PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum modern di antara sistem
hukum lainnya yang ada di dunia ini mempunyai sifat yang dinamis dan fleksibel
sesuai dengan dinamika masyarakat, serta merupakan pedoman yang hidup bagi
dalam tingkah laku beliau yang lazim di sebut Sunnah Rasul. Kaidah-kaidah yang
kebutuhan zamannya melalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan
lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama salah satunya dimulai
umat manusia yang pada mulanya dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan
1
Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Trussmedia Grafika, Yogyakarta, 2014. Hlm.225.
2
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011. Hlm.29.
1
perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan
perkawinan.
dan lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Sebab Allah SWT menciptakan
tetapi yang dominan peranannya dalam menentukan arah dan tujuan perkawinan
itu adalah pasangan suami istri. Gelombang kehidupan suami istri dalam
kehidupan berumah tangga memang sangat dinamis. Tak satupun keluarga yang
hidup berjalan lurus sesuai keinginan, tanpa adanya gelombang problematika yang
rumah tangga salah satunya dapat ditentukan oleh kematangan suami istri.4
Mereka yang sudah matang, baik secara fisik maupun psikhis pasti memiliki
3
H. Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memenuhi Dunia Perkawinan, Kencana Mas Publishing House,
Jakarta, 2005. Hlm.18.
4
Ibid. hlm. 16-17.
2
keluarga mereka. Tentu hal ini akan berbeda dengan pasangan yang belum matang.
Mereka tidak akan mampu mengelola emosi yang muncul sehingga sering tanpa
dilangsungkan menurut ketentuan agama atau kepercayaan yang dianut serta tidak
maupun calon istri harus memiliki kematangan jiwa dan raga agar dapat
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu dalam pasal 7 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk
melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan
3
pengadilan. Dispensasi kawin diajukan oleh orang tua calon mempelai pria
dan/atau calon mempelai wanita ke Pengadilan Agama agar anaknya yang belum
tersebut adalah hubungan di antara calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita sudah sangat erat, sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk menunda
hubungan sebagaimana pasangan suami istri, namun hal tersebut dilakukan di luar
nikah. Sehingga orang tua khawatir jika anak-anak mereka tersebut akan semakin
akan terjadi jika dispensasi perkawinan tersebut ditolak. Majelis Hakim sering kali
yang akan terjadi jika dispensasi perkawinan ditolak lebih besar dibandingkan
Pada sisi lain, jika dilihat Ius Constitutum yang berlaku di Indonesia,
4
terlihat jelas di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf (c) Undang-undang Nomor
tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak adalah mencegah
perkawinan di usia anak terlihat jelas pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
menyamakan batas usia perkawinan pria dan wanita, yakni 19 (sembilan belas)
tahun.5
anak yang mesti dilindungi dan dapat mengakibatkan kemudaratan. Hak anak
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib untuk dijamin dan
pemerintah daerah. Apabila perkawinan anak tetap dibiarkan, maka melihat data
tingkat sebaran perkawinan anak yang sudah terjadi selama ini di seluruh
anak yang tentunya hal demikian akan menghambat cita-cita bernegara yang
5
Mahkamah Konstitusi, ‚Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017‛ (2018); Nur Suhra
Wardyah, Revisi UU usia perkawinan anak 19 tahun disahkan di Indonesia,‛ diakses 11 Mei 202,
https://www.antaranews.com/berita/1065926/revisi-uu-usia-perkawinan-anak19-tahun-disahkan-di-
indonesia.
5
termaktub di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.6
perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup
dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu
dalam istilah fiqih digunakan kata “ba-in”, yaitu bentuk perceraian yang suami
tidak boleh kembali lagi kepada isterinya kecuali dengan melalui akad nkah yang
baru.7
perceraian pada tahun 2018 sebanyak 75.558 perkara terdiri dari cerai talak
sebanyak 20.108 perkara dan cerai gugat sebanyak 55.450 perkara. Sedangkan
angka perceraian pada tahun 2019 sebanyak 82.634 perkara terdiri dari cerai talak
sebanyak 21.344 perkara dan cerai gugat sebanyak 61.290. Dari sini jelas adanya
antara kasus perceraian tersebut pada usia yang cukup muda, sehingga
6
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang
Undang Perkawinan), Kencana Prenademia Group, Jakarta. 2006. Hlm. 189.
6
menunjukkan bahwa perkawinan mereka terjadi di usia yang belum genap 19
tahun.
Sehubungan dengan hal itu, maka terjadinya perkawinan di usia dini karena
adanya dispensasi kawin yang cukup banyak dikabulkan oleh Pengadilan Agama
kawin pada tahun 2018 sebanyak 2.776 perkara dan pada tahun 2019 sebanyak
4.991 perkara. Hal ini berarti tingkat perceraian dan dispensasi kawin di wilayah
hukum Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah relatif sangat banyak. Sehingga
tidak bisa dipertahankan dan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga tangga
cukup hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada hal-hal dasar dan prinsipil
jiwa anak, kelanjutan pendidikan anak, dan keselamatan keturunan serta yang
lebih penting adalah kematangan psikis yang dimiliki anak yang dapat
berpengaruh pada hubungan keluarganya nanti. Dalam hal ini menekan angka
perceraian anak harus menjadi perhatian. Begitupun dengan Hukum Islam yang
begitu mudah dalam kondisi ideal. Oleh karena perkawinan anak merupakan
7
alternatif pilihan terakhir (ultimum remedium), maka untuk melangsungkan
8
B. Rumusan Masalah
dispensasi kawin?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Jawa Tengah.
