Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum modern di antara sistem

hukum lainnya yang ada di dunia ini mempunyai sifat yang dinamis dan fleksibel

sesuai dengan dinamika masyarakat, serta merupakan pedoman yang hidup bagi

umat Islam sepanjang masa.1

Hukum Islam merupakan keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada

Al-Qur’an. Untuk kurun zaman tertentu, di konkritkan oleh Nabi Muhammad

dalam tingkah laku beliau yang lazim di sebut Sunnah Rasul. Kaidah-kaidah yang

bersumber dari Allah SWT, lebih di konkritkan dan diselaraskan dengan

kebutuhan zamannya melalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan

pakar di bidangnya masing-masing.2

Sudah menjadi ketentuan bahwa manusia dilahirkan ke dunia berpasang-

pasangan, mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia

lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama salah satunya dimulai

dengan adanya sebuah keluarga, karena keluarga merupakan gejala kehidupan

umat manusia yang pada mulanya dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan

seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang

1
Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Trussmedia Grafika, Yogyakarta, 2014. Hlm.225.
2
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011. Hlm.29.

1
perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan

perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Ia bahkan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia

normal. Tanpa perkawinan, kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna

dan lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Sebab Allah SWT menciptakan

makhluknya secara berpasang-pasangan. Nabi Muhammad SAW juga

mengingatkan bahwa perkawinan merupakan sunnahnya. Karena itu mereka yang

melaksanakan perkawinan berarti mengikuti sunnah beliau.3

Pada hakekatnya perkawinan itu melibatkan keluarga kedua belah pihak,

tetapi yang dominan peranannya dalam menentukan arah dan tujuan perkawinan

itu adalah pasangan suami istri. Gelombang kehidupan suami istri dalam

kehidupan berumah tangga memang sangat dinamis. Tak satupun keluarga yang

hidup berjalan lurus sesuai keinginan, tanpa adanya gelombang problematika yang

senantiasa berubah. Kemampuan sebuah keluarga dalam menghadapi persoalan

rumah tangga salah satunya dapat ditentukan oleh kematangan suami istri.4

Mereka yang sudah matang, baik secara fisik maupun psikhis pasti memiliki

pertimbangan-pertimbangan sebelum mengambil keputusan mengenai kelanjutan

3
H. Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memenuhi Dunia Perkawinan, Kencana Mas Publishing House,
Jakarta, 2005. Hlm.18.
4
Ibid. hlm. 16-17.

2
keluarga mereka. Tentu hal ini akan berbeda dengan pasangan yang belum matang.

Mereka tidak akan mampu mengelola emosi yang muncul sehingga sering tanpa

pertimbangan yang matang, mereka memutuskan untuk mengakhiri kehidupan

rumah tangga mereka.

Perkawinan di Indonesia mendapat legalitas menurut hukum selama

dilangsungkan menurut ketentuan agama atau kepercayaan yang dianut serta tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di antara

persyaratan perkawinan yang berlaku di Indonesia menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) adalah

berkaitan dengan usia perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami

maupun calon istri harus memiliki kematangan jiwa dan raga agar dapat

melangsungkan perkawinan, dengan maksud agar supaya dapat mewujudkan

tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk

mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu dalam pasal 7 ayat

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk

melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan

16 tahun bagi wanita.

Berdasarkan ketentuan ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, jika

terjadi penyimpangan dari persyaratan usia perkawinan tersebut di atas, maka

perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah mendapat dispensasi dari

3
pengadilan. Dispensasi kawin diajukan oleh orang tua calon mempelai pria

dan/atau calon mempelai wanita ke Pengadilan Agama agar anaknya yang belum

mencapai batas usia perkawinan dapat diberikan dispensasi untuk kawin

disebabkan berbagai pertimbangan yang bersifat mendesak.

