sebelumnya belum pernah diatur oleh udang-undang

ataupun aturan manapun sehingga sekarang dispensasi perkawinan

memperoleh kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan

dispensasi perkawinan.

4. Pengajuan Permohonan Dispensasi perkawinan

Dispensasi perkawinan termasuk dalam kategori perkara voluntair

yang merupakan perkara tidak mengandung sengketa didalamnya

menurut Yahya Harahap berpendapat terdapat beberapa prinsip proses

pemeriksaan permohonan harus memerhatikan:

49
a) Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte bersifat sederhana
b) Pemeriksaan pada pembuktian hanya keterangan dan bukti
permohonan didalamnya tidak ada bantahan dari ihak lain
c) Tidak ditegakkannya seluruh asas asas persidangan49

Terkait sidang ex-parte tetap harus memperhatikan asas sidang

diantaranya adalah:

a. Asas kebebasan peradilan

b. Peradilan yang adil

Pengajuan dispensasi perkawinan terdapat perbedaan dengan

pengajuan perkara lainya. pengajuan dispensasi perkawinan tidak

diajukan langsung oleh sipemohon tetapi diajukan oleh orang tua.

Pemohon dalam hal ini diwakilkan oleh orang tua karena dianggap

belum dewasa dari segi batas umur dewasanya seseorang. Hal ini

diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Perma Nomor 5 Tahun 2019 :

“Pihak yang berhak mengajukan dispensasi perkawinan adalah


orang tua. Terkait pengajuan dispensasi perkawinan jika dalam
hal tidak adanya orang tua maka peraturan mengatur lain hal
tersebut dengan dapat digantikan oleh wali anak hal ini diatur
pada” :

Pasal 6 Ayat ( 4) Perma Nomor 5 Tahun 2019 :

“Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia/dicabut


kekuasaannya/tidak diketahui keberadaannya permohonan
dispensasi perkawinan diajukan oleh wali anak”.

Prosedur pengajuan permohonan dispensasi nikah, berbeda

dengan prosedur permohonan lainnya. Secara detail prosedur

tersebut tercantum dalam Perma No.5 Tahun 2019 tentang Pedoman


49
Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata,Jakarta: Sinar Grafika , Hlm 39

50
Mengadili Dispensasi di Pengadilan Agama, yang dijelaskan sebagai

berikut:

1. Permohonan dispensasi perkawinan diajukan oleh orang tua calon


mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
dalam wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua
calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
2. Permohonan tersebut dapat dilakukan bersama-sama kepada
Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah dalam wilayah hukum
dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai
tersebut bertempat tinggal.
3. Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah dapat memberikan
dispensasi perkawinan setelah mendengar keterangan dari orang
tua, keluarga atau walinya.
4. Permohonan dispensai kawin bersifat voluntair dan produknya
bersifat penetapan. Jika pemohon tidak puas dengan penetapan
tersebut, maka pemohon dapat mengajukan upaya hukum lainnya
berupa kasasi.
5. Para Pemohon mengajukan permohonan dispensasi perkawinan ke
meja pendaftaran jika permohonannya telah selesai dibuat, jika
belum dibuat maka bisa dibuat permohonan di Posbakum (Pos
bantuan hukum)
6. Meja pendaftaran akan meneliti berkas yang diajukan (surat
permohonan,,identitas pemohon), kemudian menaksir panjar biaya
perkara dan menulisnya dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM), besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Berkas tersebut
lanjut ke meja Kasir, untuk kemudian :
a) Menandatangani dan memberi nomor urut dan tanggal
penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat permohonan
b) Pemohon melakukan pembayaran ke bank
c) Setelah pemohon membayar panjar perkara, kasir memberi
tanda lunas dalam SKUM.
7. Meja pendaftaran, memberi nomor yang diberikan kasir sebagai
tanda telah terdaftar maka diberi paraf, kemudian menyerahkan
salah satu surat permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai
SKUM kepada pemohon.
8. Permohonan dispensasi perkawinan telah terdaftar di Pengadilan
Agama, Panitera menyampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama

51
untuk menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa dan
memutus permohonan tersebut.
9. Panitera menunjuk Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti untuk
membantu majelis hakim.
10. Majelis Hakim setelah menerima berkas permohonan, bersama-
sama hakim anggotanya mempelajari berkas permohonan,
kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan
permohonan itu disidangkan serta memerintahkan agar para pihak
dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal dan jam yang
telah ditentukan.
11. Pemohon akan menunggu relaas panggilan dari Juru sita/Jurusita
Pengganti, setelah ketua majelis menetapkan hari sidang. Adapun
mengenai proses persidangan dispensasi perkawinan dalam Buku II
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, dijelaskan sebagai berikut :
1) Majelis hakim membuka persidangan dan dinyatakan terbuka
untuk umum, para pihak dipanggil ke ruang persidangan.
2) Majelis Hakim memeriksa identitas para pemohon
3) Majelis membacakan surat permohonan Pemohon.
4) Majelis Hakim memanggil dan memeriksa anak pemohon dan
calon suami/isteri anak Pemohon.
5) Majelis Hakim memeriksa alat bukti tertulis pemohon.
a) Surat Permohonan
b) Fotokopi kartu tanda penduduk para pemohon
c) Foto kopi ijazah Pendidikan terakhir anak dan/atau surat
keterangan masih sekolah dari sekolah
d) Fotokopi kartu keluarga
e) Foto copy akta kelahiran anak pemohon
f) Surat penolakan dari kantor urusan agama
6) Majelis Hakim memeriksa saksi-saksi pemohon
a) Apakah anak pemohon ada hubungan keluarga ataupun
sesusuan dengan calonnya.
b) Apakah calon suami sudah mempunyai penghasilan yang
cukup
7) Para pemohon menyampaikan kesimpulan
8) Majelis Hakim melakukan musyawarah, sidang diskors untuk
musyawarah, pemohon, anak pemohon dan calon anak
pemohon diperintahkan ke luar dari ruang persidangan, setelah
musyawarah selesai, skors dicabut dan pemohon dipanggil

52
kembali masuk ke ruang persidangan, kemudian dibacakan
penetapan.
9) Majelis Hakim membacakan Penetapan.
10) Setelah membacakan penetapannya, Ketua Majelis
menyatakan sidang ditutup. Jika pemohon tidak puas dengan
penetapan hakim, pemohon bisa langsung kasasi, bukan
banding. Setelah penetapannya dibacakan majelis hakim perlu
memberikan nasihat dan pencerahan kepada para pemohon
dispensasi perkawinan tentang dampak yang akan terjadi dari
permohonannya.

Tahapan sidang jika telah selesai kepada keputusan dan majelis

hakim memutuskan dan menetapkan dispensasi nikah bagi anak

pemohon, atau pemohon itu sendiri, maka pemohon dapat langsung

mendaftarkan diri ke Kantor Urusan Agama untuk segera

melangsungkan pernikahan dengan membawa putusan pengadilan

tersebut agar menjadi dasar bahwa telah mendapatkan izin dispensasi

nikah dari Pengadilan Agama sehingga pernikahan dapat dilaksanakan

dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

C. Tinjauan Khusus Peradilan Agama di Indonesia

1. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Yudikatif di Indoensia

a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Wirjono Prodjodikoro berpendapat, beliau mengistilahkan

hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang

memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka

pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu

sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan

hukum perdata. Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum

53
acara itu mengabdi kepada hukum materil, maka dengan sendirinya

setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaik selalu diikuti

dengan sesuai hukum acaranya.

MH Tirtaamidjaya mengatakan bahwa hukum acara perdata

ialah akibat yang timbul dari hukum perdata materiil. Sementara

Soepomo berpendapat bahwa tugas hakim di peradilan dalam kasus

perdata ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa

yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Sudikno

Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara perdata ialah

peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin

ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau

peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin

pelaksanaan hukum perdata materiil.

Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006

tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa “hukum acara yang

berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah

hukum acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus

dalam undang-undang ini”. Adapun perkara-perkara dalam bidang

perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku

hukum acara perdata pada umumnya. Mukti Arto berpendapat

hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama,

54
pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta

pelaksanaan putusan.

Kesimpulan hukum acara peradilan agama adalah peraturan

hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata

materiil dengan perantaraan hakim atau bagaimana bertindak di

muka pengadilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar

hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu hakim harus

menguasai hukum acara (hukum formal) disamping hukum materiil.

Menerapkan hukum materiil secara benarbenar tentu menghasilkan

putusan yang adil dan benar.

b. Asas-Asas Hukum Acara Diperadilan Agama

Penerapan hukum acara dengan baik maka perlu diketahui asas-

asasnya hukum peradilan agama ialah sebagai berikut :

1)Asas Personalitas KeIslaman

Asas pertama yakni asas personalitas keislaman yang tunduk

dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan

Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk

agama Islam. Penganut agama lain diluar Islam atau yang non

Islam, tidak tunduk dan dapat dipaksakan tunduk kepada

kekuasaan lingkungan peradilan agama. Asas Personalitas

keIslaman diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea

ketiga dan pasal 49 Ayat 1. Dari penggarisan yang dirumuskan

dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat dilihat asas personalitas ke

55
Islaman sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara perdata

“bidang tertentu” sepanjang mengenai sengketa perkara yang

menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan agama. Kalau begitu

ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan

Agama, “bukan” ketundukan yang bersifat umum meliputi semua

bidang hukum perdata. Ketundukan bidang personalitas muslim

kepadanya, hanya bersifat khusus sepanjang bidang hukum

perdata tertentu.

2) Peradilan Bebas Dari Campur Tangan Pihak-Pihak Diluar

Kekuasaan Kehakiman.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial menurut

UU No. 14 tahun 1970 yang diubah menjadi UU No. 4 tahun

2004 tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah

untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta

asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara

yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya

mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

3) Hakim Bersifat Menunggu

Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk

hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat

inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya

56
kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau

tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan

atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang

berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan,

maka ada hakim50 Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah

pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu

datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Hanya yang

menyelenggarakan prosesnya adalah negara.

Datang perkara kepadanya, maka hakim tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan

dalil bahwa hukum tidak ada atau hukum belum jelas. Larangan

bahwa seorang hakim tidak boleh menolaknya karena hakim

dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit). Taufik Makaro

berpendapat kalau sekiranya seorang hakim tidak menemukan

hukum secara tertulis ia wajib menggali, memahami dan

menghayati hukum yang sudah hidup dalam masyarakat.51

4) Hakim Bersifat Pasif

Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak

bukan oleh hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 118 Ayat

(1) HIR, Pasal 142 Ayat (1) R.Bg. Hakim hanya membantu para

pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan

50
Suryadi, 1999, Hukum Acara Peradilan Agama, Makalah dalam Pelatihan Calon Advokat di
Peradilan Agama, Departemen Kehakiman, hlm. 10
51
M Taufik, Makaro, Pokok -pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004,hlm 6

57
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan. Sebaliknya hakim

harus aktif dalam memimpin jalannya pesidangan, membantu

kedua pihak dalam menemukan kebenaran, tetapi dalam

memeriksa perkara perdata hakim harus bersifat tut wuri.

Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak,

para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang

telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak

dapat menghalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian

atau pencabutan gugatan. Sesuai dengan pasal 130 HIR, 154

R.Bg. Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding

ataupun tidak itupun bukan kepentingan daripada hakim (Pasal 6

UU 20 tahun 1947). Jadi pengertian pasif disinilah adalah hakim

tidak memperluas pokok sengketa, akan tetapi itu semuanya tidak

berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan

sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan

tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak,

dan harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan

dan rintangan untuk dapat tercapai anya peradilan.

Hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah

pihak serta menunjukan upaya hukum dan memberi keterangan

kepada mereka. Karenanya dikatakan bahwa sitem HIR adalah

aktif, berbeda dengan sistim Rv yang pada pokoknya

mengandung prinsip “hakim pasif”. Hakim sebagai tempat

58
pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana

dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala

macam soal bagi masyarakat. Dari diri hakim diharapkan

tegaknya keadilan karena ia orang yang tinggi pengetahuan dan

martabatnya serta berwibawa.

5) Persidangan Bersifat Terbuka

Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka

untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan

hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan. Tujuan

daripada asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak-hak

asasi manusia da- lam bidang peradilan serta untuk lebih

menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggung

jawabkan pemeriksaan yang fair, memihak serta putusan yang

adil kepada masyarakat, seperti tercantum dalam pasal 17 dan 18

UU No. 14 tahun 1970 diubah dalam pasal 19 UU No. 4 tahun

2004 buka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak

mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya

putusan itu menurut hukum. Di dalam praktek meskipun hakim

tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, tetapi kalau

didalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan

terbuka untuk umum, maka putusan yang dujatuhkan tetap sah.

Secara formil asas ini tujuan asas ini sebagai sosial kontrol. Asas

terbukanya persidangan tidak mempuyai arti bagi acara yang

59
berlangsung secara tertulis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh

undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang

penting yang dimuat didalam berita acara yang diperintahkan oleh

hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup, dalam

pemeriksaan perkara perceraian atau perzinahan sering

dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu

6) Mendengar Kedua Belah Pihak

Mendengarkan kedua belah pihak didalam hukum acara

perdata kedua belah pihak harus diperlakukan sama, hakim tidak

boleh memihak dan harus mendengar kedua belah pihak. Bahwa

pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan

orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang

berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan

yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan

untuk memberi pendapatnya, bahwa kedua belah pihak harus

didengar lebih dikenal dengan asas “audi et elteran partem”.

Taufik Makaro berpendapat dalam hal ini berarti hakim tidak

boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar,

bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan

untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga pengajuan

alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh

60
kedua belah pihak sesuai dengan pasal 132 huruf (a), 121 Ayat 2

HIR, Pasal 145 Ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv.52

7) Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan

Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan

putusan yang dijadikan dasar untuk megadili. Hal ini sesuai

dengan Pasal 25 UU No. 4 tahun 2004, 184 Ayat 1, 319 HIR, 618

Rbg. Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai

pertanggungjawaban hakim terhadap masyarakat, sehingga

mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itu

putusan mempunyai wibawa bukan karena hakim tertentu yang

menjatuhkannya. Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar

putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA, yang

menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup

pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan harus

dibatalkan. Untuk lebih mempertanggungjawabkan putusan sering

dicari dukungan dari yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim

terikat pada atau harus mengikuti putusan yang mengenai perkara

yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi atau yang telah pernah diputuskan sendiri saja.

8) Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Asas sederhana yang dimaksud adalah acara yang jelas,

mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan


52
M Taufik Makaro, 2009,Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,Jakarta :Rineka Cipta, hlm. 12

61
sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan

dalam beracara dimuka pengadilan makin baik. Terlalu banyak

formalitas yang sukar dipahami atau peraturan-peraturan tidak

jelas sehingga menimbulkan timbulnya berbagai penafsiran.

Kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan

ketegangan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan

kata cepat menunjuk pada jalannya peradilan. Terlalu banyak

formalitas merupakan hambatan bagi jalannya pengadilan. Dalam

hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di

muka sidang saja tetapi juga penyelesaian pada berita acara

pemeriksaan dipersidangan sampai pada penandatanganan

putusan oleh hakim dan pelaksanaannya.

2. Hukum Acara Perdata Diperadilan Agama

Tahap sebelum persidangan ada beberapa tahapan yang harus

dilalui calon penggugat/pemohon di Pengadilan. Adapun mekanisme

penerimaan dan penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama adalah

sebagai berikut:

1) Tahap Pengajuan Permohonan Perkara

Pengadilan dalam beracara perkara berdasarkan pada bahwa

dengan terbitnya Surat Keputusan Direktur Jendral Badan

Peradilan Agama Nomor : 1403.a/DJA/SK/T.01.3/8/ 2018 tanggal

2 Agustus 2018 tentang Pedoman Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(PTSP) di Lingkungan Peradilan Agama, perlu segera

62
ditindaklanjuti agar penyelenggaraan pelayanan kepada

masyarakat pencari keadilan dapat terwujud dengan cepat, mudah,

tranparan, terukur, terjangkau dan dapat dipertanggung jawabkan.

Prosedur beracara di Pengadilan Agama diawali dengan

pengajuan gugatan atau permohonan. Menurut Mukti Arto dalam

hal pengajuan gugatan ini dapat berupa gugatan/permohonan

secara lisan, tertulis, dan lewat kuasa hukum. Pada prinsipnya

semua gugatan/permohonan harus dibuat secara tertulis. Akan

tetapi jika penggugat/pemohon tidak dapat membaca dan menulis,

gugatan/permohonan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua

Pengadilan Agama53. Dalam mengajukan gugatan dapat terjadi

hal-hal yang mungkin terjadi yaitu penggabungan gugatan,

perubahan gugatan, dan pencabutan gugatan. Setelah pembuatan

gugatan/permohonan, kemudian diajukan ke pengadilan untuk

didaftarkan kebagian penerimaan surat gugatan/permohonan

melalui meja satu, yang memiliki tugas untuk:

a. Menerima surat gugatan/permohonan dan salinannya

b. Menaksir panjar biaya perkara

c. Membuat SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar)

R Soesilo berpendapat adapun besarnya panjar biaya perkara

diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara

tersebut, yang meliputi:


53
Mukti Arto,2011,Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Hlm 40

63
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain.
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah
pengadian yang berkenaan dengan perkara itu.54

2) Tahap Pembayaran Panjar Biaya Perkara

Tahap selanjutnya calon penggugat/pemohon menghadap

kepada kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan

tersebut beserta SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Calon

penggugat/pemohon membayar panjar biaya perkara sesuai

dengan yang tertera pada SKUM tersebut. Kemudian kasir

melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya


perkara
b. Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda
lunas pada SKUM tersebut
c. Mengembalikan surat gugatan/permohonan dan SKUM
kepada calon penggugat/pemohon
d. Menyerahkan uang panjar tersebut kepada bendaharawan
perkara.55

3) Tahap Pendaftaran Perkara


54
R. Soesilo,1989, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bandung : PT Karya Nusantara, hlm. 134
55
Ahmad Mujahidin,2008, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia, Jakarta: IKAHI, hlm. 149.

