Anda di halaman 1dari 16

Akibat Hukum dan Status Anak

Pada Perkawinan Campuran

Muhammad Dhafa Bani Alie Aziz


(02011382025363)
Kelas C/ Kampus Palembang
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Email : dafacuy14@gmail.com

Abstrak
Perkawinan campuran adalah sesuatu hal yang sungguh-sungguh sakral
sebab itu pernikahan tak dapat dipisahkan dengan skor-skor agama, sebab suatu
pernikahan sepatutnya atau sepatutnya dijalankan pantas ketetapan tata tertib,
agama, dan kepercayaan serta dicatatkan menurut tata tertib perundang-undangan
yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkawinan campuran antar
masyarakat Indonesia dengan Warga Negara Asing dalam perspektif Aturan
Perdata Internasional (HPI) dan perbandingan UU NO.1 Tahun 1974 dengan UU
yang baru yaitu UU No.12 Tahun 2006. Perkawinan yang berbeda
kewarganegaraan, membuat undang-undang yang digunakan bagi mereka tentu
berlainan. UU Perkawinan tahun 1974 ini tidak mengatur secara efektif sehingga
perkawinan campuran terkena imbas. Ketetapan yang mengatur mengenai imbas
undang-undangnya yakni Pasal 62 yang mengendalikan bahwa kedudukan anak
hasil perkawinan campuran merujuk kepada Pasal 59 ayat 1 yang mana
kewarganegaraan yang didapatkan memastikan undang-undang yang berlaku.
Pengahpusan Undang-undang lama yang diskriminatif itu dan digantikan dengan
UU baru yaitu Undang-Undang NO.12 tahun 2006 ini memberikan perlidungan
hukum layak bagi perempuan yang melakukan pernikahan campuran dan juga
termasuk anak dari hasil pernikahan tersebut.

Kata kunci : Perkawinan Campuran, Pengaturan, Status Kewarganegaraan Anak


Abstrack
Marriage or mixed marriage is something that is truly sacred, therefore marriage
cannot be separated from religious values, because a marriage should or should
be carried out according to the provisions of the rules, religion, and beliefs and is
recorded according to the applicable laws and regulations. . This study aims to
examine mixed marriages between Indonesian citizens and foreign nationals
according to Law No. 1 of 1974 concerning Marriage (UUP) from the perspective
of International Civil Codes (HPI). This legal research applies normative
research that utilizes primary, secondary and tertiary legal materials in its study.
Material collection applies literature study. According to research that the
marriage of citizens of different nationalities, the laws that apply to them are also
different. The Marriage Law does not strictly control the effects of the law arising
from mixed marriages. The provisions that control the impact of the law are
Article 62 which controls that the position of the child of a mixed marriage is
regulated in accordance with Article 59 paragraph (1) where the citizenship
obtained determines the applicable law. Law No. 12 of 2006 provides protection
for women who are married to foreign nationals and their children from mixed
marriages and has abolished the discriminatory citizenship law.

Keywords: Mixed Marriage, Arrangements, Citizenship Status of Children

LATAR BELAKANAG
Manusia yang ada di muka bumi ini sudah ditakdirkan oleh tuhan unutuk
hidup berpasang-pasang antara laki-laki dan perempuan dan akan hidup bersama.
Mereka yang telah memenuhi syarat dapat melangsungkan ke jenjang pernikahan,
syarat tersebut jika ditinjau dari aspek hukum yaitu sesuai dengan undang-undang
yang berlaku. “Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwa seorang pria boleh menikah apabila dia telah berusia
19 tahun dan perempuan telah berusia 16 tahun.” Perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga baru yang bahagia dan sakinah mawadah.
Dengan perkembangaman di era sekarang terutama di sektor
ekonomi,teknologi dan lainnya membuat masyarakat mudah untuk memperluas
kerabatan ke luar wilayah Indonesia. Dengan kekerabatan antar negara yang terjadi
dan mudahnya untuk berhubungan satu sama lain itu menyebabnya terjadinya suatu
hubungan, dari hubunga biasa ke hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan. Dari
situlah di era sekarang banyak terjadinya perkawinan campuran atau perkawinan
yangdilakukan antara dua pihak yang berkewarganegaraan berbeda.

Perkawinan campuran di Indonesia terjadi beberapa bentuk yaitu ; ertama,


wanita Indonesia ini menikah dengan pria negara asing dan kedua, sebaliknya pria
bernegara Indonesia dan wanita bernegara asing. Perbedaan kewarganagaraan
tersebut membuat perbedaan jelas dan signifikan antara perkawinan campuran dan
perkawinan biasa atau sesama negara. Perbedaan kewarganegaraan ini tidak hanya
sebatas pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga sudah terbentuk suatu
keluarga.

“Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 seputar Perkawinan dalam pasal 57


menyebutkan yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-
Undang ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, sebab perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”. Dari definisi tersebut dapat diuraikan unsur –
unsur perkawinan capuran yaitu :
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
3. Krena perbedaan kewarganegaraan
4. Sala satu pihak berkewargaan negara Indonesia
Elemen pertama, merujuk kepada asas monogami dalam perkawinan, elemen
kedua, merujuk kepada perbedaan peraturan yang berlaku bagi laki-laki dan
perempuan yang melaksanakan perkawinan itu. Melainkan perbedaan peraturan hal
demikian tidak karena perbedaan antara suku bangsa,agama, atau kelompok di
Indonesia tetapi pada elemen ketiga perbedaan kewarganegaraan. Bukan hanya
perbedaan kewarganegaraan asing saja, tetapi elemen keempat menyatakan bahwa
satu dari kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia. Perbedaan
kewarganegaraan membuat peraturan yang diberlakukan juga. Undang-Undang
Perkawinan tak mengatur dengan signifikan terkait akibat hukum yang muncul dari
perkawinan campuran. Ketetapan yang mengatur mengenai dampaknya yaitu
undang-undang Pasal 62 yang mengatur bahwa kedudukan anak dari perkawinan
campuran diatur suai “Pasal 59 ayat (1) dimana kewarganegaraan yang diperoleh
menentukan peraturan yang berlaku.”

Jadi sesuai dengan uraian diatas bagaimanakah akibat hukum bagi


perkawinan campuran dan bagi anak dari perkawianan campuran tersebut.

METODE
Pada Jurnal ilmiah ini saya mengunakan penelitian hukum normatif memakai
bahan hukum primer sekunder serta tertier dalam mngkajinya. Pengumpulan bahan
menggunakan studi literatur . Dalam prosesnya hanya menggunakan sumber–
sumber data sekunder seperti, buku, majalah, Peraturan perundang–undangan , teori
hukum dan doktrin atau pendapat para sarjana hukum yang berhubungan dengan
objek kajian ini. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan Konseptual dan
pendekatan Perundang–undangan.

PEMBAHASAN

A. Syarat Perkawinan Campuran dan Pencatatan Perkawinan

Perkawinan campuran bisa dilang sungkan di luar negeridan bisa pula


dilakukan di Indonesia. Jiak perkawinan dilakukan diluar negri dan secara sah
menurut hukum negara itu, maka WNI itu juga tidak melanggar ketentuan UU
Pokok Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Seandainya dilakukan di Indonesia,
perkawinan campuran dilaksanakan menurut Undang-Undang Perkawinan ini Pasal
59 Ayat 2. Mengenai peryaratan untuk melangsungkan perkawinan sbelumnya
harus memenuhi Ssyarat-syarat perkawinan materiil terlebi dahulu sesuai hukum
yang (Pasal 60 Ayat 1 ).
Pegawai pencatat berwenang memberikan keterangan bahwa telah
dipenuhinya persyaratan perkawinan yang sesuai dengan hukum masing masing.
Jika mendapatkan penolakan dari pejabat pencatat dapat mengasih permintaan ke
Pengadilan, dan Pengadilan memberikan keputusannya. Seandainya keputusan
Pengadilan tersebut menyatakan penolakan itu tidak berdalih, maka keputusan
Pengadilan tersebut menjadi substitusi pengganti surat keterangan tersebut.

Jika surat keterangan atau keputusan Pengadilan didapatkan, maka


perkawinan dapat dilakukan. Pelangsungan perkawinan dikerjakan berdasarkan
cara agama masing-masing dan dikerjakan di hadapan pegawai pencatat. Jika
dilangsungkan di Indonesia berati menggunakan Undang-Undang perkawinan.
Dan juga sebaliknya, maka berlakulah ketetapan sistem berdasarkan hukum di
negara yang bersangkutan.

Apabila surat keterangan dan Putusan pengadilan telah diberikan dan


pernikahan belum dilakukan dalam masa enam bulan maka surat keterangan dan
putusan tersebut tidak dapat digunakan lagi. Perkawinanan dicatat oleh pegawai
berwenang, bagi beragama islam ialah Pegawai Pencatat Nikah dan yang bukan
Muslim oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

Undang-undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia telah menggantikan Undang-undang No.62 tahun 1998 yang sangat
diskriminatif. Dan telah diperlakukan Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006.

