Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PENETAPAN HAKIM NOMOR 211/Pdt.P/2019/PN.

BKS
TERKAIT PERNIKAHAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DENGAN
UMAT BERAGAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Disusun Oleh :
ANNISA RIZKY
NIM : 20410872

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2021
ANALISIS PENETAPAN HAKIM NOMOR 211/Pdt.P/2019/PN.BKS
TERKAIT PERNIKAHAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DENGAN
UMAT BERAGAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. LATAR BELAKANG
Sudah menjadi kodrat manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha
Esa kepada manusia untuk bisa berkembang dan meneruskan keturunannya.
Sebuah hasrat dan juga keinginan untuk meneruskan keturunan yang ada
pada setiap manusia merupakan hal yang wajar dan lumrah bagi setiap
manusia. Oleh karena itu, manusia berusaha untuk medapatkannya dengan
cara mencari dan menemukan pasangannya untuk melanjutkan sebuah
hubungan dan mendapatkan keturunan. Melanjutkan hubungan dan
mendapatkan keturunan dapat dilakukan dengan cara melangsungkan
perkawinan. 1
Hubungan perkawinan adalah hubungan yang mempersatukan laki-
laki dengan perempuan dalam suatu ikatan yang dipandang oleh hukum dan
secara agama adalah sah. Harapan dan tujuan dari sebuah pernikahan adalah
membangun sebuah keluarga yang harmonis sesuai dengan ajaran agama
masing-masing dan mengharapkan sebuah keturunan yang dapat menjadi
sebuah keturunan di dalamsilsilah keuarga. Keturunan atau yang identik
dengan anak merupakan sebuah amanah dan tanggungjawab yang diberikan
oleh Tuhan kepada kedua orang tuanya.2 Anak merupakan sebuah harapan
bagi orang tua pada umumnya. Pada prinsipnya kehadiran anak dalam
perkawinan akan menambah kebahagian bagi suami dan istri, pun begitu
sebaliknya ketidak hadiran anak dalam sebuah keluarga akan membuat

1
Aminah, Tinjauan Yuridis terhadap Pengangkatan Anak Internasional di Indonesia,
Laporan Penelitian Tahun 2010, Fakultas Hukum Universitas Diponergoro, hal. 1
2
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Kencana, 2008),
hal. 1
sebuah keluarga menjadi rentan terkena masalah dan cenderung tidak
harmonis. 3
Indonesia adalah negara yang memiliki sistem hukum yang tidak
berasal dari hukum nasional saja, 4 melainkan ada sistem hukum islam dan
hukum adat yang masih hidup dan berkembang di Indonesia. Di dalam
ketiga sistem hukum tersebut, terdapat pengaturan mengenai hubungan
perkawinan yang mengatur untuk setiap mereka pemeluk agama dan/atau
kepercayaan. Salah satunya dalam hukum Islam, pernikahan dilakukan
dengan didasarkan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5 Sedangkan dalam hukum adat umumnya
dilangsungkan perkawinan berdasarkan ketentuan atau aturan yang
berkembang di masyarakat hukum adat itu sendiri.
Sebuah hubungan perkawinan yang dihadirkan umumnya dikarenakan
adanya sebuah perasaan cinta yang hadir diantara perempuan dan juga laki-
laki, bahkan tanpa melihat asal usul dari orang tersebut, salah satunya
adalah asal usul yang berkaitan dengan agama. Terlebih kehidupan di
Indonesia dalam Konstitusinya memberikan kebabasan atas hak asasi
manusia dalam membangun dan membentuk sebuah keluarga melalui suatu
perkawinan yang sah.6 Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B Ayat (1). Kemudian,
bukan hanya hak untuk melangsungkan sebuah perkawinan saja, melainkan
dalam hal memilih dan memeluk agama yang ada di Indonesia juga menjadi
hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal tersebut juga diatur di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
29 Ayat (2). 7

