Anda di halaman 1dari 59

DRAFT SKRIPSI

PENYELESAIAN PERKARA HARTA BERSAMA SETELAH


TERJADINYA CERAI TALAK DALAM PERKARA
(NOMOR 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt)

Diajukan guna Memenuhi Sebagian Persyaratan untuk Mencapat Gelar


Sarjana Hukum

OLEH :

TARTILA HAFIZHAH
1810012111160

BAGIAN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG
2021
PENYELESAIAN PERKARA HARTA BERSAMA SETELAH
TERJADINYA CERAI TALAK DALAM PERKARA
(NOMOR 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt)

1
Tartila Hafizhah, 1Yansalzisatry
1
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta

Email : trtlhfzhh@gmail.com

ABSTRAK

Harta bersama setelah cerai talak dapat dibagi sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam. Dalam perkara Putusan Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt dimana
suami menggugat istri untuk pembagian harta bersama setalah keluarnya putusan
pengadilan mengenai cerai talak. Rumusan Maslah (1) Apakah yang menjadi latar
belakang timbulnya gugatan harta bersama oleh suami setelah cerai talak? (2)
Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara harta bersama
dalam Putusan Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt? Metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, sumber data yaitu bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, teknik pengumpulan data adalah studi dokumen, teknik
analisis data adalah kualitatif. Kesimpulan hasil penelitian adalah (1) Suami
mengajukan gugatan lebih kurang satu minggu setelah keluarnya putusan
pengadilan mengenai cerai talak, suami menggugat harta bersama yang berada di
bawah kekuasaan istri yang belum pernah dibagi (2) Hakim mempertimbangkan
bukti-bukti yang diberikan oleh pihak suami dan juga pihak istri dipersidangan
kemudian memutuskan objek-objek perkara tersebut dapat diterima atau tidak
dapat diterima sesuai dengan bukti-bukti yang diberikan oleh kedua belah.

Kata Kunci : Harta bersama, gugatan, cerai talak, pertimbangan hakim

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

2. Sahnya Perkawinan

3. Syarat-syarat Perkawinan

4. Akibat Hukum Perkawinan

B. Tinjauan Perceraian

1. Pengertian Perceraian

2. Akibat Perceraian

C. Tinjauan Proses Beracara di Pengadilan Agama

1. Pengertian Pengadilan Agama

2. Beracara di Pengadilan Agama

D. Tinjauan Pertimbangan Hakim

1. Pengertian pertimbangan hakim

ii
2. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan

E. Tinjauan Gugatan

1. Pengertian gugatan

2. Jenis dan bentuk gugatan

3. Formulasi gugatan

4. Gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi

5. Alasan gugatan Niet Onvankelij Verklanard

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar belakang timbulnya gugatan terhadap harta bersama oleh suami

setelah terjadinya cerai talak

B. Analisis kasus dalam menyelesaikan perkara harta bersama dalam

putusan Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari Pasal 1

Undang-Undang Perkawinan tersebut terlihat tujuan perkawinan yaitu untuk

membentuk keluarga bahagia dan kekal. Bahagia artinya adalah kerukunan

dalam hubungan suami dan istri, atau antara suami istri, dan anak-anak dalam

rumah tangga.1 Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua

kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani.2 Kekal artinya adalah

berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu

saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak.3

Setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan pasti

menginginkan rumah tangga yang bahagia, harmonis, sejahtera hingga akhir

hayat. Tetapi tidak semua keinginan yang diharapkan dalam perkawinan akan

sesuai dengan kenyataan. Banyak perkawinan yang tidak dapat mencapai

tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang

1
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 75.
2
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 62.
3
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm.75.

1
2

Perkawinan tersebut. Sering ditemukan perkawinan yang kandas ditengah

jalan karena terjadinya perselisihan sehingga berakhir dengan perceraian.

Perceraian adalah lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri yang dilakukan di depan sidang

pengadilan. Penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan angka 4 huruf e,

menyatakan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan

perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan

sidang pengadilan.4 Mengenai prinsip mempersulit perceraian ini dapat dilihat

dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan yang selanjutnya disebut PP No. 9

Tahun 1975, menyebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat

perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 115 Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disebut

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama

tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Berdasarkan isi dari aturan-aturan mengenai putusnya perkawinan

tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa perceraian yang sah dimata hukum

4
K. Wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghanlia Indonesia, Jakarta,
hlm. 69.
3

itu tidak dapat dilakukan oleh pasangan suami istri saja, akan tetapi harus

melibatkan pengadilan.

Akibat dari terjadinya perceraian akan berpengaruh terhadap 3 hal,

yaitu terhadap hubungan suami istri, terhadap anak dan terhadap harta. Dalam

kehidupan perkawinan dikenal ada 2 macam harta, yaitu terhadap harta

bawaan dan harta bersama. Setelah terjadinya perceraian, harta bawaan akan

dikembalikan kepada suami atau istri sesuai dengan kepemilikannya masing-

masing. Harta bersama didapatkan oleh pasangan suami istri selama

perkawinan berlangsung. Harta bersama merupakan harta yang

kepemilikannya adalah suami dan istri. Pasal 37 Undang-Undang

Perkawinan menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian

maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Maksud

hukum masing-masing dari Pasal ini adalah hukum yang digunakan oleh

pihak yang bercerai. Menurut K. Wantjik Saleh akibat hukum yang

menyangkut harta bersama diserahkan kepada kedua belah pihak yang

bercerai, hukum mana yang akan dipakai oleh pihak bercerai untuk membagi

harta bersamanya, baik itu hukum perdata, hukum adat atau hukum agama

pihak bercerai.5

HIR menjelaskan bahwa gugatan perceraian di pengadilan negeri

tidak dapat digabungkan gugatannya bersama-sama dengan gugatan harta

bersama sebab proses persidangan dalam acara perdata dimulai terlebih

dahulu dengan sidang perceraian kemudian dilanjutkan dengan sidang

gugatan harta bersama sehingga tidak dapat dilakukan bersamaan.

5
Ibid. hlm. 71.
4

Aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Peradilan

Agama tenang harta bersama berbeda dengan aturan yang terdapat di dalam

HIR. Dalam Undang-Undang Peradilan Agama, harta bersama dapat dibagi

langsung pada saat sidang cerai talak atau cerai gugat. Pasal 66 ayat (5)

Undang-Undang Peradilan Agama yang menyatakan permohonan soal

penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri

dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun setelah

ikrar talak diucapkan.

Salah satu kasus gugatan harta bersama di Pengadilan Agama

Bukittinggi adalah perkara Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt. Perkara ini

adalah mengenai gugatan pembagian harta bersama yang diajukan suami

setelah terjadi cerai talak. Suami memilih untuk melakukan gugatan harta

bersama setelah ikrar talak diucapkan. Suami mengajukan gugatan lebih

kurang dua minggu setelah keluar putusan pengadilan mengenai cerai talak.

Saat sidang masih berlanjut dan belum ada putusan pengadilan, salah satu

pihak menjual 2 unit mobil yang seharusnya itu menjadi objek perkara dalam

perkara pembagian harta bersama ini. Penulis tertarik dengan kasus ini dan

memilih perkara ini untuk dijadikan objek penelitian. Penelitian ini dilakukan

untuk melihat bagaimana penyelesaian pembagian harta bersama dengan

mengambil judul Penyelesaian Perkara Harta Bersama Setelah

Terjadinya Cerai Talak dalam Perkara Nomor 437/Pdt.G /2020/PA.Bkt.

B. Perumusan Masalah
5

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi latar belakang timbulnya gugatan harta bersama

oleh suami setelah cerai talak?

2. Bagaimanakah analisis kasus dalam menyelesaikan perkara harta bersama

dalam Putusan Nomor 437/Pdt.G /2020/PA.Bkt?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan kegiatan Penelitian ini, maka penulis memiliki

tujuan yang hendak dicapai seperti:

1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya gugatan terhadap harta

bersama oleh suami setelah setelah cerai talak.

