Anda di halaman 1dari 6

BATAS USIA MINIMAL PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019


Elang Bima Faqih
1212010121
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Program Studi
Pranata ilmu hukum , Kelas C, Semester 1
Email: elangbimafaqih.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui implementasi ketentuan batas usia minimal
perkawinan yang diatur dalam Hukum Positif Indonesia telah berjalan dengan
semestinya serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasinya.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang dilakukan
dengan meneliti secara langsung penerapan perundang-undangan atau aturan hukum
yang terkait dengan penegakan hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Implementasi UU No. 16 Tahun
2019 di Kota Bandung telah berjalan dengan baik secara administratif, akan tetapi usaha
pemerintah dalam meminimalisasi pernikahan dini dengan menaikan usia minimum
menikah dengan mengesahkan UU No.16 Tahun 2019 kurang efektif dikarenakan
masyarakat memilih jalur dispensasi agar pernikahannya tetap dapat terlaksana.
Terdapat peningkatan yang sangat signifikan dari laporan tahun 2019 jika dibandingkan
dengan laporan terbaru 2021 terkait permohonan dispensasi. (2) Terdapat berbagai
faktor penghambat yang mempengaruhi implementasi UU No. 16. Tahun 2019 ini yaitu,
faktor adat istiadat, faktor pendidikan, faktor pergaulan bebas, dan faktor ekonomi.
Kata kunci : Perkawinan, batas usia minimum, dispensasi.

Abstract
This study aims to find out the implementation of the Minimum Age for Marriage
regulated in Indonesian Positive Law has been running properly and the factors that
influence its implementation.
The type of research used is empirical legal research which is carried out by
examining directly the application of legislation or legal rules related to law
enforcement.
The results of this study indicate that (1) the implementation of Law no. 16 of
2019 in Watansoppeng City has gone well administratively, but the government's efforts
to minimize early marriage by increasing the minimum age for marriage by ratifying
Law no. 16 of 2019 is less effective because the community chooses the dispensation
route so that their marriage can still be carried out. There is a very significant increase
from the 2019 report when compared to the latest 2021 report regarding dispensation
requests. (2) There are various inhibiting factors that affect the implementation of Law
no. 16. In 2019, there are cultural factors, education factors, promiscuity factors, and
economic factors.
Keywords: Marriage, minimum age limit, dispensation.

A. PENDAHULUAN
Cakupan jagad raya ini, manusia merupakan makhluk yang sangat
dimuliakan dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya karena dianugerahi
akal budi. Ia adalah satu himpunan yang memiliki ciri khas tersendiri yang
tidak dimiliki oleh jutaan makhluk hidup lainnya.1
Semasa hidup, manusia mengalami 3 peristiwa hukum yang sangat penting,
yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Manusia mempunyai naluri untuk selalu
ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya dimana secara
alamiah secara alamiah laki-laki dan perempuan mempunyai daya tarik antara satu
dengan lainnya untuk dapat hidup bersama dan membentuk suatu ikatan yang
disebut perkawinan.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang
berarti setiap hal yang dilakukan haruslah berlandaskan peraturan hukum. Dapat
kita temui berbagai sumber hukum yang hadir sebagai pedoman hidup termasuk
mengenai aturan perkawinan. Untuk memelihara, melindungi keluarga serta
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pernikahan bukanlah sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan biologis
saja yang bersifat seksual akan tetapi pernikahan merupakan ibadah yang mulia
yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu syarat sahnya perkawinan
adalah bahwa para pihak yang melakukan perkawinan telah siap jiwa raganya. Oleh
karenanya di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.2

1
Anwar, Saepul, “Hakekat Manusia (Manusia Dimata Filosof Dan Al -Qur'an Serta Kajian Tentang In Manusia)”,
Jurnal Kajian Pendidikan Agama-Ta’lim Vol, 4(2), 2006, hlm. 133.
2
Sep Indrawa . Agus Budi Santoso, “Tinjauan Kri s Batas Usia Perkawinan di Indonesia dalam Perspek f
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019”, Jurnal Hukum Amnes , 2(1), 2020, hlm. 18.
B. METODE
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
dilakukan dengan cara meneliti data primer dan sekunder kemudian ditarik
kesimpulan dalam hubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian kualitatif
bersifat deskriptif, yakni dituangkan dalam tulisan yang bersifat naratif. Dalam
penulisannya, data dan fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar.3
Penelitian ini juga termasuk dalam penelitian normatif. Penelitian normatif
sering kali di konsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap
pantas.4