64
Tahap pendaftaran perkara dispensasi kawin selanjutnya

calon penggugat/pemohon menghadap pada petugas meja II

dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM

(Surat Kuasa Untuk Membayar) yang telah dibayar tersebut,

kemudian petugas meja II melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Memberi nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai


dengan nomor yang diberikan oleh kasir. Sebagai tanda telah
terdaftar maka petugas meja II membubuhkan paraf.
b. Menyerahkan satu berkas surat gugatan/permohonan yang
telah terdaftar bersama satu lembar SKUM kepada
penggugat/pemohon.
c. Mencatat surat gugatan/permohonan tersebut pada buku
register induk perkara permohonan atau register induk
perkara gugatan sesuai dengan jenis perkaranya.
d. Memasukkan surat gugatan/permohonan tersebut dalam map
berkas perkara dan menyerahkan kepada wakil panitera untuk
disampaikan kepada ketua Pengadilan melalui panitera56.

4) Tahap Penetapan Majelis Hakim (PMH)

Pada tahap penetapan majelis hakim setelah ketua pengadilan

agama menerima berkas perkara dari panitera, maka ketua

pengadilan agama dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

sudah harus menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan

mengadili perkara tersebut dalam sebuah “Penetapan Majelis

Hakim” (PMH). ketua pengadilan agama menetapkan perkara

yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi apabila ada

perkara tertentu karena menyangkut kepentingan umum harus

56
Ibid, hlm. 149

65
segera diadili, maka perkara itu didahulukan.57 PMH dibuat dalam

bentuk “penetapan” dan ditandatangani oleh ketua pengadilan dan

dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan.

Selanjutnya Majelis Hakim bertugas untuk:

a. Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang)

b. Memerintahkan pemanggilan para pihak oleh jurusita

c. Menyidangkan perkara

5) Tahap Penunjukan Panitera Sidang (PPS)

Tahap penunjukan panitera sidang ini untuk membantu majelis

hakim dalam menyelesaikan perkara ditunjuk seorang atau lebih

panitera sidang. Penunjukan panitera sidang dilakukan oleh

panitera. Untuk menjadi panitera sidang, dapat ditunjuk panitera,

wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti atau

pegawai yang ditugaskan sebagai panitera sidang untuk

membantu hakim supaya menghadiri dan mencatat jalannya

sidang pengadilan, membuat berita acara sidang, penetapan,

putusan dan melaksanakan semua perintah hakim untuk

menyelesaikan perkara tersebut. Penunjukan Panitera Sidang

(PPS) dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh panitera

pengadilan, apabila dikemudian hari.

Anggota majelis ada yang berhalangan untuk sementara, maka

dapat diganti dengan anggota yang lain yang ditunjuk oleh Ketua
57
Ibid, hlm. 150

66
dan dicatat dalam BAP (Berita Acara Persidangan). Apabila ketua

majelis berhalangan, maka sidang harus ditunda pada hari lain

(karena pindah tugas atau meninggal dunia atau karena alasan

lain), maka harus ditunjuk majelis baru dengan PMH baru.

Apabila panitera sidang berhalangan maka ditunjuk panitera yang

lainnya untuk mengikuti sidang dengan prosedur penunjukan

yang dilakukan oleh panitera pengadilan secara tertulis. Menurut

Ahmad Muhadjidin Panitera sidang yang ditunjuk, memiliki

tugas:

a. Membantu Majelis Hakim dengan melakukan persiapan,


mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan.
b. Membantu Majelis Hakim dalam hal:
1)Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS)
2)Membuat penetapan sita jaminan
3)Membuat BAP (Berita Acara Persidangan)yang harus
selesai sebelum sidang berikutnya.
4)Mengetik putusan/penetapan sidang.
c. Melaporkan kepada Petugas Meja II untuk dicatat dalam
register perkara tentang adanya:
1)Penundaan sidang serta alasan-alasannya.
2)Amar putusan sela (kalau ada).
3)Perkara yang sudah putus beserta amar putusannya, dan
4)Melapor kepada kasir untuk diselesaikan tentang biaya-
biaya dalam proses perkara yang ditanganinya.
d. Menyerahkan berkas perkara kepada Petugas Meja III apabila
telah selesai diminutasi.58.

6) Tahap Penetapan Hari Sidang (PHS)

Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut,

bersama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara.


58
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI), 2008, hlm. 149.

67
Ketua kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan

perkara itu akan disidangkan serta memerintahkan agar para pihak

dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal dan jam

yang telah ditentukan itu. Kepada para pihak diberitahukan pula

bahwa mereka dapat mempersiapkan saksi-saksi dan bukti-bukti

yang akan diajukan dalam persidangan.59 Perintah tersebut

dilakukan dalam sebuah “penetapan” yang ditandatangani oleh

hakim ketua majelis.

Tanggal penetapan hari sidang dan tanggal sidang pertama

harus dicatat dalam Buku Register Induk Perkara yang

bersangkutan. Demikian juga tanggal penundaan sidang kedua

dan seterusnya serta alasan-alasan penundaannya tidak boleh

luput dicatat dalam buku register tersebut. Syaifudin berpendapat

tanggal putus dan amar putusan harus terlihat di dalam buku

register, begitu juga upaya hukum dan akta cerai dalam perkara

cerai talak dan cerai gugat harus tercantum dalam buku register

perkara gugatan/permohonan tersebut.60

7) Tahap Pemanggilan Para Pihak

Tahap pemanggilan para pihak berdasarkan perintah

hakim/ketua majelis di dalam PHS, jurusita/jurusita pengganti

melaksanakan pemanggilan kepada para pihak supaya hadir di

59
R. Soesilo, RIB/HIR, Pasal 121 ayat (1), Opcit, hlm.80

60
Chatib Rasyid dan Syaifuddin,2009, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Perss), hlm.70

68
persidangan pada hari, tanggal dan jam sebagaimana tersebut

dalam PHS di tempat persidangan yang telah ditetapkan. Jurusita /

jurusita pengganti dalam melakukan pemanggilan atau

pemberitahuan disampaikan dengan risalah tertulis yang disebut

dengan relaas atau berita acara pemanggilan.

Musthofa relaas berpendapat dilihat dari bentuknya

dikategorikan sebagai akta autentik, yaitu akta yang bentuknya

ditentukan undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang

berwenang, sehingga hal yang tercantum dalam relaas dianggap

benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.61 Menurut R. Soesilo

mekanisme pemanggilan para pihak harus dilakukan secara resmi

dan patut dengan memperhatikan beberapa hal yaitu:

a. Dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah.


Dengan catatan Jurusita/Jurusita Pengganti hanya berwenang
untuk melakukan tugasnya di dalam wilayah hukum
Pengadilan Agama yang bersangkutan.
b. Dilaksanakan langsung kepada pribadi yang dipanggil di
tempat tinggalnya. Apabila tidak dijumpai di tempat
tinggalnya, maka panggilan disampaikan lewat kepala
desa/lurah setempat. Apabila yang dipanggil telah meninggal
dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya.
Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat diam atau
tinggalnya atau tak dikenal maka panggilan disampaikan
lewat Bupati/Wali Kota setempat yang akan
mengumumkannya pada papan pengumuman persidangan
tersebut. Apabila yang dipanggil berada di luar negeri, maka
panggilan disampaikan lewat Perwakilan RI setempat melalui
Departemen Luar Negeri RI di Jakarta. Pemanggilan kepada
tergugat dilampiri satu berkas surat gugatan yang diajukan
oleh penggugat.

61
Musthofa,2005, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana), hlm. 103.

69
c. Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus
memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-
kurangnya 3 (tiga) hari kerja.

3. Pelaksanaan Hukum Acara Dispensasi perkawinan di Pengadilan

Agama

Pelaksanaan acara dispensasi perkawinan sesuai dengan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 sebagai pedoman mengadili dispensasi

perkawinan di pengadilan agama bertujuan untuk :

1. Menerapkan asas pedoman dispensasi perkawinan

2. Menjamin pelaksanaan system peradilan yang melindungi hak

anak

3. Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam pencegahan

perkawinan

4. Mengindentifikasi ada atau tidaknya paksaan melatar belakangi

pengajuan permohonan dispensasi perkawinan

5. Adanya standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi

perkawinan di pengadilan

Pengaturan terkait dispensasi kawin ini merupakan upaya mengatur

dan menguranginya terjadi pernikahan pada usia anak dalam Perma

Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan Bab III mengatur :

1. Syarat Pengajuan Permohonan Dispensasi perkawinan

R. Soesilo, RIB/HIR, Pasal 122. Opcit., hlm.81

70
Pada Pasal 5 Perma Nomor 5 Tahun 2019 syarat pengajuan

permohonan dispensasi perkawinan adalah :

a) Surat permohonan;
b) Foto copy kartu tanda penduduk kedua orang tua/ wali;
c) Foto kartu keluarga;
d) Foto kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak
dan/atau akta kelahiran anak;
e) Foto copy kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak
dan/atau akta kelahiran calon suami/istri; dan
f) Fotocopy ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat
keterangan masih sekolah

2. Pengajuan Permohan Dispensasi perkawinan

Pada Pasal 6 Perma Nomor 5 Tahun 2019 syarat-syarat pengajuan

permohonan dispensasi perkawinan hal ini adalah :

(1) Pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi


perkawinan adalah orangtua
(2) Dalam hal orang tua bercerai, permohann dispensasi
perkawinan tetap diajukan oleh kedua orang tua atau oleh
salah satu orang tua yang memiliki kuasa asuh terhadap
anak berdasarkan putusan pengadilan
(3) Dalam hal salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak
diketahui keberadaanya permohonan dispensasi perkawinan
diajukan oleh satu orang tua
(4) Dalam kedua orang tua telah meninggal dunia atau dicabut
kekuasaanya atau tidak diketahui keberadaanya,
permohanan dispensasi perkawinan diajukam oleh wali
anak
(5) Dalam hal orang tua/wali berhalangan, diajuakan oleh kuasa
berdasarkan suarat kuasa dari orang tua/wali sesuai
peraturan perundangan-undangan.

3. Pemeriksaan Perkara

71
Permohonan dispensasi perkawinan dalam melakukan

pemeriksaan perkara wajib melaksanakan sesuai dengan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 :

(a) Pasal 10 yakni:

(1) Pada hari sidang pertama pemohon wajib menghadirkan :


a) Anak yang dimintakan permohonan dispensasi
perkawinan
b) Calon suami/isteri
c) Orang tua/wali calon suami/istri
(2) Dalam hal pemohon tidak hadir, hakim menunda
persidangan dan memanggil kembali permohonan secara
sah

(b) Pasal 11 yakni:

(1) Hakim dalam persidangan menggunakan Bahasa dan


metode yang mudah dimengerti anak
(2) Hakim dan panitera pengganti dalam memeriksa anak
tidak memakai atribut persidangan

(c) Pasal 12 yakni:

(1) Hakim dalam persidangan harus memberikan nasihat


kepada pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/
wali calon suami/isteri
(2) Nasihat yang disampaikan oleh hakim, untuk memastikan
orang tua, anak, calon suami/isteri agar memahami resiko
perakawinan terkait dengan :
a) Kemungkinan berhentinya Pendidikan bagi anak
b)Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12
tahun
c) Belum siapnya organ reproduksi anak
d)Dampak ekonomi, sosial, dan psikologi bagi anak
e) Potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga

72
(3) Nasehat yang disampaikan hakim dipertimbangan dalam
penetapan
(4) Dalam hal hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan batal
penetapan batal demi hukum

(d) Pasal 13:

(1) Dalam memberikan penetapan hakim harus mendengarkan


keterangan :
a. Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan
b. Calon suami/isteri yang dimintakan dispensasi
perkawinan
c. Orang tua/wali anak yang dimohonkan dispensasi
perkawinan
d. Orang tua/wali calon suami/isteri
(2)Hakim harus mempertimbangkan keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam penetapan
(3) Dalam hal hakim tidak melaksankan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penetapan batal
demi hukum

(e) Pasal 14:

Dalam pemeriksaan di persidangan, hakim mengidentifikasi :


a. Anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui dan
menyetujui rencana perkawinan
b. Kondisi Psikologis, kesehatan dan kesiapan anak untuk
melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan
rumah tanggga
c. Paksaan psikis,fisik, seksual, atau ekonomi terhadap anak
dan/atau keluarga untuk kawin atau mengwinkan anak.
(f) Pasal 15 :

Dalam memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi

perkawinan hakim dapat :

a. Mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua


b. Mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan
komunikasi audio visual jarak jauh dipengadilan
setempat atau ditempat lain;

73
c. Menyarankan agar anak didampingi pendamping
d. Meminta rekomendasi dari psikolog atau dokter/bidan,
pekerja social professional, tenaga kesejahteraan sosial,
pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan
anak (P2TP2A), komisi perlindungan anak
Indonesia/daerah (KPAI/KPAD); dan
e. Mengahadirkan penerjemah/orang yang biasa
berkomunikasi dengan anak, dalam hal dibutuhkan.

(g) Pasal 16 :

Dalam pemeriksaan hakim memperhatikan kepentingan terbaik

bagi anak dengan :

a. Mempelajari secara teliti dan cermat permohonan


pemohon
b. Memeriksa kedudukan hukum pemohon
c. Menggali latar belakang dan alas an perkawinan anak
d. Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan
persetujuan anak untuk dikawinkan
e. Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan
persetujuan anak untuk dikawinkan
f. Memperhatikan perbedaan usia antara anak dan calon
suami/isteri
g. Mendengar keterangan pemohon, anak, dqan calon
suami/isteri, dan orang tua/wali calon suami/isteri
h. Mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis,
budaya, Pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan
orang tua, berdasarkan rekomendasi dari psikolog,
dokter/bidan, pekerja social professional, tenaga
kesejahteraan social, pusat pelayanan terpadu
perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A) atau
komisi perlindungan anak Indonesia/daerah
(KPAI/KPAD)
i. Mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur paksaan
psikis, fisik, seksual dan/atau ekonomi; dan
j. Memastikan komitemen orang tua untuk ikut
bertanggungjawab terkait masalah ekonomi, sosial,
kesehatan, dan pendidikan anak.

74
(h) Pasal 17 :

Hakim dalam penetapan permohonan dispensasi perkawinan

mempertimbangkan :

a. Perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam


peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis
dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan local, dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan
b. Konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait
perlindungan anak.

Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang pedoman mengadili dispensasi

perkawinan memberikan aturan yang jelas terkait dengan bagaimana

pengadilan maupun hakim terkait bagaimana hakim maupun pegawai

pengadilan dalam mengadili dispensasi perkawinan mulai dari bagaiamana

syarat pengajuan dispensasi perkawinan, pengajuan permohonan

dispensasi perkawinan, pertimbangan hakim dalam mengadili dispensasi

perkawinan. Sehingga mencapai tujuan untuk mengurangi terjadinya

perkawinan usia anak.

4. Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik

Indonesia

Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia

atau Ditjen Badilag MA RI terlahir karena tuntutan reformasi di bidang

hukum dan peradilan pada tahun 2004. sebagai pembina peradilan agama

berada dalam satu atap di bawah MA RI bersama dengan Direktorat Jenderal

Badan Peradilan Umum yang membina peradilan umum dan Direktorat

75
Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Pola pembinaan satu

atap di bawah Mahkamah Agung RI.

Tugas pokok ditjel badilag adalah membantu sekretaris mahkamah agung

RI dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di

bidang pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata

dan tatalaksana dari lingkungan peradilan agama pada mahkamah agung dan

pengadilan dilingkungan peradilan agama. Fungsi ditjen badilag yakni :

a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pembinaan tenaga teknis,


pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tatalaksana perkara
dari lingkungan Peradilan Agama pada MA dan Pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama;
b) Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan tenaga teknis pembinaan
administrasi peradilan, pranata dan tatalaksana perkara dari
lingkungan Peradilan Agama pada MA dan Pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama;
c) Perumusan standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang pembinaan
tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan
tatalaksana perkara dari lingkungan Peradilan Agama pada MA dan
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama;
d) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
e) Pelaksanaan administrasi Direktorat62

62
https://badilag.mahkamahagung.go.id/ Diakses pada tanggal 19 Janurari 2022, pada pukul 22:36
wib

76
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Koto Baru,

Kabupaten Solok

Pelakasanaan dispensasi kawin ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

pada Pasal 7 Ayat 2 :

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak
disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang pedoman mengadili dispensasi

perkawinan, mengatur dan mengawal pelaksanaan beracara permohonan

dispensasi kawin dipengadilan yang berdasarkan pada semangat pencegahan

perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis,

aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan. Pengadilan Agama bagi mereka

yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama Dalam

permohonan dispensasi kawin dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 pada Pasal 1 Ayat 2 terkait dengan terbagi pada pengajuan

permohonan dengan memenuhi syarat administrasi diatur dalam pasal 5 Ayat 1

Perma Nomor 5 Tahun 2019, pemeriksaan dan penetapan oleh majelis hukum

diatur dalam pasal 10 sampai Pasal 18 Perma Nomor 5 Tahun 2019.

77
1. Pengajuan Permohonan Dispensasi Kawin Yang Dilengkapi Dengan

Persyaratan

Pengajuan permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama Koto Baru

Kabupaten Solok dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1

Pengajuan Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Koto Baru,


Kabupaten Solok
Tahun 2017-2020

Tahun Jumla Dikabulkan Tidak Dicabut Digugurkan


h Diterim
a

2017 33 31 0 1 1

2018 39 36 0 2 1

2019 48 43 1 3 1

2020 139 124 3 9 3

Sumber : Sistem Informasi Penelusuran Perkara, Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten
Solok

Proses pelaksanaan permohonan dispensasi perkawinan dalam

pengajuanya dilakukan oleh orang tua dari anak yang ingin memperoleh

penetapan dispensasi perkawinan, berbeda dengan permohonan perkara

lainya yang diajukan lansung oleh bersangkutan, hal ini sesuai dengan Perma

Nomor 5 Tahun 2019. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian pada 6

penetapan hakim yang memperoleh penetapan dispensasi perkawinan atau

yang dimaksud pemohon memperoleh izin untuk menikahkan calon

pengantin yang dibawah umur secara sah dimata hukum.