2. Untuk mengetahui analisis putusan dalam menyelesaikan perkara harta

Bersama dalam putusan Nomor 437/Pdt.G /2020/PA.Bkt.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan

dengan mempelajari undang-undang, buku-buku, jurnal dan mengaitkan

dengan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi kelas IB Nomor

437/Pdt.G/2020/PA.Bkt.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Untuk mendapatkan data sekunder itu, sumber data yang

digunakan adalah:
6

a. Bahan hukum primer

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan.

3) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

4) Putusan Pengadilan Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah buku-buku, artikel dan jurnal yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah studi dokumen, yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-

undangan, buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

Putusan Pengadilan.

4. Analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif. Data sekunder yang telah terkumpul dari studi kepustakaan,

kemudian penulis olah dan membandingkan dengan putusan pengadilan,

kemudian mengambil kesimpulan, setelah itu penulis menguraikannya

dalam bentuk kalimat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat

atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Anwar Haryono dalam Ridwan Syahrani menyatakan pernikahan

adalah suatu perjanjian suci antara seorang lakilaki dengan seorang

perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.6

Perkawinan menurut Subekti dalam I Ketut Atardi adalah

pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

untuk waktu yang lama.7 Perkawinan adalah suatu proses yang sudah

melembaga, yang mana laki-laki dan perempuan memulai dan

memelihara hubungan timbal balik yang merupakan dasar bagi suatu

keluarga. Hal ini

6
Riduan Syahrani, 2006, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, PT. Alumni,
Banjarmasin. hlm. 33.
7
I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Yurisprudensi, Setia Lawan, Denpasar, hlm. 169.

7
8

akan menimbulkan hak dan kewajiban baik di antara laki-laki dan

perempuan maupun dengan anak-anak yang kemudian dilahirkan.8

2. Sahnya Perkawinan

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan

perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya itu. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan

ini menyatakan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang

dimaksud disini termasuk ketentuan undang-undang berlaku bagi

golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Irfan Islami

mengatakan perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan adalah

perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum agama

yang berlaku di Negara Republik Indonesia. 9 Apabila suatu perkawinan

dilakukan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaan, maka

perkawinan itu tidak sah. Hazairin dalam buku K. Wantjik Saleh

menyatakan bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang

Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu Budha seperti yang dijumpai di

Indonesia.10

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan tiap-

tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pencatatan perkawinan dilakukaan sama halnya dengan

8
Ibid.
9
Irfan Islami, Perkawinan di Bawah Tangan dan Akibat Hukumnya, Jurnal Hukum,
vol.8, no.1, hlm. 74.
10
K. Wantjik Saleh, op.cit, hlm. 16.
9

pencatatan pertistiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang

seperti kelahiran, kematian yang dibuat dalam suatu akta resmi.

Perkawinan itu harus dicatatkan bertujuan agar adanya kejelasan untuk

orang bersangkutan, orang lain dan masyarakat.11 Pencatatan perkawinan

akan menyatakan bahwasannya perkawinan itu memang benar ada dan

terjadi.12 Pencatatan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh dua instansi,

yaitu Pegawai Pencatat Nikah bagi yang melaksanakan perkawinan

menurut hukum Islam dan Kantor Catatan Sipil untuk yang

melaksanakan tidak sesuai dengan hukum Islam.13

3. Syarat-syarat Perkawinan

Untuk melaksanakan perkawinan, maka harus memenuhi

beberapa syarat agar perkawinan dapat dilaksanakan yaitu syarat materil

dan syarat formil.

a. Syarat materil

Syarat materil perkawinan terdapat dalam Pasal 6 sampai

dengan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan yang dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1) Persetujuan kedua belah pihak

2) Izin kedua orang tua apabila belum mencdapai umur 21 tahun

3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya

yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati.

4) Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin.

11
Ibid. hlm. 17.
12
Ibid.
13
Ibid.
10

5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa

tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena

perceraian, mada iddahnya 90 hari dan karena kematian 130

hari.14

Sesuai dengan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan umur untuk melaksanakan perkawinan adalah 19

tahun.

b. Syarat formil

Syarat formil perkawinan diatur dalam dalam Pasal 3

sampai dengan Pasal 13 PP No.9 Tahun 1975, dapat disimpulkan:

a) Adanya permohonan kehendak nikah

Pemberitahuan maksud kawin diajukan kepada

Pegawai Pencatat Perkawinan di tempat akan dilangsungkan

perkawinan. Permohonan ini diajukan paling lambat 10 hari

sebelum dilangsungkannya perkawinan. Namun, ada

pengeculiannya terhadap jangka waktu tersebut karena sutu

alasan yang penting diberikan oleh camat (atas nama) bupati

kepala daerah.15 Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 9

Tahun 1975.

b) Adanya pemeriksaan nikah

Pemeriksaan nikah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan

ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975. Setelah syarat-syarat diterima,


14
Salim HS, op.cit, hlm 62.
15
Zaeni Asyhadie, 2020, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Depok, hlm. 33.
11

Pegawai Pencatat Perkawinan, akan meneliti apakah sudah

sesuai dan memenuhi syarat atau belum. Kemudian hasil

penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut.

c) Pengumuman kehendak nikah

Pengumuman kehendak nikah bertujuan untuk

memberikan kesempatan kepada umum agar mengetahui dan

mengajukan keberatan bagi kelangsungan perkawinan apabila

yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum

agama yang bersangkutan atau peraturan perundang-undangan

lainnya.16 Pegawai pencatat menempelkan surat pengumuman

dalam bentuk yang telah ditetapkan pada kantor-kantor

pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah

tempat dilangsungkannya perkawinan dan tempat kediaman

masing-masing mempelai.17

4. Akibat hukum perkawinan

Setelah terjadinya perkawinan yang sah, maka akan timbul

akibat-akibat hukum yaitu:

a. Terhadap hubungan suami istri akan melahirkan hak dan kewajiban.

b. Terhadap anak akan timbul hubungan antara orang tua dan anak

yang akan melahirkan hak dan kewajiban.

c. Terhadap harta kekayaan.

Berikut ini penjelasan mengenai akibat-akibat hukum yang timbul

setelah terjadinya perkawinan :

16
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 74.
17
Zaeni Asyhadie, op.cit, hlm 131.
12

a. Terhadap hubungan suami istri

Akibat perkawinan yang menyangkut suami istri hal ini

diatur dalam Pasal 30 sampai Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan.

1) Suami memikul kewajiban hukum untuk menegakkan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2) Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia

dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang

lain.

3) Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama masyarakat.

4) Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.

5) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah

tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan

sebaik-baiknya.

6) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang

ditentukan secara bersama.18

b. Terhadap anak

Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak :


18
Henri, 2018, Akibat-akibat Perkawinan dan Putusnya Perkawinan menurut hukum,
https://butew.com/2018/04/18/akibat-akibat-perkawinan-dan-putusnya-perkawinan-menurut-
hukum/, 22 November, pukul 23.02
13

1) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu

kawin atau dapat berdiri sendiri.

2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak

mereka yang baik.

3) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala

sudah tua.

4) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan

perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua.

5) Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah

kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar

pengadilan.

6) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang

belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,

kecuali kepentingan si anak menghendakinya.19

c. Terhadap harta

Akibat hukum terhadap harta, setelah terjadinya perkawinan

maka timbullah harta perkawinan. Pasal 35 Undang-Undang

Perkawinan harta dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

1) Harta bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh

selama berlangsungnya perkawinan. Harta bersama meliputi

harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri atau usaha salah
19
Salim HS, op.cit, hlm. 60.
14

seorang dari mereka. Harta bersama akan digunakan dan

dimanfaatkan bersama-sama oleh suami dan istri.20

2) Harta bawaaan

Harta bawaan dapat dibagi 2:

a) Harta Bawaan

Harta bawaan adalah harta yang diperoleh oleh

suami dan istri sebelum perkawinan dan dibawa kedalam

perkawinan.21

b) Harta perolehan

Harta Perolahan merupakan harta yang diperoleh

oleh suami istri setelah perkawinan baik itu berupa hibah,

hadiah ataupun warisan. Masing-masing suami dan istri

memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya

dari hadiah, warisan, maupun hibah.22

B. Tinjauan Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan menyatakan perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan

yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak. PP No. 9 Tahun 1975 mengatakan bahwa perceraian itu

terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang

20
Sugih Ayu Pratitis, 2019, Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Benda
Perkawinan, Doktrina Of Jurnal Law (doktrina sampai law italic) Vol. 2 No. 2, Oktober 2019,
hlm. 154.
21
Ibid.
22
Ibid.
15

pengadilan. Jadi perceraian akan mengakibatkan putusnya ikatan antara

suami dan istri.

Perceraian dapat dibagi menjadi 2 macam, sebagai berikut :

a. Cerai Talak

Talak adalah suatu perbuatan yang melepaskan ikatan, dalam

ketentuan hukum pernikahan Islam.23 Talak dapat diartikan dengan

melepas ikatan pernikahan menggunakan ucapan talak atau

perkataan lain yang maksudnya sama dengan talak.24

Cerai talak yang menjadi penyebab putusnya perkawinan

hanya dapat dilakukan oleh seorang suami yang beragama Islam.

Dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa talak

adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Tata cara seorang

suami mentalak istrinya diatur dalam Pasal 14 sampai 18 PP No. 9

Tahun 1975 yaitu:

1) Seorang suami yang akan menceraikan istri mengajukan surat

ke Pengadilan Agama ditempat tinggalnya yang berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya

disertai dengan alasan serta meminta kepada pengadilan agar

diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pengadilan menerima surat pemberitahuan tersebut,

mempelajarinya dan selambat-selambatnya 30 hari setelah

menerima surat, pengadilan memanggil suami istri yang akan


23
Muslim Pintar, 2018, Macam-Macam Talak lengkap dengan penjelasannya,
muslimpintar.com/macam-macam-talak-dalam-islam/, 22 November, pukul 23.20
24
Ibid.
16

bercerai untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan perceraian.

3) Setelah mendapat penjelasan dari suami istri dan terdapat alasan

untuk bercerai dan tidak memungkinkan untuk berdamai, maka

pengadilan memutuskan untuk membuka sidang untuk

menyaksikan perceraian itu.

4) Setelah perceraian dilakukan (suami mengucapkan ikrar talak),

Ketua Pengadilan Agama memberi surat keterangan tentang

perceraian dan surat keterangan dikirimkan kepada pegawai

pencatat di tempat perceraian untuk dilakukan pencatatan.

5) Perceraian itu terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan

dalam persidangan.25

b. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah suami atau istri atau kuasanya

mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Bagi istri yang

beragama Islam mengajukan ke Pengadilan Agama. Sedangkan

suami istri yang bukan beragama Islam maka dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri. Tata cara gugatan ini diatur dalam

Pasal 20 sampai Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975, dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1) Pengajuan gugatan diajukan oleh salah satu pihak ke pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat dan

apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui

25
Mohammad Junaidi Abdillah, Analisis Putusan Pengadilan Agama Terhadap Cerai
Gugat dan Cerai Talak Menurut UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 10, No.2, 2019, hlm. 170.
17

atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan

perceraian diajukan ke pengadilan di tempat kediaman penggugat.

2) Pemanggilan disampaikan secara pribadi oleh juru sita dan

petugas yang ditunjuk secara patut dan selambat-lambatnya 3 hari

sebelum sidang.

3) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan

selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di

kepaniteraan. Para pihak yang berperkara menghadiri sidang.

Pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk

umum.

4) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah

pihak baik sebelum atau selama persidangan.

5) Pengucapan putusan pengadilan harus dilakukan dalam

persidangan yang terbuka untuk umum.26

2. Akibat perceraian

1) Terhadap Hubungan suami istri

Setelah putusnya perkawinan maka hak dan kewajiban yang

ada antara suami istri juga akan ikut terputus. Suami akan menjadi

duda dan istri akan menjadi janda. Apabila istri ingin menikah lagi

maka harus menunggu masa tunggu (iddah) berakhir.

Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan

menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena

laki-laki tidak mempunyai masa iddah.27


26
K. Wantjik Saleh, op.cit.hlm.39
27
Bislaw, 2021, Akibat Hukum dari Perceraian, https://bizlaw.co.id/akibat-hukum-dari-
perceraian/, 22 November, pukul 23.50
18

2) Terhadap anak

Salah satu alasan melakukan perkawinan adalah untuk

melanjutkan keturunan, jadi anak merupakan salah satu tujuan

seseorang melakukan perkawinan. Anak adalah hal yang sangat

diimpikan oleh setiap pasangan, karena itu anak adalah tanggung

jawab kedua suami istri.

Setelah terjadi perceraian ayah tetap berkewajban untuk

memberikan nafkah kepada anak-anaknya sampai mereka berumur

21 tahun. Sedangkan yang akan menjadi wali si anak akan

ditentukan pada saat sidang di pengadilan.28

3) Terhadap harta

Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan

bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya. Sesuai dengan yang disebutkan di dalam

Pasal ini, maka apabila terjadi perceraian harta bawaan akan

dikembalikan kepada suami dan istri sesuai dengan haknya masing-

masing.

Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa

bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing. Maksud hukum masing-masing

disini adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.29

28
Rini Jumarni, 2020, Wajibkah Ayah Memberikan Nafkah Anaknya Setelah Bercerai,
https://ibtimes.id/wajibkah-ayah-memberikan-nafkah-anaknya-setelah-bercerai/, 22 Novemver,
pukul 00.05
29
K. Wantjik Saleh, op.cit, hlm. 71.
19

Menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 Undang-

Undang Perkawinan, diserahkan kepada para pihak yang bercerai

tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, Jika perkara

harta bersama dibawa ke pengadilan, maka yang berwenang dalam

memutuskan perkara harta bersama adalah hakim dengan kewajiban

hakim yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang

berbunyi hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi

setiap orang dapat berbeda-beda, tergantung dari hukum apa yang

akan digunakan para pihak untuk mengatur harta bersama.

Bagi orang yang beragama Islam, pengaturannya berdasarkan

hukum Islam. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan janda

atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan.

C. Tinjauan Proses Beracara di Pengadilan Agama

1. Pengertian Pengadilan Agama

Pengadilan Agama adalah pengadilan yang bertugas dan

berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara


20

ditingkat pertama bagi rakyat Indonesia yang beragama Islam. Pasal 49

Undang-Undang Peradilan Agama, menyatakan wewenang pengadilan

agama adalah sebagai berikut :

a. Perkawinan

b. Kewarisan,

c. Wasiat

d. Hibah

e. Wakaf

f. Zakat

g. Infaq

h. Shadaqah

i. Ekonomi Syariah

Kedudukan Pengadilan Agama sama dengan Pengadilan Umum,

hanya saja Pengadilan Agama dikhususkan untuk umat Islam. Pada Pasal

54 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa hukum acara

yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah

hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-

undang ini. Hal ini berarti untuk beracara di Pengadilan Agama hukum

yang dipakai adalah hukum acara perdata, kecuali yang telah diatur secara

khusus dalam undang-undang khusus untuk umat islam.

b. Beracara di Pengadilan Agama

Beracara di pengadilan agama sama halnya dengan beracara

perdata di pengadilan pada umumnya, berikut ini adalah prosesnya :


21

1) Penggugat atau kuasanya menyatakan bahwa dia akan mengajukan

gugatan ke tempat pendaftaran perkara di pengadilan agama.

Gugatan yang diajukan berbentuk surat, lisan dan kemudian

membayar biaya perkara. Panitera pendaftaran perkara

menyampaikan gugatan ke bagian perkara. Kemudian gugatan akan

resmi diterima dan didaftarkan dalam buku registrasi perkara.

2) Wakil penitera akan memeriksa kelengkapan berkas dan kemudian

akan ditunjuk penitera pengganti dan juru sita.

3) Gugatan diteruskan kepada ketua pengadilan agama dan akan diberi

catatan mengenai Nomor, tanggal perkara dan penetapan majelis

hakim.