Di antara alasan yang sering dikemukakan di dalam permohonan dispensasi

tersebut adalah hubungan di antara calon mempelai pria dan calon mempelai

wanita sudah sangat erat, sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk menunda

pelaksanaan perkawinan, atau bahkan keduanya telah terlanjur melakukan

hubungan sebagaimana pasangan suami istri, namun hal tersebut dilakukan di luar

nikah. Sehingga orang tua khawatir jika anak-anak mereka tersebut akan semakin

terjerumus ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Pengadilan Agama dalam mengadili perkara permohonan dispensasi kawin

sering kali mempertimbangkan antara dua kemudaratan, kemudaratan yang terjadi

akibat perkawinan di usia anak-anak (perkawinan dini) dan kemudaratan yang

akan terjadi jika dispensasi perkawinan tersebut ditolak. Majelis Hakim sering kali

menerima permohonan dispensasi kawin karena memandang bahwa kemudaratan

yang akan terjadi jika dispensasi perkawinan ditolak lebih besar dibandingkan

kemudaratan yang terjadi akibat perkawinan dini, sehingga besar kemungkinan

akan rusak keturunan serta kehormatan kedua calon mempelai tersebut.

Pada sisi lain, jika dilihat Ius Constitutum yang berlaku di Indonesia,

menghendaki agar perkawinan tidak terjadi di usia anak-anak. Hal demikian

4
terlihat jelas di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf (c) Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa di antara

tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak adalah mencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Bahkan terakhir, upaya pencegahan

perkawinan di usia anak terlihat jelas pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018 juncto Revisi Undang-undang

Perkawinan, dalam hal ini Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyamakan batas usia perkawinan pria dan wanita, yakni 19 (sembilan belas)

tahun.5

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut di atas

menjelaskan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

anak yang mesti dilindungi dan dapat mengakibatkan kemudaratan. Hak anak

merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib untuk dijamin dan

dilindungi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan

pemerintah daerah. Apabila perkawinan anak tetap dibiarkan, maka melihat data

tingkat sebaran perkawinan anak yang sudah terjadi selama ini di seluruh

Indonesia, besar kemungkinan Indonesia akan mengalami darurat perkawinan

anak yang tentunya hal demikian akan menghambat cita-cita bernegara yang

5
Mahkamah Konstitusi, ‚Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017‛ (2018); Nur Suhra
Wardyah, Revisi UU usia perkawinan anak 19 tahun disahkan di Indonesia,‛ diakses 11 Mei 202,
https://www.antaranews.com/berita/1065926/revisi-uu-usia-perkawinan-anak19-tahun-disahkan-di-
indonesia.

5
termaktub di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.6

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-

undang Perkawinan untuk menjelaskan Perceraian atau berakhirnya hubungan

perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup

sebagai suami isteri. Penggunaan istilah “putusnya perkawinan” ini harus

dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu

dalam istilah fiqih digunakan kata “ba-in”, yaitu bentuk perceraian yang suami

tidak boleh kembali lagi kepada isterinya kecuali dengan melalui akad nkah yang

baru.7

Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah, bahwa angka

perceraian pada tahun 2018 sebanyak 75.558 perkara terdiri dari cerai talak

sebanyak 20.108 perkara dan cerai gugat sebanyak 55.450 perkara. Sedangkan

angka perceraian pada tahun 2019 sebanyak 82.634 perkara terdiri dari cerai talak

sebanyak 21.344 perkara dan cerai gugat sebanyak 61.290. Dari sini jelas adanya

peningkatan kenaikan jumlah angka perceraian yang sangat signifikatn dan di

antara kasus perceraian tersebut pada usia yang cukup muda, sehingga

6
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang
Undang Perkawinan), Kencana Prenademia Group, Jakarta. 2006. Hlm. 189.

6
menunjukkan bahwa perkawinan mereka terjadi di usia yang belum genap 19

tahun.

Sehubungan dengan hal itu, maka terjadinya perkawinan di usia dini karena

adanya dispensasi kawin yang cukup banyak dikabulkan oleh Pengadilan Agama

di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah. Adapun dispensasi

kawin pada tahun 2018 sebanyak 2.776 perkara dan pada tahun 2019 sebanyak

4.991 perkara. Hal ini berarti tingkat perceraian dan dispensasi kawin di wilayah

hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah relatif sangat banyak. Sehingga

karena ketidaksiapan mental mereka, beberapa dari perkawinan tersebut akhirnya

tidak bisa dipertahankan dan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga tangga

mereka yang masih sangat muda.

