Anda di halaman 1dari 27

PENETAPAN DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

TASIKMALAYA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 16 TAHUN 2019


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN

(STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm)

A. Latar belakang

Hukum merupakan seperangkat aturan yang berisi norma-norma dan

kaidah-kaidah yang sifatnya mengikat serta memaksa sebagai alat untuk

mengatur tingkah laku manusia demi terciptanya keadilan dan ketertiban hidup

masyarakat. Hukum dinegara indonesia merupakan hal yang sangat penting

kerena didalamnya mengatur keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur kehidupan masyarakat termasuk dalam hal membangun rumah

tangga atau yang dapat disebut sebagai perkawinan.

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk

hidup ciptaan Tuhan, karena manusia memiliki akal, namun demikian sebagai

makhluk biologis merupakan individu yang memiliki potensi-potensi kejiwaan

yang harus dikembangkan. Dalam rangka perkembngan itu, sudah tentu tidak

mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam suatu antar hubugan sesama

manusia.1

1
Hartono dan Arnicun, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2011, hlm.60.
Perkawinan adalah ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu

unsur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum,

baik hukum agama maupun hukum negara. Perkawinan merupakan cara yang

dapat ditempuh oleh manusia sebagai cara legal yang diberikan agama dan

Negara sebab tanpa aturan dalam hal perkawinan ini mustahil bisa mempunyai

hidup yang terarah. Hal ini bertujuan agar manusia melaksanakan perkawinan

sekali saja seumur hidupnya.

Negara indonesia telah mengatur ketentuan hukum tentang

perkawinan, karena perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang sacral

bagi setiap laki-laki dan perempuan yang ingin membina rumah tangga, dari

perkawinan seseorang akan lebih bisa memperoleh keseimbangan hidup baik

secara biologis psikologis maupun secara sosial.

Sebelum adanya Undang-undang perkawinan tentang tata cara

perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya diatur menurut hukum

agama dan hukum adat masing-masing namun kemudian pada tahun 1974,

pemerintah indonesia mengesahkan aturan atau undang-undang yang mengatur

tentang perkawinan yakni undang-undang nomor 1 tahun 1974. Menurut

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa tujuan pernikahan

yang berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.’'
Menyangkut syarat batasan umur, perkawinan hanya diizinkan

menurut undang-undang no 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 apabila laki-laki dan perempuan telah berumur 19 tahun.2

dan dilanjutkan lagi pada ayat ke (2) menyatakan bahwa jika terjadi

penyimpangan usia maka harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan.

Adapun pihak yang berwenang memberikan dispensasi nikah adalah

pengadilan Agama atau pengadilan Negeri. Pengadilan merupakan lembaga

peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung yang melaksanakantugas

untuk menegakan hukum dan keadilan bagi para pihak pencari keadilan 3

sebagaimana yang ditetapkan PERMA Nomor 5 tahun 2019.

Batasan usia dalam melangsungkan perkawinan merupakan suatu hal

yang penting dalam suatu aspek perkawinan, karena batasan usia untuk

menikah membutuhkan kematangan psikologis seseorang Pengaturan hukum

mengenai perkawinan berlaku sama bagi semua warga Negara oleh karena itu,

setiap warga Negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, termasuk

terhadap Undang-undang perkawinan yang menjadi dasar terciptanya

kepastian hukum, baik dari segi hukum keluarga , harta, benda dan akibat

hukum suatu perkawinan.

2
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017),
hlm.42.
3
Rosadi, Aden. (2015). Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum, (ctk.1).
Bandung : Simbiosa rekatama media
Bicara tentang batasan usia nikah, rasanya kurang bijaksana jika sama

sekali menutup mata dan telinga akan kenyataan bahwa banyak sekali terjadi

pernikahan dini di tengah-tengah masyarakat, terutama di kalangan

masyarakat pedalaman. Pertanyaannya kemudian, apakah pernikahan tersebut

dilangsungkan berdasarkan aturan main (rule of the game) yang ditetapkan

oleh Undang-Undang atau justru menghalalkan segala cara untuk dapat

melangsungkan pernikahan tersebut. Hanya saja, jika di dalam sebuah desa,

khususnya wanita yang melangsungkan pernikahan dini dianggap suatu hal

yang wajar, rasanya sulit untuk mengikuti mekanisme yang telah diatur.