Undang-Undang No.26 tahun 1958 ini secara filosfis,yuridis, maupun


sosiologis sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan masyarakat dan
tatanegara Republik Indonesia. Dimana secara filosofis, UU tersebut tidak sejalan
dengan makna pancasila, lalu secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan
UU tersebut menggunaka UUDS 1950 yang sudah tidak berlaku lagi, yang mana
sekarang telah memberlakukan UUD 1945, dan secara sosiologis, UU tersebut
sudah tertinggal dari perkembangan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat
Internasional yang bergaul secara global, dimana menginginkan adanya kesamaan
perlakuan serta kedudukan masyarakat Indonesia di hadapan hukum dan adanya
kesetaraan gender.

B. Perkawinan Campuran yang dilaksanakan di Indonesia

Calon mempelai yang berkewaganegaraan asing terlebih dahulu melengkapi


dokumentasi, dari negara asalnya yang berisi pernyataan bahwa diperbolehkan
menikah dengan warga Indonesia, sebelum melangsungkan perkawinannya. Untuk
mendapatkan informasi dokumen yang harus dipenuhi dapat menghubingi kedutaan
negara asalnya di Indonesia.

Sebagai contoh, perkawinan yang dilaksnakan oleh WNI dan WNA asal
Selandia Baru yang dilaksanakan menggunakan hukum Islam. Dimana Rini asal
Wonogiri seorang baby sister di Jakarta menikah dengan Ezra pekerja Australia
sebag manajer perusahaan ritel dan berkewarganegaraan Selandia. Ezra
sebelumnya berpindah agama Islam mengikuti rini. Jadi perkawinan ini dikatakan
sah karena dilaksanakan sesuai hukum agama masing masing sesuai Pasal 2 UU
perkawinan dan dicatatkan ke KUA setempat.

C. Perkawinan Campuran yang dilaksnakan di Luar Negeri atau Luar


wilayah Indonesia

Perkawinan yang berlangsung di luar negeri harus mencatat di Indtansi yang


megurus perkawinan di negara tersebut lalu melapot ke KBRI yang pasti dinegara
tempat dilangsungkan perkawinan. Apabila negara tersebut tidak menyelengarakan
perkawinan untuk orang bernegara lain maka penctatan dilakukan di KBRI
setempat dan kemudian peristiwa tsb dicatat dalam buku register Akta perkawinan
dan menerbitkan Akta Perkawinan. Pasutri harus melakukan pencatatan juga
kepada Kantor Ctatan Sipil paling lama 30 hari sejak kembali ke Indoneisa.

D. Akibat Hukum dari Perkawinan Campuran


UU kewarganegaraan terbaru membuat asas terkait kewarganegaraan yang
universal. Asas-asas yang digunakam yaitu :
1. Asas Ius Sagnisius, yaitu asas menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan ketrurunan bukan berdasrakan negara tempat kelahiran.
2. Asas Ius Soli, yaitu asas menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan dimana kelahirannya, yang berlaku terbatas bagi anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur undang-undang.
3. Asas Kewarganegaraan Ganda, yaitu asas menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini.
4. Asas Kewarganegaraan Tunggal, yaitu asas menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
Kewarganegaraan ganda dalam UU ini diberikan kepada anak merupakan
suatu pengecualian.

Permasalahan kewarganegaraan anak sangat sering muncul dalam


perkawinan campuran ini. UU kewarganegaraan lama berprinsip kewarganegaraan
tunggal dimana anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki
satu kewarganegaraan saja yaitu mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan
ini menimbulkan masalah dimana saat anak ini menetap di Indonesia orang tuanya
harus menerus memperpanjang izin tinggalnya. Dan bila bercerai si ibu akan sulit
untuk mendapat hak asuh anak yang berwarga negara asing.

Perbedaan kewarganegaraan antara anak yang berkenagaraan asing dan ibu


bekenegaraan Indonesia banyak sering muncul, baik selama masa perkawinan
campuran itu berlangsung maupun sesudah perceraian.
Hal yang menjadi masalah rumit dimana aturan antara mantan suami isteri memiliki
aturan berbeda, dan juga jarag yang jauh antar negara, dan besar kemungkinan salah
satu pihak melawan putusan yang diberikan pengadilan, dan anak akan menjadi
korban, sehingga hak dari anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik.

Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 sudah tidak lagi


seperti demikian. Bawasanya anak yang lahir dari pasangan perkawinan campuran,
menurut pasal 6 telah diberi kebebasan untuk berkewarganegaraan ganda sampai
umur 18 tahun atau setelah menikah. Tetapi setelah 18 tahun harus memiliki
kewarganegaaraan antara negara ayah atau ibuknya dan paling lambat 3 tahun
setelah berusia 18 tahun.