Perkawinan anak merupakan satu persoalan yang sangat kompleks, tidak

cukup hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada hal-hal dasar dan prinsipil

yang patut dipertimbangkan dalam perkawinan anak, yaitu berkaitan keselamatan

jiwa anak, kelanjutan pendidikan anak, dan keselamatan keturunan serta yang

lebih penting adalah kematangan psikis yang dimiliki anak yang dapat

berpengaruh pada hubungan keluarganya nanti. Dalam hal ini menekan angka

perceraian anak harus menjadi perhatian. Begitupun dengan Hukum Islam yang

pada prinsipnya juga tidak membenarkan perkawinan anak dilakukan dengan

begitu mudah dalam kondisi ideal. Oleh karena perkawinan anak merupakan

7
alternatif pilihan terakhir (ultimum remedium), maka untuk melangsungkan

perkawinan anak perlu ada dispensasi kawin dari pengadilan.

Sesuai dengan kenyataan dan fenomena tersebut, membuat penulis tertarik

dan perlu melakukan suatu penelitian mengenai Dispensasi Kawin Dalam

Rangka Menekan Angka Perceraian di Pengadilan Agama Wilayah

Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah.

8
B. Rumusan Masalah

1. Apa faktor penyebab yang mempengaruhi permohonan dispensasi kawin di

wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah?

2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama di wilayah hukum

Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah dalam mengabulkan permohonan

dispensasi kawin?

3. Apakah Dispensasi kawin dapat menekan angka perceraian di wilayah hukum

Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penyebab yang

mempengaruhi permohonan dispensasi kawin di wilayah hukum Pengadilan

Tinggi Agama Jawa Tengah.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim Pengadilan

Agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah dalam

mengabulkan permohonan dispensasi kawin.

3. Untuk Mengetahui dan menganalisis bisa tidaknya dispensasi kawin

menekan angka perceraian di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama

Jawa Tengah.

9
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam menambah khazanah

pengetahuan, khususnya tentang dispensasi kawin.

2. Sebagai sumbangsih ide dan gagasan yang menjadi bahan acuan dalam

mengambil pertimbangan pada saat menetapkan suatu masalah di

Pengadilan Agama khususnya mengenai dispensasi kawin.

E. Kerangka Konseptual

1. Dispensasi kawin

Dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama

kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan

perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan wanita mencapai

16 tahun.8 Tetapi kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

22/PUU-XV/2017 juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

batas usia perkawinan tersebut disamakan menjadi 19 tahun untuk wanita dan

pria.9 Permohonan dispensasi tersebut diajukan oleh orang tua atau wali calon

mempelai pria atau wanita ke Pengadilan Agama daerah setempat.

8
A.Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradialan Agama, Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hlm. 32
9
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

10
2. Perceraian

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam

Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan “Perceraian” atau

berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan

yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Penggunaan istilah “putusnya

perkawinan” ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian

perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqih digunakan kata ”ba-in”, yaitu

bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada isterinya

kecuali dengan melalui akad nikah yang baru.10

3. Pengadilan Agama Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa

Tengah

Pengadilan Agama adalah Pengadilan Tingkat Pertama yang

diantaranya berwenang untuk mengadili perkara perceraian dan memberikan

dispensasi kawin sedangkan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah atau

Pengadilan Tinggi Agama Semarang adalah lembaga Pengadilan Tingkat

Banding yang berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan

Pengadilan Agama dalam tingkat banding di wilayah hukum Provinsi Jawa

Tengah. Wilayah hukum (Yurisdiksi) Pengadilan Tinggi Agama Semarang

secara umum mencakup seluruh wilayah hukum Provinsi Jawa Tengah, yaitu

sebanyak 36 Kabupaten/Kota dengan 36 Pengadilan Agama dan merupakan

10
Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan), Kencana Prenademia Group, Jakarta, 2006. Hlm. 189.

11
satuan kerja terbanyak ke dua se Indonesia setelah provinsi Jawa Timur

dengan 37 satuan kerja.