78
Pada perma Nomor 5 Tahun 2019 terkait dengan persyaratan pengajuan

dispensasi kawin Pasal 5 Ayat 1 :

Syarat administrasi dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin


adalah :

a. Surat permohonan
b. Fotocopy kartu tanda penduduk kedua orang tua/wali
c. Fotocopy kartu keluarga
d. Fotocopy kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak dan/atau
akta kelahiran anak
e. Fotokopi kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak dan/atau
akta kelahiran calon suami/isteri dan
f. Fotocopy ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan
masih sekolah dari anak

Pada pelaksanaanya di pengadilan agama Koto Baru syarat administrasi

pengajuan permohonan dispensasi perkawinan :

a. Surat permohonan (rangkap 5 + softcopy dalam CD/ Flashdisk)

b. Fotocopy KTP para pemohon (Orang Tua)

c. Fotocopy surat nikah pemohon (akta cerai bagi yang berstatus duda/janda

d. Cerai, surat kematian bagi yang berstatus duda/janda mati)

e. Surat penolakan dari KUA

f. Surat keterangan status calon mempelai dari kua (N1)

g. Fotocopy akta kelahiran/ surat keterangan lahir/ ijasah calon mempelai

persyaratan huruf b - e di Nagelezen (dimaterai dan cap POS)

h. Membayar panjar biaya perkara.

Ketentuan terkait besar panjar biaya perkara di Pengadilan Agama Koto

Baru berdasarkan pada Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Koto

79
Baru Nomor: W3-A11/ 746 /Hk.05/Iv/2021 Tentang Perubahan Panjar

Biaya Perkara Pengadilan Agama Koto Baru Tahun 2021 kentuan :

1. Pendaftaran : Rp.30.000

2. Biaya proses : Rp.50.000

3. Panggilan sesuai radius :

3) Radius I : Rp.100.000,-

4) Radius II : Rp.120.000,-

5) Radius III: Rp. 150.000,-

6) Radius IV: Rp.170.000,-

7) Radius Sulit I : Rp. 100.000

8) Radius Sulit II: Rp.210.000

9) Radius Sulit III: Rp.260.000

10) Radius Sulit IV : Rp. 360.000

4. PNBP relaas panggilan I pemohon/penggugat Rp.10.000

5. PNBP relaas panggilan I temohon/tergugat Rp.10.000

6. PNBP PBT Rp.10.000

7. PNBP uang meja (LEGES) Rp.10.000

8. Redaksi Rp.10.000

9. Materai Rp.10.000

Upaya memberikan pelayanan terbaik pada para pemohon dan

peningkatan Kinerja dan Pelayanan Peradilan Agama, pengadilan agama

Koto Baru mengimplementasikan program one day minutation dan one day

80
publish ini adalah adanya penambahan poin-poin penilaian Sertifikasi

Akreditasi Penjaminan Mutu mengenai :

a. penyelesaian perkara tepat waktu,

b. Minutasi berkas perkara dalam satu hari (One Day Minutation),

c. Publikasi putusan dalam satu hari (One Day Publish),

d. Administrasi perkara secara elektronik,

e. Pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK)

dan wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM),

f. Optimalisasi fungsi seluruh sarana-prasarana pengadilan, terutama yang

berkaitan langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat pencari

keadilan63

Pengadilan agama koto baru melakukan Pengimplementasian one day

minutation dan one day publish ini sangat membantu para pemohon yang

akan mengajukan perkara di pengadilan agama Koto Baru Kabupaten Solok

mengingat wilayah hukumnya cukup luas sehingga pemohon tidak perlu

untuk bolak balik dari antara rumah dan kantor pengadilan agama Koto

Baru yang cukup memakan waktu sehingga dapat diselesaikan secara

elektronik saat ini biasanya pemohon akan dibantu oleh petugas baik secara

elektronik atau dapat dipemenuhi pada tahap selanjutnya 64.Hasil penelitian

yang penulis lakukan di pengadilan agama Koto Baru Tahap prosedur pada

63
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama
Nomor 1924.c/DJA/OT.01.3/VII/2018, tanggal 31 Juli 2018, perihal "Peningkatan Kinerja dan
Pelayanan Peradilan Agama"
64
Wawancara dengan Prima Yeni selaku Panitera Muda Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten
Solok pukul 10:35 tanggal 17 November 2021,

81
permohonan dispensasi perkawinan berbeda dengan permohonan lainya

karena dispensasi perkawinan tergolong sebagai perkara voluntair di

pengadilan agama Koto Baru sebagai berikut :

1. Pendaftaran permohonan dispensasi perkawinan

Pendaftaran permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua calon

suami atau istri dalam hal orang tua berhalangan dapat diajukan oleh

wali anak berdasarkan surat kuasa sesuai peraturan perundang-

undangan. Dispensasi perkawinan didaftarkan di PTSP (Pelayan

Terpadu Satu Pintu) yang terdapat di pengadilan agama Koto Baru

dalam pelayanannya memberikan informasi terkait tahap prosedur

permohonan di pengadilan agama Koto Baru khususnya dispensasi

perkawinan, proses permohonan

Ketika pemohon sampai di PTSP petugas akan memberikan

informasi terkait apa saja persyaratan dalam permohana dispensasi

perkawinan

Permohonan dapat dibuat dengan :

1) Dibuat sendiri oleh pemohon jika mengetahui terkait pembuatan

permohonan yang ditujukan ke pengadingan agama

2) Meminta bantuan kepada POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum)

adalah layanan yang memberikan layanan hukum berupa informasi,

konsultasi, dan advis hukum serta pembuatan dokumen yang

dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang kekuasaan kehakiman

82
3) Dapat membuat mandiri jika bisa membuatnya sendiri di aplikasi

sederhana yang disediakan oleh pengadilan agama dan akan

dituntun oleh petugas

2. Untuk persyaratan pengajuan permohonan dispensasi perkawinan dapat

melapor kembali ke meja PTSP dipengadilan agama Koto Baru, ketika

untuk memberikan permohanan dan memenuhi persyaratan yang

dimintakan oleh petugas sebelumnya. Setelah permohonan dan syarat

pengajuan dispensasi perkawinan petugas akan mengarahkan ke meja

sebelah yakni pada bagian kasir.

3. Pembayaran Panjar Permohonan Dispensasi Kawin

Pada meja kasir petugas akan melakukan penaksiran biaya panjar

perkara dan menentukan besaran panjar yang akan dibebankan pada

pemohon, pembayaran dapat dilakukan dengan pembayaran di ATM

atau di Teller Bank, atau melakukan pembayaran di mesin Edc di meja

kasir setelah melakukan pembayaran akan memperoleh slip bukti setor

pembayaran panjar perkara

4. Pendaftaran Pada Sistem Informasi Penulusuran Perkara

Pada tahap setelah melakukan pembayaran permohonan dimeja

kasir pemohon akan balik kemeja pendaftaran untuk melakukan

pendaftaran di SIPP (Sistem Informasi Penulusuran Perkara) dimeja

pendaftaran pemohon akan diberikan bukti permohonan, dan nantinya

petugas akan kerumah untuk menginfokan pelaksaan sidang pemohon.

83
Pada tahap setelah ini pemohon hanya perlu menunggu dirumah untuk

menerima undangan pelaksanaan sidangnya.

2. Tahap Proses Berjalanya Berkas Pemohon Dispensasi perkawinan

Setelah didaftarkan.

Tahap proses berjalanya berkas di Pengadilan Agama Koto Baru adalah

sebagai berikut :

1) Setelah berkas permohonan dispensasi kawin berhasil didaftarkan di

PTSP maka berkas permohonan dispensasi perkawinan naik ke panitera

muda untuk dicek kelengkapan dan kebenaran serta keabsahan data

pemohon

2) Setelah panitera muda menganggap bahwa data pemohon sudah

lengkap maka berkas permohonan dapat dinaikkan pada ketua

pengadilan untuk mempereoleh penetapan hakim tunggal sesuai dengan

amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 20 tentang klasifikasi Hakim

3) Tugas dan peran ketua pengadilan dalam permohonan dispensasi

perkawinan yakni menentukan hakim mana yang dianggap berhak dan

mampu untuk mengadili persidangan beracara dispensasi perkawinan,

namun setelah disahkanya Perma Nomor 5 ini memberikan ketentuan

terkait klasifikasi hakim, dalam wawancara yang penulis lakukan

dengan ketua pengadilan agama koto baru Kabupaten Solok

menyatakan :

“sejauh ini pengadilan agama belum memilki hakim yang memiliki


surat keputusan ketua mahkamah agung sebagai hakim

84
anak,mengikut pelatihan dan/atau bimbingan teknis tentang
perempuan berhadapan dengan hukum atau bersertifikat system
peradilan pidana anak atau berpengalaman mengadili permohonan
dispensasi perkawinan.65

Kekurangan tenaga dibidang hakim anak sehingga ketua pengadilan

memilih hakim-hakim yang dianggap berpengalaman sesuai dengan

keyakinan ketua pengadilan saja tanpa adanya kualifikasi khusus dalam

penetuan hakimnya.

4) Setelah memperoleh penetapan oleh ketua pengadilan maka panitera

akan menunjuk siapakah panitera pengganti dan menetukan (JSP) juru

sita pengganti yang akan melakukan pemanggilan pemohon dengan cara

mengantarkan undangan sidang atau menginfokan langsung kerumah

sipemohon

5) Setelah semua dipersiapkan maka berkas permohonan dispensasi

perkawinan akan diserahkan kepada hakim tunggal yang ditunjuk.

3. Pemeriksaan Dan Penetapan Oleh Majelis Hakim Dalam Persidangan

Dispensasi perkawinan

Perma Nomor 5 Tahun 2019 merupakan pedoman bagi hakim untuk

mengadili permohonan dispensasi perkawinan dipengadilan, hal ini

mengingat sebelumnya belum adanya ketentuan dan kepastian hukum bagi

hakim bagaimanakah seharusnya dalam mengadili dispensasi perkawinan.

Disini penulis akan meneliti satu persatu bagaimana pelaksanaan dispensasi

65
Wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Koto Baru, Kabupaten Solok Solok pukul 10:35
tanggal 17 November 2021

85
perkawinan merujuk pada Perma Nomor 5 Tahun 2019. Dimana diharapkan

dalam pelaksanaan dispensasi perkawinan yang sesuai dengan Perma Nomor

5 Tahun 2019 ini bertujuan untuk terlaksananya system peradilan yang

melindungi hak anak, meningkatkan tanggung jawab orang tua, mencegah

perkawinan anak, mengindentifikasi adanya paksaan dalam dispensasi

perkawinan sehingga dengan begini akanya standarisasi dalam mengadili

dispensasi perkawinan, pelaksanaan dispensasi perkawinan yang terjadi di

Pengadilan Agama Kotobaru yang penulis peroleh sebagai berikut:

1) Pelaksanaan sidang dispensasi perkawinan merupakan permohonan

golongan sederhana karena dari segi persidanganya hanya diadili oleh

hakim tunggal dan dalam mengadili dispensasi perkawinan persidangan

pada umumnya 2 sampai 3 kali persidangan maksimalnya terkait

pemeriksaan permohonan:

Pada hari sidang pertama, pemohon diwajiibkan menghadirkan :

a) Anak yang dimintakan permohonan dispensasi perkawinan

b) Calon suami/isteri

c) Orang tua/wali calon suami isteri

Pada pelaksanaan pemeriksaannya hakim akan meminta semua

berkas-berkas yang dimintakan pada pendaftaran sudah lengkap dan

memastikan bahwa pemohon sudah mengadirkan anak yang dimohonkan

dispensasi perkawinan, calonnya, dan orang tua calon jika dalam hal

pemohon tidak dapat memenuhi permintaan hakim untuk menghadiri

hakim akan memberikan kesempatan pada sidang kedua, dan jika tidak

86
dipenuhi pada sidang kedua hakim akan menunda hingga persidangan

ketiga. Jika dalam persidangan ketiga pemohon tidak memenuhi

permintaan hakim untuk menghadirkan anak pemohon, calonnya dan

orangtua calonnya maka permohonan dispensasi perkawinan tidak dapat

diterima oleh hakim atau permohonan dispensasi perkawinanya ditolak.

Pemeriksaan permohonan dispensasi perkawinan memiliIki

perbedaan dalam beberapa hal salah satunya atribut yang digunakan oleh

hakim karena di pengadilan agama biasanya hakim akan melakukan

persidangan secara terpisah antara orang tua dan anak karena pada

persidangan hakim akan menggunakan atribut hakim ketika memerikssa

orang tua pemohon, namun ketika sampai tiba akan pemeriksaan anak

hakim akan melepaskan atribut persidangan66

2) Hakim dalam mengidentifikasi sidang dispensasi perkawinan :

Dipengadilan agama Koto Baru Kabupaten Solok belum memiliki

hakim yang mempunyai SK dari mahkamah agung sebagai hakim anak

sehingga setiap identifikasi yang dilakukan oleh hakim hanya bergantung

pada pemahaman oleh masing-masing hakim yang mengadili sidang

permohonan dispensasi perkawinan, ada beberapa point penting yang

diatur oleh Perma Nomor 5 Tahun 2019 namun belum sepenuhnya

terlaksanya di pengadilan agama Koto Baru :

Hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Koto Baru, Dyna Mardiaha,S.Hi, Tanggal 17
66

Mei 2020

87
a) Belum adanya standarisasi oleh para hakim dipengadilan agama Koto

Baru terkait permohonan apa yang dapat dianggap sebagai keadaan

mendesak sehingga pemberian penetapan dispensasi perkawinan

memang benar-benar diberikan kepada pemohon yang tepat. Dalam

pemeriksaan di pengadilan agama Koto Baru Kabupaten Solok dalam

upaya memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dalam jalan

persidangan hakim meminta didatangkan saksi-saksi yang biasanya

bisa teman dari orang tua, atau tetangga yang melihat keseharian dari

pemohon uuntuk dimintakan keterangan terhadap apa yang dilihat dan

terjadi dilapangan. Hakim akan menganalisis melalaui keterangan

saksi dan menganalisa terkait kesiapan dan kematangan mental

maupun psikologis anak pemohon67

Hal seharusnya yang diatur pada Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal

15 dalam melakukan pemeriksaan anak yang dimohonkan dispensasi

perkawinan hakim dapat meminta rekomendasi meminta rekomendasi

dari psikolog atau dokter/ bidan, pekerja sosial profesional, tenaga

kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan

perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi perlindungan anak Indonesia/

aerah (KPAI/KPAD) Terkait setiap kasus dispensasi sesuai dengan

amanatnya yakni berupa dari psikolog atau dokter/ bidan, pekerja

sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan

terpadu perlindungan perempuan dan anak (p2tp2a), komisi

67
Hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Koto Baru, Dyna Mardiaha,S.Hi, Tanggal 17
Mei 2020

88
perlindungan anak indonesia/ daerah (KPAI/KPAD) menurut penulis

sangat pentingnya rekomendasi dari para ahli profesi karena hal ini

berkaitan dengan psikis anak yang tentunya tidak mudah untuk

dianalisis oleh orang awam ataupun seorang hakim memilki latar

belakang keilmuan yang berbeda.

Indra Fitriadi selaku ketua pengadilan agama, Koto Baru menyatakan:

“Bukan suatu hal mudah oleh hakim menganalisa secara


mendalam terkait psikis anak, kesiapan jiwa dan mental anak,
kesiapan seorang anak perempuan untuk dianggap sudah siapnya
alat reproduksi sianak. Hakim tidak memperoleh pendidikan
terkait bagaimana menganalisa kondisi psikis seorang anak.
Kendala Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten Solok dalam
melaksanakan amanat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5
Tahun 2019 Pasal 15 memang belum terlaksana dengan
seharusnya dikarenakan terkait biaya yang meminta rekomendasi
para ahli pada pasal 15 ditanggung langsung oleh pemohon, hal
dianggap sulit untuk terlaksana mengingat pemohon yang
mengajukan dispensasi perkawinan pada umumnya berada pada
kondisi ekonomi menengah kebawah. Upaya yang dilakukan oleh
ketua pengadilan agama Koto Baru, Kabupaten Solok yakni akan
menggandeng untuk melaksanakan kerjasama dengan beberapa
instansi berupa lembaga psikolog, komisi pemberdayaan
perempuan, lembaga komisi nasional perempuan dan anak dan
para ahli agama. Kerjasama ini adalah upaya agar dapat
terlaksananya Perma Nomor 5 Tahun 2019 dengan sepenuhnya”.68

3) Penetapan Permohonan Dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama

Koto Baru, Kabupaten Solok

Hasil wawancara dengan ketua pengadilan agama Koto Baru, Indra Fitriadi,S.Ag, Tanggal 17
68

Mei 2020

89
Data tabel permohonan dispensasi kawin yang masuk ke

pengadilan agama Koto baru, pemerintah bertanggung jawab untuk

memberikan pendidikan kepada generasi muda, ini sejalan dengan

pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun yang diatur dalam

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional, menyatakan bahwa system pendidikan nasional,

memberikan hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan

yang bermutu. Upaya pemerintah untuk mencegah terjadinya

perkawinan anak dibentuk undang-undang yang akan mengatur

bagaimana mengadili perkawinan dibawah umur yang belum pernah

diatur sebelumnya agar dapat meningkatkan tanggung jawab orang tua

dalam rangka pencegahan perkawinan anak

Penulis dalam hal ini meneliti banyaknya penetapan dispensasi

perkawinan yang dikabulkan oleh hakim, sama saja dengan semakin

banyaknya perkawinan anak dan banyak para penerus generasi muda yang

berhenti untuk sekolah, sehingga diperlukan adanya standarisasi yang

diterapkan sepenuhnya. Sesuai dengan teori kepastian hukum merupakan

upaya untuk memberikan landasan, dan batasan-batasan terhadap aturan

hukum yang masih dapat mengundang adanya multi tafsir.

Hal ini karena sesuai dengan teori kepastian hukum menurut Gustav

kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum oleh para

pihak penegak hukum, belum adanya penerapan peraturan yang memberikan

ketentuan secara jelas terkait dengan bukti-bukti yang dianggap mendesak

90
yang dapat diajukan dalam pelaksanaan beracara dispensasi kawin. Sehingga

hakim dalam memberikan pertimbangan menganggap bahwa semua

permohonan dianggap sudah mendesak yang diperlukan untuk dilakukanya

perkawinan pada anak diharapkan kedepannya adanya kepastian terkait bukti

yang dianggap mendesak yang diajukan pada pendaftaran permohonan

dispensasi kawin maupun dalam tahap pemeriksaan dan Penetapan dalam

beracara dispensasi kawin di pengadilan.