Jika kewarganegaraan ganda diberlakukan seumur hidup membuat tidak


adanya kepastian hukum yang mengatur status pribadi seseorang. Apalagi saat
seorang sudah dewasa dia akan banyak melakukan berbuatan yang berhubungan
dengan hukum dimana setiap perbuatan tersebut dengan status pribadinya akan
diatar oleh hukum nasionalnya, maka akan menyulitkan bila hukum pribadinya ada
dua. Terkait dengan status pribadi anak dinyatakan bahawa menurut pasal 6 UU
no.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan.

Anak diluar kawin juga memperoleh kewarganegaraan ganda yang mana


telah diataur dalam pasal 5 yaitu “Warga Negara Indonesia yang lahir diluar
perkawinan yang sah yang diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asising tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.

Terdapat beberapa aspek hukum untuk anak diluar nikah, yaitu dari segi
ketentuan UU perkawinan dan segi Kitab undang-undang diliar perkawinan yang
hanya berhubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dan jika mendpat
pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan keperdataan maka secara perdata
anak itu mempunyai hubuungan hukum dengan ayahny tetapi tidak dengan
keluaraganya. Pengakuan ersebut dibuat dengan suatu akte.

Berlakunya Kewarganegaraan ganda merupakan hal positif bagi anak dari


perkawinan campuran dapat melindungik kepentingan sang anak. Dengan begitu
orang tua tidak perlu terus menerus mengurus izin tinggal bagi anaknya. Hal ini
diatur dalam Pasal 6 UU NO.12 Tahun 2006 seperti

 “Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing“
 “Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia”
 “Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara
Indonesia”
 “Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia”
 “Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau
belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan
asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”

Dalam UU kewarganegaraan ini juga anak bekewarganegaraan gandaberhak


mendapat akte kelahiran milik Indonesia dan juga akte di negara lain dimana diakui
sebagai warga negara itu. Dengan begitu anak tersebut berhak mendapatkan
pelayanan publik di Indonesia seperti warga negara lainnya termasuk bidang
pendidikan. Hal ini berbeda dengan UU Kewarganegaraan yang lama , jangankan
untuk akte kelaharan, anak tersebut akan diusir dari wilayah Indonesia secara paksa
apabila izin tinggalnya telah melwati batas waktu. Dari segi subtansional dan
konseptual, UU No.12 Tahun 2006 ini mengambarkan keseriusan Indonesia untuk
memberi perlindungan terhadap kaum wanita atau perempuan yang menikah
dengan WNA dan anak dari hasil perkawinan campuran dan menghilangkan aturan
kewarganegaraan yang diskriminatif

Contoh permasalah dapat kita lihat pada Gloria E Mairering dia keturunan
Indonesia dan Perancis, Gloria blacklist dari pasukan pengibar bendera di Istana
Negara. Karena ia masih memegang paspor Prancis yang berlaku Februari sampai
Februari 2019. Setelah masalah itu, ibunda Gloria , Ira Hartini mengajukan gugatan
dengan dalil UU NO.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang merujuk pada
mendaftarkan diri untuk anak hasil kawin campuran berusia 18 tahun ke MK. Tetapi
MK menolak permohonan ibunda Gloria karena tidak beralasan susuai hukum.
Gloria berniat untuk proses naturalisasi. Tetapi proses nautralisasi
menyulitkan karena hanya untuk pasangan asing hanya orang Indonesia, bukun
untuk kawin campuran. Gloria diproses melalui jalan pewarganegaraan asing murni
yang dianggap tida memiliki kaitan dengan Indonesia dengan biaya 50 juta untuk
terdaftar debagi WNI.
Kasus kewarganegaraan orang tidak hanya tentang paspor dan izin tinggal di
negara tetapi lebih dari itu yang juga berkaitan dengan hak kewajiban sebgai warga
negara yang harus dilaksanakan. Kewarganegaraan dapat diperoleh dari oleh yang
melakukan peristiwa perkawinan campuran dari isteri atau suami yang
berkewarganegaraan Indonesia dengan syarat yang ditentukan dalam pasal “58 UU
perkawinanan”.

