Anda di halaman 1dari 9

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL TA 2021/2022

POLITIK HUKUM

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abdul Latif, SH., M.Hum.

MIMING UTAMI

NPM : 2152016

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

2021
ANALYSIS OF INTERRELIGIOUS MARRIAGE ACCORDING TO MARRIAGE
LAW ON LEGAL POLITICAL PERSPECTIVE

MIMING UTAMI
NPM : 2152016

POSTGRADUATE PROGRAM
FACULTY OF LAW
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

Abstract

Marriage is a form of social interaction between humans with one another. Marriage
is a physical and spiritual bond that aims to form a happy household. Indonesia is a
religious country and makes God into the nation's ideology so that a valid marriage
according to Indonesian law is a marriage carried out in accordance with their
respective religions and beliefs. But in reality, there are many cases of interreligious
marriages that occur in Indonesia. The research used is a normative legal research
method with a qualitative approach and descriptive explanation. Interreligious
marriages are marriages that are not legal according to law because they are not
regulated by Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. This is a problem that is
still rolling until now and no solution has been found for the rechtsvacuum that has
occurred.

Keywords: interreligious marriage, rechtsvacuum


ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

MIMING UTAMI
NPM : 2152016

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

Abstrak

Perkawinan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial antara manusia satu dengan
manusia lain. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin yang bertujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia. Indonesia merupakan negara yang religius
dan menjadikan Ketuhanan sebagai ideologi bangsa sehingga perkawinan yang sah
menurut hukum Indonesia adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing. Namun pada kenyataannya, banyak kasus
perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia. Penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang bersifat
deskriptif. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah menurut hukum
karena tidak diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal
tersebut menjadi permasalahan yang masih bergulir hingga saat ini dan belum
ditemukan solusi atas kekosongan hukum yang terjadi.

Kata kunci: perkawinan beda agama, kekosongan hukum


A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Dalam interaksinya, manusia memiliki tetertarikan antara satu
dengan lainnya sehingga sepakat untuk membentuk suatu kelompok baru yang
disebut keluarga. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara dua individu
yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia serta memiliki
keturunan sebagai generasi penerus.
Peraturan perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk selanjutnya disingkat “UU Perkawinan”).
UU Perkawinan mengatur tentang Dasar Perkawinan, Syarat-Syarat Perkawinan,
Pencegahan Perkawinan, Batalmya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan
Kewajiban Suami Istri, Harta Benda dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan
serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan
Anak, Perwalian, Ketentuan-Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan
Penutup. UU Perkawinan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia guna
memberikan kepastian hukum dalam masalah perkawinan.
Indonesia adalah negara pluralistik dengan keanekaraman agama, budaya,
bahasa, suku, adat-istiadat, dan lain-lain. Konsekuensinya, dalam kehidupan
masyarakat terjadi perkawinan beda agama yang mana hal ini tidak diatur dalam
UU perkawinan. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan hukum
(rechtsvacuum) dalam masalah perkawinan di Indonesia. Perkawinan beda agama
merupakan masalah klasik yang masih terjadi hingga saat ini dan belum ada
solusi yang jelas.
Masyarakat terus berkembang seiring lajunya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Konsekuensinya, UU Perkawinan dirasa sudah tidak
relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada masa kini. Oleh karena itu,
masyarakat berharap adanya realisasi atas urgensi revisi UU Perkawinan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bentuk penegakan politik
hukum di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pandangan UU Perkawinan terhadap perkawinan beda agama?
2. Bagaimana politik hukum perkawinan beda agama di Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. Perkawinan Beda Agama menurut UU Perkawinan
Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi tersebut sesuai dengan
ideologi bangsa Indonesia bahwa Indonesia adalah negara religius. Sebagai
refleksinya, Indonesia mengakui enam agama yang hadir dalam kehidupan
masyarakat yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Selanjutnya, pasal 2 angka (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti bahwa keabsahan suatu
perkawinan terikat pada aturan masing-masing agama yang dianut.
Berdasarkan hasil diskusi organisasi keagamaan Indonesia, menyatakan
bahwa dalam perspektif keagamaan sepakat untuk tetap melaksanakan ajaran
agama masing-masing terkait perkawinan harus memiliki keyakinan yang
sama.1
Sebagai ius constitutum (hukum yang berlaku pada masa sekarang), UU
Perkawinan telah mengatur perkawinan seagama, namun UU perkawinan
tidak mengatur atau melarang perkawinan beda agama. Hal ini menyebabkan
timbulnya kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang kemudian menimbulkan
penyelundupan hukum.