9
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
2. Sebagai sumbangsih ide dan gagasan yang menjadi bahan acuan dalam
E. Kerangka Konseptual
1. Dispensasi kawin
perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan wanita mencapai
batas usia perkawinan tersebut disamakan menjadi 19 tahun untuk wanita dan
pria.9 Permohonan dispensasi tersebut diajukan oleh orang tua atau wali calon
8
A.Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradialan Agama, Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hlm. 32
9
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
10
2. Perceraian
yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Penggunaan istilah “putusnya
perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqih digunakan kata ”ba-in”, yaitu
bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada isterinya
Tengah
secara umum mencakup seluruh wilayah hukum Provinsi Jawa Tengah, yaitu
10
Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan), Kencana Prenademia Group, Jakarta, 2006. Hlm. 189.
11
satuan kerja terbanyak ke dua se Indonesia setelah provinsi Jawa Timur
F. Kerangka Teoritis
dari dua kata yaitu al-maqashid dan al-syariah, maqashid adalah bentuk plural
dari maqshud, qashd maqshd atau qushud yang merupakan istilah gabungan
dari kata kerja qashada yaqshudu, dengan banyak makna yaitu seperti banyak
menuju suatu arah ataupun tujuan tengah-tengah adil dan tidak melampaui
Syariah secara etimologi bermakna sebagai jalan yang lurus menuju mata air
ataupun menjadi arti jalan kearah sumber pokok kehidupan. Syari’ah secara
qur’an dan al-sunnah yang mutawatir belum sama sekali di campur dengan
dan khuluqiyah.11
sampai pada istilah secara menyeluruh atau dan holistik. Dengan berbagai
macam variasi definisi dan makna lain dari para ulama usul fikih
11
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid al-Syariah Prespektif Al-syathibi, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol.
6 No .1, Juni 2014, hlm. 33-34.
12
mengindifikasikan bahwasannya ada hubungan yang erat antara maqashid al-
syariah oleh hikmah, ilat, niat, tujuan dan kemaslahatan.12 Ulama usul fiikih
manusia yang terdapat pada suatu hukum yang di tetapkan oleh Syari’at Islam
kebaikan.13
tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di dunia
lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Dengan kelima
menjelaskan tentang 5 (lima) perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan
12
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid al-syari’ah dari
Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta, PT LKis Printing Cemerlang, 2010, hlm. 179.
13
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, hlm. 1108.
14
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, al-Raudhah, 1998, hlm. 268.
15
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus, Daar al-Fikr, hlm. 367.
16
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 227-230.
13
a) Memelihara Agama (Hifz al-Din) Menjaga dan memelihara agama
shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian. Kalau ketentuan
berpergian.
dengan akhak terpuji. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan
dharuriyyat.
14
b) Memelihara Jiwa (Hifz an-Nafs). Memelihara jiwa berdasarkan peringkat
berfaedah. Hal ini, berkaitan erat dengan etika dan tidak akan
meminum minuman keras. Jika hal ini tidak diindahkan, maka akan
15
3) Memelihara akal pada tingkat tahsiniyyah seperti menghindarkan diri
Hal ini, berkaitan erat dengan etika dan tidak akan mengancam
menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan
hak talak kepada sang suami. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam
16
e) Memelihara Harta (Hifz al-Mal), Dilihat dari segi kepentingannya,
tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak sah. Jika aturan ini dilanggar, maka akan
beli dengan cara salam. Apabila tidak dipakai, maka tidak akan
ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan. Hal ini erat
menolak bahaya dan kerusakan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.
17
berbagai kenikmatan dan selamat dari azab Allah yang sangat mengerikan di
mengalami perkembangan yang besar dan melalui tiga tokoh, yaitu Imam al-
tingkatan tersebut menjadi asas ataupun suatu perinsip yang Maqasid al-
dilanjutkan dan diperbarui oleh Imam Abu Ishaq al-Shatibi dengan meletakan
dasar-dasar teoritik yang cukup matang tentang maqashid ini dan nama ketiga
17
Ahmad Qorib, Ushul fiqh 2, (Jakarta: PT. NIMAS MULTIMA, 1997), hlm. 170-171.
18
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh, Jurnal Asy-Syir‟ah
Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325.
19
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 57.