F. Kerangka Teoritis

1. Teori Maqashid al-Syari’ah

Secara etimologi, Maqashid al-Syariah merupakan istilah gabungan

dari dua kata yaitu al-maqashid dan al-syariah, maqashid adalah bentuk plural

dari maqshud, qashd maqshd atau qushud yang merupakan istilah gabungan

dari kata kerja qashada yaqshudu, dengan banyak makna yaitu seperti banyak

menuju suatu arah ataupun tujuan tengah-tengah adil dan tidak melampaui

batas jalan yang lurus. Tengah-tengah atau berlebihan dan kekurangan

Syariah secara etimologi bermakna sebagai jalan yang lurus menuju mata air

ataupun menjadi arti jalan kearah sumber pokok kehidupan. Syari’ah secara

terminologi adalah al-mushuh al-muqasaddasah (teks-teks suci) dari al-

qur’an dan al-sunnah yang mutawatir belum sama sekali di campur dengan

pemikiran manusia muatan syari’ah dalam arti mencakup aqidah amaliyyah

dan khuluqiyah.11

Istilah maqashid syari’ah berkembang mulai dari yang sederhana

sampai pada istilah secara menyeluruh atau dan holistik. Dengan berbagai

macam variasi definisi dan makna lain dari para ulama usul fikih

11
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid al-Syariah Prespektif Al-syathibi, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol.
6 No .1, Juni 2014, hlm. 33-34.

12
mengindifikasikan bahwasannya ada hubungan yang erat antara maqashid al-

syariah oleh hikmah, ilat, niat, tujuan dan kemaslahatan.12 Ulama usul fiikih

sering menyebut dengan kata asrar al-syari’ah yang artinya rahasia-rahasia,

manusia yang terdapat pada suatu hukum yang di tetapkan oleh Syari’at Islam

yang mewujudkan suatu kemaslahatan umat manusia untuk mencapai suatu

kebaikan.13

Imam al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat berkata: “Sekali-kali

tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di dunia

maupun di akhirat dan dalam rangka mencegah kemafsadatan yang akan

menimpa mereka.14 Tujuan umum dari hukum syariat adalah untuk

merealisasikan kemaslahatan hidup manusia dengan manfaat dan menghindari

mudharat. Kemaslahatan yang hakiki yang berorientasi kepada terpeliharanya

lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Dengan kelima

perkara inilah manusia dapat menjalankan kehidupannya yang mulia. 15

Sapiudin Shidiq dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh

menjelaskan tentang 5 (lima) perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan

keturunan adalah sebagai berikut:16

12
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid al-syari’ah dari
Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta, PT LKis Printing Cemerlang, 2010, hlm. 179.
13
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, hlm. 1108.
14
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, al-Raudhah, 1998, hlm. 268.
15
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus, Daar al-Fikr, hlm. 367.
16
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 227-230.

13
a) Memelihara Agama (Hifz al-Din) Menjaga dan memelihara agama

berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyyat (pokok), yaitu

memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk

tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat

ini diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.

2) Ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti

shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian. Kalau ketentuan

itu tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi

agama melainkan hanya mempersulit orang yang sedang dalam

berpergian.

3) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat, yaitu mengikuti

petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus

melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya,

menutup aurat baik dalam shalat maupun diluar shalat,

membersihkan pakaian, dan badan. Kegiatan ini erat hubungannya

dengan akhak terpuji. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan

mengancam keutuhan agama dan tidak mempersulit orang yang

melakukannya. Artinya jika tidak ada penutup aurat, maka seseorang

boleh saja shalat jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk

dharuriyyat.

14
b) Memelihara Jiwa (Hifz an-Nafs). Memelihara jiwa berdasarkan peringkat

kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyyat seperti memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan

terancamnya jiwa manusia.

2) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyyah seperti dibolehkannya

berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat. Kalau

kegiatan ini diabaikan makan akan mengancam eksistensi, maka

tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit hidup seseorang.

3) Memelihara jiwa pada tingkat tahsiniyyah seperti menghindarkan

diri dari mengkhayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak

berfaedah. Hal ini, berkaitan erat dengan etika dan tidak akan

mengancam eksistensi akal secara langsung.

c) Memelihari Akal (Hifz al-Aql). Memelihara akal dilihat dari segi

kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:

1) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyyah seperti diharamkannya

meminum minuman keras. Jika hal ini tidak diindahkan, maka akan

berakibat rusaknya akal.

2) Memelihara akal dalam tingkat hajiyyah seperti anjuran untuk

menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini tidak dilakukan maka

tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit hidup seseorang.

15
3) Memelihara akal pada tingkat tahsiniyyah seperti menghindarkan diri

dar mengkhayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.

Hal ini, berkaitan erat dengan etika dan tidak akan mengancam

eksistensi akal secara langsung.

d) Memelihara keturunan (Hifz al-Nasl). Memelihara keturunan dilihat dari

segi tingkat kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:

1) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyah seperti

disyariatkannya nikah dan larangan berzina. Kalau aturan ini tidak

dipatuhi, maka akan mengancam keutuhan keturunan.

2) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyyah seperti ditetapkannya

menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan

hak talak kepada sang suami. Jika hal ini tidak dilakukan, maka

menyulitkan suami karena harus membayar mahar missil. Adapun

dalam masalah talak suami akan mengalami kesulitan jika ia tidak

menggunakan hak talaknya sedangkan situasi rumah tangganya

sudah tidak harmonis lagi.

3) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyyah seperti

disyariatkannya khitbah (meminang) atau walimah dalam

perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan

perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam

keutuhan keturunan tetapi hanya sedikit mempersulit saja.

16
e) Memelihara Harta (Hifz al-Mal), Dilihat dari segi kepentingannya,

memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan antara lain:

1) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyyah seperti disyariatkannya

tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain

dengan cara yang tidak sah. Jika aturan ini dilanggar, maka akan

mengancam keutuhan harta.

2) Memelihara harta dalam tingkat hajiyyah seperti disyariatkannya jual

beli dengan cara salam. Apabila tidak dipakai, maka tidak akan

mengamcam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang

yang membutuhkan modal.

3) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyyat, seperti adanya

ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan. Hal ini erat

kaitannya dengan masalah etika bermuamalah atau etika bisnis.

Wujud dari kemaslahatan yaitu untuk mencapai manfaat dan

menolak bahaya dan kerusakan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

Maksud tersebut mewujudkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat yang

penuh dengan suatu keamanan, kedamaian keharmonisan, ketertiban,

kesejahteraan, tidak sering merasakan kekacauan dan kerusakan. Selanjutnya

kehidupan manusia di akhirat nanti mencapai kebahagian yang abadi di surge,

17
berbagai kenikmatan dan selamat dari azab Allah yang sangat mengerikan di

neraka yang penuh dengan azab dan kesengsaraan akhirat.17

Dari zaman kezaman perkembangan maqashid al-syar’iah

mengalami perkembangan yang besar dan melalui tiga tokoh, yaitu Imam al-

Haramayn, Abu Ishaq al-Shatibi, dan Muhammad al-Tahir. Imam Al-

haramayn yang mengagas proses awal terjadinya maslahah sebagai Maqashid

al-Syari’ah dengan tingkatan dharuriyyah, hajiyyah, tahsiniyyah, ketiga

tingkatan tersebut menjadi asas ataupun suatu perinsip yang Maqasid al-

Syari’ah kemudian dikembangkan konsep seperti ini oleh muridnya Al-

Ghazali. Dengan menganalisis dan mendalami prinsip-prinsip tersebut terbagi

menjadi lima hal yang terkenal sebagai Dharuriyatu al-Khamash, lalu

dilanjutkan dan diperbarui oleh Imam Abu Ishaq al-Shatibi dengan meletakan

dasar-dasar teoritik yang cukup matang tentang maqashid ini dan nama ketiga

tokoh tersebut menjadi tonggak penting dalam merumuskan teori Maqashid

al-Syariah.18 Menurut pendapat Imam al-Syathibi, Maqashid al-Syari’ah akan

berwujudnya suatu kemaslahatan manusia yang terdiri tiga bagian:19 primer

(daruriyyah), sekunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah).

17
Ahmad Qorib, Ushul fiqh 2, (Jakarta: PT. NIMAS MULTIMA, 1997), hlm. 170-171.
18
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh, Jurnal Asy-Syir‟ah
Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325.
19
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 57.