1
Lu Sudirman and Jendy Herlinda Karwur, “Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Yang Melakukan
Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,” Journal of Judicial Review 53, no. XVI (2014): 133–45.
Praktek penyelundupan hukum dalam problematika perkawinan beda
agama tidak dapat dihindari karena perkawinan merupakan masalah dan hak
seorang manusia. Berbagai cara ditempuh oleh pihak yang berkepentingan
demi mendapatkan pengakuan dari negara. Guru Besar Hukum Perdata
Universitas Indonesia, Profesor Wahyono Darmabrata, mengungkapkan ada
empat cara yang populer dilakukan oleh pasangan beda agama agar
pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:2
a. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
b. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
c. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
d. Perkawinan dilakukan diluar negeri.
Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan yang
dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”. Dilanjutkan dengan
ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri
itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
Menurut ketentuan pasal 56 UU Perkawinan, bahwasanya perkawinan
yang dilakukan diluar negeri dapat diterima keabsahannya jika dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut. Hal ini menjadi celah
hukum yang dimanfaatkan oleh pasangan beda agama untuk melangsungkan
perkawinan mereka karena ada negara diluar Indonesia yang mengakui
perkawinan beda agama. Namun, pada kalimat selanjutnya disebutkan bahwa
“bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-
2
“Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama,” accessed November 10, 2021,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-penyelundupan-hukum-bagi-
pasangan-beda-agama?page=all.
Undang ini”, hal ini menjadi dilema baru karena disatu sisi negara luar
mengakui perkawinan beda agama sedangkan disisi lain Indonesia mengakui
perkawinan seagama.
Namun dalam prakteknya, perkawinan beda agama yang telah dilakukan
di luar negeri sesuai dengan ketentuan negara tersebut maka Kantor Catatan
Sipil di Indonesia tidak lagi mempermasalahkan pencatatan perkawinan
tersebut.3 Fakta tersebut malah terlihat seperti mendukung praktek
penyelundupan hukum yang terjadi.
Masyarakat Indonesia mengharapkan adanya solusi atas kekosongan
hukum yang terjadi seperti uraian diatas sehingga kedepannya perkawinan
beda agama tidak lagi menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Politik Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Sebagai negara penganut teori trias politica, Indonesia membagi
kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bagian dengan kedudukan yang sejajar,
yaitu:
a. Lembaga Eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan.
b. Lembaga Legislatif sebagai pembuat udang-undang.
c. Lembaga Yudikatif sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Sebagai negara hukum, Indonesia bercita-cita membentuk masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, politik hukum
Indonesia harus berorientasi pada cita-cita tersebut.
UU Perkawinan sebagai salah satu produk dari lembaga legislatif
sudah tidak relevan lagi karena tidak mengatur fenomena hukum yang hadir
ditengah masyarakat. Salah satunya adalah permasalahan perkawinan beda
agama yang sudah bergulir sejak lama. Permasalahan ini menimbulkan

3
Agatha Arumsari Dewi Tjahjandari, “Aspek Hukum Perkawinan Beda Agama Dikaitkan Dengan
Hak Asasi Manusia” (Universitas Indonesia, 2008).
banyak pro dan kontra dari berbagai pihak dengan berbagai perspektif seperti
agama, budaya, adat-istiadat, dan lain sebagainya,
Mengacu pada hak asasi manusia, yaitu hak paling hakiki yang
melekat pada manusia, bahwasanya manusia berhak atas kebebasan dalam
memilih kepercayaan maupun bertindak selama hal tersebut tidak melanggar
hak orang lain. Oleh karena itu, banyak desakan dari masyarakat agar UU
Perkawinan sebagai ius constitutum segera diperbaharui (pembaharuan
hukum atau rechtshervorming) agar menjadi peraturan perundang-undangan
yang diharapkan yaitu ius constituendum guna memenuhi perubahan
kehidupan dalam masyarakat.
D. KESIMPULAN
Perkawinan beda agama adalah fenomena hukum yang timbul dalam
kehidupan masyarakat. UU Perkawinan (ius constitutum) di Indonesia tidak
mengatur mengenai perkawinan beda agama sehingga hal ini menyebabkan
timbulnya kekosongan hukum (rechtsvacuum). Konsekuensinya, masyarakat
melakukan penyelundupan hukum sebagai solusi terhadap fenomena tersebut.
Berdasarkan hak asasi manusia, masyarakat mengharapkan pengesahan
atas perkawinan beda agama di Indonesia. Lembaga legislatif diharapkan segera
mengkaji dan melakukan pembaharuan hukum (rechtshervorming) agar UU
Perkawinan menjadi peraturan perundang-undangan yang diharapkan (ius
constituendum) demi tercapainya tujuan negara yaitu kehidupan masyarakat yang
adil dan makmur.
DAFTAR PUSTAKA

“Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama.” Accessed


November 10, 2021.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-
penyelundupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agama?page=all.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sudirman, Lu, and Jendy Herlinda Karwur. “Perlindungan Hukum Bagi Pasangan
Yang Melakukan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.” Journal of Judicial
Review 53, no. XVI (2014): 133–45.
Tjahjandari, Agatha Arumsari Dewi. “Aspek Hukum Perkawinan Beda Agama
Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia.” Universitas Indonesia, 2008.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai