Anda di halaman 1dari 22

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua orang
tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Anak
menerima setiap ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan
kepadanya. Oleh karena itu perlu dididik dan diajari dengan kebaikan agar bisa
menjadi khalifah yang meneruskan keberlangsungan kehidupan.1 Dalam
keluarga yang orang tua bercerai pertumbuhan anak dalam standar yang ideal
kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat
dipenuhi secara sempurna. Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan
materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah
bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami
hambatan yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya
pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai dewasa tidak ada
kejelasannya.
Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga,
individu, masyarakat, bangsa dan negara maka negara mengatur melalui
undang-undang hak-hak anak misalnya dalam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak yang dituangkan dalam Kepres Nomor
36 Tahun 1990, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2
Hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-
undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan Internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai
konvensi-konvensi Internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap
persoalan anak seperti misalnya Convention on The Rights of Child Tahun 1989,

1
Hadi Supeno, Menyelamatkan Anak, Jakarta, Graha Putra, 2010, hal. 13
2
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Press,
2008, hal. 340
2

ILO Convention No. 182 ConcerningThe Prohibition and Amediate Action for The
Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain sebagainya.
Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan dan adanya kecenderungan Internasional yang memfokuskan
perhatian terhadap anak, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak
beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Pada
kenyataannya masih sangat banyak orang tua yang melalaikan tanggung
jawabnya terhadap segala kebutuhan dan kepentingan anak yang merupakan
hasil perkawinannya.
Melihat begitu pentingnya pertanggungjawaban orang tua terhadap anak
setelah terjadinya perceraian di atas, maka dianggap perlu dilakukan penelitian
yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap hak asuh anak
setelah terjadinya perceraian. Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk
tulisan skripsi dengan judul: “Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang
Tua Terhadap Hak Asuh Anak Setelah Perceraian (Studi Putusan No.2742/
Pdt.G/2011/PA.Kab.Kdr)”.

I. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


3

A. PENGATURAN TERHADAP HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN


1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah
Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian.
Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan
keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan. 3 Sedangkan
pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai,
dan perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami
dan istri, perpecahan, menceraikan.4
Kata cerai dalam kamus diartikan pisah, putus hubungan sebagai suami
istri atau lepasnya ikatan perkawinan. 5Inilah permasalahaan umum terkait
dengan istilah cerai, namun menurut hukum tentunyaa cerai ini harus didasarkan
pada aturan hukum yang yang berlaku.Perceraian tidaklah begitu saja terjadi
tanpa melalui runtutan prosedur hukum melalui lembaga peradilan, baik melalui
pengadilan agama bagi yang beragama Islam maupun pengadilan negeri bagi
yang beragama selain Islam.6
Istilah perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan sebagai aturan
hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk
memutuskan hubungan perkawinan di antara mereka.
2. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri,
yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang
merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
3. Putusan hukum yang diyatakan oleh pengadilan yang berakibat
hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. 7

3
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal 42
4
WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 200
5
Adib Bahari, Tata Cara Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono Gini, dan Hak Asuh
Anak, Jakarta, Buku Seru, 2016, hal 2
6
Ibid
7
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, cetakan kedua, Jakarta, Sinar Grafika,
2014, hal. 20
4

Menurut P.N.H. Simanjuntak, perceraian merupakan pengakhiran suatu


perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari
salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.8
Wahyono Darmabrata merumuskan, perceraian yaitu putusnya
perkawinan yang bersifat tetap yang dilakukan oleh suami istri berdasarkan
alasan-alasan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.9
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa
Perkawinan dapat putus karena tiga sebab: kematian, perceraian, dan atas
keputusan pengadilan, sebab kedua perceraian harus melalui putusan
pengadilan. Perceraian merupakan jalan untuk memutuskan hubungan
perkawinan antara suami istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu
pihak, akan tetapi didasarkan atas keinginan dan kehendak para pihak. 10Di
dalam KHIPasal 114 bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan, karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.11
2. Akibat yang Timbul Atas Terjadinya Perceraian
Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa
untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 Pasal 19 dan dalam KHI Pasal 116 dan 51 menjelaskan tentang alasan
perceraian yang dapat terjadi. Dalam hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan
Zina merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.Zina merupakan
salah satu alasan untuk bercerai, pembuktian zina ini dapat dilakukan dengan
mendengar kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahui
perbuatan zina tersebut, namun jika dalam pembuktiannya ini sulit untuk
dilakukan maka dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan.Awal dari

8
.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Pustaka Djambatan,
2007, hal. 53.
9
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata 2. Depok, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2006, hal. 1
10
Aris Bintania, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al -Qadha,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012, hal.15
11
Tim Redaksi Arkola (ed), Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,Surabaya, Arkola,
2010, hal. 216
5

perbuatan ini menimbulkan pertengkaran serta memancing konflik dalam rumah


tangga secara terus-menerus. Begitu pula dengan perbuatan buruk lainnya
seperti judi, madat, mabuk yang berdampak sama dengan perbuatan zina.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Perceraian dengan alasan di atas bertujuan untuk melindungi pihak yang
ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keberadaan pihak
yang meninggalkan, sehingga pihak yang ditinggalkan dapat terlindungi akan
haknya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukumannya lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Dalam Peraturan PemerintahNo.9 tahun 1975 Pasal 23
dinyatakaanbahwa : Gugatan perceraian karena salah seorang suami isteri
mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf (c) maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 12
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan apabila telah memenuhi salah satu dari seluruh alasan
diatas.Dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, dinyatakan bahwa
untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang dapat membuktikan bahwa
pasangan suami-istri tidak dapat lagi hidup rukun ebagaimana mestinya.13

3. Pengaturan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian


Pemeliharaan anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab kedua
orang tuanya, yang meliputi hal masalah pendidikan, ekonomi, kasih sayang
kedua orang tuanya dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
12
Ahmad Fatahillah, Cerai Sebelum Hubungan Suami Isteri Studi Yurisprudensi No:
1609/PDT.G/2006/PA JT, Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hal
29-31
13
Lilik Rasyidi, Alasan Perceraian Menurut UU. No. 1 tahun 74 Tentang Perkawinan,
Bandung, Alumni, 1989 , hal. 15
6

Oleh karena itu yang terpenting antara suami dan istri yang terpenting dalam
memelihara anak ialah kerja sama, saling mendukung dan saling tolong
menolong antara suami dan istri sampai anak tersebut tumbuh menjadi dewasa.
Akan tetapi, Faktanya dalam UU Perkawinan sampai saat ini belum mengatur
secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun
1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para
hakim masih menggunakan kitab-kitab Fiqhi. Barulah setelah diberlakukannya
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1999
tentang penyebarluasan KHI, masalah ḥaḍānah menjadi hukum positif di
Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikannya.14
4. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya
sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan
orang tua putus. Orang tua dan keluarga serta pemerintah bertanggung jawab
menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Wajib
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan. Melindungi anak dari
upaya transplantasi, pengambilan atau jual beli organ atau jaringan tubuh,
dijadikan obyek dalam penelitian kesehatan tanpa izin orang tua dan yang bukan
mengutamakan kepentingan terbaik anak.
Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya
orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan
dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang
tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi
perceraian.
Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya
perceraian, sebenarnya nafkah anak yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi
oleh ibu atau anak. Jenis eksekusi nafkah anak adalah eksekusi dengan
membayar sejumlah uang yang dimulai dari permohonan, aanmaning, sita
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2004, hal. 301
7

eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan Seorang PNS pria yang bercerai
sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ ada hak isteri dan anak, hak PNS
hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki
anak.
B. KEWAJIBAN SUAMI- ISTERI SEBAGAI ORANG TUA PASCA
PERCERAIAN TERHADAP HAK- HAK ANAK
1. Kewajiban Orang Tua Pasca Perceraian
Secara filosofis, Soemiyati dalam Muhammad menjelaskan bahwa
memperoleh keturunan yang sah adalah tujuan yang pokok dari perkawinan itu
sendiri. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai
keinginan untuk memperoleh keturunan/ anak. Bisa dirasakan bagaimana
perasaan suami istri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu
kehidupannya akan merasa sepi dan hampa. Biarpun keadaan rumah tangga
mereka serba berkecukupan, harta cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba
cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba cukup, tetapi kalau tidak mempunyai
keturunan, kebahagiaan rumah tangga belum sempurna. Aspek umum yang
berhubungan dengan keturunan atau anak ialah karena anak-anak yang
dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dapat menjadi penyambung
keturunan seseorang dan akan selalu berkembang untuk meramaikan dan
memakmurkan dunia ini.15
Cerai bukan hanya persoalan kedua belah pihak pasangan tetapi
menyangkut juga anak. Sayangnya, tidak banyak dari pasangan yang
memperhatikan bagaimana dan apa yang sedang terjadi pada anak ketika
16
proses perceraian dan setelahnya. Kehadiran anak dalam suatu pernikahan,
menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati dalam Muhammad, merupakan
hal yang diimpikan oleh setiap pasangan, bagi mereka anak merupakan karunia
Tuhan yang luar biasa, dia wajib dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya.
Persoalan akan muncul di kala pernikahan yang telah terjalin putus
dengan berbagai alasan yang pada akhirnya dibenarkan oleh pengadilan dengan
membacakan putusan cerai. Pada saat putusnya perkawinan karena bercerainya

15
Satria Effendi, M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, Jakarta,
Kencana, 2004, hal. 170
16
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999,
hal. 415
8

kedua suami istri mau tidak mau anak akan menjadi korban. Perceraian selalu
menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian
dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam
keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.17
Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan memuat ketentuan bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang
tua putus. Jadi, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini juga berarti bahwa meskipun
anak sudah kawin, tetapi dalam kenyataannya belum dapat berdiri sendiri, masih
tetap merupakan kewajiban orang tua untuk memelihara anak dan cucunya,
walaupun terjadi perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orang
tuanya.
2. Beralihnya Kekuasaan Orang Tua Menjadi Kekuasaan Wali Akibat
Perceraian
Konsekwensi hukum dengan adanya perceraian adalah bahwa
kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari kekuasaan
orang tua menjadi kekuasaan wali. walaupun pada dasarnya masih orang tua
anak juga yang menjalankan pengasuhan terhadap anak tersebut.18
KUHPerdata menyebutkan pada saat terjadi perceraian maka kekuasaan
orang tua akan berakhir, dan Pengadilan akan menentukan siapa saja diantara
mantan istri atau suami itu yang akan menjadi wali dari anak-anaknya.
Sedangkan pada Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa anak tersebut masih berada dikekuasaan orang tua selama
kekuasaan orang tua tersebut tidak dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 49.19
Pada dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan
hidup anak dibawah umur atau anak yang masih belum bisa mengurus diri
sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan
maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni

17
Satria Effendi, M. Zein, Op.Cit hal. 311
18
Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan, Jakarta, Universitas Trisakti,
2009, hal. 96
19
Pasal 47 ayat 1 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
9

anak yang masih belum bisa atau belum cakap dalam bertindak hukum. Oleh
karena itu maka perlulah ada seorang atau sekelompok orang yang dapat
mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada
walinya atau yang belum ada yang mengurus demi keselamatan anak dan harta.
Perwalian menurut KUHPerdata adalah anak yatim piatu atau anak-anak
yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan
bimbingan dan oleh karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang-orang atau
perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.20
Wali ditetapkan oleh hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua
sebelum meninggal yang sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang
mempunyai pertalian darah dari si anak itu sendiri. Perwalian menurut Subekti
berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua
yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau akil
balig dalam melakukan perbuatan hukum.21
3. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Setelah Perceraian
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal
1 ayat (15) menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran
berhak atas perlindungan khusus. Oleh karena itu anak korban perceraian
termasuk anak bermasalah harus mendapat perlindungan khusus.
Simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan anak dilihat dari
segi pembinaan generasi muda yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) dari tanggal 24 sampai dengan 26 Januari 1980, telah dicatat
beberapa kesepakatan dan masalah yang antara lain: konsepsi perlindungan
anak meliputi ruang lingkup yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak
hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial, dan perlindungan anak juga menyangkut aspek
pembinaan generasi muda. Disepakati bahwa dalam situasi dan proses terhadap
anak dalam kasus apapun, kepentingan anak selalu diutamakan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan:22