18
a) Kemaslahan Primer (Daruriyyah), Menurut al-Syatibi ada lima hal yang

termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,

kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara

lima pokok perkara inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum

bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain untuk

memelihara lima pokok diatas.20

b) Kemaslahatan Sekunder (hajiyyah). Hajiyyah berarti hal-hal yang

diperlukan, akan tetapi tidak sampai ke tingkat yang primer dan

mendesak. Dengan demikian, kemaslahatan hajiyyah ialah segala sesuatu

yang dibutuhkan manusia untuk memudahkan mereka dan

menghilangkan kesulitan yang memberati mereka melebihi beban yang

sewajarnya dan sanggup dipikulnya. Jelasnya kalau sekiranya hal tersebut

tidak terpenuhi, tidak sampai berakibat fatal berupa rusaknya tatanan

kehidupan mereka, akan tetap mereka akan menanggung resiko kesulitan

yang berat.21

c) Kemaslahatan Tersier (Tahsiniyyah), Tahsiniyyah ialah tingkat

kebutuhan apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu

dari lima pokok yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, tidak

pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan

pelengkap, seperti dikemukakan al- Syathibi, hal-hal yang merupakan

20
Ibid
21
Ibid

19
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak

dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan

tuntutan norma dan akhlak.22

Demi mewujudkan harapan kebaikan di akhirat, maka kelima hal

pokok tersebut juga harus dipenuhi, karena apabila suatu akal tidak berfungsi,

maka pembelajaran tugas-tugas agama tidak akan terlaksana. Seandainya

agama tidak ada, derajat pahala sudah tidak ada lagi artinya, jika jiwa tidak

ada, maka tidak ada manusia yang memeluk agama. Kalau keturunan sudah

tidak ada lagi, maka kehidupan itu akan menjadi punah. Dan jika hartapun

sudah tidak ada maka kehidupan pun akan menjadi hampa.23

Mengetahui kedudukan Maqashid al-Syari’ah, maka secara

pemikirannya yaitu suatu kemaslahatan dan menghindari dari hal kemudratan,

maka dari itu kemaslahatan manusia harus bersandar kepada dalil-dalil al-

qur’an maupun hadist. Jika maslahat berdiri sendiri dari pemikiran manusia,

maka Maqashid al-Syari’ah tidak akan di ketahui kedudukan dan

kebenarannya.24

Suatu kemaslahatan yang dilakukan oleh para mujtahid yaitu dapat

dilakukan melalui beberapa metode yaitu metode ijtihad di saat menghadapi

22
Ibid
23
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia, Terj.
Ade Nurdin & Riswan, Ed. 2, Cet. 1, h. 58.
24
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174

20
suatu kasus yang penerapan suatu hukumnya tidak diterapkan dan dijelaskan

secara jelas dalam al-qur’an ataupun sunnah, maka terdapat dua metode ijtihad

yang dikembangkan para mujtahid untuk menentukan suatu kemaslahatan,

yaitu metode ta’lili (metode analisis substansif) dan metode istislahi (metode

analisis kemaslahatan).25

Metode Ta’lili (metode analisis Substansif), yaitu metode yang

menganalisis hukum dengan melihat dari segi kesamaan illat atau nilai-nilai

substansi dari perorangan dan kejadian yang harus diungkapkan dalam nash.

Metode ini telah dikembangkan oleh para mujtahid dalam bentuk qiyas dan

istihsan. Sementara Metode Istislahi (metode analisis kemaslahatan) adalah

metode yang menggunakan pendekatan istinbath atau penetapan hukum yang

permasalahannya tidak di atur secara eksplisit dalam Al-qur’an dan Sunnah,

hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara

langsung, metode analisis kemaslahatan yang dikembangkan oleh para

mujtahid ada dua yaitu al-maslahah al-mursalah dan sadd al-zari’ah maupun

fath alzari’ah.26

Sementara menurut Imam al-Syatibi terdapat empat metode penetapan

Maqashid al-Syari’ah yaitu sebagai berikut:27

25
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode Istinbath Hukum, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 554.
26
Ibid
27
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al- Syariah: Studi Pemikiran Abu Ishaq
al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.

21
a) Mujarrad al’amr an nahy al ibtida’i tarsihi, maksud dari ini yaitu sebuah

metode dengan berupaya menganalisis suatu ungkapan, maksud ataupun

rahasia eksplit suatu perintah ataupun larangan dari suatu nash yang

eksitensi atau berdiri sendiri (ibtida’i). Penetapan dengan metode ini bisa

dikatagorikan sebagai suatu penetapan yang berdasarka literal nash yang

di dasari dari pemahaman mendasar bahwa dalam perintah syari’at pasti

akan terdapat unsur maslahat dan setiap larangan pasti akan ada unsur

mafsadat.

b) Menelaah konteks illat dari setiap larangan ataupun perintah, maksud dari

metode ini adalah melakukan pelacakan illat dibalik perintah dan

larangan yang pada tataran ini dijelaskan bahwasanya suatu illat ada

kalanya tertulis secara jelas dalam nash dan ada juga yang tidak tertulis.