Upaya ini diharapkan dapat menyaring permohonan dispensasi kawin

yang benar-benar dianggap mendesak sesuai dengan amanat Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan pada pasal 7 Ayat (2) sehingga

tercapainya tujuan Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 3 Huruf C. Pasal-pasal

diatas merupakan bagian dari hukum positif yang harus ditaati dan

dilaksanakan sepenuhnya agar keberadaan Perma Nomor 5 Tahun 2019 dapat

berfungsi sesuai dengan nilai yang ingin dicapai yaitu meningkatkan

tanggung jawab orang tua dan menahan terjadinya perkawinan pada usia anak

agar tercapainya keadilan dan kebahagian.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Dispensasi Perkawinan

Setelah Disahkanya Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019

Lilik Mulyadi berpendapat pada hakikatnya dalam hakim pertimbangan

hukum seharusnya memuat :

1. Pokok Persoalan perkara serta hal-hal yang diakui atau dalil yang
tidak disangkal
2. Analisis secara yuridis terhadap segala aspek menyangkut semua fakta
yang terbukti dalam persidangan
3. Pertimbangan hakim secara yuridis yang memilki ratio decidendi

91
dengan bertitik tolak pada pendapat doktrin, alat bukti dan
yurisprudensi
4. Pertimbangan disusun secara logis, sistematis, saling berhubunga
5. Bagian petitum penggugat dipertimbangkan/diadili satu persatu oleh
hakim sehingga hakim menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya
dan dapat dikabulkan/ditolak tuntutan tersebut diamar putusan69

Pada penulisan ini penulis melakukan penelitian terhadap 6 hasil

penetapan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon pihak

perempuan hal ini dilatar belakangi karena pada umumnya dispensasi

perkawinan diajukan oleh pihak perempuan. Melihat bagaimanakah hakim

dalam memberikan pertimbangan yang sesuai dengan ketentuan amanat Pasal 7

Ayat 2 Undang-Undang No 16 Tahun 2019 pada ketentuan penjelasan dalam

pelaksanaanya baik dalam pengajuan syarat-syarat pembuktian yang

seharusnya disertakan dengan bukti-bukti “pendukung yang cukup” adalah

surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih dibawah

ketentuan undang-undang dan surat keterangan kesehatan yang mendukung

pernyataan orang tua bahwa perkawinan ini sangat mendesak hal ini juga

selaras dengan didukung dalam Pasal 17 Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin mengatur terkait penetapan dispensasi

perkawinan hakim mempertimbangkan :

a) Perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan

perundang-undanan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum,

kearifan local, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

b) Konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait perlindungan anak.


69
Lilik Mulyadi, 2009, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia,Teori, Praktek,
Teknik, membuat putusan dan permasalahanya (Bandung : Citra Aditya Bakti) hlm 164

92
Pada pasal diatas penulis melakukan penelitian pada pertimbangan hakim

dalam memberikan penetapan dispensasi perkawinan yang dikeluarkan setelah

disahkanya Perma Nomor 5 Tahun 2019, Hasil yang penulis analisis terhadap 6

penetapan hakim ada fakta hukum yang sama penulis peroleh yakni. Tidak

terlaksananya Pasal 15 dan Pasal 20 dalam pelaksanaan dispensasi perkawinan

sesuai amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 di pengadilan agama Koto Baru

Kabupaten Solok. Terjadi peningkatan dispensasi perkawinan di jika

dibandingkan dengan tahun sebelum Perma Nomor 5 Tahun 2019 disahkan

disini penulis melakukan insial anak pemohon dalam pemaparan terkait

penelitian pertimbangan hakim dalam dispensasi perkawinan sebagai bentuk

perlindungan terhadap anak dibawah umur sesuai dengan Undang-Undang,

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

Pasal 64 Huruf I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 penghindaran dari

publikasi atas identitasnya sebagai berikut :

1. Penetapan Nomor: 2/Pdt.P/2021/PA.KBr

Identitas :

1) Pemohon: Diajukan pada 04 Januari 2021 oleh orangtua terdiri

Pemohon I Mar’ainis bin jumis, umur 40 tahun, agama Islam,

pendidikan terakhir sekolah dasar, pekerjaan tani ladang, alamat di

Jorong Cubadak, Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah Gumanti

Kabupaten Solok, sebagai Pemohon I; Pemohon II Fitri Yati binti

Rustam, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir sekolah

93
dasar, pekerjaan mengurus rumah tangga, alamat di Jorong Cubadak

Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok,

sebagai Pemohon II

2) Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (OA) : tanggal lahir 13 Januari 2004 (16 Tahun sebelas bulan)

pendidikan terakhir SLTP, belum bekerja

3) Alasan menikah : karena keduanya sudah berpacaran dan saling

mencintai sama lain sejak dua tahun. anak para pemohon juga sering

berpergian dengan pasangannya selama mereka berpacaran sehingga

para pemohon khawatir jika keduanya tidak dinikahkan akan

menimbulkan fitnah ditengah masyarakat. tujuan dari pernikahan ini

juga agar anak para pemohon dan pasangannya terhindar dari segala

maksiat.

4) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) Menimbang, bahwa berdasarkan fakta–fakta tersebut diatas

rencana pernikahan anak para pemohon dengan calon suami anak

para pemohon hanya kurang satu syarat yaitu syarat umur , anak

para pemohon belum mencapai usia minimal 19 tahun sehingga

harus mendapat dispensasi kawin dari Pengadilan Agama

sebagaimana ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah

dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menentukan

94
bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan

tersebut dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan dengan

alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang

cukup;

Pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan

dispensasi kawin salah karna anak masih berusia kurang dari 18

tahun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang 35 Tahun 2014

Anak yang dimaksud :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun

(delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam

kandungan.

Serta diatur dalam Pasal 29 huruf c :

“Orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan

pada usia anak”

Teori kepastian hukum yang sesuai dengan menurut Gustav

Radbruch keadilan dan kepastian adalah suatu yang tetap dari hukum

hal ini diupayakan agar terajadi keamanan dan ketertiban dalam

pelaksanaan suatu aturan hukum Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan perlu adanya surat keterangan dari

ahli kesehatan bahwa perkawinan ini sangat mendesak untuk harus

dilaksanakan namun tidak terlaksana dalam upaya pembuktian pada

dispensasi kawin.

95
b) Menimbang bahwa keterangan saksi-saksi para pemohon saling

bersesuaian menguatkan dalil-dalil permohonan para pemohon;

menimbang, bahwa atas uraian tersebut diatas telah ditemukan fakta

dipersidangan yang pada pokoknya sebagai berikut;

Anak Para Pemohon meskipun baru berumur 16 (enam belas)

tahun 11 (sebelas) bulan, namun secara jasmani dan rohani cukup

dewasa untuk melangsungkan Pernikahan; kedua calon mempelai

telah menyatakan saling mencintai dan siap melangsungkan

pernikahan kedua orang tua calon mempelai berkeinginan menikahkan

calon mempelai dan siap membimbing secara rohani dan jasmani;

antara calon mempelai tidak ada halangan menurut hukum untuk

melangsungkan pernikahan;

Penulis dalam hal ini berpendapat pada beracara dispensasi

kawin perlu dihadirkan seorang saksi ahli unutk mendengarkan

keterangannya, sesuai dengan amanat pasal 15 dan Pasal 16 Perma

Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin

mengatur terkait bahwa dalam memeriksa permohonan dispensasi

kawin hakim dapat meminta rekomendasi dan mempertimbangan

keterangan dari tenaga ahli kesehatan hal ini dikarenakan hakim

memiliki bidang keilmuan yang berbeda terkait dalam menghadapi

anak dan perempuan.

Menimbang bahwa berdasarkan fakta –fakta tersebut diatas

rencana pernikahan anak para pemohon dengan calon suami anak para

96
pemohon hanya kurang satu syarat yaitu syarat umur , anak Para

Pemohon belum mencapai usia minimal 19 tahun sehingga harus

mendapat dispensasi kawin dari pengadilan agama sebagaimana

ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dalam Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 menentukan bahwa dalam hal terjadi

penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dapat dimintakan

dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai

bukti-bukti pendukung yang cukup;

Pertimbangan hakim dalam pasal ini salah karna jika merujuk

pada sumber dari lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2019 yakni undang-

undang nomor 16 tahun 2019, Hakim harusnya juga memperhatikan

masalah terkait bagaimana penjelasan terkait dengan alasan mendesak

dan alat bukti pendukung yang cukup hal ini karena diamanatkan

sebagai berikut yang dimaksud dengan "alasan sangat mendesak"

adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus

dilangsungkan perkawinan. Yang dimaksud dengan "bukti-bukti

pendukung yang cukup" adalah surat keterangan yang membuktikan

bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan

surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan

orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk

dilaksanakan.

97
c) Menimbang, bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang

laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri untuk membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa , oleh karena itu setiap perkawinan harus memenuhi syarat yang

ditentukan oleh Hukum yaitu hanya diizinkan jika pihak pria dan

wanita sudah mencapai umur 19 tahun, sebagaimana ketentuan Pasal 7

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 ;

Penerapan teori kepastian hukum dalam pemberian dispensasi

kawin hal ini dimana keberadaan hukum harus dapat dilaksanakan

dengan pasti dan taat sesuai dengan perundang-undangan yang

mengatur penerapan peraturan yang selalu sama dan pasti sehingga

menimbulkan konsistensi dalam penerapanya diperlukan agar

pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi kawin

5) Masalah hukum dalam putusan :

Penerapan dispensasi perkawinan yang terjadi dipengadilan agama

tidak terlaksana dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat Perma

Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam melaksanakan hukum acara

dispensasi perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti terkait

kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan dispensasi

perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

98
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

khususnya dalam pasal 26 huruf (c ) yakni:

“orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untukmencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak.”

kondisi mental dan psikologis anak, terbukti dengan tidak adanya

standrisasi terkait kategori perkawinan yang mendesak.

6) Penerapan Peraturan Perundang-Undangan, YurisPrudensi Atau Doktrin

Yang Terlaksana Tidak Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, Orang tua berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. Menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

dan minatnya;

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

Dispensasi perkawinan Pasal 15 terkait dengan Hakim dalam

pemeriksaan dapat mendengarkan keterangan: anak, rekomendasi

psikolog atau dokter/ bidan, pekerja sosial professional, tenaga

kesejahteraan sosial, Pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan

dan anak Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

99
Dispensasi perkawinan Pasal 20 terkait dengan ketentuan hakim yang

mengadili dispensasi kawin.

7) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Penetapan Perkara Nomor. 2/Pd.P/2021/PA.Kbr ini hakim

dalam memberikan pertimbangan hakim tidak berhasil memberikan

putusan yang mempertimbangkan sesuai dengan konvensi anak sesuai

dengan teori efektifitas hukum menurut soerjono Sukanto bahwa

efektif nya suatu hukum dapat ditentukan oleh penegak hukumnya

sendiri, dalam hal ini Pengadilan Agama Koto Baru dalam

pelaksanaan Perma Nomor 5 Tahun 2019 tidak berhasil menerapkan

tujuan dari adanya aturan ini yakni untuk mengurangi terjadinya

perkawinan pada usia anak.

Pada penerapan dispensasikawin ini mengutamakan

kepentingan terbaik bagi anak, namun tidak terlaksana hal ini

dibuktikan dengan tidak mendengarkan pendapat psikolog meminta

rekomendasi dari psikolog atau dokter/bidan, pekerja sosial

profesional,tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu

perlindungan perempuan dan anak, komisi perlindungan anak

indonesia,

Analisis Penulis :

a. Pendidikan anak pemohon SMP Pasal 48 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

100
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan

pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak,

Alasan tidak terlaksananya pasal 15 Perma Nomor 5 Tahun 2019

dalam permohonan dispensasi kawin Tidak adanya anggaran dan

fasilitas terkait menghadirkan keterangan ahli terkait dengan

alasan hakim untuk mendengarkan nasehat pihak psikolog sesuai

amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pengadilan Agama Koto

Baru dapat memintakan pemenuhan tersebut kepada pemenrintah

daerah Kabupaten solok sesuai dengan amanat :

Pasal 71E Undang-Undang Nomor 35 Tahu 2014 tentang


perlindungan anak Ayat(1)
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab

menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan Anak”.

Penerapan teori efektifitas hukum yang menyatakan

efektifitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau

tujuan yang telah ditentukan dalam suatu aturan hukum sehingga

tujuan dari adanya Perma Nomor 5 Tahun 2019 ini adalah

meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam upaya

pencegahan perkawinan anak.

2. Penetapan : Nomor.19/Pdt.P/2021/PA.Kbr

Indetitas :

1) Pemohon: diajukan pada 21 Januari 2021 oleh orangtua terdiri

101
pemohon I, Rian Sandra lahir di Selayo pada tanggal 28 Agustus

1971, agama Islam, pendidikan terakhir tidak sekolah, pekerjaan

Petani, alamat di Jorong Simpang Nagari Koto Baru Kecamatan

Kubung Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat, sebagai

Pemohon I; pemohon II, a Fitra Lonita lahir di Solok, pada tanggal

20 November 1980,`agama Islam, pendidikan terakhir SLTP,

pekerjaan mengurus rumah tangga, alamat di Jorong Sasudik Nagari

selayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Provinsi Sumatera

Barat, sebagai Pemohon II;

Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (MA): tanggal lahir 02 Mei 2003 (18 Tahun sebelas bulan)

pendidikan terakhir tidak tamat SD , belum bekerja

2) Alasan mengajukan dispensasi perkawinan: hubungan anak

pemohon (anak) dengan calon suami akan dilanjutkan sampai

kejenjang perkawinan, namun sewaktu pengurusan proses

pernikahan anak Pemohon I (anak) dengan (calon suami), ditolak

oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kubung Kabupaten Solok

Provinsi Sumatera Barat dengan alasan anak Pemohon I dengan

Pemohon II selaku calon mempelai perempuan belum mencapai

umur 19 tahun;

3) Alasan untuk menikah : anak Pemohon I dan Pemohon II telah lama

menjalin hubungan cinta, hubungannya sudah sangat dekat dan

mereka telah sering bertemu, sehingga kami sangat khawatir mereka

102
akan melakukan perbuatan maksiat dan menimbulkan fitnah di

tengah masyarakat, bahwa calon isteri anak kami dan keluarganya

sudah datang ke rumah beberapa kali, bahkan pembicaraan saya

dengan orang tua calon isteri anak kami sudah merencanakan tanggal

pernikahan mereka, namun terkendala dengan usia calon isteri anak.

Bahwa anak kami tidak bisa menunda keinginan mereka karena

mereka sudah sama-sama memiliki yang kuat untuk menikah.

4) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) Menimbang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang_Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, terkait potensi berhentinya pendidikan anak dan

keberlanjutan pendidikannya, kesiapan organ reproduksi anak,

dampak ekonomi, sosial dan psikologis anak serta potensi

perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga, akan tetapi

Pemohon I dan Pemohon II tidak bersedia dan tetap menyatakan

keinginannya sesuai dengan surat permohonannya. Dengan

demikian ketentuan Pasal 12 ayat (2) PERMA Nomor 5 tahun

2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

perkawinan telah terpenuhi

Pertimbangan hakim dalam padahal ini dianggap salah oleh

penulis hal ini dikarenakan dalam point kesiapan organ

reproduksi, pendidikan dan psikologis anak dalam pemeriksaan

permohonan dispensasi kawin ini tidak terlaksana karna dalam

103
Pasal 12 Ayat 2 Perma Nomor 5 Tahun 2019:
Nasehat yang disampaiakan oleh hakim untuk memastikan
orang tua,anak,calon suami memahami resiko perkawinan
Huruf (b) : Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib
belajar 12 tahun

Hakim telah menyampaikan pemahaman terkait keberlanjutan

belajar 12 tahun tentunya hakim akan menyatakan minimal

pendidikan anak calom suami/istri dapat menyelesaikan hingga

tahap SMP

Penulis berpendapat terkait jika merujuk pada teori

kepastian hukum dimana menurut Gustav hukum positif harus

selalu ditaati terhentinya pendidikan anak yang masih pada usia

yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2019

tentang Perlindungan Anak Pasal 48 terkait dengan wajib belajar

9 Tahun dan Amanat Perma Pasal 12 Ayat 2 Nomor 5 Tahun

2019 sehingga tidak tercapainya keadilan dan kebahagian pada

usia anak.

b) Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan, yang membatasi syarat minimal umur untuk

menikah bagi pria dan wanita minimal 19 (sembilan belas)

tahun; Menimbang, bahwa in casu anak Pemohon I dan

Pemohon II (ANAK) pada saat ini masih berumur 17 (tujuh

belas) tahun 7 (tujuh) bulan dan akan menikah dengan calon

suaminya yang bernama Rido Putra bin Bujang Anam. Dengan

104
demikian anak Pemohon I dan Pemohon II belum memenuhi

syarat minimal umur bagi calon isteri. Namun berdasarkan

fakta-fakta persidangan terbukti bahwa hubungan anak

Pemohon I dan Pemohon II dengan calon suaminya sudah

sangat dekat, sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam

pergaulan yang terlarang, baik secara agama maupun secara adat

Menurut penulis pertimbangan hakim dalam hal ini salah karena

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku pada Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 terkait umur anak adalah

18 tahun, Pasal 26 Huruf C bahwa orang wajib dan bertanggung

jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

Pertimbangan hakim dalam meberikan penetapan

dispensasi kawin dalam permohonan ini salah karna anak

pemohon pada pendidikanya tidak pernah menyelesaikan

sekolahnya hal ini tentu bertentangan dengan Perma Nomor 5

Tahun 2012 terkait pemahaman orang tua terkait resiko dari

keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 Tahun

c) Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, ketentuan minimal soal umur dapat disimpangi

dengan meminta dispensasi kepada pengadilan yang ditunjuk

oleh kedua orang tua atau salah satu orang tua dari calon

mempelai dengan alasan sangat mendesak

105
Pertimbangan ini salah karna terkait minimal umur yang dapat

diupayakan dengan pertimbangan bahwa dengan alasan yang

mendesak diamanatkan dalam Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan Yang dimaksud

dengan "alasan sangat mendesak" adalah keadaan tidak ada

pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan

perkawinan. Yang dimaksud dengan "bukti-bukti pendukung

yang cukup" adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa

usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan

surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung

pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat

mendesak untuk dilaksanakan.

d) Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan anak

Pemohon I dan Pemohon II sudah tidak bersekolah lagi, telah

matang secara fisik, sehat lahir dan bathin serta telah siap untuk

melaksanakan tugas sebagai seorang istri. Dengan demikian

anak Pemohon I dan Pemohon II dinilai telah memiliki

kemampuan (istitha’ah) untuk hidup berumah tangga sesuai

dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974

e) Pasal 7 ayat 1 Undang_Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

106
‫درأ املفاسد مقدم على جلب املصال‬

Artinya: Menolak kemudaratan harus diutamakan/ didahulukan

dari pada memelihara kemaslahatan;

5) Masalah hukum dalam putusan :

Hasil penetapan perkara yang penulis teliti tidak ada

satupun yang menyatakan betapa sangat mendesaknya situasi ini

sesuai dengan amanat Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 :

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan


umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua
pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.