4) Hakim ketua atau anggota majelis hakim memeriksa kelengkapan

surat gugatan dan kemudian membuat penetapan hari sidang.

5) Juru sita akan memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa

surat panggilan sidang secara patut.

6) Sidang perkara, pada saat sidang perkara semua proses pemeriksaan

perkara dicatat dalam berita acara persidangan30

Kemudian sidang akan belangsung, proses persidangan diatur sebagai

berikut :

1) Para pihak akan dipanggil yaitu penggugat/pemohon dan

tergugat/termohon.

2) Hakim akan mengusahakan perdamaian antara penggugat/pemohon

dan tergugat/termohon.
30
Suwardi, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan
Agama, Jurnal Ensiklopediaku, Vol.3 No.1, 2021, hlm. 82.
22

3) Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka sidang akan dilanjutkan

dengan pembacaan surat gugatan.

4) Tahap pembuktian, merupakan pemeriksaan alat bukti baik berupa

bukti surat-surat ataupun berupa saksi-saksi.

5) Pembacaan penetapan, hasilnya berdasarkann kepada hasil

pemeriksaan dan pembuktian di persidangan.31

D. Pertimbangan Hakim

1. Pengertian pertimbangan hakim

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting

untuk mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping

itu terdapat juga manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Jika

pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim

yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh

Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung.32

Hakim dalam memeriksa perkara harus memperhatikan terkait

dengan pembuktian, pembuktian akan menjadi bahan pertimbangan yang

paling penting dalam suatu persidangan. Pembuktian bertujuan untuk

memperoleh kepastian terhadap suatu peristiwa dan fakta yang diajukan

benar-benar terjadi. Hakim tidak akan bisa menjatuhkan suatu putusan

sebelum nyata baginya bahwa peristiwa / fakta tersebut benar-benar

31
Ibid.
32
Mukti Aro, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, hlm.140.
23

terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan

hukum antara para pihak.33

2. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan

Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terdapat

dalam Pasal 178 HIR/189 R.BG dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

1) Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci

Putusan hakim yang tidak berdasarkan alasan yang jelas dan

rinci, dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan. Alasan

yang dijadikan pertimbangan dapat berupa Pasal-Pasal tertentu

peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau

doktrin hukum.34

Hal ini diperjelas dalam Pasal 50 Undang-Undang Kehakiman

yang menyatakan putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan

dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan peundang-

undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena

jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak

dikemukakan para pihak yang berperkara. Agar terpenuhinya kewajiban

hakim itu maka Pasal 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti dan

33
Ibid. hlm. 141.
34
M.Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 798.
24

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

2) Wajib mengadili seluruh bagian gugatan

Pasal 178 HIR ayat (2) Pasal 189 ayat (2) R.BG dan Pasal 50

RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan

mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya

memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan

selebihnya.

3) Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan

Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR Pasal 189 ayat (3) R.BG

dan Pasal 50 RV, putusan tudak boleh mengabulkan melebihi tuntutan

yang dikemukakan dalam gugatan, disebut dengan ultra petitum

partium. Hakim yang mengabulkan posita atau petitum gugatan

melebihi tuntutan, dianggap telah melampaui wewenangnya. Putusan

yang mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid)

meskipun hal itu dilakukan hakim demi kepentingan umum.

Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat

dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal)

meskipun dilakukan dengan itikad baik,35

4) Diucapkan di depan umum

Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan putusan pengadilan hanya sah dan mempunya kekuatan

hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Prinsip

peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai


35
Ibid. hlm. 801.
25

putusan dijatuhkan, terkecuali untuk perkara tertentu seperti perkara

perceraian. Meskipun persidangan tertutup untuk umum, putusan

wajib diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan yang tidak diucapkan

di depan umum berakibat putusan batal demi hukum.

E. Tinjauan tentang gugatan

1. Pengertian gugatan

Pihak yang merasa dirugikan dalam suatu perkara perdata di

lingkungan bermasyarakat harus mengajukan gugatak kepada pihak yang

dirasa merugikan. Pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata

disebut penggugat, yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dan

ditujukan kepada pihak yang melanggar disebut tergugat dengan

mengemukakan duduk perkara (posita) dan disertai dengan apa yang

menjadi tuntutan penggugat (petitum).36

Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa

atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan

penyelesaian pengadilan.37 Menurut Sudikno Mertokusumo gugatan

adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan

perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan

main hakim sendiri (eigenrichting).38

36
Gatot Supramono, 1993, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni, Jakarta,
hlm. 14.
37
Cik Hasan Bisri, 1998, Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 229.
38
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 52.
26

Berdasarkan pengertian gugatan di atas maka dapat disimpulkan

bahwa dalam berperkara di pengadilan akan ada gugatan, yang mana

gugatan itu ada pihak yang menggugat disebut dengan penggugat dan

pihak yang digugat di sebut dengan tergugat. Gugatan adalah suatu

tuntutan yang diajukan ke pengadilan untuk mempertahankan atau

mengambil kembali hak yang dirasa adalah milik penggugat yang

diganggu atau berada di tangan tergugat.

2. Jenis dan bentuk gugatan

a. Jenis-jenis gugatan

Dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan,

diantaranya :39

1) Gugatan permohonan (voluntair)

Gugatan voluntair menurut Yahya Harahap adalah

permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan

yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan

kepada ketua pengadilan negeri.40

2) Gugatan (contentious)

Gugatan contentious menurut Yahya Harahap gugatan

yang mengandung sengketa di antara kedua belah pihak atau

lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk

diselesaikan dalam gugatan merupakan sengketa atau perselisihan

di antara para pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan ini

39
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm 28-137
40
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 29.
27

melalui proses sanggah-menyanggah dalam bentuk replik dan

duplik.41

b. Bentuk-bentuk gugatan

Setiap proses perdata akan melalui proses mengajukan

gugatan ke pengadilan secara tertulis atau bisa juga dengan lisan.

Gugatan secara lisan bisa dilakukan jika orang yang hendak

menggugat tidak bisa menulis, yang ditujukan kepada pengadilan

dalam daerah hukum orang yang hendak di gugat bertempat

tinggal.42

Berikut ini adalah bentuk-bentuk gugatan :

1) Bentuk lisan

Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana

penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajaukan

secara lisan kepada ketua pengadilan. Ketua pengadilan tersebut

membuat catatan atau menyuruh penggugat membuat catatan

tentang gugatan itu. R.Bg menyatakan bahwa gugatan secara

lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan.

2) Bentuk tulisan

Mengenai gugatan dalam bentuk ini terdapat dalam Pasal

118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa gugatan perdata, yang

pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus

dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh

41
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 46.
42
Elise T. Sulistini dan Rudy T Erwin, 1987, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-
Perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 17.
28

penggugat atau oleh wakilnya kepada ketua pengadilan negeri di

daerah hukum tergugat bertempat tinggal.43

3. Formulasi gugatan

Formulasi gugatan adalah perumusan yang dianggap memenuhi

syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.44

Berikut ini merupakan hal-hal yang harus dirumuskan dalam

gugatan :45

1) Ditujukan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif

2) Diberi tanggal

3) Ditandatangani penggugat/kuasa

4) Identitas para pihak

5) Posita

6) Petitum

4. Gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi

a. Gugatan konvensi

Gugatan konvensi adalah istilah untuk menyebutkan

gugatan awal atau gugatan asli dalam perkara. Istilah ini jarang

digunakan dalam suatu perkara, karena gugatan konvensi akan

dipakai jika dalam perkara tersebut ada gugatan rekonvensi. 46

b. Gugatan rekonvensi

43
Abdul Manan, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 24.
44
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 51.
45
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 51.
46
Ilman Hadi, 2013, Arti Istilah Konvensi, Rekonvensi, Eksepsi dan Provisi,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-istilah-konvensi--rekonvensi--eksepsi--dan-provisi-
lt5110864b5855f, diakses pukul 00.03
29

Gugatan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR

yang menyatakan bahwa dalam tiap-tiap perkara, tergugat berhak

mengajukan tuntutan balik. Maka dari bunyi Pasal 132 a ayat (1) HIR

dapat disimpulkan bahwa apabila tergugat ingin mengajukan gugatan

balik kepada penggugat dalam suatu perkara, tergugat tidak perlu

membuat tuntutan baru, tetapi cukup mengajukan gugatan bersamaan

dengan jawaban dari gugatan penggugat.

Gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 b ayat

(3) HIR, dari isi pasal tersebut maka dapat diambil kesimpulan :

a. Gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi diperiksa serta diputus

sekaligus dalam satu putusan.

b. Diperbolehkan melakukan pemeriksaan secara terpisah dan dalam

putusan yang berbeda.

5. Alasan tidak diterimanya gugatan (niet onvankelij verklaard)

Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil keputusan

menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelij

Verklanard) adalah sebagai berikut : 47

a. Gugatan tidak berdasarkan hukum

Hal ini biasanya terjadi pada gugatan yang tidak ditanda

tangani atau cap jempol dan dilegalisasi oleh pejabat yang

berwenang. Penyebab lain adalah hal yang dipersengketakan telah

lama berlalu dan sudah terselesaikan (kadaluwarsa), atau permasalah

itu belum terjadi tetapi sudah dipersengketakan (premature).

b. Gugatan error in persona


47
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 811.
30

Gugatan yang diajukan salah orang, atau ada kesalahan

dalam pembuatan identitas para pihak baik nama atau alamatnya,

juga bisa karena kurangnya pihak dalam gugatan tersebut.

c. Gugatan obscuur libel

Gugatan tidak jelas atau kabur karena berbagai alasan,

diantaranya :

1) Posita tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang

mendasari gugatan

2) Objek yang disengketakan tidak jelas

3) Menggabungkan gugatan yang berdiri sendiri

4) Bertentangan antara posita dan petitum

5) Petitum tidak rinci

d. Gugatan tidak sesuai kompetensi absolut dan relatif

Mengajukan gugatan ke pengadilan yang salah. Hal ini

diatur dalam Pasal 118 HIR yang menyatakan bahwa untuk

melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri, asas hukum

menentukan gugatan haruslah diajukan kepada pengadilan dalam

wilayah hukum tempat tinggal tergugat.

e. Gugatan nebis in idem

Gugatan yan diajukan sama dengan gugatan sebelumnya

dan perkaranya telah diputuskan oleh pengadilan.

Apabila suatu perkara dinyatakan Niet Onvankelij Verklanard maka

pengadilan wajib menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima


31

atau menyatakan pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkara

tersebut.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar belakang timbulnya gugatan terhadap harta bersama oleh suami

setelah terjadinya cerai talak

Perkara Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt adalah perkara mengenai

gugatan pembagian harta bersama yang diajukan oleh suami setelah

terjadinya cerai talak. Gugatan konvensi diajukan lebih kurang satu minggu

setelah keluar putusan pengadilan megenai cerai talak. Dasar utama adanya

gugatan konvensi mengenai harta bersama adalah dikarenakan adanya harta

bersama semasa perkawinan antara suami dan istri, harta bersama tersebut

berada di bawah kekuasaan istri dan belum pernah ada pembagian harta

bersama. Harta bersama yang digugat oleh suami adalah sebagai berikut :

1. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 776, atas

nama istri dengan luas 483 m2.

2. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 777, atas

nama istri dengan luas 170 m2.

3. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 793, atas

nama istri dengan luas 126 m2.

4. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 791, atas

nama istri dengan luas 97 m2.

Namun di dalam persidangan istri mengajukan gugatan rekonvensi,

hal ini dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 158 R.bg yang menyatakan

33
bahwa tergugat memiliki hak untuk mengajukan gugatan balik terhadap

gugatan yang

34
34

diajukan penggugat. Istri mengajukan gugatan rekonvensi terhadap harta

bersama yang tidak dimasukkan oleh suami kedalam gugatannya, harta-harta

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2093 atas nama

suami dengan luas 104 m2.

2. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2094 atas nama

suami dengan luas 162 m2.

3. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2095 atas nama

suami dengan luas 137 m2.

4. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2096 atas nama

suami dengan luas 15 m2.

5. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2097 atas nama

suami dengan luas 112 m2.

6. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No. 2098 atas nama

suami dengan luas 127 m2.

7. Satu petak kios tempat usaha Nomor 93 atas nama suami terletak di Pasar

Bawah Bukittinggi.

8. Satu petak kios tempat usaha Nomor 47 atas nama suami terletak di Pasar

Bawah Bukittinggi.

9. Usaha kerjasama antata PT. EFA dengan suami.

10. Satu unit mobil mini bus merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2012

warna putih metallic atas nama suami.

11. Satu unit mobil merk Mitsubishi L300 tahun pembuatan 2015 warna

hitam atas nama istri.


35

12. Satu unit mobil merk Honda type Jazz tahun pembuatan 2008 warna

putih atas nama suami.

13. Satu unit mobil merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2019 warna

putih atas nama suami.

14. Utang sebesar Rp 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah)

kepada R, yang dibuat semasa perkawinan mereka (suami dan istri).

15. Pinjaman kredit di Bank Nagari atas nama istri sebesar Rp 450.000.000,-

(empat ratus lima puluh juta rupiah), yang dibuat semasa perkawinan

mereka (suami dan istri).

Menurut Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa

janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan. Oleh karena itu

suami dan istri mengajukan gugatan untuk mendapatkan haknya dalam harta

bersama tersebut.

B. Analisis kasus dalam menyelesaikan perkara harta bersama dalam

putusan Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt

Hakim sebelum memutuskan perkara akan berupaya untuk

membuktikan objek-objek yang diperkarakan adalah harta bersama dengan

mempertimbangkan bukti-bukti yang ada, baik itu bukti tertulis, bukti-bukti

di lapangan, serta saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan.

Perkara Nomor 437/Pdt.G/2020/PA.Bkt terdiri dari gugatan

konvensi dan gugatan rekonvensi. Terhadap objek perkara tersebut, maka

pertimbangan hakim adalah sebagai berikut :


36

1. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 776, atas

nama istri dengan luas 483 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan konvensi yang diajukan oleh

suami (penggugat). Istri (tergugat) tidak menyangkal bahwa objek perkara

ini adalah harta bersama mereka (suami dan istri).

- Suami (penggugat) memberikan bukti berupa fotocopy Sertifikat Hak

Milik Nomor 776. Maka menurut majelis hakim bukti ini tidak dapat

diterima karena tidak memenuhi syarat meteril karena tidak disertai

dengan aslinya sehingga bukti ini tidak dapat hakim pertimbangkan.

- Istri (tergugat) memberikan jawaban bahwa Sertifikat Hak Milik

Nomor 776 merupakan sertifikat induk yang telah dibagi menjadi

beberapa sertifikat yang salah satunya adalah objek perkara Sertifikat

Hak Milik Nomor 777.

- Dilakukan pemeriksaan setempat pada tanggal 30 Desember 2020.

Majelis hakim tidak menemukan tanah dengan luas 483 m 2 yang

terdapat dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 776 tersebut.

Maka sesuai dengan bukti-bukti yang telah dipertimbangkan oleh hakim,

maka hakim menolak gugatan ini sesuai dengan Pasal 283 R.bg yang

menyatakan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai

sesuatu maka harus membuktikannya. Karena suami (penggugat) tidak

dapat memberikan bukti yang dapat dipertimbangkan hakim terhadap

objek perkara ini, maka hakim menolak gugatan ini.

2. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 777, atas

nama istri dengan luas 170 m2.


37

Objek perkara ini merupakan objek gugatan konvensi yang diajukan oleh

suami (penggugat). Istri (tergugat) tidak menyangkal objek perkara ini

adalah harta bersama mereka (suami dan istri).

- Suami (penggugat) juga telah memberikan bukti Sertifikat Hak Milik

Nomor 777 berupa fotocopy disertai aslinya, alat bukti ini dapat

dipertimbangkan oleh hakim.

Gugatan penggugat harus hakim kabulkan sesuai dengan Pasal 35

Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam

yang menyatakann bahwa harta perkawinan atau syirkah adalah harta

yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam

ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama,

tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

3. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 793, atas

nama istri dan luas 126 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan konvensi yang diajukan oleh

suami (penggugat). Istri (tergugat) tidak membantah objek perkara ini

adalah harta bersama mereka (suami dan istri).

- Istri (tergugat) mendalilkan bahwa objek perkara ini tidak berada di

bawah kekuasaan istri (tergugat) ataupun suami (penggugat) karena

objek perkara ini berada di bawah kekuasaan pihak ketiga yaitu R

sebagai jaminan utang.

- Suami (penggugat) tidak membantah dalil istri (tergugat) mengenai

objek perkara ini berada di bawah kekuasaan pihak ketiga yaitu R.


38

Maka gugatan untuk objek perkara ini hakim nyatakan tidak dapat

diterima sesuai dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang

Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung

Republik Indonesia Tahun 2018 angka 1 huruf d yang menyatakan bahwa

gugatan yang objek sengketa masih dalam jaminan utang atau objek

tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan

seterusnya, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

4. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 791, atas

nama istri dengan luas 97 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan konvensi yang diajukan oleh

suami (penggugat). Istri (tergugat) tidak membantah objek perkara ini

adalah harta bersama mereka (suami dan istri). Objek perkara ini sama

halnya dengan objek perkara Sertifikat Hak Milik Nomor 793. Sertifikat

Hak Milik Nomor 791 ini juga menjadi jaminan utang kepada R. Jadi

objek perkara ini tidak berada di bawah kekuasaan mereka (suami dan

istri).

Maka gugatan untuk objek perkara ini juga hakim nyatakan tidak dapat

diterima karena objek perkara masih dalam jaminan utang.

5. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2093 atas nama

suami dengan luas 104 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Suami (tergugat rekonvensi) menolak

bahwa objek perkara ini adalah harta bersama merek (suami dan istri).
39

- Istri (penggugat rekonvensi) mendalilkan bahwa objek perkara ini

adalah tanah pembelian mereka (suami dan istri) semasa perkawinan.

- Istri (penggugat rekonvensi) mengajukan bukti berupa Surat

Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kepala Kantor Kementrian

Agraria dan Tata Ruang Bukittinggi. Surat itu hanya menjelaskan

bahwa tanah tersebut terdaftar atas nama suami (tergugat rekonvensi),

tetapi tidak menjelaskan apakah tanah itu dibeli, hibah atau alasan

lainnya. Kemudian istri (penggugat rekonvensi) juga mengajukan

seorang saksi dan keterangan saksi juga tidak berdasarkan

penglihatan, pendengaran dan pengetahuan saksi tetapi dari cerita istri

(penggugat rekonvensi) maka keterangan saksi tidak dapat

dipertimbangkan dalam perkara ini.

- Suami (tenggugat rekonvensi) mendalilkan bahwa objek perkara ini

adalah harta pusaka tinggi kaumnya. Suami (tergugat rekonvensi)

mengajukan bukti berupa dua orang saksi yang menyatakan bahwa

objek perkara ini merupakan harta pusaka tinggi milik ibu suami

(tergugat rekonvensi), suami (tergugat rekonvensi) merupakan kepala

suku (datuak) yang berkemampuan untuk mengurus sertifikat

tersebut.

Hakim mempertimbangkan bukti-bukti tersebut dan menyatakan bahwa

gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap Sertifikat Hak Milik

Nomor 2093 harus ditolak sesuai dengan Pasal 283 R.bg yang

menyatakan barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau suatu

peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu


40

6. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2094 atas nama

suami dengan luas 162 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Istri (penggugat rekonvensi)

mendalilkan bahwa objek perkara ini adalah tanah pembelian mereka

(suami dan istri) semasa perkawinan. Suami (tergugat rekonvensi)

menolak bahwa objek perkara ini adalah harta bersama mereka (suami

dan istri). suami (tergugat rekonvensi) mendalilkan bahwa objek perkara

ini adalah harta pusaka tinggi kaum suami (tergugat rekonvensi), suami

(tergugat rekonvensi) sebagai kepala suku (datuak) di kaumnya memiliki

kemampuan untuk mengurus sertifikat tersebut. Hal ini juga dikuatkan

dengan bukti berupa dua orang saksi yang menyatakan bahwa objek

perkara tersebut adalah harta pusaka tinggi milik ibu suami (tergugat

rekonvensi).

Hakim mempertimbangkan bukti-bukti tersebut dan menyatakan bahwa

gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap Sertifikat Hak Milik

Nomor 2094 harus ditolak sesuai dengan Pasal 283 R.bg.

7. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2095 atas nama

suami dengan luas 137 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Istri mendalilkan bahwa objek perkara

ini adalah tanah yang mereka (suami dan istri) beli semasa perkawinan,

tetapi suami (tergugat rekonvensi) menyatakan bahwa objek perkara ini

bukan harta bersama, objek perkara ini adalah harta pusaka tinggi kaum
41

suami (tergugat rekonvensi). Istri (penggugat rekonvensi) mengajukan

bukti berupa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kepala Kantor

Kementrian Agraria dan Tata Ruang Bukittinggi. Surat itu hanya

menjelaskan bahwa tanah tersebut terdaftar atas nama suami (tergugat

rekonvensi), kemudian untuk memperkuat dalilnya istri (penggugat

rekonvensi) mengajukan seorang saksi tetapi hal ini tidak memenuhi

syarat formil dan materil karena hanya satu orang saksi, kemudian

keterangan yang diberikan saksi juga tidak berdasarkan penglihatan,

pendengaran dan pengetahuan saksi tetapi dari cerita istri (penggugat

rekonvensi) maka karena hal tersebut keterangan saksi tidak dapat

dipertimbangkan dalam perkara ini. Dalam objek perkara ini, suami

(tenggugat rekonvensi) mengajukan bukti berupa dua orang saksi,

kemudian saksi-saksi ini menyatakan bahwa objek perkara ini merupakan

harta pusaka tinggi milik ibu suami (tergugat rekonvensi) dan suami

(tergugat rekonvensi) merupakan kepala suku (datuak) yang

berkemampuan untuk mengurus sertifikat tersebut, hakim dapat

mempertimbangkan bukti ini karena telah memenuhi syarat materil dan

formil.

Maka hakim mempertimbangkan bukti-bukti tersebut dan menyatakan

bahwa gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap Sertifikat Hak Milik

Nomor 2095 harus ditolak sesuai dengan Pasal 283 R.bg.

8. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2096 atas nama

suami dengan luas 15 m2.


42

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Menurut istri (penggugat rekonvensi),

objek perkara ini adalah tanah yang dibeli mereka (suami dan istri)

semasa perkawinan. Suami (tergugat rekonvensi) menyatakan bahwa

objek perkara ini bukan harta bersama, tetapi ini adalah harta pusaka

tinggi kaum suami (tergugat rekonvensi). Suami (tergugat rekonvensi)

memberikan dua orang saksi untuk memperkuat dalilnya tersebut. Saksi-

saksi tersebut menyatakan bahwa objek perkara tersebut adalah tanah

pusaka tinggi kaum suami (tergugat rekonvensi) yang merupakan hak dari

ibu suami (tergugat rekonvensi). Istri (tergugat rekonvensi) memberikan

bukti berupa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kepala Kantor

Kementrian Agraria dan Tata Ruang Bukittinggi. Surat itu hanya

menjelaskan bahwa tanah tersebut terdaftar atas nama suami (tergugat

rekonvensi), akan tetapi tidak menjelaskan apakah tanah itu dibeli, hibah

atau alasan lainnya, Kemudian istri (tergugat rekonvensi) juga

mengajukan satu orang saksi, akan tetapi keterangan saksi tersebut hanya

berdasarkan dari cerita istri (penggugat rekonvensi) saja.