C. PEMBAHASAN
Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-nikah yang
bermakna al-wat'u dan al-dammu wa al-tadahkul yang bermakna bersetubuh.1
Perkawinan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj.
Kata na-ka-ha dan za-waja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.5
Menurut Imam Syafi'i nikah (kawin) yaitu akad yang dengannya menjadi
halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Menurut Imam Hanafi nikah
(kawin) yaitu akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai
suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Menurut Imam Malik nikah
adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan
wath'i (bersetubuh), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri
seorang wanita yang boleh nikah dengannya. Menurut Imam Hanbali, nikah adalah
akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat
dan bersenang-senang dengan wanita.6
Dalam sumber ajaran Islam, baik Al-Qur’an maupun hadis tidak ditemukan
penentuan batasan usia perkawinan secara mendetail dan tidak memberikan batasan
usia yang definitif kapan seseorang dianggap dewasa. Batasan usia kedewasaan
untuk menikah termasuk masalah ijtihadi.7 Tidak adanya ketentuan mengenai batas
minimal usia perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk

3
Albi Anggito dan Johan Se awan, Metode Peneli an Kualita f, (Sukabumi: CV Jejak, 2018) h. 11.
4
Joenaidi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Peneli an Hukum Norma f dan Empiris, (Depok: Prenadamedia
Group, 2016), h. 124.
5
Sudarto, Ilmu Fikih, 2018, Yogyakarta: Deepublish h. 137.
6
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, 2017, Jakarta: Kencana, h. 24.
7
Moh. Ali Wafa, Telaah Kri s Terhadap Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Islam, Jakarta: Ahkam Jurnal
Ilmu Syariah Vol. 17 No. 2, 2017, h. 391.
mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa seseorang yang hendak melakukan
perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu, sesuai dengan QS. An-Nur: 32
۟ ُ‫ص ِل ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َو ِإ َمآئِ ُك ْم ۚ ِإن يَ ُكون‬
ْ َ‫وا فُقَ َرآ َء يُ ْغنِ ِه ُم ٱ ﱠ ُ ِمن ف‬
ۗ ‫ض ِل ِهۦ‬ ۟ ‫َوأَن ِك ُح‬
‫وا ٱ ْﻷ َ ٰيَ َم ٰى ِمن ُك ْم َوٱل ٰ ﱠ‬
‫َوٱ ﱠ ُ ٰ َو ِس ٌع َع ِلي ٌم‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha
Mengetahui.”
Perkawinan dianjurkan bagi mereka yang menginginkan, siap lahir batin,
dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Pelaksanaan
perkawinan tidak hanya sebatas pada hasrat atau keinginan seksual, melainkan
harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami istri.8
Perkawinan sebagai salah satu bentuk tindakan hukum tidak cukup dengan
mensyaratkan baligh saja. Pembebanan hukum didasarkan pada akal dan
pemahaman. Seseorang bisa dibebani hukum apabila telah berakal dan dapat
memahami secara baik terhadap pembebanan hukum yang ditujukan kepada
seseorang.
Berdasarkan hukum positif Indonesia, suatu perkawinan dianggap sah
apabila telah memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-Undang Perkawinan. Demi mengikat sebuah tali perkawinan para
calon suami isteri tentunya perlu untuk memenuhi beberapa syarat sebagaimana
yang telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan.
BATAS UMUR UNTUK MENIKAH
Tahun 2019 hadirlah Perubahan Undang-Undang No.16 Tahun 2019
Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dinilai sangat tepat khususnya
perubahan isi atau bunyi di dalam pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang batasan
usia minimal dalam melangsungkan perkawinan, meskipun di pasal 7 ayat (2) tidak
ada perubahan. Dari sudut pandang hukum, tujuan dari perkawinan adalah untuk
menjadi keluarga yang sejahtera dan bahagia. Sementara itu untuk mencapai tujuan
tersebut tidak semudah dalam pemikiran sesaat. Perlu adanya pemikiran, persiapan
yang matang baik itu fisik maupun mental dan keduanya ada korelasinya dengan
usia dari seseorang khususnya perempuan. Di dalam perubahan Undang-Undang
30 hlm. 287 29 No.16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun

8
Mayadina Rohmi Musfiroh, Pernikahan Dini dan Upaya Perlindungan Anak Indonesia, Malang: De jure Jurnal
Hukum dan Syariah Vol. 8, No. 2, 2016, h. 68.
1974 khususnya di pasal 7 Ayat (1), merupakan hasil dari pemikiran yang
mempertimbangkan beberapa aspek yaitu9
1) Aspek Yuridis
Pada Undang-Undang perkawinan disebutkan Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. paragraf tersebut dapat diartikan bahwa tujuan dari perkawinan
adalah untuk membina rumah tangga Mawaddah wa rahmah, dan secara hukum,
lembaga perkawinan merupakan lembaga yang sakral karena menyangkut
penentuan nasib seseorang dalam menempuh kehidupan yang baru.
2) Aspek Sosiologis
Lahirnya Suatu Hukum dalam rangka solusi atas masalah yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat dan dirumuskan secara mufakat serta disepakati
bersama. Sementara perubahan suatu hukum terjadi akibat dari tidak adanya
hukum yang telah ada, hal tersebut dikarenakan karena hukum itu sendiri bersifat
dinamis mengikuti perkembangan sosial masyarakat.
Pada dasarnya penentuan umur dalam perkawinan dapat dikatakan semata-
mata didasarkan pada kematangan jasmani atau fungsi biologis secara psikis
tentang hubungan. Sebelumnya, pemerintah hanya mengatur batas usia minimal
perempuan untuk menikah yakni 16 tahun. Aturan tersebut tertuang dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Kemudian, UU tersebut direvisi dengan
UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019. Adapun dalam
aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun
baik untuk perempuan maupun laki-lai. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan
Kemen PPPA, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak. Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa kategori anak adalah mereka yang
usianya di bawah 18 tahun.
D. PENUTUP
Indonesia sebagai negara hukum yang penduduknya mayoritas beragama
Islam, batas usia yang ditetapkan dalam undang-undang yaitu terdapat dalam
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia yang ditentukan yaitu 19 tahun untuk laki-
laki dan perempuan sebelum dilakukan perubahan usia yang ditentukan adalah 16
tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Usia tersebut dinaikkan
karena usia 16 tahun untuk perempuan dianggap diskriminatif terhadap kaum
perempuan, karena usia 16 tahun adalah usia anak. Bagi orang Kristen terdapat
dalam UndangUndang Bab 47 tentang Perkawinan seri 4 Tahun 2013 usia yang
ditentukan adalah 14 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Bagi golongan Cina
terdapat dalam Undang-Undang Bab 126 tentang Perkawinan Cina seri 44 Tahun

9
Tirmidzi, “Analisis Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun
1974”, Jurnal Usrah. 1(1), 2020, hlm. 444-446
1989 usia yang ditentukan yaitu 15 tahun untuk perempuan. Sedangkan dalam
hukum keluarga Islam tidak ditentukan mengenai usia yang diizinkan untuk
melakukan perkawinan. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum Islam tidak
ditentukan usia yang pasti untuk melakukan perkawinan yang diatur dalam hukum
Islam adalah usia baligh dan setiap mazhab berbeda dalam menetapkan usia baligh.

DAFTAR PUSTAKA

Anggito, A., & Se awan, J. (2018). Metodologi Peneli an Kualita f. Sukabumi: CV


Jejak.
Anwar, S. (2006). Hakekat Manusia (Manusia Dimata Filosof Dan Al-Quran Serta
Kajian Tentang In Manusia). Kajian Pendidikan Agama Ta'lim, 133.
Efendi, J., & Ibrahim, J. (2016). Metode Peneli an Hukum Norma f dan Empiris.
Depok: Prenadamedia Group.
Mardani. (2017). Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Musfiroh, R. M. (2016). Pernikahan Dini dan Upaya Perlindungan Anak Indonesia. De
jure Jurnal, 68.
Santoso, A. B., & Indrawa , S. (2020). Tinjauan Kri s Batas Usia Perkawinan di
Indonesia dalam Perspek f Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019. Hukum
Amnes , 18.
Sudarto. (2018). Ilmu Fikih. Yogyakarta: Deepublish.
Tirmidzi. (2020). Analisis Undang-undang No. 16 Tahun 2019. Jurnal Usrah, 444-446.
Wafa, A. M. (2017). Telaah Kri s Terhadap Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum
Islam. Ahkam Jurnal, 391.

Anda mungkin juga menyukai