20
R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar
Grafika, 2002, hal. 55
21
Ibid.
22
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan, Usu Press, 1998, hal. 26
10

a. bahwa anak-anak harus dijunjung tinggi oleh setiap orang dengan


tidak lupa menanamkan rasa tanggung jawab kepadanya untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara, warga
masyarakat dan anggota keluarga dalam batas-batas tertentu yang
menghimbau anak dalam melaksanakan kewajiban itu.
b. bahwa perlindungan anak dalam arti hak-hak dan kebutuhannya
secara optimal bertanggung jawab, merupakan usaha bagi
kepentingan masa depan anak dan pembinaan generasi mendatang.
Perlindungan yang diberikan terhadap anak menurut sistem hukum
perdata tidak terbatas kepada lahir saja, tetapi meliputi anak yang masih ada
didalam kandungan ibunya. Anak yang berada didalam kandungan dianggap
telah dilahirkan jika kepentingan si anak menghendakinya.23
4. Penyebab Orang Tua Tidak Memenuhi Kewajibannya Setelah
Perceraian
Berdasarkan hal di atas, jika dikaitkan dengan sengketa hak asuh anak
pada penelitian ini, penyebab orang tua yaitu ayah si anak yang menjadi tergugat
tidak memenuhi kewajibannya sebagai ayah adalah karena tergugat tidak
memiliki itikad baik. Tergugat ternyata merupakan pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dianggap tidak layak menjadi wali
anak setelah terjadinya perceraian.
Permasalahan biasanya timbul setelah perceraian berjalan lebih dari tiga
tahun. Umumnya, salah satu pihak orang tua yang umumnya adalah pihak
ayahnya mendapatkan kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan anak
kandungnya. Akibat dari perceraian, banyak yang mengalami frustasi
dikarenakan merasa dihalangi dalam usaha bertemu anaknya. Berbagai upaya
hukum harus ditempuh sang ayah untuk bertemu anaknya baik di dalam
Pengadilan maupun diluar Pengadilan. Bukan hanya menghabiskan biaya yang
besar, akan tetapi juga menghabiskan banyak tenaga dan menyita waktu.
Apabila terjadi pelarangan terhadap pertemuan antara ayah dan anaknya,
maka ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
23
R.Subekti, Op.Cit., hal. 2
11

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Selanjutnya, ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan
sebagai berikut:24
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; danf. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
C. PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK NOMOR DALAM
PUTUSAN 2742/ Pdt.G/2011/PA.Kab.Kdr
1. Posisi Kasus
Sengketa hak asuh anak ini didaftarkan pada Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri pada tahun 2011. Penggugat seorang perempuan yang
merupakan mantan isteri dari tergugat. Penggugat mendaftarkan gugatannya
pada tanggal 28 September 2011. Penggugat dan tergugat pernah menjalin
suami isteri yang sah. Kemudian hubungan sah tersebut diakhiri dengan
perceraian pada tanggal 21 Februari 2011 di Pengadilan Agama Kabupaten
Kediri dengan Akte Cerai Nomor 472/AC/2011PA.Kab.Kediri.
Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dilahirkan seorang anak
berjenis kelamin laki- laki yang berumur 3 tahun. Antara Penggugat dengan anak
tersebut tidak pernah berpisah selama anak tersebut lahir sampai berusia 3