Dikatakan demikian, karena adanya peluang dispensasi dalam pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan jalan alternatif dan

tentunya dengan alasan-alasan tertentu saja. Hal ini dimaksudkan agar

terwujudnya tujuan pernikahan itu sendiri. Jikalau pernikahan dini nyaris

menjadi kebiasaan dan terkesan tidak membutuhkan jalan alternatif, maka

menjadi wajar jika dikhawatirkan adanya langkah-langkah yang kurang

dibenarkan, seperti nikah sirri atau nikah bawah tangan.

Kekhawatiran tersebut sangat berkaitan erat dengan efektivitas

pemberlakuan Undang-Undang ini, khususnya dalam hal regulasi batasan usia

nikah di tengah-tengah masyarakat. Membicarakan hal ini, berarti

membicarakan daya kerja hukum tersebut dalam mengatur dan memaksa

masyarakat untuk taat terhadap hukum yang ada. Dalam hal ini, setidaknya
ada empat faktor penting yang turut mempengaruhi penegakan hukum di

tengah-tengah masyarakat, yaitu kaidah hukum/peraturan itu sendiri, penegak

hukum, sarana yang digunakan oleh penegak hukum, dan kesadaran

masyarakat selaku subyek hukum.

Dispensasi nikah merupakan pemberian izin menikah bagi calon suami

istri yang belum mencapai usia 19 tahun. Dispensasi nikah dapat diartikan

sebagai keringanan atau pembebasan bagi laki-laki dan perempuan dari suatu

kewajiban atau larangan dalam pemenuhan persyaratan untuk melangsungkan

perkawinan, sehingga dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah, harus

berdasarkan alasan mendesak. Alasan mendesak yang tertera dalam undang-

undang tidak disebutkan secara rinci sehingga menciptakan peluang bagi

masyarakat untuk mengajukan permohonan dispensasi nikah. Adapun dalam

penerapannya, dispensasi nikah tidak semata-mata dalam menetapkan

keputusan seperti dalam Undang-undang maupun hukum yang tidak tertulis

dalam Undang- undang. Kemudian dalam pertimbangannya hakim harus

memiliki alasan, dasar hukum serta pasal yang dijadikan sebagai patokan

dalam memutus suatu perkara agar tercapainya suatu pemahaman dan dapat

ditarik kesimpulan bukan sekedar motivasi saja, melainkan harus terdapat

sitematika dan memberikan pemahaman bagi yang membacanya.4

4
M Yahya Harahap (2009) Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika Hlm. 313
Menurut data yang penulis peroleh dari pengadilan Agama

Tasikmalaya Kelas 1.A Dalam kurun waktu 5 tahun, dispensasi nikah di

pengadilan agama Tasikmalaya kelas 1A tercatat sebanyak 3.068 anak di

bawah umur mengajukan permohonan dispensasi nikah. Untuk data pada

tahun 2022 saja, tercatat ada sebanyak 777 perkara Dispensasi mulai terlihat

naik sejak 2019 yang saat itu tercatat sebanyak 286 perkara. Begitu pun pada

tahun 2020 naik menjadi 946 perkara. Bahkan tahun 2021, naiknya cukup

signifikan yakni sebanyak 1.028 perkara dispensasi.

Pada dasarnya penerapan batas usia perkawinan memiliki tujuan

untuk kemaslahatan dan kebaikan, khususnya bagi mempelai. Dalam Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan yang kemudian diubah

dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 pada bagian penjelasan Umum

Nomor 4 Huruf (d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus matang

lahir batin agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa

berujung pada perceraian. dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang

dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai masalah

kependudukan. ternyatalah bawah umur yang lebih rendah bagi seorang

wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi Pembatasan usia


perkawinan juga dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas sumber daya

manusia Indonesia.