18
a) Kemaslahan Primer (Daruriyyah), Menurut al-Syatibi ada lima hal yang
lima pokok perkara inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum
bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain untuk
yang berat.21
dari lima pokok yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, tidak
20
Ibid
21
Ibid
19
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak
pokok tersebut juga harus dipenuhi, karena apabila suatu akal tidak berfungsi,
agama tidak ada, derajat pahala sudah tidak ada lagi artinya, jika jiwa tidak
ada, maka tidak ada manusia yang memeluk agama. Kalau keturunan sudah
tidak ada lagi, maka kehidupan itu akan menjadi punah. Dan jika hartapun
maka dari itu kemaslahatan manusia harus bersandar kepada dalil-dalil al-
qur’an maupun hadist. Jika maslahat berdiri sendiri dari pemikiran manusia,
kebenarannya.24
22
Ibid
23
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia, Terj.
Ade Nurdin & Riswan, Ed. 2, Cet. 1, h. 58.
24
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174
20
suatu kasus yang penerapan suatu hukumnya tidak diterapkan dan dijelaskan
secara jelas dalam al-qur’an ataupun sunnah, maka terdapat dua metode ijtihad
yaitu metode ta’lili (metode analisis substansif) dan metode istislahi (metode
analisis kemaslahatan).25
menganalisis hukum dengan melihat dari segi kesamaan illat atau nilai-nilai
substansi dari perorangan dan kejadian yang harus diungkapkan dalam nash.
Metode ini telah dikembangkan oleh para mujtahid dalam bentuk qiyas dan
hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
mujtahid ada dua yaitu al-maslahah al-mursalah dan sadd al-zari’ah maupun
fath alzari’ah.26
25
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode Istinbath Hukum, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 554.
26
Ibid
27
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al- Syariah: Studi Pemikiran Abu Ishaq
al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.
21
a) Mujarrad al’amr an nahy al ibtida’i tarsihi, maksud dari ini yaitu sebuah
rahasia eksplit suatu perintah ataupun larangan dari suatu nash yang
eksitensi atau berdiri sendiri (ibtida’i). Penetapan dengan metode ini bisa
akan terdapat unsur maslahat dan setiap larangan pasti akan ada unsur
mafsadat.
b) Menelaah konteks illat dari setiap larangan ataupun perintah, maksud dari
larangan yang pada tataran ini dijelaskan bahwasanya suatu illat ada
kalanya tertulis secara jelas dalam nash dan ada juga yang tidak tertulis.
Apabila illatnya tertulis, maka harus mengikuti yang tertulis, jika illatnya
22
ketenangan (al-sakinah), tolong menolong dalam kemaslahatan duniawi
dan ukhrawi, membentengi diri dari berbagai fitnah dan masih banyak
syari’at nikah.
perkara yang terjadi pada kasus, baik yang memiliki dimensi ubudiyah
dimensi maslahat dan mudaratnya. Jika nanti adanya maslahat, maka hal
itu akan bisa diterima, begitu pula sebaliknya jika hal ini menjadi mudarat
kitabnya Ushul Fiqh memakai tiga tujuan atas kehadiran syari’at yaitu sebagai
berikut: mencoba memperbaiki dari setiap individu untuk menjadi lebih baik
dan menjadi sumber kebaikan untuk orang lain, menegakkan suatu keadilan
dan kesamaan masyarakat baik sesama muslim ataupun non muslim untuk
28
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 224.
23
2. Teori Kepastian Hukum
umum, tetapi bagi golongan tertentu, selain itu dapat pula peraturan
setempat, yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya
masyarakat. Tanpa kepastian hukum, orang tidak tau apa yang harus
hukum, maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil.
dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (Undang-undang itu
29
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, UI
Pres, Jakarta, 1974. Hlm. 56.
30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,1988, Hlm.136.
24
Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah
terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat
kepastian hukum.
mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah
apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali
tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di suatu sisi tidak
merasa aman dalam bertindak. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, teori
25
G. Metode Penelitian
ilmu pengetahuan itu sendiri. Suatu penelitian harus di tunjang dengan metode
penelitian yang menjadi dasar penelitian tersebut baik dari segi teori maupun
praktek. Untuk itu penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dengan cara
31
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2009. Hlm.8.
26
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
informasi yang ada berdasarkan fakta di lapangan. Adapun objek yang diambil
dalam penelitian ini yaitu mengenai dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan
3. Sumber Data
a. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian, dalam
hal ini data yang bersumber secara langsung dari Pengadilan Agama
b. Data sekunder ialah data sumber data pelengkap atau pendukung dari data
32
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010. Hlm. 6.
27
Dalam teknik pengumpulan data, ada beberapa cara yang penulis
a. Wawancara
dengan maksud tertentu. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh dua
kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam penelitian, dalam hal ini para
b. Dokumentasi
33
Imam Suprayogo, Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2001. Hlm. 172.
28
yang diteliti. Diantaranya berupa berkas perkara penetapan dispensasi
c. Observasi
secara ilmiah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara menguraikan data tersebut dengan data lainnya sehingga diperoleh
menemukan gambaran baru atau menguatkan gambaran yang telah ada ataupun
34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1982.
Hlm.136.
29
kekurangan data yang harus dikumpulkan dan metode apa yang harus dipakai
H. Sistematika penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Perceraian.
Tengah.
30