24
Pasal 13 Undang-Undang Perlindungan Anak
12

tahun 9 bulan sehingga dapat dikatakan bahwa si Ibu sangat mengenal


karateristik anak tersebut.
Tergugat selama ini dianggap tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada
anak dan isterinya selama perkawinan hingga dikeluarkannya putusan
perceraian antara Penggugat dan Tergugat. Tergugat dianggap lebih
mementingkan diri sendiri dibandingkan kebutuhan keluarga sehingga sangat
beralasan bagi Penggugat untuk menghendaki adanya perceraian antara
Penggugat dengan Tergugat.
Pada gugatannya, Penggugat juga menyebutkan bahwa sejak berpisah
dengan Tergugat pada tanggal 18 Juli 2011 sampai dengan dilakukannya
permohonan hak asuh tersebut, kurang lebih sekitar satu tahun dua bulan,
Tergugat tidak pernah sama sekali memberi nafkah kepada anaknya bahkan
menjenguk anaknya.
2. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas
fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali
nilai- nilai, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang
25
hidup dalam masyarakat. Sumber hukum yang dapat berupa peraturan
perundang- undangan berikut peraturan pelaksananya, hukum tidak tertulis
(hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, maupun doktrin/ ajaran para ahli.26
Dalam praktik pengadilan perdata, dikenal sumber hukum berupa
Burgerlijk Wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 pasal. BW tersebut berdasarkan
Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 19945 (amandemen) masih berlaku hingga saat
ini. Pada masa dulu sebelum dicabutnya keberlakukan pembagian golongan
penduduk, diberlakukan aturan berlakunya BW yaitu: 27
a) Mereka yang termasuk golongan Eropa; ‘
b) Mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa
kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara
tahun 1917- 129 (lampiran II);

25
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
26
R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung, Mandar Maju,
2005, hal. 146
27
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramitha,
2004 hal. 6
13

c) Mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong


Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam
Lembaran Negara tahun 1924- 556 (lampiran I)
Sementara itu untuk golongan bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat
yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
belum tertulis, tetapi telah hidup dalam tindakan- tindakan rakyat, mengenai
28
segala soal dalam kehidupan masyarakat.
Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus
ditinjau dari asas- asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan. Pada
hakikatnya asas- asas tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/ 189 RBG dan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu:
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup.  Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut
dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende
gemotiveerd.  Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal
tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau
doktrin hukum.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwasanya
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Bahkan
menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan
segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara. 
Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan
Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.29
Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang
tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis,  Akibatnya putusan dapat

28
R. Subekti, Pokok- pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 1996 hal. 10
29
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2005 hal. 798
14

dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.  Begitu pula pertimbangan yang
mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai
putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan  putusan yang
dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1)
RBG dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat
(2) RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh
memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya
memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. 
Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh
undang-undang.
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal  178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal
50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan
dalam gugatan.  Larangan itu disebut ultra petitum partium. Hakim yang
mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas
wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.  Apabila
putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun
hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan
kepentingan umum (public interest).  Mengadili dengan cara mengabulkan
melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak
sah (illegal)meskipun dilakukan dengan itikad baik. 30
d. Diucapkan di Depan Umum
Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang
tidak terpisahkan dari asas fair trial.  Melalui asas fair trial, pemeriksaan
persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. 
Prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai
putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu,
misalnya perkara perceraian.  Akan tetapi walaupun dilakukan dalam

30
Ibid.
15

persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum.
Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di
muka umum berakibat putusan batal demi hukum. Batalnya suatau putusan
tersebut tentu menjadikan putusan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat.
3. Analisis Hukum Terhadap Putusan No.2742/ Pdt.G/2011/PA.Kab.Kdr

Jika berpedoman pada hal di atas, maka dapat dilihat bahwa Penggugat
telah menjalankan kewajibannya sebagai orang tua setelah perceraian. Atas
pertimbangan pemenuhan kebutuhan anak dan juga masa depan anak yang
merupakan masih berusia 3 tahun, sesuai dengan Pasal 105 huruf a Kompilasi
Hukum Islam, dan sesuai pula dengan Hadits Nabi yang berbunyi:

“Engkau (ibu), lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum


menikah”

Jadi, apabila berpedoman pada ketentuan- ketentuan tentang hak asuh


anak dan tanggung jawab orang tua atas hak asuh anak setelah terjadinya
perceraian, maka putusan ini telah sesuai dengan ketentuan yang belaku dan
tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku tersebut. Sehingga tidak ada
kontra terhadap putusan tersebut.