3
Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi Serta Implikasinya,
Jurnal Esensia, Volume 1, Nomor 1, 2004, hlm. 72.
4
Aminah, Perbandingan Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum Perdata Yang
Berlaku di Indonesia, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Volume 3, Nomor 1, 2018, hal.
286.
5
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: SinarGrafika, 2014), hal. 197.
6
Laksana Arum Nugraheni, Kajian Filosofis Pencatatan Perkawinan Penghayat
Kepercayaan Berdasarkan Nilai-NILAI Pancasila Dan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal
Paradigma Hukum dan Pengembangan, Volume 6, Nomor 1, 2021, hlm. 37.
7
Sukirno, Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan
Komunitas Adat, Jurnal Hukum Progresif, Volume 7, Nomor 2, 2019, hlm. 82.
Setiap orang yang ada di Indonesia berhak untuk melangsungkan
perkawinan dan juga memilih agamanya atau kepercayaannya masing-
masing. Namun, berkenaan dengan urusan perkawinan wajib mendasari
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaiman yang telah diubah dengan adanya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut merupakan suatu hal yang
mutlak untuk menjalani dan memulai sebuah perkawinan. Dalam Undang-
Undang Perkawinan tersebut, seseorang yang ingin memulai dan
melaksanakan sebuah perkawinan wajib memenuhi syarat formil dan
materiil dari suatu Perkawinan, yaitu yang berada di dalam Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan. Adapun Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”
Pasal tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa untuk melangsungkan
perkawinan wajib dilaksanakan berdasarkan hukum menurut masing-masing
agamanya dankepercayaanya. Artinya adalah untuk melangsungkan
perkawinan, diperlukan sebuah kesamaan agama dan/atau kepercayaan dari
masing-masing pihak untuk dapat dianggap sah perkawinan tersebut.8
Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan
penganut kpeercayaan yang memiliki keinginan untuk menikah dengan
umat beragama di Indonesia? Hal tersebut pernah terjadi dan ada di
Indonesia, yang mana pemohonnya mengajukan sebuah penetapan di
Pengadilan untuk melakukan pengesahan atas perkawinan mereka. Kasus
tersebut salah satunya adalah terdapat di dalam sebuah Penetapan Hakim
Nomor 211/Pdt.P/2019/Pn.Bks. Dalam artikel ini, Penulis berusaha untuk
menganalisis menganai akibat hukum dan juga keberlakuan perkawinan
yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan dengan umat beragama di
Indonesia. Untuk menjawab hal tersebut penulis uraikan dalam artikel ini
8
Sukirno, Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan
Komunitas Adat, Jurnal Hukum Progresif, Volume 7, Nomor 2, 2019, hlm. 51.
yang berjudul Analisis Penetapan Hakim Nomor 211/Pdt.P/2019/Pn.Bks
Terkait Pernikahan Penghayat Kepercayaan Dengan Umat Beragama
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.

B. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan hukum yang diangkat dalam artike ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
perkawinan bagi umat bergarama dan penghayat kepercayaan?
2. Bagaimana akibat hukum atas perkawinan yang dilakukan oleh penganut
penghayat perkawinan dengan umat yang beragama dalam Penetapan
Hakim Nomor 211/Pdt.P/2019/Pn.Bks?

C. ANALISA HUKUM
1. Analisis Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Perkawinan Bagi Umat Bergarama Dan Penghayat Kepercayaan
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor
97/PUU/XIV/2016 memberikan sebuah terobosan baru mengenai
administrasi kependudukan, yang mana terdapat sebuah terobosan baru
yaitu adanya pencantuman identitas penghayat kepercayaan di dalam
sebuah kolom agama pada kartu penduduk yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 9 Penghayat
kepercayaan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan suatu
kepastian hukum dan juga sebuah perlindungan hukum atas perkawinan
yang dilakukannya. Kepastian hukum dalam hal ini telah diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa
perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

9
Umar Haris Sanjaya, Agus Yudha Hernoko, dan Prawitra Thalib, Prinsip Masalah Pada
Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkawinan Bagi Umat Beragama dan Penghayat
Kepercayaan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 28, Nomor 2, 2021, hlm. 260.
dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.10
Kemudian, pemerintah melakukan suatu pembaharuan atau aturan
pelaksana atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 yang berisi
tentang aturan pelaksanaan administrasi kependudukan. Isi dari peraturan
ini tidak begitu mengalami perubahan secara signifikan terhadap
mekanisme pencatatan perkawinan penghayat sebelumnya. 11 Di
ketentuan ini penghayat kepercayaan yang melakukan perkawinan
dihadapan pemuka penghayat dan ditetapkan oleh organisasi penghayat
yang terdaftar di kementerian maka dapat dicatatkan di kantor catatan
sipil.
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 81 yang
menjelaskan bahwa: 12
a. Perkawinan Penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka
Penghayat Kepercayaan
b. Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan
untuk mengisi dan juga mendatangani surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan
c. Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secarateknis
membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
Bahwa wujud dari mereka yang menjadi penghayat kepercayaan dan
melangsungkan sebuah perkawinan akibat dari putusan Mahkamah

10
Umar Haris Sanjaya, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Seri Buku Ajar,
(Yogyakarta: Gama Media, 2017), hlm. 173- 174.
11
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 Tentang pelaksanaan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan
12
Muhamad Sidik, Perkawinan Orang Islam Dengan Penghayat Kepercayaan (Studi
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan Di Cigugur Kuningan Jawa Barat), Skripsi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayutullah, 2019, hlm. 68
Konstitusi tersebut wajib dilakukan pencatatan sebagaimana yang telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Akibat hukumnya apabila tidak dicatatkan
akan berujung pada tidak diakuinya atau tidak sahnya suatu perkawinan
yang akan dilakukan.

