Anda di halaman 1dari 4

TUGAS HUKUM KELUARGA DAN HARTA

PERKAWINAN
“Pengaturan Mengenai Harta Bawaan, Harta Pencaharian Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan”

Oleh:
Komang Dicky Darmawan
2182411046

PROGRAM STUDI
MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
PENGATURAN HARTA BAWAAN & HARTA PENCAHARIAN BERDASARKAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG – UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dalam Ketentuan Pasal 1 UUP menyatakan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pernikahan perihal
uang, kekayaan atau harta benda adalah salah satu hal yang sangat sensitif. Ketentuan Pasal 35
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa terdapat dua jenis
harta benda dalam perkawinan yaitu:1

A. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah peralihan harta benda orang tua, hadiah atau uang pada
perkawinan seorang putri atau pria. Menurut Pasal 124 KUHPerdata pengelolaan atas
harta persatuan dilakukan oleh suami sendiri, sedangkan Pasal 35 ayat (2) UU
Perkawinan menyatakan “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa pihak yang menguasai harta tersebut
dengan bebas dapat melakukan apa saja terhadap hartanya itu, tanpa memerlukan
persetujuan pihak lainnya. 2 Ketentuan Pasal 36 UUP menyatakan bahwa harta bawaan
masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Di samping adanya benda-benda yang
merupakan bagian dari harta bersama, juga ada benda-benda yang tidak termasuk
didalamnya, seperti harta hibah dan harta warisan. Kedua macam harta itu pada
dasarnya merupakan harta bawaan atau harta perolehan yang tidak masuk dalam
kategori harta bersama. Hal itu tidak berlaku, kecuali jika calon pasangan suami istri
menentukan dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat bahwa dua macam harta
merupakan harta bersama (harta gono-gini).

1
Umar Said. (2015), Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, p.156.
2
Djuniarti, E. (2017). Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH
Perdata. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(4), 445-461, p.455.
B. Harta Yang Diperoleh Selama Perkawinan (Harta Pencaharian)
Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh suami atau istri bersama- sama
selama perkawinan tanpa mempersoalkan apakah dalam mencari harta kekayaan itu
suami aktif bekerja sedangkan istri tidak.3 Menurut pendapat M. Yahya Harahap perihal
apa saja yang dimaksud dengan harta gono gini yakni:
1. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Setiap barang yang
dibeli selama ikatan perkawinan menjadi yuridiksi harta gono gini.
2. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayayi dari harta gono
gini.
3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan.
4. Penghasilan harta gono gini dan harta bawaan.
Pasal 119 KUH Perdata menentukan bahwa, mulai saat perkawinan dilangsungkan,
secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara kekayaan suami-istri, sekadar mengenai
itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan yang lain. Berdasarkan
ketentuan Pasal 124 KUHPerdata, suamilah yang berhak mengurus harta bersama,
termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut. Terdaapt
perkecualian, yakni suami tidak diperbolehkan sebagaimana dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 140 ayat 3 yang menyatakan, mereka juga berhak untuk membuat
perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-
surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga
lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama
perkawinan dan pihak istri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindah
tangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si istri. Persatuan harta
kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud
mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami-istri harus menempuh jalan
dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai Pasal 154 KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 35 UUP menyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama baik laki-laki saja yang bekerja atau
perempuan saja. Namun, Harta Bersama dalam hal ini harus dilakukan perjanjian baik
sebelum perkawinan atau sesudah perkawinan. Pasal 36 UUP menyatakan bahwa
mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah

3
Ali Afandi, (2000), Hukum Waris, Hukum Keluarga, Dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, p.41
pihak, Pasal 37 UUP menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan Pasal 37 UUP, maka
undang-undang ini memberikan jalan pembagian sebagai berikut :
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum
tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan; atau hukum-hukum lainnya.

Anda mungkin juga menyukai