Terhadap keabsahan putusan ini, dapat dilihat dari asas- asas yang diatur
seperti telah dijelaskan di atas, dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Dalam putusan tersebut telah diuraikan mengenai alasan- alasan


pengambilan keputusan yang diuraikan dalam pertimbangan- pertimbangan
keputusan. Hal- hal yang menjadi pertimbangan putusan ini yaitu pada pokoknya
bukti- bukti yang dihadirkan dalam persidangan dan fakta- fakta dalam
16

persidangan. Alasan utama Tergugat tidak pernah menjalankan kewajibannya


dan tidak memberikan nafkah kepada anak.

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Dalam perkara perdata ini, gugatan yang diajukan Penggugat adalah hak
asuh atas anak setelah terjadinya perceraian antara Penggugat dan Tergugat.
Kemudian majelis mengabulkan Gugatan Penggugat. Hal ini membuktikan
terpenuhinya asas wajib mengadili selurh bagian gugatan.

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Putusan yang dijatuhkan dalam perkara ini tidak melebihi tuntutan. Hal ini
dapat dilihat dari putusan yang menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat
untuk yang berarti tidak melebihi guagatan.

d. Diucapkan di Depan Umum

Adapun putusan ini dibacakan Rabu tanggal 02 Nopember 2011 Masehi


bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1432 Hijriyah oleh Drs. H. IMAM
ASMU'I. SH. sebagai Hakim Ketua Majelis Drs. MOH. JAENURI, SH. MH. dan
Drs. NUR ROHMAN, SH, MH masing-masing sebagai Hakim Anggota, dengan
didampingi H. KAMALI, SH, sebagai Panitera Pengganti.

4. Akibat Hukum yang Timbul Setelah Putusan

Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Akibat hukum merupakan
suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang
diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur
oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum
yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.31
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum,
yang dapat berwujud:32

31
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 hal. 295
32
Ibid.
17

1. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contohnya,


akibat hukum dapat berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap
hukum ketika seseorang berusia 21 tahun.
2. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua
atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contohnya, X
mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah dengan Y, maka
lahirlah hubungan hukum antara X dan Y apabila sewa menyewa
rumah berakhir, yaitu ditandai dengan dipenuhinya semua perjanjian
sewa-menyewa tersebut, maka hubungan hukum tersebut menjadi
lenyap.
3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Contohnya, seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu
akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut yaitu, mengambil
barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

II. PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian- uraian yang disebutkan di atas, maka ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan hak asuh anak apabila kedua orang tua telah bercerai

maka pengasuhan dan pemeliharaan anak tetap merupakan

kewajiban dan tanggung jawab bagi orang tua, walaupun dari salah

satu kedua orang tuanya memiliki hak asuh anak. Ketentuan ini dapat

dilihat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 tentang

Perkawinan yaitu Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik

anak-anak mereka sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam pengasuhan


18

dan pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknya lah yang lebih

diutamakan demi untuk kemaslahatan anak ke depannya. Hal ini

tercantum dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 jo.

No.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.

2. Kewajiban suami isteri sebagai orang tua dapat dilihat dalam Pasal 45

ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan yang memuat ketentuan bahwa

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin

atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun

perkawinan antara kedua orang tua putus. Jadi, kewajiban orang tua

memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan

dapat berdiri sendiri. Ini juga berarti bahwa meskipun anak sudah

kawin, tetapi dalam kenyataannya belum dapat berdiri sendiri, masih

tetap merupakan kewajiban orang tua untuk memelihara anak dan

cucunya, walaupun terjadi perceraian yang memutuskan ikatan

perkawinan kedua orang tuanya.