WNA yang menikah dengan WNI secara sah dapat mendapatkan


kewarganegaraan RI dengan memberi pernytaan di hadapan pejabat, dengan syarat
telah tinggal di Indonesia selama minimal 5 tahun berturut atau 10 tahun tidak
berurut, Menurut “Pasal 19 UU NO.12 tahun 2006”

Ada beberpa permasalahan yang sering mucul dalam perkawinan campran


yaitu :

Pertama, Mengenai status Izin tinggal untuk pasangan nikah campuran, biasanya
permasalahan ini dikarenakan penyatuan keluarga (penjamin istri) yang
menyebabkan adnya pegeseran fungsi izin tinggal daru penjamin WNI/istri
menjadi commercial acces to get job. WNA ini menjadikan penjamin WNI/istri
untuk izin bekerja dimana ini jelas penyalahgunaan izin tinggal seusai UU NO.6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian,

Kedua, masalah aset/properti yang dipunyai saat dalam waktu pernikahan,


Kepemilikan aset properti WNA diurus oleh BPN. Pasangan campuran dapat
berkonsulsai dengan BPN terkait Aset dan Properti.

Ketiga, masalah hak kewajiban saat terjadi perceraian, perceraian menyebabkan


adanya akibat hukum terkait status izin tinggal WNA dimana tidak terdeteksi, tidak
terlapor dan aparat tidak mengetahui. Akibat banyaknya perkawinan campuran di
jaman sekarang Biro Pusat Statistik atau lembaga serupa tidak dapat mengetahui
jumplahnya.
Proses perceraian dilakukan di sidang pengadilan, sebagaimana telah diatur Pasal
39 UU NO.1 Tahun 1974 yang berbunyi:
1. “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak”.
2. “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri
itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.
3. “Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri”.
Perceraian dapat dilakukan tanpa dampingan dari penasehat hukum/lawyer.
Jika dikira kurang mampu dalam ekonomi, hasil yang diputuskan juga dapat
memuaskan tanpa didampingi penasehat hukum.

KESIMPULAN

- Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tidak menjamin perlindungan


hukum yang kuat terutama untuk anak hasil perkawiran campuran dan juga
mendiskriminasi terhadap WNI yang melakukan perkawinan campuran
terutama pada perempuan dan juga kurang terjaminnya HAM.
Dan peraturan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah
mengatur dan mengatasi permasalahan sebelumnya seperti adanya
kewarganegaraan ganda yang diberikan untuk anak hasil dari perkawinan
campuran.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan
merujuk pada Pasal 6 dan 21 bahwa anak yang belum berusia 18 Tahun atau
belum menikah yang tinggal di Indonesia akan memperoleh sendiri
kewarganegaraanya dari ayah atau ibu yang berkewarganegaraan Indonesia.
- Status kewarganegaraan anak yang masih dibwah umur akan tetap berstatus
WNI jika terjadi perceraian terhadap pasangan perkwinan campuran, tetapi
setelah 18 tahun dan telah menikah dia wajib memilih kewarganegaraanya
mengikuti ibu atau bapakanya dan status kewarganegaraanya tidak akan
hilang walaupun sudah terjadi perceraian.
- Perempuan WNI dan laki-lakki WNI bisa kehilangan kewarganegaraannya,
apabila mau menjadi WNI harus menytakan kemauan kepada pejabat, WNA
yang menikah secarah sah dengan WNI bisa mendapatkan kewarganegaraan
Indonesia dengan syarat tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut dan 10
tahun tidak berurut.
- Permasalahan yang sering terjadi di perkawinan campuran ini yaitu:
a. Status Izin Tinggal
b. Aset/ Properti yang dipunyai masing masing selama waktu pernikahan
c. Status Hak dan Kewajiban yang ada bila terjadi perceraian.
DAFTAR PUSTAKA

Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang


Perkawinan Nomor 1Tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta.

J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada, Jakarta.

Lulus Udjiwati, 2016, Status Legal Formal (Bipatride) Kewarganegaraan Anak


Dari Perkawinan Campuran Kewarganegaraan, Yustisia Merdeka, Madiun.

Malyadi, 2008, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas


diponogoro, Semarang.

Hadikusuma, Hilma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar


Maju, 1990

Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan,


Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya


Bakti. Bandung, 1993.

Syahrani Riduan, Seluk - Beluk Dan Asas – Asas Hukum Perdata.


Penerbit Alumni, Bandung, 1985.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana


diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. PP No.31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian
5. Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan
Pernikahan.
6. Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan
Pernikahan

Internet
https//www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt545708a7e8e9c/
Statuskewarganegaraan-anak-di-luar-nikah-dari-pasangan-campuran, diakses pada
10 Mei 2019.
https//WWW.academia.edu/11282164/perkawinan_campuran diakses pada 20
Juni 2019.
Status Hukum Anak Hasil Perkawinan campuran Beradasrkan Hukum
Indonesia, http://Jurnalhukum.blogspot.com/2006/oj, diakses pada 24 Juni 2019.
NOTE : Nama file belum diganti saat turnitin
.

Anda mungkin juga menyukai