2. Analisis Akibat Hukum Atas Perkawinan Yang Dilakukan Oleh


Penganut Penghayat Perkawinan Dengan Umat Yang Beragama
Dalam Penetapan Hakim Nomor 211/Pdt.P/2019/Pn.Bks
Penetapan tersebut diajukan oleh Kartika Pramahesti yang
merupakan penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
tunduk pada kelompok yang berada di wilayah Jawa barat dan Rasyid
Indra Pratama yang merupakan warga negara Indonesia beragama Islam.
Keduanya telah melangsungkan prosesi keagamaan tersebut di Desa
Langensari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dengan
terlebih dahulu melengkapi syarat-syarat pernikahan. Hubungan
Perkawinan Kartika Pramahesti & Rasyid Indra Pratama belum pernah
dicatatkan dan dari pernikahan ini Kartika Pramahesti & Rasyid Indra
Pratama juga belum memiliki anak. Keduanya menyadari bahwa dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan bahwa Perkawinan berbeda agama harus dilakukan
Penetapan oleh Pengadilan Negeri tempat domilisi salah satu pemohon
tinggal. Dalam positanya juga menyatakan bahwa perkawinan yang sah
di Indonesia adalah perkawinan yang dilangsungkan secara agama dan
adat yang berlaku dan berdasarkan ketentuan tersebut Para Pemohon
mengartikan bahwa telah melangsungkan pernikahan secara agama
masing-masing.
Bahwa dalam permohonan tersebut, majelis hakim memiliki
pendapat hukum bahwa karena perkawinan Para Pemohon dilangsungkan
menurut ketentuan 2 (dua) agama yaitu Islam dan juga menurut
Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tidak dapat
ditentukan lagi menurut agama yang mana sebenarnya dasar perkawinan
Para Pemohon, karena masing-masing agama diatur oleh ketentuannya
masing-masing, dimana agama Islam dicatatkan di Kantor Urusan
Agama dan selain Islam dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang terdapat di
dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa setiap
perkawinan wajib didasarkan pada ketentuan agamanya masing-masing.
Yang mana dalam pelaksanaan tersebut dijalankan menurut ketentuan
yang berbeda-beda. Sehingga memberikan sebuah akibat hukum dalam
hal kebingungan pencatatan dan dapat diartikan bahwa perkawinan
tersebut memiliki akibat hukum yang tidak sah atas perkawinan yang
dilakukan.13 Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat hakim
selanjutnya yang menyatakan bahwa permohonan Para Pemohon tidak
dapat diterima (NO).
Untuk sahnya suatu perkawinan yang ditinjau dari sudut
keperdataan belaka adalah bilamana perkawinan tersebut sudah dicatat
atau sudah didaftarkan pada kantor catatan sipil. Selama perkawinan itu
belum terdaftar, perkawinan tersebut masih belum dianggap sah menurut
ketentuan hukum sekalipun mereka sudah memenuhi prosedur dan tata
cara agama. Sehingga dari itu ada kemungkinan timbulnya apa yang
dinamakan 'anak haram perdata', disamping istilah anak haram menurut
ketentuan agama. Sedangkan bilamana ditinjau sebagai perbuatan
keagamaan, pencatatan perkawinan hanyalah sekedar memenuhi
administrasi perkawinan yang tidak menentukan sah atau tidaknya. 14
Dalam hal ini perkawinan yang dilakukan oleh Kartika Pramahesti yang
merupakan penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
tunduk pada kelompok yang berada di wilayah Jawa barat dan Rasyid
Indra Pratama yang merupakan warga negara Indonesia beragama Islam