Berkaitan dengan ketentuan diatas, di pengadilan agama tasikmalaya

masih banyak diajukan perkara dispensasi kawin salah satunya penetapan

nomor perkara 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm. yang memberikan dispensasi kawin

kepada anak yang berumur 17 tahun 6 bulan. Berdasarkan uraian tersebut

diatas penulis tertarik untuk mengambil judul :

PENETAPAN DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA


TASIKMALAYA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 16 TAHUN 2019
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDY KASUS PENETAPAN NOMOR
878/Pdt.P/2022/PA.Tsm)

B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dan untuk lebih terfokus

dalam membahas tulisan ini, sehingga mampu menguraikan pembahasan

dengan tepat, maka disusun beberapa permasalahan. Adapun identifikasi

masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penetapan Dispensasi kawin Pengadilan Agama

Tasikmalaya dihubungkan dengan pasal 16 Tahun 2019 tentang

perubahan atas undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan pada penetapan nomor 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm?


2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam penetapan

nomor 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian yang dilakukan

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Penetapan putusan Pengadilan Agama

Tasikmalaya dihubungkan dengan pasal 16 Tahun 2019 tentang

perubahan atas undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan terhadap upaya menekan pernikahan dibawah umur

pada putusan 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam putusan

878/Pdt.P/2022/PA.Tsm?

D. Kegunaan penelitian

Diharapkan dapat memberikan manfaat dan mempunyai konstribusi,

baik secara teoritis maupun secara praktis terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan antara lain :

1. Secara Teoritis,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

kepustakaan, khususnya mengenai kajian empirik mengenai


penetapan dan menambah wawasan pengetahuan di bidang

hukum perdata khususnya pada kajian hukum terhadap

dispensasi nikah menurut Undang-undang no 16 tahun 2019.

2. Secara praktis,

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber pemahaman

untuk masyarakat, terkait dispensasi nikah dan pengaruh

batasan usia terhadap perkawinan. Sehingga masyarakat dapat

meminimalisir permohonan dispensasi nikah di pengadilan

agama dan mencegah pernikahan anak dibawah umur

E. Kerangka Pemikiran

1. Pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan no 1

tahun 1974

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Menurut para sarjana hukum ada beberapa pengertian perkawinan,

sebagai berikut, yakni :

1) Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo

mengemukakan : arti perkawinan adalah hubungan suatu hukum

antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama

dengan kekal yang diakui oleh negara.


2) Subekti, mengemukakan : arti perkawinan adalah pertalian yang

sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

waktu yang lama.

3) Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan : arti perkawinan adalah

suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan

tersebut baik agama maupun aturan hukum5

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup

karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir

batin antara pria dan wanita yang dibangun atas nilai-nilai sakral karena

berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang merupakan sila pertama

pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya

dengan ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi kedua-duanya.6

Yang dimaksud dengan Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat,

yang mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan

seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, atau dengan kata

lain dapat disebut sebagai hubungan formal. Ikatan batin merupakan

hubungan yang tidak formal yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat,

dan ikatan ini harus ada dalam suatu perkawinan karena tanpa adanya

ikatan bahin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Oleh karena itulah

5
Eoh. O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet.II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 27.28
6
K.Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm.14
terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan bathin merupakan pondasi dalam

membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha esa.7

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya

dan kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Ada 6 asas yang prinsipil dalam Undang-undang Perkawinan ini:

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual

dan material.

2) Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3) Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila ia

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama

dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat

beristri lebih dari seorang.

7
Ibid hlm.15
4) Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon

suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan, secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat.

5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

yang bahagia kekal dan kedudukan sejahtera, maka undang-

undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya

perceraian.

6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.8

2. Perkawinan Kompilasi Hukum Islam

8
Jurnal Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang , Hukum Islam, dan Hukum Adat
YUDISIA, Vol. 7, No. 2, Desember 2016
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/view/2162/1790 diakses pada tanggal 25-02-
2023 pukul 15:37 wib.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan yang oleh sebagian ahli

menganggap sebagai aturan tidak tertulis (meski bentuknya tertulis).9

Pengertian perkawinan menurut hukum islam tercantum dalam Pasal 2

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

(selanjutnya ditulis KHI).10 KHI pada kenyataannya tertulis namun sama

saja sebagai hukum tidak tertulis, sebab KHI tidak sama seperti undang-

undang, bukan pula Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan aturan

lainnya. KHI menunjukkan hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata di

dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang

beragama Islam.11

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah”. Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah”.