Maka dari itu, bukti-bukti yang diajukan oleh suami (tergugat rekonvensi)

lebih kuat, Hakim mempertimbangkan bukti-bukti tersebut dan

menyatakan bahwa gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap

Sertifikat Hak Milik Nomor 2096 harus ditolak sesuai dengan Pasal 283

R.bg.

9. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2097 atas nama

suami dengan luas 112 m2.


43

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Suami (tergugat rekonvensi) menolak

bahwa objek perkara ini adalah harta bersama mereka (suami dan istri).

Suami (tergugat rekonvensi) mendalilkan bahwa objek perkara ini adalah

harta pusaka tinggi kaum suami (tergugat rekonvensi) maka dari itu suami

menghadirkan dua orang saksi di persidangan. Kemudian istri juga

mengajukan bukti berupa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari

Kepala Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang Bukittinggi. Surat itu

hanya menjelaskan bahwa tanah tersebut terdaftar atas nama suami

(tergugat rekonvensi), tetapi tidak menjelaskan apakah tanah itu dibeli,

hibah atau alasan lainnya dan satu orang saksi dengan keterangan yang

diberikan adalah berdasarkan cerita dari istri (penggugat rekonvensi).

Hakim mempertimbangkan bukti-bukti tersebut dan menyatakan bahwa

gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap Sertifikat Hak Milik

Nomor 2097 harus ditolak sesuai dengan Pasal 283 R.bg.

10. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik Nomor 2098 atas nama

suami dengan luas 127 m2.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Sama halnya dengan objek perkara di

atas, istri mendalillan bahwa objek perkara ini adalah harta bersama

mereka (suami dan istri) yang dibeli semasa perkawinan. Istri menguatkan

dalilnya dengan memberikan bukti berupa Surat Keterangan Pendaftaran

Tanah dari Kepala Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang

Bukittinggi. Surat itu hanya menjelaskan bahwa tanah tersebut terdaftar


44

atas nama suami (tergugat rekonvensi), tetapi tidak menjelaskan apakah

tanah itu dibeli, hibah atau alasan lainnya. Istri (penggugat rekonvensi)

juga mengajukan seorang saksi yang bersaksi bukan atas penglihatan atau

pendengarannya tetapi hanya dari cerita istri (penggugat rekonvensi) saja.

Tetapi suami (tergugat rekonvensi) membantah bahwa objek perkara ini

adalah harta bersama. Suami (tergugat rekonvensi) mendalilkan

bahwasannya objek perkara ini adalah harta pusaka tinggi kaumnya,

untuk menguatkan dalilnya tersebut suami (tergugat rekonvensi)

menghadirkan dua orang saksi yang menyatakan bahwa objek perkara

tersebut adalah harta pusaka tinggi bagian ibu suami (tergugat

rekonvensi).

Sama halnya dengan objek perkara diatas, hakim mempertimbangkan

bukti-bukti tersebut dan menyatakan bahwa gugatan istri (penggugat

rekonvensi) terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 2098 harus ditolak

sesuai dengan Pasal 283 R.bg.

11. Satu petak kios tempat usaha nomor 93 atas nama suami.

12. Satu petak kios tempat usaha nomor 47 atas nama suami.

Kedua objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang

diajukan oleh istri (penggugat rekonvensi). Objek-objek perkara ini ada

dalam masa perkawinan mereka (suami dan isrtri). Suami (tergugat

rekonvensi) menolak bahwa objek perkara ini adalah harta bersama.

Suami (tergugat rekonvensi) mendalilkan bahwa objek perkara ini

bukanlah hak milik, melainkan hanya hak untuk menyewa, kemudian

hakim mempertimbangkan bahwa hak sewa merupakan harta bersama


45

sesuai dengan Pasal 91 ayat 1, 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan bahwa harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di

atas dapat berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud, harta

bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda

bergerak dan surat-surat berharga, harta bersama yang tidak berwujud

dapat berupa hak dan kewajiban, maka istri (penggugat rekonnvensi) dan

suami (tergugat rekonvensi) memiliki hak yang sama untuk menempati

objek perkara ini, akan tetapi istri (penggugat rekonnvensi) tidak

menjelaskan berapa lama hak sewa tersebut dimiliki oleh suami (tergugat

rekonvensi) maka gugatan ini menjadi kabur dan hakim menyatakan

bahwa gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.

13. Usaha kerjasama antata PT. EFA dengan suami.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Dalam gugatan ini istri (penggugat

rekonnvensi) tidak menjelaskan secara rinci berapa jumlah keuntungan

yang dinikmati oleh suami (tergugat rekonvensi) yang tidak dibagi kepada

istri (penggugat rekonnvensi), maka gugatan istri (penggugat

rekonnvensi) menjadi kabur dan dinyatakan tidak dapat diterima.

14. Satu unit mobil mini bus merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2012

warna putih metallic atas nama suami.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Objek perkara ini dibeli semasa

perkawinan mereka (suami dan istri). Objek perkara ini dikuasai oleh

suami (tergugat rekonvensi). Suami (tergugat rekonvensi) tidak


46

membantah bahwa objek perkara ini merupakan harta bersama, akan

tetapi suami (tergugat rekonvensi) menyatakan bahwa surat-surat objek

perkara ini dikuasai oleh pihak ke-tiga karena ada utang. Akan tetapi

suami (tergugat rekonvensi) tidak menjelaskan secara rinci kepada siapa

berutang, kapan berutang dan berapa jumlah utangnya. Karena suami

(tergugat rekonvensi) tidak membantah objek perkara ini merupakan harta

bersama maka gugatan istri (penggugat rekonnvensi) ini terbukti dan

hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagai harta bersama sesuai

dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 1 huruf f

Kompilasi Hukum Islam.

15. Satu unit mobil merk Mitsubishi L300 tahun pembuatan 2015 warna

hitam atas nama istri.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Objek perkara ini dibeli semasa

perkawinan mereka (suami dan istri). Suami (tergugat rekonvensi)

menolak bahwa objek perkara ini merupakan harta bersama karena sudah

ada sejak sebelum perkawinan mereka (suami dan istri). Dalil suami

(tergugat rekonvensi) ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, karena

mereka (suami dan istri) menikah pada tahun 2004, sedangkan objek

perkara ini diproduksi pada tahun 2015. Maka sesuai dengan bukti

tersebut hakim mengabulkan gugatan istri (penggugat rekonnvensi) sesuai

dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 1 huruf f

Kompilasi Hukum Islam.


47

16. Satu unit mobil merk Honda type Jazz tahun pembuatan 2008 warna putih

atas nama suami.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Objek perkara ini dibeli semasa

perkawinan mereka (suami dan istri). Suami (tergugat rekonvensi) telah

menjual objek perkara ini tanpa sepengetahuan istri seharga Rp

110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah). Suami (tergugat rekonvensi)

tidak membantah bahwa objek perkara ini adalah harta bersama mereka

(suami dan istri). Suami (tergugat rekonvensi) menyatakan bahwa objek

perkara ini telah lepas kepada pihak ke-tiga untuk pelunasan utang.

Karena suami (tergugat rekonvensi) tidak membantah objek perkara ini

adalah harta bersama maka gugatan istri (penggugat rekonvensi) terbukti

dan gugatan istri (penggugat rekonvensi) terhadap satu unit mobil merk

Honda type Jazz tahun pembuatan 2008 warna putih atas nama suami

harus dikabulkan sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan jo Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam.

17. Satu unit mobil merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2019 warna

putih atas nama suami.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi). Objek perkara ini dibeli semasa

perkawinan mereka (suami dan istri). Suami (tergugat rekonvensi) telah

menjual objek perkara ini tanpa sepengetahuan istri seharga Rp

470.000.000,- (empat ratus tujuh puluh juta rupiah). Suami (tergugat

rekonvensi) tidak membantah bahwa objek perkara ini adalah harta


48

bersama mereka (suami dan istri). Suami (tergugat rekonvensi)

menyatakan bahwa objek perkara ini telah lepas kepada pihak ketiga

untuk pelunasan utang. Karena suami (tergugat rekonvensi) tidak

membantah objek perkara ini adalah harta bersama, maka gugatan istri

(penggugat rekonvensi) terbukti dan gugatan istri (penggugat rekonvensi)

terhadap satu unit mobil merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2019

warna putih atas nama suami harus dikabulkan sesuai dengan Pasal 35

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum

Islam.