13
Heru Susetyo, Pencatatan Perkawinan Bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum dan
pembangunan, Nomor 1-3 Tahun XXVIII, 1998.
14
Abdurrahman, Sedikjt tentang Masalah Pencatatan Perkawinan di Indonesia dalam
Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 10.
wajib dicatatkan untuk dapat diakui secara agama dan dianggap sah. 15
Hal tersebut juga menjadi penting untuk diperhatikan, karena akan
mempengaruhi terhadap status anak yang akan diahirkannya kelak.
Sekalipun sudah dilangsungkan melalui tata cara Islam dan juga
berdasarkan ketentuan penghayat kepercayaan, namun hal tersebut tidak
memberikan dampak hukum apapun dan malah sebaliknya, yaitu
dianggap tidak sah.16
Bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (1) menjadi syarat mutlak untuk
dilangsungkan sebuah perkawinan dan berdasarkan ketentuan Konstitusi
perkawinan tersebut wajib diatur menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing. Apabila Pemohon Kartika Pramahesti
adalah penganut penghayat kepercayaan, maka dalam hal ini wajib
melakukan perkawinannya dan melakukan pencatatannya kelak di
hadapan pemuka penghayat kepercayaan dan pencatatan sipil. 17
Sedangkan, Pemohon Rasyid Indra Pratama apabila beragama Islam,
maka dalam hal ini wajib melakukan perkawinan berdasarkan ketentuan
agama Islam dan mencatatkannya di KUA. Secara formil ketentuan
pencatatan dan pelaksanaan perkawinan keduanya sudah berbeda.
Sehingga, mustahil untuk dipenuhinya ketentuan Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaiman
yang telah diubah dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
yang dilakukan beda agama atau kepercayaan dengan suatu agama tidak
dapat dicatatkan dalam suatu catatan sipil. 18

D. KESIMPULAN

15
Abdul Syukur, Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum Di
Indonesia, (Tangerang: Literati, 2014), hlm. 66.
16
Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan Di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 3, 2017, hlm.
24.
17
Sukma Yektiningsih, Efektivitas Pencatatan Perkawinan terhadap Penghayat
Kepercayaan Di Kota Surabaya, Artikel Ilmiah, Universitas Brawijaya Malang, 2014, hlm. 15.
18
Anggreni Carolina Pandi, Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,
Jurnal Lex Privatum, Volume 1, Nomor 2, 2013, hlm. 197.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pernikahan yang dilakukan oleh Pemohon yang dimohonkan untuk
dianggap sah perkawinannya tidak dapat diterima oleh hakim, karena
menggunakan 2 (dua) cara atau ketentuan yang berbeda dalam
pelaksanannya. Hal tersbeut melanggar dan tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada di dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
agama dan kepercayaannya masing-masing. Sehingga, wajar apabila dalam
permohonan penetapan perkawinan tersebut dibatalkan oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syukur, Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum Di
Indonesia, (Tangerang: Literati, 2014).
Abdurrahman, Sedikjt tentang Masalah Pencatatan Perkawinan di Indonesia
dalam Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1986).
Aminah, Tinjauan Yuridis terhadap Pengangkatan Anak Internasional di
Indonesia, Laporan Penelitian Tahun 2010, Fakultas Hukum Universitas
Diponergoro.
Aminah, Perbandingan Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum Perdata Yang
Berlaku di Indonesia, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Volume 3,
Nomor 1, 2018.
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Kencana,
2008).
Anggreni Carolina Pandi, Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,
Jurnal Lex Privatum, Volume 1, Nomor 2, 2013
Heru Susetyo, Pencatatan Perkawinan Bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum
dan pembangunan, Nomor 1-3 Tahun XXVIII, 1998.
Laksana Arum Nugraheni, Kajian Filosofis Pencatatan Perkawinan Penghayat
Kepercayaan Berdasarkan Nilai-NILAI Pancasila Dan Peraturan
Perundang-Undangan, Jurnal Paradigma Hukum dan Pengembangan,
Volume 6, Nomor 1, 2021.
Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi Serta
Implikasinya, Jurnal Esensia, Volume 1, Nomor 1, 2004.
Muhamad Sidik, Perkawinan Orang Islam Dengan Penghayat Kepercayaan
(Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan Di Cigugur Kuningan Jawa
Barat), Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah, 2019.
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 Tentang pelaksanaan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan.
Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan Di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume
14, Nomor 3, 2017.
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: SinarGrafika, 2014).
Sukirno, Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan
Komunitas Adat, Jurnal Hukum Progresif, Volume 7, Nomor 2, 2019.
Sukirno, Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan
Komunitas Adat, Jurnal Hukum Progresif, Volume 7, Nomor 2, 2019.
Sukma Yektiningsih, Efektivitas Pencatatan Perkawinan terhadap Penghayat
Kepercayaan Di Kota Surabaya, Artikel Ilmiah, Universitas Brawijaya
Malang, 2014.
Umar Haris Sanjaya, Agus Yudha Hernoko, dan Prawitra Thalib, Prinsip Masalah
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkawinan Bagi Umat
Beragama dan Penghayat Kepercayaan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
Volume 28, Nomor 2, 2021.
Umar Haris Sanjaya, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Seri Buku Ajar,
(Yogyakarta: Gama Media, 2017).

Anda mungkin juga menyukai