Pengertian berikutnya dipahami dari rumusan Ghazaly, bahwa

perkawinan atau pernikahan adalah suatu akad yang memberikan faedah

hukum mengenai kebolehan mengadakan hubungan keluarga antara

9
Imanuddin, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai Normative Consideration Majlis Hakim
Pengadilan Agama” Jurnal: Waqfea. Vol. 11, No. 3, Desember 2020, hlm. 12
10
Mahkamah Agung, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi
Hukum Islam dengan Pengertian dan Pembahasannya, (Jakarta: Mahkamah Agung RI 2011), hlm. 64.
11
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hlm. 33
seorang pria dengan seorang wanita, saling tolong menolong, menetapkan

batas hak dan kewajiban bagi masing-masing.12

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat peting dalam Islam,

sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang

merupakan inti dari kehidupan masyarakat dan sejalan dengan ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.13

Pernikahan tidak hanya memiliki tujuan profane (keduniaan), akan

tetapi memiliki tujuan yang sakral (keakhiratan). Hal tersebut tidak dapat

dilepaskan dari ditentukannya pernikahan sebagai bagian dari syari’at.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam Islam, pernikahan

pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu belaka,

melainkan untuk meraih ketenangan, ketenteraman dan sikap saling

mengayomi di antara suami isteri dengan dilandasi rasa cinta dan kasih

sayang yang mendalam.14 Di samping itu pula, untuk menjalin tali

persaudaraan di antara kedua keluarga dari pihak suami dan pihak isteri

dengan berlandaskan pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam

Islam.

Pada dasarnya agama Islam sangat menganjurkan kepada umatnya

yang sudah mampu untuk menikah. Namun, karena adanya beberapa

12
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 9
13
Ahmad Hamid Strong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Aceh : Penah 2010), hlm.1-2
14
Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perdebatan (Yogyakarta: Darussalam, 2004),
hlm. 20.
kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi

menjadi lima macam sebagai berikut:

a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang

mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada

isterinya dan keperluan - keperluan lain yang harus dipenuhi;

b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan

kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan;

c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan

pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada

isterinya atau kemungkinan lain lemah syahwat;

d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk

menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini

juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja

kepada isterinya, sedang nafsunya tidak mendesak;

e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal

yang mengharuskan segera nikah atau yang

mengharamkannya.15

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan

adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik

15
Muhammad Yunus Samad, Jurnal Hukum Pernikahan Dalam Islam Vol 5 No 1 (2017): ISTIQRA'
secara hukum. Di dalam agama Islam juga telah diatur mengenai hukum-

hukum perkawinan bagi yang sudah mampu untuk menikah.

3. Batas usia perkawinan

Adanya pembatasan usia minimal perkawinan adalah sebagai bentuk

perlindungan hukum terhadap anak. Kesehatan, kesejahteraan dan masa

depan anak-anak harus terjaga, hal ini tidak akan terjadi jika perkawinan

anak di bawah umur masih banyak terjadi. Mengingat perkawinan di

bawah umur rentan akan terjadinya kekerasan rumah tangga, kekerasan

seksual maupun tingginya perceraian.16

Menurut penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perubahan norma dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia

untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan

menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini

batas minimal umur perkawinan bagi wanita di persamakan dengan batas

minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Didalam pasal 7 ayat (1) undang-undang No 1 tahun 1974 telah

membatasi umur untuk pelaksanaan perkawinan “Perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
16
Elkhairati, “Pembatasan Usia Perkawinan (Tinjauan Undang-undang dan Maqashidasy-Syari’ah)”,
Jurnal Al Istinbath 3(1), 2018, hal 87-106
http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/view/403 diakses pada tanggal 27-02-2023
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan

ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih

dibawah umur. Dengan adanya ketentuan pembatasan umur calon

mempelai ini dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan

melangsungkan perkawinan sudah matang jiwa raganya, sehingga dapat

membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya tanpa berakhir dengan

perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.17

Pembatasan minimal usia perkawinan diperlukan karena dalam

perkawinan sebagai peristiwa hukum yang akan merubah kedudukan,

hak dan kewajiban pada diri seseorang. Perubahan tersebut diantaranya

adalah perubahan terhadap hak dan kewajiban dari seorang anak menjadi

suami atau. istri.18

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 1 menentukan

batas usia untuk setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan yaitu

dengan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Namun

dalam usia tersebut hanya melihat dalam kesiapan fisik saja tanpa melihat

kesiapan psikisnya. Usia tersebut menurut penulis belum dapat untuk

membangun rumah tangga karena perkawinan memerlukan kesiapan usia

17
R.Badri, Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan & KUHP, (Surabaya: CV.Amin, 1985),
hal 29
18
Rizdan Askhabul Kahfi1, CSA Teddy Lesmana Tinjauan Pernikahan Dini Menurut Undang-
Undang PerkawinanTerhadap Keharmonisan Rumah Tangga Jurnal Hukum dan HAM Wara
SainsVol. 2, No. 01, Januari, pp. 67
https://wnj.westscience press.com/index.php/jhhws/article/view/192/123 diakses tanggal 28-02-
2023 jam 21:04
yang matang dalam psikologi. Usia yang matang yaitu antara 21-30 tahun

oleh sebab itu ketentuan tersebut perlu dikaji lagi untuk mewujudkan

rumah tangga yang kekal dan bahagia maka ketentuan tersebut menarik

untuk diteliti.

4. Dispensasi kawin

Dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya

tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan. Dispensasi

pernikahan memiliki arti keringanan akan sesuatu batasan (batasan umur) di

dalam melakukan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Dispensasi pernikahan merupakan dispensasi atau keringanan yang

diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup

umur untuk melangsungkan pernikahan.19

Menurut Mardi Candra dispensasi kawin merupakan aturan hukum

yang berlaku khusus karena kondisi dan keadaan yang tertentu yang

membuat seseorang tidak melaksanakan perkawinan sesuai dengan batas

usia yang telah ditentukan.20 Rumusan ini bermakna bahwa, seseorang

secara hukum (yuridis) tidak layak menikah karena batas umur salah satu

pasangan (pria dan wanita) dianggap belum layak menikah dan karenanya
19
Haris Hidayatulloh dan Miftakhul Janah,“Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum
Islam.”Jurnal Hukum Keluarga Islam, Volume 5, Nomor 1, April 2020, hal. 44.
20
Mardi Candra, Pembaruan Hukum Dispensasi Kawin dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2021), hlm. 122.
oleh hukum memberi peluang melaksanakan perkawinan melalui proses

penetapan dispensasi kawin.21

Konsep dispensasi kawin kemudian diatur dengan tegas di dalam

Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi Kawin, tepatnya Pasal 1 butir ke 5 sebagaimana dapat

dipahami berikut ini:22

“Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan

kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk

melangsungkan perkawinan.”

PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi Kawin merupakan paying hukum yang dapat

digunakan dalam mengadili perkara dispensasi kawin, karena sebelumnya

tidak ada aturan khusus yang mengatur secara jelas mengenai apa saja

ketentuan yang dapat dijadikan alasan agar dispensasi kawin dikabulkan. Oleh

karena itu, PERMA Nomor 5 Tahun 2019 hadir yang pada intinya bertujuan

untuk menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak,

mengidentifikasi apakah ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi

permohonan dispensasi perkawinan anak, mewujudkan standarisasi proses

21
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm.
41-42.
22
Andreas Dewantoro, Penyuluhan Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Budi Utama, 2021),
hlm. 221.
mengadili dispensasi kawin, dan meningkatkan tanggung jawab orang tua

untuk mencegah perkawinan anak.23

Adanya dispensasi kawin ini muncul sebagai opsi lain bagi para calon

mempelai yang belum mencapai usia minimal menikah. Hakim

mengabulkan atau menolak permohonan tersebut setelah mendengarkan

kesaksian para pemohon, calon mempelai dan saksi yang dihadirkan dalam

persidangan. Seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap

Ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Dalam undang-undang Perkawinan terdapat pengaturan mengenai usia

perkawinan, namun dalam pasal lainnya yaitu perkawinan dapat dilakukan

apabila terdapat dispensasi dari pengadilan. Dispensasi ini berupa izin

sebagai dasar bagi Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil untuk

menikahkan calon pasangan suami dan istri.