3. dalam memutus perkara ini, Majelis mempertimbangkan fakta- fakta

yang ada dalam persidangan. Majelis mempertimbangkan ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan

memuat ketentuan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan

mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban

mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

putus. Jadi, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-


19

anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini juga

berarti bahwa meskipun anak sudah kawin, tetapi dalam

kenyataannya belum dapat berdiri sendiri, masih tetap merupakan

kewajiban orang tua untuk memelihara anak dan cucunya, walaupun

terjadi perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orang

tuanya. Namun berbeda dengan putusan ini, dimana Tergugat sama

sekali tidak menjalankan kewajibannya atas kebutuhan anaknya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan- kesimpulan di atas, diberikan beberapa saran

sebagai berikut:

1. Hendaknya pengaturan tentang perceraian diatur secara spesifik lagi

di dalam Undang-Undang Perkawinan, karena dalam Undang-Undang

Perkawinan tidak diatur secara spesifik mengenai hak asuh anak

setelah terjadinya perceraian.

2. Hendaknya kedua orang tua menjalankan kewajibannya agar tidak

terjadi penelantaran terhadap kepentingan anak. Pada kenyataannya

banyak terjadi orang tua yang melalaikan tanggung jawabnya setelah

perceraian.

3. Pada penyelesaian hak asuh anak, hendaknya diberikan sanksi

kepada orang tua yang melalaikan kewajibannya agar tidak terjadi lagi

pada masa yang akan datang.


20

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Pilto, 2001, Hukum Waris menurut KUHPerdata, Jakarta : Intermasa

Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Bandung :


PT. Citra Aditya Bakti

Afandi, Ali, 2006, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta :
Bina Aksara

Anshory, Abdul Ghofur, 2011, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan
Hukum Positif, Yogyakarta : UII Press

Darmabrata, Wahyono, 2004, Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan


Keluarga, Jakarta : Gitamajaya

Ghofar, Asyari Abdul, 1992, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama
Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : CV.Gramada

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-


Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju
21

--------------------------, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung : Citra Aditya Bakti

---------------------------, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Mandar


Maju

Hamid, Andi Tahir, 2005, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan
Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika

Harahap, Yahya, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan


Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,

Humaedillah, Memed, 2002, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan
Anaknya, cet. I, Jakarta : Gema Insani Pers

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hal 33

Prawirohamidjojo, R Soetojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang Dan


Keluarga, Bandung : Alumni

-------------------------------------- dan Pohan, Marthalena, 2008, Hukum Orang dan


Keluarga (Personen en Familie-Rcht), Surabaya : Airlangga University
Press,

--------------------------------------, 2000, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya :


Airlangga University Press

--------------------------------------, 1988, Pluralisme Dalam Perundang-undangan


Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Universitas Airlangga

Ramulyo, M. Idris, 2006, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta : Bumi
Aksara

Rusli dan R. Tama, 2000, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya,


Bandung : Pionir Jaya

Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-
Undang, Bandung : Citra Aditya Bakti
22

Situmorang, Victor M., dan Sitanggang, Cormentyna, 1991, Aspek Hukum Akta
Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika

Soebekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2003, Penelitian Hukum Normatif Ed.1,
cet.7, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,


Yogyakarta : Liberty

Soimin, Soedharyo, 1992, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika

------------------------, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika

Sulistiai, Siska Lis, 2015, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda
Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung : PT Refika
Aditama

Supramono, Gatot, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta :


Penerbit Djambatan

Thalib, Sayuti, 2009, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press

Utuh, Harun, 2007, Anak Luar Nikah: Status Hukum dan Perlindungannya,
Surabaya : PT Bina Ilmu

B. Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

C. Putusan

Putusan Nomor 2742/ Pdt.G/2011/PA.Kab.Kdr

Anda mungkin juga menyukai