Perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) adalah kesepakan yang dibuat oleh pasangan calon pengantin atau pasangan suami istri saat sebelum melangsungkan pernikahan atau setelah pernikahaan berlangsung dengan tujuan untuk melindungi hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. Sedangkan menurut Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 memberikan definisi terkait dengan perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) adalah “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
B. Tujuan Perjanjian Pranikah
Perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) dibuat oleh calon mempelai untuk mengatur akibat yang mungkin muncul mengenai harta kekayaan bersama. Di Indonesia sendiri, pandangan masyarakat terkait perjanjian pranikah masih banyak menuai pro kontra. Bagi masyarat yang kontra menilai bahwa perjanjian pranikah merupakan hal yang sangat tabu dan tidak patut untuk dibicarakan. Sedangkan bagi masyarakat yang pro memandang bahwa perjanjian pranikah memiliki manfaat untuk menjamin keamanan harta antara kedua belah pihak apabila terjadi perceraian atau salah satu pihak dinyatakan pailit. Adapun tujuan dari dibuatnya perjanjian kawin adalah: 1 1. Pemisahan harta Jika harta kekayaan salah satu pihak (suami atau istri) lebih besar dibanding harta kekayaan pihak lainnya. 2. Pemisahan harta apabila Kedua pihak (suami dan istri) membawa masuk harta yang cukup besar ke dalam harta perkawinan. 3. Masing-masing memiliki usaha sendiri. Sehingga apabila salah satu jatuh bangkrut (pailit), maka yang lain tidak ikut pailit. 4. Terhadap utang-utang yang dibuat sebelum perkawinan, masing-masing pihak akan membayar utangnya sendiri.
C. Ruang Lingkup Perjanjian Pranikah
Pada dasarnya terkait dengan isi perjanjian pranikah tidak ada ketentuan kusus yang mengatur, sehingga isi dari perjanjian merupakan hasil dari kesepakatan para pihak (suami istri). Di dalam KHI sendiri perjanjian pranikah dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan yang mana hanya sebatas memberi ketentuan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusialaan. Adapun secara garis besar hal-hal yang dimuat dalam akta pra nikah yakni : 1. Percampuran harta pribadi Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan menyatakan harta bawaan bukan termasuk harta bersama sepanjang tidak ada ketentuan lain. Dalam hal ketentuan lain yang dimaksud adalah dengan adanya perjanjian pranikah yang memuat klausul penggabungan harta bawaan sebagai harta bersama adalah sah dan diperbolehkan. 2. Pemisahan harta pencaharian Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Dalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut 1 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 57. tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.” 3. Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
D. Waktu dan Prosedur pembuatan perjanjian pra nikah
ketentuan terkait perjanjian pranikah diatur dalam pasal 147 KUHPerdata yang mana menyatakan bahwa perjanjian pranikah dibuat dengan akta notaris pada saat dilangsungkannya perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menyatakan, bahawasanya perjanjian perkawinan dalam Bab V Pasal 29 : “Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.”
Pada hakikatnya perjanjian pranikah dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan akan
tetapi dengan diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-XIII/2015, perjanjian pranikah tidak lagi dilakukan sebelum dilangsungkannya pernikahan namun dapat dilakukan setelah dilangsungkannya perkawinan. Melalui surat edaran No. 472.2/587/Dukcapil tentang pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan memberikan prosedur pembuatan perjanjian pranikah sebagai berikut: 1. Pasangan suami dan/atau Istri menyerahkan dokumen persyaratan; 2. Pejabat Pencatatan Sipil pada UPT Instansi pelaksana membuat cacatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan atau menerbitkan surat keterangan bagi perjanjian kawin yang dibuat di indonesia dan pencatatan perkawinnya dilakukan di negara lain; 3. kutipan akta perkawinan yang telah dibuatkan cacatan pinggir atau surat keterangan dibetikan kepada maisng-masing suami dan/atau istri. Adapun dokumen persyaratan yang dimaksud adalah : 1. Foto Copy KTP-el; 2. Foto Copy KK; 3. Akta Notaris Perjanjian Perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukan aslinya 4. Kutipan akta perkawinan suami istri; 5. kutipan akta perkawinan & surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain (Jika pencatatan perkawinan dilakukan di negara lain);