Dispensasi diajukan dalam bentuk permohonan. Sebagaimana yang

diketahui suatu permohonan melahirkan penetapan dan dasar pengajuannya

karena tidak terjadi persengketaan antara para pihak, oleh karenanya pihak

dapat saja terdiri dari 1 (satu) orang. Permohonan dispensasi tidak berkaitan

dengan tuntutan hak, tetapi dengan di proses melalui pengadilan, dengan

23
Ali Imran Hs., Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak, Juli, 5, tahun 2011, 69
perkataan lain kedudukan hukum acara perdata yang perlaku adalah berupa

peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin

pelaksanaan hukum perdata materiil, dalam hal ini adalah hukum

perkawinan.

Semua peradilan di seluruh wilayah Negara republik Indonesia adalah

peradilan Negara yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 UUKK

menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung

dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan pengadilan agama, lingkungan peradilan tata usaha

Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Mengacu pada pasal 49 dan 50 Undang-undang Peradilan agama maka

yang memiliki kompetensi absolut untuk menerima dan memutus serta

menetapkan permohonan dispensasi adalah pengadilan agama bagi para

pihak yang beragama islam. Oleh karenanya, pengadilan agama sebagai

bagian atau perpanjangan tangan mahkamah agung yang bertugas

menerima, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara tertentu, dalam

menangani masalah dispensasi nikah tetap mengacu pada proses dan

prosedur perundang-undangan yang berlaku.24

F. Metode Penelitian

24
Sonny Dewi Judiasih, Perkawinan dibawah Umur di Indonesia (beserta perbandingan usia
perkawinan di bawah umur dibeberapa Negara) PT Refika Aditama hlm 37
Metode penelitian merupakan langkah yang dilakukan oleh peneliti

dengan tujuan pengumpulan data dan informasi secara sistematis :

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif Menurut

Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran

terhadap peraturan-peraturan dan literatur- literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.25

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis untuk

melengkapi penelitiannya yaitu menggunakan studi kepustakaan (data

sekunder)

menurut Soerjono Soekamto menyatakan bahwa data sekunder

merupakan data yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.26 meliputi

bahan-bahan atau literatur dan pendapat para ahli, yang meliputi undang-

undang tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan

tentang perkawinan, data juga diperoleh dari dokumentasi dan laporan

perkara yang diputus.

25
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
26
Soejono Soekamto, Pengantar penelitian Hukum, UI Press, Jakarta , 2007, hlm 12
3. Metode analisis data

Teknik analisis data hukum yang digunakan adalah teknik interpretasi atau

penafsiran. Teknik interpretasi yang diambil oleh penulis yaitu, interpretasi

Gramatikal dan Interpretasi Sistematis. Maksud dari Interpretasi

Granatikal dikarenakan cara menafsirkan undang-undang menurut arti

kata-kata yang terdapat dalam undang-undang maksudnya adalah hakim

wajib menilai arti kata yang lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.

Dan maksud dari Interpretasi Sistematis dikarenakan menafsirkan

peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau

undang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-

undang lain dengan keseluruhan sistem.

G. Sistematika Penulisan

BAB I Pada bab ini adalah pendahuluan yang berisikan tentang

latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan

Peneliitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemirikan,

Metode Penelitian, dan Sitematika Penulisan.