18. Utang sebesar Rp 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah)

kepada R.

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi).

- Istri (penggugat rekonvensi) mendalilkan bahwa utang ini dibuat

semasa perkawinan yang merupakan pembatalan jual beli tanah dan

rumah Sertifikat Hak Milik Nomor 792 (bukan objek perkara), dan

sekarang yang menjadi jaminan untuk utang ini adalah Sertifikat Hak

Milik Nomor 791 dan Sertifikat Hak Milik Nomor 793.

- Suami (tergugat rekonvensi) menyatakan bahwa tidak pernah menjual

tanah kepada R, karena suami (tergugat rekonvensi) tidak pernah

menandatangani surat penjualan tanah kepada R di depan

notaris/PPAT.

Hakim mempertimbangkan bahwa istri (penggugat rekonvensi)

mendalilkan bahwa mereka (suami dan istri) berutang kepada pihak


49

ketiga, maka seharusnya istri (penggugat rekonvensi) memposisikan R

sebagai pihak tergugat dalam perkara ini, karena R berkepentingan dalam

perkara ini.

Maka karena R tidak diposisikan sebagai tergugat dalam perkara ini,

maka gugatan ini diklasifikasikan gugatan kurang pihak. Maka hakim

menyatakan bahwa gugatan ini tidak dapat diterima.

19. Pinjaman kredit di Bank Nagari atas nama istri sebesar Rp 450.000.000,-

(empat ratus lima puluh juta rupiah).

Objek perkara ini merupakan objek gugatan rekonvensi yang diajukan

oleh istri (penggugat rekonvensi).

- Istri (penggugat rekonvensi) mendalilkan bahwa utang ini dibuat

semasa perkawinan. Utang ini adalah kredit yang sudah menunggak

sekian lama.

- Suami (tergugat rekonvensi) mendalilkan bahwa pinjaman ini

dilakukan pada bulan Mei 2019 dengan jaminan objek tanah Sertifikat

Hak Milik Nomor 792 yang tidak termasuk kedalam gugatan harta

bersama dalam perkara ini.

Maka sama halnya dengan objek perkara utang kepada R, seharusnya istri

(pengguga rekonvensi) memposisikan Bank Nagari sebagai pihak

tergugat dalam perkara ini, karena Bank Nagari berkepentingan dalam

perkara ini. Karena Bank Nagari tidak diposisikan sebagai tergugat dalam

perkara ini, maka gugatan ini diklasifikasikan gugatan kurang pihak.

Maka hakim menyatakan bahwa gugatan ini tidak dapat diterima


50

Sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan

bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan. Maka dari

pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut objek perkara yang gugatannya

dikabulkan dan dinyatakan merupakan harta bersama dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Gugatan konvensi

a. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 777, atas

nama istri dengan luas 170 m2.

b. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 793, atas

nama istri dengan luas 126 m2.

c. Sebidang tanah perumahan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 791, atas

nama istri dengan luas 97 m2.

Hakim menyatakan bahwa istri (tergugat) harus menyerahkan separoh

dari harta bersama tersebut, dan apabila tidak bisa dilaksanakan secara natura,

maka dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Lelang Negara dan hasilnya

dibagi kepada suami (penggugat) dan istri (tergugat) sesuai pembagian masing-

masing.

2. Gugatan rekonvensi

a. Satu unit mobil mini bus merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2012

warna putih metallic atas nama suami.

b. Satu unit mobil merk Mitsubishi L300 tahun pembuatan 2015 warna

hitam atas nama istri.


51

c. Satu unit mobil merk Honda type Jazz tahun pembuatan 2008 warna

putih atas nama suami. Karena objek perkara ini telah dijual seharga Rp

110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah) maka suami (tergugat

rekonvensi) harus membayar setengah dari penjualan mobil tersebut

sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

d. Satu unit mobil merk Mitsubishi Pajero tahun pembuatan 2019 warna

putih atas nama suami. Karena objek perkara ini telah dijual seharga Rp

470.000.000,- (empat ratus tujuh puluh juta rupiah) maka suami (tergugat

rekonvensi) harus membayar setengah dari penjualan mobil tersebut

sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

Hakim menyatakan bahwa suami (tergugat rekonvensi) harus

menyerahkan separoh dari harta bersama tersebut, dan apabila tidak bisa

dilaksanakan secara natura, maka dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor

Lelang Negara dan hasilnya dibagi kepada suami (penggugat) dan istri (tergugat)

sesuai pembagian masing-masing.


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

B. Buku

ABD Shomad, 2010, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah dalam


Hukum Indonesia), Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya


Bakti, Jakarta

Abdul Manun, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan


Peradilan Agama, Yayasan Al-Hukmah, Jakarta

Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika


Pressindo, Jakarta

Cik Hasan Bisri, 1998, Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta,

Elise T. Sulistini dan Rudy T Erwin, 1987, Petunjuk Praktis Menyelesaikan


Perkara-Perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta

Gatot Supramono, 1993, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni,


Jakarta

Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya


Perceraian, Visi Media, Jakarta

Hilman Hadi Kusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut


Perundang-Undangan, Hukum, Adat dan Agama, Mandar Maju,
Bandung

I Kutut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka masalahnya


Dilengkapi Yurisprudensi, Setia Lawan, Denpasar

K. Wantjik Saleh, 1987, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghanlia Indonesia,


Jakarta
Mukti Aro, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta

Munir Fuadi, 2014, Konsep Hukum Perdata, Raja Grafindo, Jakarta

M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta

Rinduan Syahrini, 2006, Seluk Beluk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni,
Banjarmasin
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,
Jakarta

Soedharyo Soimin, 2018, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar


Grafika, Jakarta

Subekti dan Tiitrosudibio, 2013, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(Burgerlijk Wetboek) dan UU No.1 Tahun 1974, Pradnya Paramita,
Jakarta

Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,


Yogyakarta

Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur,


Bandung

Yasir Arafat, 2011, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 &


Perubahannya, Permata Press, Surabaya

Zaeni Asyhadie, 2020, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di


Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Depok

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtreglement voor de


Buitengewesten (R.BG) dan Wetboek op de Burgerlijke
Rechtvordering (Rv)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah dirubah dengan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dengan


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 48 Tahun tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


D. Sumber lain

Bislaw, 2021, Akibat Hukum dari Perceraian,


https://bizlaw.co.id/akibat-hukum-dari-perceraian/

Henri, 2018, Akibat-akibat Perkawinan dan Putusnya Perkawinan


menurut hukum, https://butew.com/2018/04/18/akibat-akibat-perkawinan-
dan-putusnya-perkawinan-menurut-hukum/

Ilman Hadi, 2013, Arti Istilah Konvensi, Rekonvensi, Eksepsi dan


Provisi, https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-istilah-konvensi--
rekonvensi--eksepsi--dan-provisi-lt5110864b5855f

Irfan Islami, Perkawinan di Bawah Tangan dan Akibat Hukumnya,


Jurnal Hukum, vol.8, no.1

Muslim Pintar, 2018, Macam-Macam Talak lengkap dengan


penjelasannya, muslimpintar.com/macam-macam-talak-dalam-islam/

Rini Jumarni, 2020, Wajibkah Ayah Memberikan Nafkah Anaknya


Setelah Bercerai, https://ibtimes.id/wajibkah-ayah-memberikan-nafkah-
anaknya-setelah-bercerai/

Sugih Ayu Pratitis, 2019, Akibat Hukum Perceraian Terhadap


Harta Benda Perkawinan, Doktrina Of Jurnal Law (doktrina sampai law
italic) Vol. 2 No. 2, Oktober 2019

Suwardi, “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan


di Pengadilan Agama”, Jurnal Ensiklopediaku, Vol.3 No.1, 2021

Anda mungkin juga menyukai