Penerapan dispensasi perkawinan yang terjadi

dipengadilan agama tidak terlaksana dengan sepenuhnya sesuai

dengan amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam

melaksanakan hukum acara dispensasi perkawinan tidak

mempertimbangan secara pasti terkait kepentingan terbaik bagi

anak, sehingga penetapan dispensasi perkawinan yang diberikan

oleh hakim bisa bertentangan dengan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 Pemerintah

dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan

dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. kondisi

mental dan psikologis anak, terbukti dengan tidak

107
melaksanakan, didalam pertimbangan hakim hanya menanyakan

terkait keinginan sekolah atau niat untuk melanjutkan

Pendidikan, tidak adanya standrisasi terkait kategori perkwinan

yang mendesak. Pengadilan agama wilayah sebagai tempat

berdomisili pemohon belum memenuhi Perma Nomor 5 Tahun

2019 dalam pasal 15 terkait dengan pemeriksaan dalam beracara

dispensasi perkawinan hakim diminta untuk dapat

mendengarkan ahli Pasal 15 huruf (d) menyatakan “Dalam

memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi perkawinan

hakim dapat :(d) meminta rekomendasi dari Psikolog atau

Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan

Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan

anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah

(KPAI/KPAD).

6) Penerapan peraturan perundang-undangan, yuris prudensi atau

doktrin yang terlaksana tidak sepenuhnya

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak yakni Orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk:

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya;

108
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak;

7) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Kesimpulan dari penetapan Nomor.19/Pdt.P/2021

penetapan yang diberikan oleh hakim walaupun mengisi

pertimbangan terkait Pendidikan anak namun hanya

menyampaikan terkait keinginan tidak ingin sekolahnya anak

pemohon, hakim harusnya sebagai pihak dari mahkamah agung

ikut serta dalam upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan

anak, karena sejatinya umur anak adalah masanya untuk dapat

melanjutkan perkawinan, mengembangkan potensi diri, karena

perkawinan tidak hanya untuk menghindari dari zina semata,

melihat pada fakta-fakta yang ada. anak yang putus sekolah tidak

dapat melanjutkan Pendidikan, kemungkinan dari tidak siapnya

organ reproduksi, anak yang masih belum dewasa dipaksa untuk

dapat hidup dan bertanggung jawab atas drinya yang harusnya

merupakan anak masih menjadi tanggung jawab orangtua.

Beberapa fakta tersebut penulis meniliti untuk mengharapkan

terjadinya permohonan dispensasi kawin yang memang sesuai

dengan ketentuan beracara sesuai dengan amanat perma nomor 5

tahun 2019 dengan adanya pelaksnaan pada perma ini diharapkan

akan menekan jumlah terjadinya perkawinan diusai anak.

Analisis Penulis

109
a. Pendidikan minimal SMP Pasal 48 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

untuk semua Anak, Penetapan apada perkara ini anak pemohon

belum menyelesaikan SD yang dimana seharusnya sianak dapat

diwajibkan mengikuti pendidikan setidaknya SD

b. Alasan tidak terlaksananya pasal 15 Perma Nomor 5 Tahun 2019

dalam permohonan dispensasi kawin tidak adanya anggaran dan

fasilitas terkait menghadirkan keterangan ahli terkait dengan

alasan hakim untuk fasilitas mendengarkan nasehat pihak

psikolog sesuai amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pengadilan

Agama Koto Baru dapat memintakan pemenuhan tersebut kepada

pemenrintah daerah Kabupaten Solok sesuai dengan amanat :

Pasal 71E (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung

jawab menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan. terkait

ketidak sanggupan pemohon dalam menghadirkan pendapat para

ahli sesuai dengan amanat pasal 15 mahkamah agung juga

mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2014 tentang pedoman

pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di

pengadilan untuk menjamin akses keadilan bagi anak sebagai

pihak yang diajukan permohonan dispensasi kawin, khususnya

anak perempuan yang menjadi target utama perkawinan anak.

kehadiran perma ini menjadi bagian dalam diskusi peluncuran

110
buku saku sebagai bentuk dukungan mahkamah agung agar

kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam

permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh anggota

masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara.

Hal ini diatur pada teori kepastian hukum dimana teori ini

memberikan garis besar yang membedakan terkait larangan dan

hal yang boleh dilakukan terkait dengan dispensasi kawin yang

sudah diatur pada Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman

mengadili dispensasi kawin sehingga memiliki kejelasan hukum

dari yang sebelumnya tidak diatur bagaimana acara berdispensasi

namun masih perlu adanya konsistensi dalam suatu putusan

hakim karna masih belum jelas apa yang dikategorikan bukti-

bukti pendukung yang cukup dan ketentuan terkait alasan yang

sangat mendesak karena hasil penilitian penulis masih banyaknya

alasan yang sebenarnya belum dikategorikan mendesak dan bukti-

bukti yang cukup sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perkawinan namun memperoleh penetapan

dispensasi kawin.

3. Penetapan Nomor.50/Pdt.P/2021/PA.Kbr

1) Indetitas :

Pemohon: Diajukan pada 11 Februari 2021 oleh orangtua terdiri

pemohon I Rosnapis binti Maliek, tempat dan tanggal lahir, Koto

Laweh, 01 Juni 1975, agama Islam, pendidikan terakhir tidak

111
sekolah, pekerjaan petani, alamat Jorong Kubang Rabah, Nagari

Koto Laweh, Kecamatan Lembang Jaya, Provinsi Sumatera Barat,

Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (MR): tanggal lahir 05 Agustus 2003 (18 Tahun sebelas

bulan) pendidikan terakhir tamat SD , belum bekerja

2) Alasan mengajukan dispensasi perkawinan: Bahwa hubungan anak

Pemohon (MR) dengan (Calon Suami) akan dilanjutkan sampai ke

jenjang perkawinan, namun sewaktu pengurusan proses pernikahan

anak Pemohon (MR) dengan (Calon Suami), ditolak oleh Kantor

Urusan Agama Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok

Provinsi Sumatera Barat dengan alasan anak Pemohon selaku calon

mempelai perempuan belum mencapai umur 19 tahun

3) Alasan untuk menikah : anak Pemohon I dan Pemohon II telah

lama menjalin hubungan dengan anak Pemohon sudah sangat

serius dan kami telah melakukan hubungan suami istri sehingga

anak Pemohon sekarang hamil

4) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 Perma Nomor 5 Tahun 2019

tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

perkawinan, Pemohon sebagai orang tua kandung memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara

a quo

112
b) bahwa permohonan pemohon termasuk dalam bidang

perkawinan, maka berdasarkan Pasal 49 huruf (a) Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka

perkara ini termasuk kewenangan absolut Pengadilan Agama

c) Hakim telah memberi nasehat kepada Pemohon, anak

Pemohon, calon suami anak Pemohon dan orang tua calon

suami anak Pemohon untuk menunda pernikahan anak

Pemohon, sampai anak tersebut telah mencapai usia yang

ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan. Nasehat tersebut berkaitan dengan potensi

berhentinya pendidikan anak dan keberlanjutan pendidikannya,

kesiapan organ reproduksi anak, dampak ekonomi, sosial dan

psikologis anak serta potensi perselisihan dan kekerasan dalam

rumah tangga. Dengan demikian ketentuan Pasal 12 ayat (2)

Perma Nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi perkawinan telah terpenuhi;

d) Pasal 14 ayat (1) Perma Nomor 5 Tahun 2019, Hakim sudah

mendengarkan keterangan anak Pemohon, calon suami anak

Pemohon dan wali calon suami anak Pemohon. Dari

keterangan Pemohon Hakim menemukan fakta bahwa

Pemohon berkomitmen untuk ikut bertanggung jawab jika ada

113
masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan anak

Pemohon

e) Bukti P.5 berupa fotokopi Kutipan Akta Kelahiran atas nama

anak Pemohon dan bukti P.6 berupa fotokopi Kartu Tanda

Penduduk (KTP) atas nama anak Pemohon, terbukti bahwa

Mardania Ramadhan adalah anak kandung Pemohon.

Berdasarkan ketiga alat bukti tersebut juga terbukti bahwa

Mardania Ramadhan masih berusia 17 (tujuh belas) tahun 6

(enam) bulan, atau belum mencapai batas minimal usia untuk

melaksanakan pernikahan yang ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan

f) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum, anak

Pemohon belum patut untuk dinikahkan tetapi hubungan anak

Pemohon dengan calon suaminya sangat erat dan anak

Pemohon sekarang dalam keadaan hamil, sehingga pernikahan

anak Pemohon sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Oleh karena itu pemberian Dispensasi perkawinan untuk anak

Pemohon telah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (2)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pendapat Hakim juga didasari oleh qaidah

fiqhiyah berikut:

‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬

114
Artinya : ”Menolak kerusakan haruslah didahulukan dari pada

menarik kemaslahatan”;

5) Masalah hukum dalam putusan :

Masalah hukum dalam putusan menurut penulis pada legal

reasoning-nya hakim dapat memberikan penetapan berdasarkan

pada fakta hukum yang ada dengan merujuk keterangan dari

orang tua (pemohon dan calon besan), kedua calon mempelai dan

saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan. Lebih luas lagi,

penetapan hakim juga harus mempertimbangkan berbagai sudut

pandang baik secara syar’i, yuridis, sosiologis dan juga

pertimbangan kesehatan.

Diatur pada maqashidu al syariah (tujuan hukum Islam),

hemat penulis sebagaimana dikemukan oleh A. Khisni bahwa

paling tidak ada tiga hal utama yang harus dipertimbangan dalam

menjatuhkan penetapan dispensasi nikah yakni harus mengacu

pada :

Keselamatan jiwa anak yang berkaitan dengan tujuan

perlindungan terhadap jiwa (hifzhun al nafs). Kelanjutan

pendidikan anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan

terhadap akal (hifzhu al aql); dan Keselamatan keturunan yang

115
berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap keturunan (hifzhu

alnasl). Sesuai dengan teori efektifitas hukum Penerapan

dispensasi perkawinan yang terjadi dipengadilan agama tidak

terlaksana dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat Perma

Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam melaksanakan hukum acara

dispensasi perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti

terkait kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan

dispensasi perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9

(sembilan) tahun untuk semua Anak. kondisi mental dan

psikologis anak, terbukti dengan tidak melaksanakan, didalam

pertimbangan hakim hanya menanyakan terkait keinginan sekolah

atau niat untuk melanjutkan Pendidikan, tidak adanya standrisasi

terkait kategori perkawinan yang mendesak. Pengadilan agama

wilayah sebagai tempat berdomisili pemohon belum memenuhi

Perma Nomor 5 Tahun 2019 dalam pasal 15 terkait dengan

pemeriksaan dalam beracara dispensasi perkawinan hakim

diminta untuk dapat mendengarkan ahli Pasal 15 huruf (d)

menyatakan “Dalam memeriksa anak yang dimohonkan

dispensasi perkawinan hakim dapat :(d) meminta rekomendasi

116
dari Psikolog atau Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional,

Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu

Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi

Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD).

6) Penerapan peraturan perundang-undangan, yuris prudensi atau

doktrin yang terlaksana tidak sepenuhnya

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak yakni Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk:

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya;

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan Pasal 15 dan Pasal 20

7) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Hasil dari analisis pertimbangan hakim pada perkara ini

yakni hakim menyatakan kondisi anak pemohon yang saat ini

hamil sudah termasuk dalam keadaan mendesak sehingga

pentingnya untuk segera memperoleh hasil penetapan dispensasi

kawin oleh peradilan agama, sehingga masih kurang jelasnya garis

hukum terkait dengan keadaan mendesak dalam memberikan

117
dispensasi kawin oleh hakim. Harusnya dalam penetapan perkara

layaknya hakim juga mengiringi dengan adanya norma asusila

dalam masyarakat layaknya hubungan suami istri yang sudah

dilakukan oleh anak pemohon dan calon suaminya, hal ini tidak

disampaikan oleh hakim dalam pertimbangannya. Kesimpulan

yang penulis peroleh terhadap perkara dispensasi yang sudah hamil

pengadilan umumnya akan mempermudah proses beracara

dispensasi kawin yang nantinnya tentu akan berpengaruh pada

proses hukum beracara dispensasi kawin selanjutnya.

Pada Penetapan Nomor.50/Pdt.P/2021pa.Kbr disini penulis

melakukan analisis dengan model koherensi, sedikit diterangkan

terlebih dahulu koherensi yakni kesesuaian anatara putusan pada

pertimbangan satu dengan lainya dengan melihat hasil dari

pertimbangan hakim kesimpulan yang penulis peroleh hakim

dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan untuk penetapan

dispensasi kawin harusnya berdasarkan pada fakta hukum yang

ada dengan merujuk keterangan dari orang tua (pemohon dan

calon besan), kedua calon mempelai dan saksi-saksi yang

dihadirkan dipersidangan. Lebih luas lagi, penetapan hakim juga

harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang baik secara

syar’i, yuridis, sosiologis dan juga pertimbangan kesehatan.

4. Penetapan Nomor 55/Pdt.P/2021/PA.Kbr

1) Indetitas perkara :

118
Dil Fitri bin Daraini, tempat/ tanggal lahir Muara Panas/ 16 April

1967, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan wiraswasta, tempat

tinggal di Jorong Koto Kaciek, Nagari Muaro Paneh, Kecamatan

Bukit Sundi, Kabupaten Solok, sebagai Pemohon I; Jusnaweri binti

Sawi, tempat/ tanggal lahir Muara Panas/ 4 Juni 1971, agama

Islam, pendidikan SMP, pekerjaan mengurus rumah tangga, tempat

tinggal di Jorong Koto Kaciek, Nagari Muaro Paneh, Kecamatan

Bukit Sundi, Kabupaten Solok, sebagai Pemohon II; Selanjutnya

Pemohon I dan Pemohon II disebut sebagai para Pemohon

Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (MR): tanggal lahir 05 Agustus 2003 (18 Tahun sebelas

bulan) pendidikan terakhir tamat SD , belum bekerja

2) Alasan mengajukan dispensasi perkawinan : Bahwa hubungan anak

Pemohon (MR) dengan (Calon Suami) akan dilanjutkan sampai ke

jenjang perkawinan, namun sewaktu pengurusan proses pernikahan

anak Pemohon (MR) dengan (Calon Suami), ditolak oleh Kantor

Urusan Agama Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok

Provinsi Sumatera Barat dengan alasan anak Pemohon selaku calon

mempelai perempuan belum mencapai umur 19 tahun

3) Alasan untuk menikah : anak pemohon I dan pemohon II telah

lama menjalin hubungan dengan anak pemohon sudah sangat

serius dan kami telah melakukan hubungan suami istri sehingga

anak pemohon sekarang hamil

119
4) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) Hakim telah memberi nasehat kepada Pemohon, anak Pemohon,

calon suami anak Pemohon dan orang tua calon suami anak

Pemohon untuk menunda pernikahan anak Pemohon, sampai

anak tersebut telah mencapai usia yang ditetapkan oleh Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Nasehat

tersebut berkaitan dengan potensi berhentinya pendidikan anak

dan keberlanjutan pendidikannya, kesiapan organ reproduksi

anak, dampak ekonomi, sosial dan psikologis anak serta potensi

perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan

demikian ketentuan Pasal 12 ayat (2) Perma Nomor 5 tahun

2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

perkawinan telah terpenuhi;

Pertimbangan

b) Bukti P.5 berupa fotocopy kutipan akta kelahiran atas nama anak

pemohon dan bukti P.6 berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk

(KTP) atas nama anak pemohon, terbukti bahwa Mardania

Ramadhan adalah anak kandung pemohon. Berdasarkan ketiga

alat bukti tersebut juga terbukti bahwa Mardania Ramadhan

masih berusia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan, atau belum

mencapai batas minimal usia untuk melaksanakan pernikahan

yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

120
Pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan dispensasi

kawin pada anak sesuai dengan pengertian bahwa anak menurut

Pasal 35 tahun 2014 anak dalam pasal 1 ayat 1: Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga

bertentangan dengan pasal 26 ayat 1 : Orang tua berkewajiban

dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada

usia Anak.

c) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum, anak

Pemohon belum patut untuk dinikahkan tetapi hubungan anak

Pemohon dengan calon suaminya sangat erat dan anak Pemohon

sekarang dalam keadaan hamil, sehingga pernikahan anak

Pemohon sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan. Oleh

karena itu pemberian Dispensasi perkawinan untuk anak

Pemohon telah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (2)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pendapat Hakim juga didasari oleh qaidah fiqhiyah berikut:

‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬

Artinya : ”Menolak kerusakan haruslah didahulukan dari pada

menarik kemaslahatan”;

121
Pertimbangan hakim dalam hal ini sudah benar dan memang

dapat dikategorikan mendesak karna ada anak yang akan

dilahirkan oleh anak pemohon

5) Masalah hukum dalam putusan :

Penerapan dispensasi perkawinan yang terjadi dipengadilan

agama tidak terlaksana dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat

Perma Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam melaksanakan hukum

acara dispensasi perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti

terkait kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan

dispensasi perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9

(sembilan) tahun untuk semua Anak. kondisi mental dan

psikologis anak, terbukti dengan tidak melaksanakan, didalam

pertimbangan hakim hanya menanyakan terkait keinginan sekolah

atau niat untuk melanjutkan Pendidikan, tidak adanya standrisasi

terkait kategori perkawinan yang mendesak. Pengadilan agama

wilayah sebagai tempat berdomisili pemohon belum memenuhi

Perma Nomor 5 Tahun 2019 dalam pasal 15 terkait dengan

122
pemeriksaan dalam beracara dispensasi perkawinan hakim

diminta untuk dapat mendengarkan ahli Pasal 15 huruf (d)

menyatakan “Dalam memeriksa anak yang dimohonkan

dispensasi perkawinan hakim dapat :(d) meminta rekomendasi

dari Psikolog atau Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional,

Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu

Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi

Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD).