BAB II Pada bab ini yakni diuraikannya tentang tinjauan

pustaka mengenai Pengertian peradilan, peradilan

agama, tugas dan wewenang peradilan agama,

kedudukan pengadilan agama, pengertian hukum acara

perdata, pengertian perkawinan, syarat-syarat


perkawinan, dasar hukum perkawinan, tujuan

perkawinan, asas perkawinan, pengertian dispensasi

kawin tinjauan dispensasi kawin, tinjauan dispensasi

dalam hukum islam, perkawinan anak dibawah umur.

BAB III Penetapan Pengadilan agama tasikmalaya

878/Pdt.P/2022/PA.Tsm,

BAB IV Penetapan Pengadilan Agama Tasikmalaya Nomor

878/Pdt.P/2022/PA.Tsm tentang dispensasi kawin.

1. Penetapan dispensasi kawin Pengadilan Agama

Tasikmalaya dihubungkan dengan pasal 16 Tahun

2019 tentang perubahan atas undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada penetapan

nomor 878/Pdt.P/2022/PA.Tsm

2. Pertimbangan hakim dalam penetapan nomor

878/Pdt.P/2022/PA.Tsm

BAB V Pada bab ini sebagai penutup berisikan kesimpulan dan

saran
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ahmad Hamid Strong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Aceh : Penah 2010),
hlm.1-2

Hartono dan Arnicun, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2011, hlm.60.

M Yahya Harahap (2009) Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika Hlm. 313

Eoh. O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet.II, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 27.28

Rosadi, Aden. (2015). Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan


Hukum, (ctk.1). Bandung : Simbiosa rekatama media

K.Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm.14

Sonny Dewi Judiasih, Perkawinan dibawah Umur di Indonesia (beserta perbandingan


usia perkawinan di bawah umur dibeberapa Negara) PT Refika Aditama hlm 37

Soejono Soekamto, Pengantar penelitian Hukum, UI Press, Jakarta , 2007, hlm 12

Amiruddin,Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2006), hlm 30
R.Badri, Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan & KUHP, (Surabaya:
CV.Amin, 1985), hal 29

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2017), hlm. 42.

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum


Islam dengan Pengertian dan Pembahasannya Mahkamah Agung, (Jakarta:Mahkamah
Agung RI 2011), hlm. 64.

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2015), hlm. 9

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 33

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2017), hlm. 41-42.

Mardi Candra, Pembaruan Hukum Dispensasi Kawin dalam Sistem Hukum di


Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2021), hlm. 122.

Ali Imran Hs., Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak, Juli, 5, tahun
2011, 69

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 ayat 1

Imanuddin, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai Normative Consideration


Maj lis Hakim Pengadilan Agama” Jurnal: Waqfea. Vol. 11, No. 3, Desember 2020,
hlm. 12,

Jurnal Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang , Hukum Islam, dan


Hukum Adat YUDISIA, Vol. 7, No. 2, Desember 2016
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/view/2162/1790 diakses pada
tanggal 25-02-2023 pukul 15:37 wib.

Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perdebatan (Yogyakarta:


Darussalam, 2004), hlm. 20.
Muhammad Yunus Samad, Jurnal Hukum Pernikahan Dalam Islam Vol 5 No 1
(2017): ISTIQRA'
http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/istiqra/article/view/487 diakses pada tanggal 27-
02-2023

Elkhairati, “Pembatasan Usia Perkawinan (Tinjauan Undang-undang dan


Maqashidasy-Syari’ah)”, Jurnal Al Istinbath 3(1), 2018, hal 87-106
http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/view/403 diakses pada
tanggal 27-02-2023

Rizdan Askhabul Kahfi1, CSA Teddy Lesmana Tinjauan Pernikahan Dini Menurut
Undang-Undang PerkawinanTerhadap Keharmonisan Rumah Tangga Jurnal
Hukum dan HAM Wara SainsVol. 2, No. 01, Januari, pp. 67
https://wnj.westscience press.com/index.php/jhhws/article/view/192/123 diakses
tanggal 28-02-2023 jam 21:04
Haris Hidayatulloh dan Miftakhul Janah,“Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum
Islam.”Jurnal Hukum Keluarga Islam, Volume 5, Nomor 1, April 2020, hal. 44.
https://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/download/2128/1139 diakses tanggal 28 febuari
2023

Anda mungkin juga menyukai