Apabila illatnya tertulis, maka harus mengikuti yang tertulis, jika illatnya

tidak tertulis, maka harus dilakukannya tawaqquf terlebih dahulu agar

tidak gegabah dalam menyimpulkan maksud dalam nash.

c) Memperhatikan maqashid turunan (at-tabi’ah), maksudnya adalah

mendalami syari’at dengan berbagai cara dan mempertimbangkan tujuan-

tujuan yang bersifat pokok (maqshud al-aslih). Lalu bersifat turunan

(maqashid at-tabi’ah) pokok maksud dalam syari’at perkawinan

misalnya, maksud dari maqshud al-aslih ialah kelestarian manusia

melalui perkembang-biakan (at-tanasul) setelah itu adalah terdapat

beberapa maqashid turunan (tabi’ah) yaitu seperti mendapatkan

22
ketenangan (al-sakinah), tolong menolong dalam kemaslahatan duniawi

dan ukhrawi, membentengi diri dari berbagai fitnah dan masih banyak

lagi, semua itu merupakan perhimpunan dari maqashid at-bi’ah dalam

syari’at nikah.

d) Sikap diam terhadap syari’at, maksudnya yaitu tidak adanya keterangan

yang nashnya mengenai sebab hukum ataupun disyariatkannya perkara-

perkara yang terjadi pada kasus, baik yang memiliki dimensi ubudiyah

maupun muamalah. Menurut al-Syatibi, sesuatu yang di diamkan oleh

syari’at, maka akan otomatis bertentangan oleh syari’at, makna dari

seseorang yang akan menjernihkah permasalahan ini ialah menelaah

dimensi maslahat dan mudaratnya. Jika nanti adanya maslahat, maka hal

itu akan bisa diterima, begitu pula sebaliknya jika hal ini menjadi mudarat

terindikasi di dalamnya, maka secara otamatis hal ini tertolak.

Dengan demikian, maka akan tercapai tujuan inti dari syari’at

sebagaimana yang diutarakan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahra dalam

kitabnya Ushul Fiqh memakai tiga tujuan atas kehadiran syari’at yaitu sebagai

berikut: mencoba memperbaiki dari setiap individu untuk menjadi lebih baik

dan menjadi sumber kebaikan untuk orang lain, menegakkan suatu keadilan

dan kesamaan masyarakat baik sesama muslim ataupun non muslim untuk

mencapai kemaslahatan umat.28

28
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 224.

23
2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, wujud kepastian hukum adalah

peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum diseluruh

wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku

umum, tetapi bagi golongan tertentu, selain itu dapat pula peraturan

setempat, yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya

berlaku di daerahnya saja, misalnya peraturan kotapraja.29

Arti penting kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo

bahwa masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan

adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban

masyarakat. Tanpa kepastian hukum, orang tidak tau apa yang harus

diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu

menitik beratkan pada kepastian hukum dan ketat mentaati peraturan

hukum, maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil.

Adapun yang terjadi peraturannya tetap demikian, sehingga harus ditaati

atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila

dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (Undang-undang itu

kejam, tapi memang demikianlah bunyinya). 30

29
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, UI
Pres, Jakarta, 1974. Hlm. 56.
30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,1988, Hlm.136.

24
Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah

keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia

terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk

terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat

apa yang dinamakan “Algemen Regels” (peraturan/ketentuan umum).

Dimana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi

kepastian hukum.

Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang

mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah

perwujudan dari sikap bathin yang buruk tersebut atau menjadikannya

perbuatan yang nyata atau konkrit. Namun demikian dalam prakteknya

apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali

tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di suatu sisi tidak

jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan

sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prisip-prinsip

kepastian hukum. Dari apa yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa

kepastian hukum bertujuan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban

dalam masyarakat. Kepastian hukum menjadi jaminan tersendiri bagi

manusia dalam melakukan suatu hubungan hukum, sehingga manusia

merasa aman dalam bertindak. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, teori

kepastian hukum menandai landasan bagi hakim untuk

mempertimbangkan pemberian dispensasi kawin.

25
G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu ilmu pengetahuan yang memberikan

penjelasan ilmiah yang berorientasi mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

ilmu pengetahuan itu sendiri. Suatu penelitian harus di tunjang dengan metode

penelitian yang menjadi dasar penelitian tersebut baik dari segi teori maupun

praktek. Untuk itu penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Untuk mengadakan penelitian tersebut digunakan pendekatan Yuridis

Sosiologis. Pendekatan yuridis akan membahas tentang penelitian dengan

menggunakan Undang-undang yang berkaitan dengan dispensasi kawin, yang

terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Nomor 16 tahun

2019, Kompilasi Hukum Islam dan lain-lain. Pendekatan sosiologis,

pendekatan ini digunakan untuk mengetahui dan memahami bagaimana faktor-

faktor pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin.