6) Penerapan peraturan perundang-undangan, yuris prudensi atau

doktrin yang terlaksana tidak sepenuhnya :

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak yakni orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk:

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya;

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan Pasal 15 dan Pasal 20

7) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Hakim dalam melaksanakan persidangan dispensasi kawin

harusnya ada upaya selain dari memberikan nasehat terkait

123
memberitahu berhentinya pendidikan anak, banyak upaya yang

bisa dilakukan terkait dengan melakukan sosialisasi dari

melanjutkan perkawinan, mengsosialisasikan bahwa perkawinan

pada usia anak bukanlah suatu jalan keluar dari menghindari

norma asusila dan pandangan dimasyarakat. Dampak sosial

suatu putusan dispensasi kawin pada kawin hamil untuk

mengetahui pengaruh putusan/penetapan pengadilan dalam

masyarakat maka terlebih dahulu memperhatikan tujuan hukum.

Sesuai dengan teori efektifitas imana menurut Van Apeldorn

tujuan hukum mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan

adil. Putusan hakim harus memberi konstribusi kepada budaya

hukum (legal culture) yang menjadi motor penggerak sistem

hukum sehingga putusan hakim hendaknya memenuhi rasa

keadilan masyarakat secara sosiologis,filosofis, dan yuridis.

Hakim dalam memutus perkara hendaknya diupayakan

mengandung nilai-nilai sebagai cita hukum (Rechtsidee)

Sehingga kedepannya orangtua punya dan mengetahui

terkait dan alasan yang dianggap cukup mendesak agar layak

seorang anak dibawah umur untuk menikah bukan hanya karna

alasan saling suka dan memperoleh restu orang tua, karena

mengingat bahwa Perma Nomor 5 Tahun 2019 ini bertujuan

untuk mengurangi dan meghindari terjadinya perkawinan

dibawah umur sesuai dengan Pasal

124
5. Penetapan Nomor.56/Pdt.P/2021/PA.Kbr

1) Identitas :

Safriono bin Arneldi, tempat, tanggal lahir: Sei Nanam, 11 Februari

1975, agama: Islam, pendidikan terakhir: SD, Pekerjaan: petani,

alamat: Jorong Data Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah

Gumanti, Kabupaten Solok, sebagai Pemohon I; Febri Syafputri

binti Safriono, tempat, tanggal lahir: Air Dingin, 07 Februari 2004,

agama: Islam, pendidikan terakhir: SLTP, pekerjaan: tidak bekerja,

alamat: Jorong Data Nagari Aie Dingin Kecamatan Lembah

Gumanti, Kabupaten Solok, sebagai Pemohon II;Anak yang

dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (FS): tanggal lahir 07 Februari 2004 (16 Tahun ) pendidikan

terakhir tamat SMP , belum bekerja

2) Alasan mengajukan dispensasi perkawinan:

Hubungan anak Pemohon (FS) dengan (Calon Suami) akan

dilanjutkan sampai ke jenjang perkawinan, namun sewaktu

pengurusan proses pernikahan anak Pemohon (FS) dengan (Calon

Suami), ditolak oleh kantor urusan agama kecamatan Lembah

Gumanti, Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat dengan

alasan anak pemohon dan calon suami selaku calon mempelai

perempuan belum mencapai umur 19 tahun

125
3) Alasan untuk menikah : anak pemohon I dan pemohon II telah

lama menjalin hubungan dengan anak pemohon sudah sangat

serius dan kami saling mencintai

4) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) Berdasarkan Pasal 49 (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-

Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama

islam, diantaranya bidang perkawinan yang salah satunya

perkara permohonan dispensasi kawin bagi orang-orang

bahwa permohonan pemohon termasuk dalam bidang

perkawinan, maka berdasarkan Pasal 49 huruf (a) Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, maka perkara ini termasuk kewenangan absolut

Pengadilan Agama

Pertimbangan hakim sudah benar dan sesuai

b) Menimbang, bahwa dengan adanya keseimbangan

mendapatkan hak- hak anak, maka tentunya anak itu sendiri

memiliki kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 19

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, diantaranya:

126
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. Melaksanakan etika Pasal 14 ayat (1) Perma Nomor 5

Tahun 2019,

Hakim sudah mendengarkan keterangan anak pemohon,

calon suami anak pemohon dan wali calon suami anak pemohon.

dari keterangan pemohon hakim menemukan fakta bahwa

pemohon berkomitmen untuk ikut bertanggung jawab jika ada

masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan anak

pemohon

Pertimbangan dianggap salah karna hakim disini hanya

mendengarkan keterangan dari anak pemohon, calon suami anak

pemohon dan wali calon suami anak pemohon. Namun tidak

mendengarkan keterangan para ahli sesuai dengan amanat

ketentuan Perma Nomor 5 tahun 2019 Pasal 15 yakni:

“Dalam memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi


perkawinan hakim dapat :(d) meminta rekomendasi dari
Psikolog atau Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi
Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD).”

Pentingnya peran tenaga ahli kesehatan pada hal ini

diperlukan karna subjek hukum yang sedang beracara adalah

127
anak, yang masih memenuhi syarat seorang anak yang masih

melekat hak dan kewajiban orang tuanya untuk menghindari

terjadinya perkawinan anak dimana diketahui perkawinan anak

mempunyai dampak yang banyak berupa kesiapan organ

reproduksi, kesiapan psikis anak yang memang tidak dapat

diketahui oleh hakim karena memang harus memiliki keilmuan

khusus dibidangnya karna itu dibutuhkan ahli yang diluar

kepengetahuan hakim

c) Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan memberikan toleransi yang cukup besar

terhadap perkawinan dengan adanya batasan umur, dimana usia

perkawinan bagi perempuan dan bagi laki-laki sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun. Pasal tersebut dinilai telah

memberikan batas toleransi bagi pihak-pihak terkait dengan

perlindungan anak untuk mempersiapkan anak memasuki masa

perkawinan, sehingga upaya perlindungan anak dapat dilakukan

secara maksimal sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1

128
angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak

Pertimbangan hakim dianggap salah karna dapat disangkal

sesuai dengan pendapat Lilik Mulyadi harusnya dalam

memberikan pertimbangan yang baik tidak dapat disangkal dan

tidak terlaksanya hukum positif pada pelaksanaan dispensasi

kawin menjelaskan upaya perlindungan secara maksimal apa yang

dijelaskan dalam hal ini Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

menjelaskan upaya perlindungan terkait anak yang berhadapan

dengan hukum, penulis menafsirkan bentuk perlindungaan yang

bisa dilakukan dengan diadakanya ruangan khusus persidangan

anak yang dimana sekarang persidangan dispensasi kawin masih

di ruangan sidang umum, perlu adanya pelaksanaan

mendengarkan keterangan ahli kesehatan, tenaga perlindungan

perempuan dan anak sesuai dengan pasal 15 Huruf h Perma

Nomor 5 Tahun 2019.

d) Menimbang, bahwa selain dari adanya keterbatasan pihak orang

tua dalam menumbuh kembangkan anak, pihak lain juga terkait

untuk mengimplementasikan upaya perlindungan anak,

diantaranya keluarga, masyarakat (perorangan, keluarga,

kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi

kemasyarakatan), pemerintah dan negara, sebagaimana dimaksud

129
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Pemberian pertimbangan hakim harusnya disesuaikan

dengan pengimplementasian amanat Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 terkait bagian penjelasan dimana didalamnya pada

memastikan terlaksananya ketentuan ini, Pemerintah melakukan

sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai

pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan

perkawinan tidak tercatat demi terwujudnya generasi bangsa yang

lebih unggul. Hal ini selasaran dengan Undang-Undang

Perlindungan anak Pasal 71E Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak Ayat (1) : Pemerintah dan

pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan dan

penyelenggaraan perlindungan anak.Sehingga tidak ada alasan

untuk tidak terlaksanaya Pasal 15 Perma Nomor 5 Tahun 2019

secara keseluruhan

e) Menimbang, bahwa adanya keterlibatan semula pihak dalam

rangka perlindungan anak sejalan dengan pemikiran seorang

ulama Fikih K.H. Ali Yafie yang melakukan gagasan tentang

Fikih Sosial, yang diambil menjadi pendapat Hakim, dimana

pengambilan keputusan hukum fikih harus bersifat kontekstual

dan mengutamakan kemaslahatan dan keadilan, yang

implementasinya diambil dari kontekstualisasi konsep fardhu

130
kifayah; Menimbang, bahwa gagasan dan pemikiran K.H. Ali

Yafie (Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup,

Asuransi hingga Ukhuwah. Bandung: Mizan, hal. 161) melakukan

suatu pemaknaan, dimana fardhu ‘ain merupkan kewajiban

individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan

pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan

hidupnya, dan yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial

kemasyarakatan dan merupakan tugas kolektif untuk

pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam

mencapai kemaslahatan umum..

f) Menimbang, bahwa implementasi Pasal 20 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak sudah menjadi persoalan bersama

yang harus mendapat perhatian utama, dengan demikian tidak

terselenggaranya hal tersebut di atas, orang tua dan atau keluarga

anak harus sedapat mungkin telah melakukan langkah-langkah

konkrit untuk dapat terselenggaranya perlindungan anak, namun

dengan adanya pembatasan umur / usia pernikahan sebagaimana

Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

131
g) Menimbang, bahwa adanya penyimpangan dari Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu seperti yang

diuraikan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dapat dimaknai pembolehan melangsungkan

pernikahan kepada pasangan calon istri yang belum mencapai

batas minimal usia perkawinan sepanjang adanya kajian dan

analisa serta pertimbangan pengadilan

Pertimbangan hakim sudah sangat benar namun hakim harus

memerhatikan bagaimana pengimplementasian yang dimanatkan

undang-undang seperti upaya untuk perlidungan anak dan

perempuan seperti amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 15

Huruf H.

h) Menilik kembali Pasal 7 ayat (2), tentang pemberian dispensasi

perkawinan bagi anak yang belum mencapai umur dewasa (19

tahun bagi laki-laki dan perempuan), sebenarnya bertujuan untuk

kemaslahatan anak itu sendiri. Pemberian izin tersebut juga harus

didasari pada kepentingan mendesak, yang tujuannya tetap untuk

kemaslahatan anak, bukan kemaslahatan orang tuanya, namun

dengan tetap berpegang pada upaya maksimal seluruh komponen

terkait penyelenggaraan perlindungan anak, sebagaimana

dimaksud Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo.

132
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

i) Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon I dan

Pemohon II, anak Pemohon I dan Pemohon II, calon suami anak

Pemohon I dan Pemohon II, bukti surat dan saksi-saksi yang telah

diajukan di persidangan, keadaan kedekatan anak Pemohon I dan

Pemohon II dengan calon pasangannya, sehingga pertimbangan

moralitas, agama, adat dan sosial lebih dikedepankan, agar

perilaku yang menyimpang dari kebiasaan kesalahan dan dosa

akibat berhubungan tersebut tidak lebih jauh lagi serta demi

kemaslahatan hubungan keduanya

j) Menimbang, bahwa kondisi sebagaimana tersebut di atas, sejalan

dengan praktik aplikatif dalam kehidupan sosial sehari-hari dikenal

dengan gerakan preventif lebih baik daripada sikap reaktif, dalam

gerakan aplikatif, kaidah ini menuntut pemikiran spekulatif,

antisipatif-proyektif, dan progresif, seperti berikut: ‫الدفح أولى من الرفع‬

Artinya: Mencegah lebih utama daripada menghilangkan

Menimbang, bahwa dengan uraian dan penjelasan tersebut di atas,

Hakim dihadapkan pada dua pertimbangan antara memenuhi legal

formal pernikahan sebagaimana keinginan atas batasan umur calon

mempelai dengan terpenuhinya maqasid syariah yang akan

menghindarkan keduanya bergaul lebih jauh, agar tidak terjerumus

133
melakukan perbuatan yang melanggar norma agama, moral dan

adat, dimana konsekuensinya perlu segera dinikahkan itu untuk

menghalalkan bagi keduanya guna bergaul lebih intim, terlebih

kedua calon mempelai telah saling mencintai dan siap secara fisik

dan mental untuk menanggung segala resiko dalam rumah

tangganya kelak, serta sudah adanya upaya maksimal pihak terkait

dalam rangka perlindungan anak, sehingga kondisi ini sesuai

dengan kaidah yang berbunyi: ‫ الضرر الشد يزال بالضرر الخف‬Artinya :

“Kerusakan yang lebih berat boleh dihilangkan dengan

mendatangkan kerusakan yang lebih ringan” Dan sesuai dengan

kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: ‫الح‬PP‫دم علي جلب المص‬PP‫د مق‬PP‫درأ المفاس‬

Artinya : Menolak kemudaratan harus diutamakan/didahulukan

daripada memelihara kemaslahatan; ‫دفح أولى من الرفع‬PPPP‫ ال‬Artinya:

Mencegah lebih utama daripada menghilangkan Menimbang,

bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, telah

terdapat cukup alasan untuk mempertimbangkan permohonan

Pemohon I dan Pemohon II a quo, meskipun perkawinan yang akan

dilakukannya tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hal ini

sejalan dengan tujuan dari dilakukan perkawinan itu sendiri dalam

kerangka melindungi agama anak pemohon i dan pemohon ii dan

calon suami anak pemohon i dan pemohon ii (hifz al-din), karena

fakta yang telah terungkap menunjukkan kondisi dan perilaku

134
sosial serta adanya pelanggaran norma yang telah dilakukan, malah

sampai pada tingkat kebutuhan yang bersifat keharusan

(dharuriyah) dengan asumsi bilamana perkawinan itu tidak

dilakukan, maka hubungan anak Pemohon I dan Pemohon II

dengan calon suaminya, akan mendatangkan kerugian (madharat)

bagi kepentingan mereka dan keluarga besar kedua belah pihak

tersebut.

Pada Pertimbangan hakim dalam memasukkan ketentuan

fiqih dalam upaya mencegah kerusakan lebih berat karena

sebenarnya perkawinan yang baik itu harusnya diimbangi dengan

persipan yang baik. Dari segi kesiapan mental,organ reproduksi

anak yang belum siap tentunya nanti akan menjadi permasalahan

pada kehidupan anak nantinya, kesiapan mental anak pada usia

yang masih kecil untuk mampu mengurus rumah tangganya.

Sehingga nanti kedepannya akan berkurang juga tingkat keluarga

miskin di Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan

masyarakat.

5) Masalah hukum dalam putusan :

Penerapan dispensasi perkawinan yang terjadi dipengadilan

agama tidak terlaksana dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat

Perma Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam melaksanakan hukum

acara dispensasi perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti

terkait kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan dispensasi

135
perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

untuk semua Anak. kondisi mental dan psikologis anak, terbukti

dengan tidak melaksanakan, didalam pertimbangan hakim hanya

menanyakan terkait keinginan sekolah atau niat untuk melanjutkan

pendidikan, tidak adanya standrisasi terkait kategori perkawinan

yang mendesak. Pengadilan agama wilayah sebagai tempat

berdomisili pemohon belum memenuhi Perma Nomor 5 Tahun 2019

dalam pasal 15 terkait dengan pemeriksaan dalam beracara

dispensasi perkawinan hakim diminta untuk dapat mendengarkan

ahli Pasal 15 huruf (d) menyatakan “Dalam memeriksa anak

yang dimohonkan dispensasi perkawinan hakim dapat :(d) meminta

rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial

Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu

Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan

Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD).

6) Penerapan Peraturan Perundang-Undangan, Yuris Prudensi Atau

Doktrin Yang Terlaksana Tidak Sepenuhnya

136
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

yakni Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. Menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

dan minatnya;

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan Perma

Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi

perkawinan Pasal 15 dan Pasal 20

7) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Dalam Penetapan Nomor.56/Pdt.P/2021/Kbr analisis penulis melihat

pada :

Pendidikan minimal SMP Pasal 48 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

untuk semua anak. Namun pemberian dispensasi kawin dibolehkan

dengan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perkawinan alam hal terjadi penyimpangan terhadap

ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak

pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada

Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti

pendukung yang cukup. dimaksud dengan "alasan sangat mendesak"

137
adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus

dilangsungkan perkawinan.

Bukti-bukti pendukung yang cukup yang dimaksud adalah surat

keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah

ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan

yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut

sangat mendesak untuk dilaksanakan. Sesuai degan teori kepastian

hukum dimana dalam suatu aturan hukum memberikan kepastian

terkait dengan ketentuan apa-apa saja bukti yang harus ada didalam

beracara dispensasi kawin karena sejauh ini menurut penelitian

penulis belum adanya konsistensi dalam setiap penetapan hakim

terkait bukti-bukti pendukung yang cukup dan hal yang dianggap

medesak.

Tidak adanya anggaran dan fasilitas terkait menghadirkan

keterangan ahli terkait dengan alasan hakim untuk fasilitas

mendengarkan nasehat pihak psikolog sesuai amanat Perma Nomor 5

Tahun 2019 Pengadilan Agama Koto Baru dapat memintakan

pemenuhan tersebut kepada pemenrintah daerah Kabupaten solok

sesuai dengan amana Pasal 71E (1) Pemerintah dan pemerintah daerah

bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan perlindungan.

Sesuai dengan teori efektifitas hukum tidak tersenggalaranya pasal 15

Perma Nomor 5 Tahun 2019 ini dan tidak tercapai dari tujuannya

yakni untuk mengurangi terjadinya perkawinan anak yang malah

138
sebaliknya semenjak disahknya Perma Nomor 5 Tahun 2019

terjadinya peningkatan kasus dispensasi kawin yang sangat signifikan.