2. Jenis dan Lokasi Penelitian

Pada umumnya, penelitian terbagi atas penelitian kuantitatif dan

kualitatif.31 Jenis penelitian dalam penyusunan tesis ini yaitu penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dengan cara

31
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2009. Hlm.8.

26
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.32

Peneiltian ini dilakukan dengan penelitian lapangan (field research). Peneliti

menggunakan metode kualitatif dengan menggambarkan dan menganalisis data

informasi yang ada berdasarkan fakta di lapangan. Adapun objek yang diambil

dalam penelitian ini yaitu mengenai dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan

Agama wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data:

a. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian, dalam

hal ini data yang bersumber secara langsung dari Pengadilan Agama

wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah.

b. Data sekunder ialah data sumber data pelengkap atau pendukung dari data

primer, yang dapat diperoleh melalui buku-buku atau literatur, makalah,

artikel, browsing via internet, dan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penelitian ini diantaranya Undang-undang Nomor 1

tahun 1974, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, Kompilasi Hukum

Islam dan lain sejenisnya.

4. Teknik pengumpulan data

32
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010. Hlm. 6.

27
Dalam teknik pengumpulan data, ada beberapa cara yang penulis

lakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Dengan teknik ini, permasalahan yang telah dirumuskan dicari teori-teori,

konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan yang relevan dengan pokok

masalah dari sumber-sumber referensi umum (buku literatur) serta

referensi khusus (dokumen). Wawancara merupakan metode pengumpulan

data yang diperoleh dengan cara bertanya langsung kepada responden

untuk mendapatkan informasi data yang berkaitan dengan penelitian ini.

Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face)

dengan maksud tertentu. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh dua

belah pihak yakni peneliti sebagai pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah

responden.33 Berkaitan dengan hal ini, peneliti melakukan wawancara

kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam penelitian, dalam hal ini para

Ketua, Wakil Ketua, hakim Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan

Agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang bersumber dari catatan

ataupun data-data yang dipergunakan yang terkait dengan permasalahan

33
Imam Suprayogo, Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2001. Hlm. 172.

28
yang diteliti. Diantaranya berupa berkas perkara penetapan dispensasi

kawin, data resmi, dan arsip-arsip di wilayah hukum Pengadilan Tinggi

Agama Jawa Tengah.

c. Observasi

Metode observasi yaitu suatu pengamatan, pencatatan yang sistematis

dengan fenomena penyidikan dengan alat indra.34 Observasi ini berkaitan

dengan kondisi obyektif yang ada di lapangan yang mencakup profil

Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah dan pengamatan secara langsung

oleh peneliti terhadap fenomena yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh, dianalisa, dan disusun secara sistematis

sehingga menjadi suatu data yang kongkrit dan dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif yaitu menganalisis data yang dikumpulkan oleh peneliti

dengan cara menguraikan data tersebut dengan data lainnya sehingga diperoleh

kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, yang akhirnya dapat

menemukan gambaran baru atau menguatkan gambaran yang telah ada ataupun

bertentangan dengan hal digambarkan. Dalam kegiatan menganalisis data dapat

dilakukan sambil mengumpulkan data sehingga peneliti dapat mengetahui

34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1982.
Hlm.136.

29
kekurangan data yang harus dikumpulkan dan metode apa yang harus dipakai

untuk mengumpulkan data selanjutnya.

H. Sistematika penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka

Teoritis, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi uraian yang menjelaskan tentang Konsep Perkawinan,

Konsep Dispensasi kawin, Konsep Perkawinan Dini dan konsep

Perceraian.

BAB III: HASIL PENELITIAN

Berisi pembahasan mengenai rumusan masalah yaitu untuk

membahas tentang mengetahui bagaimana faktor penyebab

permohonan dispensasi kawin, pertimbangan hakim dalam

mengabulkan permohonan dispensasi kawin, serta bagaimana

dispensasi kawin dapat menekan angka perceraian di Pengadilan

Agama Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa

Tengah.

BAB IV: PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

30

Anda mungkin juga menyukai