6. Penetapan Nomor.58/Pdt.P/2021/pa.Kbr

1) Indetitas :

Permohonan diajukan pada 19 Februari 2021 oleh Gustiardam bin

Asnan, tempat / tanggal lahir Tanjung Bingkung / 23 Agustus

1969,`agama islam, pendidikan SD, pekerjaan tani ladang, alamat di

Jorong Sambuang Sambuang, Nagari Tanjung Bingkung, Kecamatan

Kubung, Kabupaten Solok;, selanjutnya disebut Pemohon I; Rodiana

binti Mursiadi, tempat / tanggal lahir Palembang / 06 Juni

1971,`agama islam, pendidikan SD, pekerjaan mengrus rumah tangga,

alamat di Jorong Sambuang Sambuang, Nagari Tanjung Bingkung,

Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Selanjutnya disebut sebagai

pemohon II;

Anak yang dimintakan dispensasi perkawinan :

Insial (RV) : tanggal lahir 01 Oktober 2002 (18 Tahun Empat Bulan )

pendidikan terakhir tamat SMP , belum bekerja

2) Alasan mengajukan dispensasi perkawinan:

Anak Pemohon I dan Pemohon II dengan calonnya tersebut karena

keduanya sudah berpacaran dan saling mencintai satu sama lain sejak

tiga tahun belakangan. Anak Pemohon I dan Pemohon II sudah

menyatakan kehendaknya untuk menikah dan saat ini Pemohon I dan

Pemohon II tidak mempunyai alasan untuk menolak kehendaknya

139
tersebut karena anak Pemohon I dan Pemohon II dan calon suaminya

tersebut sama-sama sudah mempunyai keinginan yang kuat untuk

menikah

3) Pertimbangan hukum oleh hakim dalam penetapan :

a) diantaranya bidang perkawinan yang salah satunya perkara

permohonan dispensasi nikah bagi orang-orang bahwa permohonan

Pemohon termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan

Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, maka perkara ini termasuk kewenangan absolut

Pengadilan Agama Menimbang, bahwa tujuan pembatasan usia

secara umum dalam undang-undang sebagaimana dijelaskan dalam

penjelasan Undang-undang nomor 4 Tahun 1979 pasal 1 angka 2,

yang menyatakan ”Batas umur ditetapkan oleh karena berdasarkan

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap

kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental”;

Pertimbangan dianggap salah karna hakim disini hanya

mendengarkan keterangan dari anak pemohon, calon suami anak

pemohon dan wali calon suami anak pemohon. Namun tidak

mendengarkan keterangan para ahli sesuai dengan amanat

ketentuan Perma Nomor 5 tahun 2019 Pasal 15 yakni:

“Dalam memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi perkawinan

hakim dapat :(d) meminta rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/

140
Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial,

Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan anak

(P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah

(KPAI/KPAD).”

Hal ini diperlukan karna subjek hukum yang sedang

beraacara adalah anak, yang masih memenuhi syarat seorang anak

yang masih melekat hak dan kewajiban orang tuanya untuk

menghindari terjadinya perkawinan anak dimana diketahui

perkawinan anak mempunyai dampak yang banyak

Berupa kesiapan organ reproduksi,kesiapan psikis anak

yang memang tidak dapat diketahui oleh hakim karena memang

harus memiliki keilmuan khusus dibidangnya karna itu dibutuhkan

ahli yang diluar kepengetahuan hakim

b) Menimbang, bahwa menyadari memberikan dispensasi pada anak

yang masih di bawah umur untuk melangsungkan pernikahan,

akan berakibat negatif, karena hak-hak anak yang semestinya

terlindungi untuk berkembang secara optimal, untuk bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan

minat, bakat dan tingkat kecerdasannya, demi pengembangan diri,

demi terwujudnya anak yang bekualitas akan terhambat. Akan

tetapi di sisi lain anak Pemohon telah menjalin hubungan cinta

dengan calon suaminya selama lebih kurang 3 (tiga) tahun, jika

dibiarkan akan mengakibatkan kerusakan/ dosa yang

141
berkepanjangan dan berdampak buruk bagi anak Para Pemohon;

Menimbang, bahwa selain itu Hakim pun berpendapat tidak

ditentukannya batas umum pernikahan dalam syaNi’at aslam,

bukan suatu kealpaan dalam hukum Islam, melainkan karena

pernikahan bagi manusia dipandang sebagai kebutuhan biologis

setiap makhluk hidup, yang semata_mata tidak didasarkan hanya

atas kematangan dan kecerdasan berfikir, melainkan juga

merupakan dorongan biologis, yang antara satu dengan yang

lainnya berbeda, dan hal tersebut hanya dapat dilihat tanda-tanda

alamiyah bagi anak, dengan tidak menafikan tujuan perkawinan

yang sakral dan mulia;

Menimbang, bahwa oleh sebab hubungan keduanya sudah

sangat erat dan telah lama berpacaran, maka Hakim berpendapat

bahwa untuk menutup jalan kemudharatan yang lebih besar dan

juga demi kemaslahatan semua pihak maka hubungan yang sudah

erat akan lebih bermakna dan bermanfaat bila diikat dalam sebuah

ikatan pernikahan yang sah sehingga dengan adanya ikatan

pernikahan yang sah tersebut maka pelanggaran terhadap norma

agama, norma hukum dan norma sosial yang berkelanjutan dapat

dihindarkan. Pendapat Hakim tersebut searah dengan kaidah

ushul fikih yang berbunyi:

‫درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

142
Artinya : “Menolak mafsadat (yang membahayakan/merusakkan)

lebih didahulukan daripada mengambil maslahat

(kebaikan)”.Menimbang, bahwa adanya keterlibatan semula pihak

dalam rangka perlindungan anak sejalan dengan pemikiran

seorang ulama Fikih K.H. Ali Yafie yang melakukan gagasan

tentang Fikih Sosial, yang diambil menjadi pendapat Hakim,

dimana pengambilan keputusan hukum fikih harus bersifat

kontekstual dan mengutamakan kemaslahatan dan keadilan, yang

implementasinya diambil dari kontekstualisasi konsep fardhu

kifayah; Menimbang, bahwa gagasan dan pemikiran K.H. Ali

Yafie (Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup,

Asuransi hingga Ukhuwah. Bandung: Mizan, hal. 161) melakukan

suatu pemaknaan, dimana fardhu ‘ain merupkan kewajiban

individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan

pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan

hidupnya, dan yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial

kemasyarakatan dan merupakan tugas kolektif untuk

pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam

mencapai kemaslahatan umum

c) Menimbang, bahwa penyimpangan terhadap ketentuan umur

sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16

Tahun 2019, orang tua pihak wanita telah meminta dispensasi

kepada Pengadilan Agama Koto Baru dengan alasan sangat

143
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup

sebagaimana diuraikan di atas. Di samping itu, sebagaimana Pasal

7 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2019 hakim telah mendengarkan

pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan

melangsungkan perkawinan, keduanya saling suka;

Ketentuan terkait pemberian dispensasi kawin

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria

dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada

Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti

pendukung yang cukup. dimaksud dengan "alasan sangat

mendesak" adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat

terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Sehingga alasan suka

sama suka bukanlah suatu keadaan yang dianggap sangat

mendesak menurut tafsir penulis hal ini mengingat pelaksaan

pertimbangan ini berlawanan dengan tujuan Perma Nomor 5

Tahun 2019 mengurangi terjadinya perkawinan anak.

d) Menilik kembali Pasal 7 ayat (2), tentang pemberian dispensasi

perkawinan bagi anak yang belum mencapai umur dewasa (19

tahun bagi laki-laki dan perempuan), sebenarnya bertujuan untuk

kemaslahatan anak itu sendiri. Pemberian izin tersebut juga harus

didasari pada kepentingan mendesak, yang tujuannya tetap untuk

kemaslahatan anak, bukan kemaslahatan orang tuanya, namun

dengan tetap berpegang pada upaya maksimal seluruh komponen

144
terkait penyelenggaraan perlindungan anak, sebagaimana

dimaksud Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

e) Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon I dan

Pemohon II, anak Pemohon I dan Pemohon II, calon suami anak

Pemohon I dan Pemohon II, bukti surat dan saksi-saksi yang telah

diajukan di persidangan, keadaan kedekatan anak Pemohon I dan

Pemohon II dengan calon pasangannya, sehingga pertimbangan

moralitas, agama, adat dan sosial lebih dikedepankan, agar

perilaku yang menyimpang dari kebiasaan kesalahan dan dosa

akibat berhubungan tersebut tidak lebih jauh lagi serta demi

kemaslahatan hubungan keduanya

4) Masalah hukum dalam putusan :

Penerapan dispensasi perkawinan yang terjadi dipengadilan

agama tidak terlaksana dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat

Perma Nomor 5 Tahun 2019 hakim dalam melaksanakan hukum

acara dispensasi perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti

terkait kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan

dispensasi perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

145
Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9

(sembilan) tahun untuk semua Anak. kondisi mental dan

psikologis anak, terbukti dengan tidak melaksanakan, didalam

pertimbangan hakim hanya menanyakan terkait keinginan sekolah

atau niat untuk melanjutkan Pendidikan, tidak adanya standrisasi

terkait kategori perkawinan yang mendesak. Pengadilan agama

wilayah sebagai tempat berdomisili pemohon belum memenuhi

Perma Nomor 5 Tahun 2019 dalam pasal 15 terkait dengan

pemeriksaan dalam beracara dispensasi perkawinan hakim

diminta untuk dapat mendengarkan ahli Pasal 15 huruf (d)

menyatakan “Dalam memeriksa anak yang dimohonkan

dispensasi perkawinan hakim dapat :(d) meminta rekomendasi

dari Psikolog atau Dokter/ Bidan, Pekerja Sosial Profesional,

Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu

Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi

Perlindungan Anak Indonesia/ Daerah (KPAI/KPAD).

5) Penerapan peraturan perundang-undangan, yuris prudensi atau

doktrin yang terlaksana tidak sepenuhnya

i. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak yakni Orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk:

146
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya;

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

ii. Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

Dispensasi perkawinan Pasal 15 dan Pasal 20

6) Kesimpulan Analisis Putusan Hakim :

Dalam Penetapan No. 58/Pdt.P/2021/P.Kbr ini hakim dalam

memberikan pertimbangan hakim tidak berhasil memberikan

putusan yang mempertimbangkan sesuai dengan konvensi anak

untuk menghindari terjadinya perkawinan anak, melihat pada

pertimbangan yang penulis peroleh yakni merujuk kepada

perlindungan anak untuk memperoleh pendidikan lanjutan

minimal 9 tahun sehingga pendidikan minimal SMP pasal 48

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan

pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Merujuk kepada teori efektifitas hukum pada dispensasi

perkawinan yang terjadi dipengadilan agama tidak terlaksana

dengan sepenuhnya sesuai dengan amanat Perma Nomor 5 Tahun

2019 hakim dalam melaksanakan hukum acara dispensasi

perkawinan tidak mempertimbangan secara pasti terkait

kepentingan terbaik bagi anak, sehingga penetapan dispensasi

perkawinan yang diberikan oleh hakim bisa bertentangan dengan

147
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun

untuk semua anak.

Kondisi mental dan psikologis anak, terbukti dengan tidak

melaksanakan, didalam pertimbangan hakim hanya menanyakan

terkait keinginan sekolah atau niat untuk melanjutkan Pendidikan,

tidak adanya standrisasi terkait kategori perkawinan yang

mendesak. Pengadilan agama wilayah sebagai tempat berdomisili

pemohon belum memenuhi Perma Nomor 5 Tahun 2019 dalam

pasal 15 terkait dengan pemeriksaan dalam beracara dispensasi

perkawinan Selajutnyaa idak adanya anggaran dan fasilitas terkait

menghadirkan keterangan ahli Terkait dengan alasan hakim untuk

fasilitas mendengarkan nasehat pihak psikolog sesuai amanat

Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pengadilan Agama Koto Baru dapat

memintakan pemenuhan tersebut kepada pemenrintah daerah

Kabupaten solok sesuai dengan amanat : Pasal 71E (1)

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab

menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan.

Hasil dari analisis sampel yang penulis tarik datanya diperoleh :

1) Penetapan Nomor 2/Pdt.P/2021/PA.Kbr anak pemohon yang baru tamat

SLTP

148
2) Penetapan Nomor 19/Pdt.P/2021/PA.Kbr anak pemohon tidak tamat

SD

3) Penetepan Nomor 50/Pdt.P/2021/PA.Kbr anak pemohon tidak tamat SD

4) Penetapan Nomor 55/Pdt.P/2021/PA.Kbr anak pemohon tamat SD

5) Penetapan Nomor 56/Pdt.P/2021/PA.Kbr anak pemohon tidak tidak

tamat SMP

6) Penetapan Nomor 58/Pdt.P/2021/PA.Kbr tidak tamat SMP

Rendah tingkat ekonomi daerah memiliki dampak pada rendahnya

tingkat pendidikan sehingga jika dari segi sudut mata penulis permohonan

dispensasi kawin masalah rendahnya tingkat ekonomi akan selalu selaras

dengan rendahnya tingkat pendidikan kedepannya, sesuai dengan amanat.

Bahwa setiap warga negara Indonesia dilindungi dan dijamin oleh

pemerintah melalui Undang-undang dasar RI Tahun 1945 dalam

memperoleh hak asasi manusia yang dirumuskan

Pasal 28C ayat (1) setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan

dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan

budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan

umat manusia; pasal 28D ayat (3) setiap orang berhak memperoleh

kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945). Masalah Pendidikan diatur dalam

149
Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menyatakan;

1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.


2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional selanjutnya disingkat (UU Sidiknas

No. 20 Th. 2003). Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Hakim sebagai pihak dari pemerintah dan pengambil keputusan

terkait dispensasi kawin ini harus benar-benar menimalisir agar tidak

150
terjadinya perkawinan dibawah umur seperti yang terjadi pada saat ini

dimana tingkat perkawinan dibawah umur yang diajukan secara sah

dipengadilan agama khususnya pengadilan agama Koto Baru

Kabupaten Solok berdasarkan pada data yang penulis peroleh terdapat

perbandingan cukup signifiikan sesuai dengan terlampir pada tabel 1

Pengajuan Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Koto

Baru, Kabupaten Solok pada Tahun 2016-2020.

Sesuai dengan teori efektifitas hukum penerapan dispensasi

perkawinan yang terjadi dipengadilan agama Koto Baru, jika

diperhatikan ada beberapa pasal yang tidak diterapkannya Perma

Nomor 5 Tahun 2019 di pengadilan agama Koto Baru, Kabupaten

Solok, pada pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan

dispensasi perkawinan yakni khususnya pada Pasal 3 Huruf c, Pasal 15

Huruf h dan Pasal 20 sehingga dalam pelaksanaanya tidak sesuai selaras

dengan amanat Undang-Undang 16 Tahun 2019 tetang Perkawinan dan

Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

C. Alasan Tidak Terlaksanya Pasal 15 Dan Pasal 20 Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 5 Tahun 2019

Mahkamah agung sebagai lembaga tertinggi negara dalam system

ketatanegaraan Indonesia pemegang kekuasaan kehakiman bertanggung

jawab penuh terhadap pelaksanaan dari aturan maupun sanksi aturan hukum

yang berlaku salah satunya yakni pelaksanaan dan penerapan Perma Nomor 5

Tahun 2019 sebagai pedoman mengadili dispensasi perkawinan khusunsya

151
Pengadilan Agama Koto Baru tentunya perma ini merupakan pengaturan

terkait beracara di peradilah oleh hakim dalam memperoleh penetapan atau

putusan yang dimana hakim mampu menjatuhkan putusan dengan

memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit),

kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Pada

pelaksanaanya Perma Nomor 5 Tahun 2019 setelah melakukan analisis pada

pertimbangan hakim terdaapat dua garis yang belum terlaksana khususnya di

pengadilan agama ditempat penulis melakukan penelitian yakni terdapat

dalam pasal 15 dan pasal 20 pada Perma Nomor 5 Tahun 2019.

Kesimpulan dari penelitian yang peroleh setelah penulis melakukan

wawancara dengan beberapa pihak mulai dari pemohon, anak pemohon yang

dimohonkan dispensasi perkawinannya, ketua pengadilan agama serta hakim

senior yang dianggap mampu untuk mengadili sidang dispensasi perkawinan,

ketua pengadilan agama Koto Baru, panitera muda dalam pemaparannya

penulis memperoleh beberapa point yang menjadi latar belakang tidak

terlaksanya Pasal 15 dan Pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi perkawinan yakni :

1. Tidak adanya hakim yang memiliki surat keputusan sebagai hakim

anak

Amanat pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman

Mengadili Dispensasi perkawinan: Pasal 20 huruf (a) Perma Nomor 5

Tahun 2019 Huruf a meyatakan Hakim yang mengadili dispensasi

perkawinan adalah :

152
“Hakim yang sudah memiliki surat keputusan ketua mahkamah
agung sebagai hakim anak, mengikuti pelatihan dan/atau
bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum
atau bersertifikat sistem peradilan anak atau berpengalaman
mengadili dispensasi perkawinan

Terkait setiap kasus dispensasi sesuai dengan amanatnya yakni

berupa dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional,

Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan

Perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/

Daerah (KPAI/KPAD) menurut penulis sangat pentingnya rekomendasi

dari para ahli profesi karena hal ini berkaitan dengan psikis anak yang

tentunya tidak mudah untuk dianalisis oleh orang awam ataupun seorang

hakim memilki latar belakang keilmuan yang berbeda.

Pasal 20 mengatur terkait klasifikasi hakim yang mengadili

dispensasi perkawinan yang sudah memiliki surat keputusan ketua

mahkamah agung sebagai hakim anak, mengikuti pelatihan dan/atau

bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum atau

bersertifikat system peradilan pidana anak atau berpengalaman mengadili

dispensasi perkawinan. Hakim dalam persidangan permohonan

dispensasi perkawinan terdapat beberapa perbedaan dibandingkan

dengan hakim pada persidangan lainya yakni :

1. Hakim Tunggal

Hal ini diatur pada Pasal 1 Angka (11) Perma Nomor 5 Tahun

2019 menegaskan hakim pemeriksa adalah hakim tunggal

2. Hakim bersertifikat sebagai hakim anak

153
Terkait dengan pelaksanaan hakim tunggal pada dispensasi

perkawinan maka klasifikasi hakimnya adalah memiliki surat

keputusan ketua mahkamah agung sebagai hakim anak, hakim

mengikuti pelatihan dan/atau bimbingan teknis tentang perempuan

berhadapan dengan hukum atau bimbingan teknis tentang perempuan

berhadapan dengan hukum system peradilan pidana anak atau sudah

berpengalaman mengadili permohonan dispensasi perkawinan.

Terkait dengan hal ini diatur dalam pasal Pasal 20 mengatur terkait

klasifikasi hakim yang mengadili dispensasi kawin yang sudah

memiliki surat keputusan ketua mahkamah agung sebagai hakim

anak, mengikuti pelatihan dan/atau bimbingan teknis tentang

perempuan berhadapan dengan hukum atau bersertifikat system

peradilan pidana anak atau berpengalaman mengadili dispensasi

kawin.

Pasal 20 huruf (a) Perma Nomor 5 Tahun 2019 meyatakan :

Hakim yang mengadili dispensasi kawin adalah :


(a) “Hakim yang sudah memiliki surat keputusan ketua mahkamah
agung sebagai hakim anak, mengikuti pelatihan dan/atau
bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum
atau bersertifikat sistem peradilan anak atau berpengalaman
mengadili dispensasi kawin

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses

penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap

penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani

proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non

154
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap

anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pentingnya

hakim anak tentu sangat berbeda karena hakim anak mengikuti

pelatihan SSPA. Pendidikan dan Pelatihan Sistem Peradilan Pidana

Anak (SPPA) diselenggarakan sebagaimana amanat Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mewajibkan setiap hakim

yang diangkat sebagai hakim anak wajib mengikuti Pelatihan SPPA

selama 120 jam pelajaran70.

Dyna Mardiaha selaku hakim senior di pengadilan agama Koto Baru :

“Kendala yang dialami oleh pengadilan agama KotoBaru,


Kabupaten Solok, yakni belum adanya hakim anak di pengadilan
agama koto baru Kabupaten Solok. Terkait pengaturan klasifikasi
hakim Dispensasi perkawinan sejauh ini masih diadili oleh
hakim-hakim senior dan hakim yang sudah memilki sertifikas
system peradilan anak. Menurut Dyna Mardiaha memang sangat
dibutuhkan hakim anak untuk perkara dispensasi saat ini,
mengingat tingkat pengajuan dispensasi yang semakin
meningkatdi pengadilan agam Kabupaten Solok sertifikat
peradilan pidana anak dirasa masih kurang cocok untuk mengadili
dispensasi perkawinan”71.Dipengadilan agama koto baru,
Kabupaten Solok terdapat 8 Orang hakim, namun belum memilki
hakim anak sesuai dengan amanat pasal 20 namun 5 diantaranya
sudah bersertifikat system peradilan pidana anak. Dyna
menyatakan memang sangat dibutuhkan hakim anak yang
memilki sertifikasi terkait dengan keadaan anak yang akan
berpengaruh kepada masa depan negara dan masa depan anak di
masa yang akan datang.”

70
Hakim Anak Wajib Mengikuti Pelatihan SPPA (pa-muaraenim.go.id) diakses pada hari 21
Oktober 2021 pukul 21:00 wib

Hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Koto Baru, Dyna Mardiaha,S.Hi, Tanggal 17
71

Mei 2020

155
Dari Penjelasan tersebut hakim peradilan agama sangat dominan

dalam menimbang putusan perkara berdasarkan pada ketentuan dan

syariat agama islam, hal ini selaras dengan kewenangan peradilan

agama menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan

perkara perdata tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Peradilan khusus ini meliputi perkara perkawinan,

kewarisan, wasiat, wakaf, sedekah dan hibah yang dilakukan

berdasarkan Islam. Ketentuan perkawinan dalam agama islam tidak

memberikan batasan terkait umur calon suami/istri sehingga harus

menimbangnya dari baik buruk untuk menghindari kemudharatan.

3. Atribut Persidangan

Hakim dan panitera dalam memeriksa anak yang dimohonkan

dispensasi perkawinan, tidak memakai atribut persidangan hal ini

sesuai dengan amanat Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 11 Ayat 2 :

Hakim dan panitera pengganti dalam memeriksa anak tidak

memakai atribut persidangan”

Pada penerapannya menurut Dyna Mardiaha selaku hakim

senior di pengadilan agama Koto Baru :

“Pada tahap beracara dispensasi kawin hakim sudah


mematuhi amanat dari pasal 11 ayat (2) terkait pada sesi
pemeriksaan anak hakim akan membuka atribut persidangan
yang melekat namun, setelah dirasa cukup pemeriksaan pada
anak, hakim akan meminta untuk anak keluar dari ruang
sidang dilajutkan dengan pemeriksaan pihak-pihak yang
dirasa perlu. Proses beracara dispensasi kawin berjalan di
ruangan sidang pada umumnya, hal ini dikarenakan
pengadilan agama Koto Baru Kabupaten Solok sejauh ini

156
belum memiliki ruang khusus peradilan anak yang biasanya
tersedia di Pengadilan Negri”72

2. Kondisi Ekonomi Para Pemohon Dispensasi Perkawinan

Hasil dari penelitian yang penulis lakukan dilapangan dari

penarikan data sampel yakni 6 penetapan hakim dalam dispensasi

kawin yang dikabulkan, kenapa penulis menyatakan factor terjadinya

dispensasi perkawinan disimpulkan dari data pemohon selaku orang

tua yang anaknya mengajukan dispensasi kawin 5 dari penetapan

dispesansi kawin orang tuanya bekerja sebagai buruh tani/ladang dan

1 diantaranya sebagai wiraswasta selanjutnya semua calon suami anak

pemohonan semuanya bekerja sebagai buruh tani atau pun buruh

bangunan dengan penghasilan yang tidak lebih dari upah minimum

regional, selanjutnya untuk pihak perempuan/calon sebagai pihak

yang mengajukan dispensasi kawin semuanya tidak/belum memilki

pekerjaan. Indra Fitriadi selaku ketua pengadilan agama, Koto Baru

menyatakan:

“Bukan suatu hal mudah oleh hakim menganalisa secara


mendalam terkait psikis anak, kesiapan jiwa dan mental anak,
kesiapan seorang anak perempuan untuk dianggap sudah
siapnya alat reproduksi sianak. Hakim tidak memperoleh
pendidikan terkait bagaimana menganalisa kondisi psikis
seorang anak.73Kendala Pengadilan Agama Koto Baru
Kabupaten Solok dalam melaksanakan amanat Peraturan

Hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Koto Baru, Dyna Mardiaha,S.Hi, Tanggal 24
72

Mei 2020

73
Hasil wawancara, 18 Mei 2020

157
Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 15 memang
belum terlaksana dengan seharusnya dikarenakan terkait biaya
yang meminta rekomendasi para ahli pada pasal 15 ditanggung
langsung oleh pemohon, hal dianggap sulit untuk terlaksana
mengingat pemohon yang mengajukan dispensasi perkawinan
pada umumnya berada pada kondisi ekonomi menengah
kebawah. Upaya yang dilakukan oleh ketua pengadilan agama
Koto Baru, Kabupaten Solok yakni akan menggandeng untuk
melaksanakan kerjasama dengan beberapa instansi berupa
lembaga psikolog, komisi pemberdayaan perempuan, lembaga
komisi nasional perempuan dan anak dan para ahli agama.
Kerjasama ini adalah upaya agar dapat terlaksananya Perma
Nomor 5 Tahun 2019 dengan sepenuhnya”.

Terkait dengan ketidak mampuan pemohon dalam menghadirkan

psikolog bukanlah kesalahan dari pemohon namun merupakan

tanggung jawab negara. Dalam memberikan sarana dan prasarana

sesuai dengan amanat Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak pada Pasal 71E (1) Pemerintah dan Pemerintah

Daerah bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan

Perlindungan Anak.

Hal ini sesuai dengan teori efektifitas hukum pada dasarnya

efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam tercapainya tujuan.

efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, keberadaan Perma Nomor 5

Tahun 2019 dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perkawinan

anak dengan upaya untuk memastikan terlaksanaya kepentingan

terbaik untuk anak Pasal 15 dalam pelaksanaan pemeriksaan beracara

dispensasi kawin di pengadilan mengarahkan hakim untuk dapat

158
meminta rekomendasi dari tenag ahli baik di bidang perlindungan

perempuan dan anak, psikolog, namun tidak pernah terlaksana

sekalipun dikarenakan bahwa pemohona yang mengajukan dispensasi

kawin adalah orang-orang berekonomi menengah kebawah.

Pasal 71 Huruf E Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pemerintah dan

pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan dana

penyelenggaraan perlindungan anak, yang seharusnya jika undang-

undang 35 Tahun 2014 dan Perma Nomor 5 Tahun 2019 berjalan

dengan seharusnya akan terciptalah upaya untuk menghindari

terjadinya perkawinan anak. Bukan malah sebaliknya dimana

terjadinya peningkatan perkawinan anak yang sangat signifikan.

159
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan, adapun kesimpulan yang

dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Hasil dari penelitian yang penulis lakukan di pengadilan agama Koto Baru,

Kabupaten solok diperoleh data pengajuan permohonan dispensasi kawin

pada tahun 2020 sejumlah 139, Pada tahun 2019 sejumlah 48 permohonan,

pada tahun 2018 sebanyak 39 permohonan. pada tahun 2017 sebanyak 33

permohonan, penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 di Pengadilan Agama

Koto Baru, Kabupaten Solok sebagai berikut :

1) Pengajuan Permohonan Dispensasi Kawin Yang Dilengkapi


Dengan Persyaratan
2) Permohonan diajukan oleh orangtua / wali anak yang akan
meminta dispensasi kawin

160
3) persyaratan pengajuan permohonan dispensasi perkawinan dapat
melapor kembali ke meja PTSP dan melakukan pembayaran panjar
4) Pendaftaran Pada Sistem Informasi Penulusuran Perkara

Pelaksanaan sidang dispensasi perkawinan merupakan permohonan

golongan sederhana karena dari segi persidanganya hanya diadili oleh

hakim tunggal dan dalam mengadili dispensasi perkawinan persidangan

pada umumnya 2 sampai 3 kali persidangan maksimalnya terkait

pemeriksaan permohonan yang diadili oleh hakim biasa keberadaan Perma

Pasal 7 Ayat (3) Nomor 5 Tahun 2019 tidak berfungsi karena tidak tercapai

tujuannya yaitu tanggung jawab orang tua dan menahan terjadinya

perkawinan pada usia anak agar tercapainya keadilan dan kebahagian.

2. Pertimbangan hakim pada 6 penetepan dispensasi kawin dengan alasan

sebagai berikut :

1) Sudah berpacaran selama 2 tahun dan sudah saling mencintai

2) telah lama menjalin hubungan cinta, hubungannya sudah sangat dekat

dan mereka telah sering bertemu,

3) telah melakukan hubungan suami istri sehingga anak Pemohon

sekarang hamil

4) sama-sama sudah mempunyai keinginan yang kuat untuk menikah

Tidak adanya konsistensi dalam pertimbangan hakim dalam

mengabulkan dispensasi kawin. Pasal 12 Perma Nomor 5 Tahun 2019

terkait dengan kewajiban pendidikan berkelanjutan sehingga tidak sesuai,

karna anak pemohon dispensasi kawin pada umumnya pendidikan yang

sangat rendah, Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

161
tentang Perkawinan dianggap tidak sesuai karna hanya alasan sudah saling

mencintai, Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait

dengan kesanggupan seorang istri untuk mengurus rumah tangganya

karena sangat tidak mungkin untuk usia seorang anak untuk mengamban

tanggung jawab yang berat

3. Alasan tidak terlaksananya Pasal 15 Dan Pasal 20 Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 5 Tahun 2019 terjadi karena 2 faktor yakni tidak adanya

hakim yang memiliki surat keputusan sebagai hakim anak dan kondisi

ekonomi para pemohon dispensasi perkawinan untuk mampu membayar

tenaga ahli kesehatan seperti psikolog untuk didengarkan pendapatnya

dalam beracara dikarenakan itu menjadi tanggungan pemohon untuk

membayarkan.

Dari hasil penelitian yang penulis peroleh terjadinya peningkatan

dispensasi kawin yang sangat signifikan hal ini dikarenakan tidak

dilaksanakanya seluruh ketentuan Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Dispensasi kawin khususnya Pasal 3 Huruf c, Pasal 15

Huruf d, dan Pasal 20

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas,terdapat saran yang dapat dijadikan sebagai

masukan pada pelaksanaan dispensasi perkawinan di wilayah hukum

pengadilan agama koto baru solok ditinjau dari penerapan peraturan

mahkamah agung nomor 5 tahun 2019 sebagai berikut :

162
1) Dalam pembahasan diatas penulis menyarankan untuk masa yang akan

datang agar Perma Nomor 5 Tahun 2019 dapat diterapkanya secara

menyuluruh dan sepenuhnya oleh pengadilan agama Koto Baru,

Kabupaten Solok agar dapat terlaksananya perkawinan yang berkualitas

untuk menghindari terjadinya peningkatan perkawinan diusia anak

2) Terhadap pihak pemohon orang tua dan anak calon suami/istri karena

pada dasarnya perkawinan usia anak adalah sesuatu yang tidak

dibolehkan karena mengingat perkawinan akan berdampak pada masa

depan anak dan kepentingan terbaik bagi anak agar memperoleh masa

depan dan kehidupan yang lebih baik, jika orang tua tetap mendukung

akan terus terjadinya perkawinan usia anak ini akan berdampak pada

kualitas perkawinan

3) Mahkamah agung sebagai lembaga negara yang menjalankan

kekuasaan kehakiman tertinggi harusnya dapat menyeragamkan

pandangan dan praktik peradilan di pengadilan agama khususnya

pengadilan agama Koto Baru Kabupaten solok untuk dapat menahan

tingkat perkawinan dibawah umur, dengan kedepanya dengan

penerapan buku saku pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin

yang sudah diluncurkan oleh mahkamah agung sehingga dapat

meningkatkan kualitas penanganan perkara dalam putusan dispennsasi

kawin demi kepentingan terbaik bagi anak

163
DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Buku

Abd.Rahman Ghazaly,2006, Fiqh Munakahat ,(Jakarta: Kencana-Prenada


Media Group) Jakarta.

Abdul Rahman Kanang,2014, Hukum Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seks


Komersial: Perspektif Hukum Nasional dan Internasional (Cet.
I; Makassar: Alauddin Press)

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Jakarta. Penerbit Kencana

___________, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan


Sosiologis), Penerbit Toko Gunung Agung.

Achmat Hilmi,2018, Mendobrak Kawin Anak, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita


Bersama)

Amir Syafrudin, 2007, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih


Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Prenada Media Group)

164
Anton M Moeliono, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta: Balai
pustaka)

Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta

Candra Mardi, 2021, Pembaruan Hukum Dispensasi Kawin Dalam System


Hukum Indonesia , (Jakarta: Kencana)

Dedi Junaedi, 2003, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah


Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah), Akademika Pressindo,
Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama).

Hilman hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju,


Bandung.

Jan M Otto dalam Shidarta, 2006, Moralitas Suatu Hukum Tawaran Kerangka
Berfikir, Bandung: PT. Revika Aditama
Lexy J Moleong, 1989, Metodologi penelitian kualitatif, Remaja Rosdakarya :
Bandung

M. Solly Lubis, 1996, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju

Mardi Candra, 2018,Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Analis Tentang


Perkawinan Di Bawah Umur, (Jakarta: Kencana-Prenada
Media Group)

Mochamad Fuad Hassan, 2012, Penerapan Metode Hukum (rechvinding) oleh


hakim pengadilan agama blitar dalam perkara dispensasi
kawin, skripsi: malang, Universitas Islam nigari maulana malik
Ibrahim

Moh. Ali Wafa,2017, Telaah Kritis terhadap Perkawinan Usia Muda menurut
Hukum Islam

165
Nani Suwondo, 1989,Hukum Perkawinan dan Kependudukan di Indonesia,
(Bandung :Bina Cipta)

Nurdin Usman, 2002, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Bandung,


CV Sinar Baru

P.N.H Simanjuntak,1991, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta :


Djambatan

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 2, Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

R.Soetojo Prawirohamidjojo dan marthalena Pohan,1991 Hukum Orang dan


Keluarga ( Personen en Familie- Recht), Surabaya : Airlangga
University Press.

Riduan Syahrani,2006, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin;


PT. Alumni)

Roihan A. Rayid, 2002, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja


Grafindo Persada)

Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam jagad ketertiban,Jakarta : UKI Press

Setiawan, Guntur. 2004. Impelemtasi dalam Birokrasi Pembangunan. Jakarta:


Balai Pustaka
Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) dan UU No. 1 Tahun 1974. Jakarta:
Pradnya Paramita

Subekti, 20002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT. Intermasa.

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur,


Bandung

Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata,(Jakarta: Sinar Grafika )

166
B. Jurnal

Ali Imron, 2011, Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak. Artikel


dalam “Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI”, Vol. 5 No. 1.

Amelia, 2011, Disharmoni Pengaturan Pemberian Izin dan Dispensasi


Melangsungkan Perkawinan dengan Pengaturan Perlindungan Anak
atas Kesehatan, Artikel dalam“Rechtidee Jurnal Hukum”, Vol. 9, No. 1.

Asmaniar, 2018, Perkawinan Adat Minangkabau, Binamulia Hukum, Volume 7


No 2.

Casmini, 2002, Perkawinan Dini dari perspektif agama dan Psikologi, Aplikasia,
Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. Ill, No. 1

Kamarusdiana, Ita Sofia,2020, Dispensasi Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam,


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
salam jurnal,Vol. 7 No. 1.

Lilik Mulyadi, 2009, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata


Indonesia,Teori, Praktek, Teknik, membuat putusan dan
permasalahanya (Bandung : Citra Aditya Bakti) hlm 164Umur Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra
Keadilan, Vol 12 Nomor 2, Juli-Desember 2017.

Sanawiah and Muhamad Zainul, 2018, Batasan Kedewasaan dan Kecakapan


Hukum Pewasiat Menurut KHI dan KUHPerdata, Jurnal Hadratul
Madaniyah, Volume 5 Issue No 1.

Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Menurut


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra
Keadilan, Vol 12 Nomor 2, Juli-Desember 2017

C. Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

167
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Perubahan


Atas Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pelaksanaan


Dispensasi Kawin.

D. Data

Data Permohonan Dispensasi kawin Tahun 2015-2020 di pengadilan agama Koto

Baru, Kabupaten Solok

Data Permohonaan Dispensasi Masuk Di Sumatera Barat, Tahun 2018-2020,

Pengadilan Tinggi Agama Padang

E. Internet

Diakses pada tanggal 1 juni 2021, https:// konseling .umm.ac.id /files/file/

TENTANG %2 0PSIKOLOGI .pdf

Diakses pada hari 21 Oktober 2021 pukul 21:00 wib Hakim Anak Wajib

Mengikuti Pelatihan SPPA (pa-muaraenim.go.id)

https://badilag.mahkamahagung.go.id/ Diakses pada tanggal 19 Janurari 2022,

pada pukul 22:36 wib

F. Lampiran

Surat Balasan Izin Penelitian Di Pengadilan Agama Koto Baru Kabupaten Solok

168
Rekapitulasi Laporan Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Tahun
2017

Rekapitulasi Laporan Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Tahun


2018

Rekapitulasi Laporan Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Tahun


2019

Rekapitulasi Laporan Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Tahun


2020

169

Anda mungkin juga menyukai