Anda di halaman 1dari 7

REVIEW JURNAL HUKUM PERDATA ISLAM

Tentang

Kedudukan Harta Dalam Perkawinan Berdasarkan Perspektif Islam

Disusun Oleh :

Essa Nurhasanah : 2113010029

Dosen Pembimbing :

Mhd. Yazid, SH.I., MH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI IMAM BONJOL
PADANG
2023H/1444M
IDENTITAS JURNAL
Nama Penulis : Akhmad Mujani dan Abdul Aziz Romdhoni
Judul : Kedudukan Harta Dalam Perkawinan Berdasarkan Perspektif Islam
Nama Jurnal :Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol.5 Hal 149-156
Tahun : 2019
Link Jurnal : jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/download/1849/1393

A. MASALAH

Dalam perkawinan, harta sangat penting untuk di pahami oleh setiap pasangan. Baik itu yang
akan melangsungkan perkawinan ataupun yang sudah menjalani perkawinan. Suami maupun
istri harus mengetahui dan mengerti bagaimana hukum atau kedudukan harta dalam rumah
tangga atau dalam keluarga.

Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan
adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian,tempat tinggal,
transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan
kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga
berfungsi sebagai pengikat perkawinan.

Dalam kitab-kitab fiqih tidak di kenal adanya penggabungan harta suami istri setelah
berlangsungnya perkawinan. Suami memiliki hartanya sendiri dan istri memiliki hartanya
sendiri. sebagai kewajibannya suami memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas
nama nafkah, yang untuk selanjutnya di gunakkan istri bagi keperluan rumah tangganya.
Didalam perkawinan terdapat dua jenis harta benda, yakni harta bawaan (Harta diluarkan
perkawinan) dan harta bersama (Harta yang diperoleh didalam ikatan perkawinan).

B. RUMUSAN MASALAH

Dari permasalahan diatas dapat diambil pertanyaan

1. Apa pengertian harta bawaan?

2. Apa pengertian harta Bersama?

3. Bagaimana sengketa harta apabila perceraian terjadi diantara keduanya?


C. PEMBAHASAN

a. Pengertian Barang Bawaan

Maksud dari harta bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang di persiapkan oleh istri
dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya. Dalam hal ini harta istri
tetap menjadi hak istri dan di kuasai penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Sebelum memasuki perkawinan seorang suami atau istri sudah memiliki harta benda. Baik itu
berupa harta milik pribadi atau hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil
warisan yang diterima dari orang tuanya. Apabila harta benda yang telah ada sebelum
perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Menurut Pasal
35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain. Yakni masing-masing dari mereka berhak menggunakan untuk keperluan apa saja.

Menurut pasal 89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 kedua suami istri itu wajib bertanggung
jawab untuk memelihara dan melindungi harta istri atau harta suaminya serta harta milik
bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing, jika salah satu
diantaranya meninggal maka yang hiduplah dapat menjadi ahli waris dari harta yang meninggal
tadi. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya
sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah anak-anaknya.
Sebenarnya yang bertanggung jawab secara hukum untuk menyediakan peralatan rumah
tangga, seperti tempat tidur,perabot dapur dan sebagainya adalah suami. Sekalipun mahar yang
diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut. Hal ini karena mahar
menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak istri.

Terdapat didalam surat An-nisa ayat 4

‫ص ُدقَ ٰـتِّ ِّهنَّ نِّحْ لَ ًۭة ۚ فَ ِّإن طِّ بْنَ لَكُ ْم عَن ش َْى ٍۢء ِّم ْنهُ نَ ْف ًۭسا فَكُلُوهُ هَنِّيٓ ًۭـا َّم ِّريٓ ًۭـا‬
َ ‫سا ٓ َء‬ ۟ ‫َو َءات‬
َ ِّ‫ُوا ٱلن‬

Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 ).
Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas hartanya
masing-masing, apakah itu hibah, sedekah atau lainnya. Jika peralatan rumah tangga di beli
sendiri oleh istri atau di berikan oleh orang tuanya, maka ia menjadi pemilik secara mutlak.
Suaminya apabila suami membawa barang miliknya sendiri. Menurut imam malik, suami
berhak memanfaatkan peralatan rumah tangga istrinya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat

b. Pengertian Harta Bersama

Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat
berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat di
jadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri tanpa
persetujuan dari salah satu pihak, tidak di perbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggung jawaban
untuk menjaga harta bersama.

Di Indonesia harta bersama dalam perkawinan di atur dalam UU No.1 Tahun 1974, Bab VII
pada pasal 35,36 dan 37. Pada pasal 35 (1) di jelaskan, harta benda yang di peroleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 36 mengatur status harta yang di peroleh masing-
masing suami istri. Pada pasal 37, di jelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian maka
harta bersama di atur menurut hukumnya masing-masing.

Meskipun gono gini tidak di atur dalam fiqih islam secara jelas, tetapi keberadaannya, paling
tidak dapat di terima oleh sebagian ulama Indonesia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa
banyak suami istri dalam masyarakat indonesia sama-sama bekerja, berusaha untuk
mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta untuk simpanan (tabungan)
untuk masa tua mereka. Bila keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anak-anak
sesudah mereka meninggal dunia.

Pembagian harta gonogini sebaiknya secara adil, agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara
harta suami dan istri. Jika pasangan tersebut lebih memilih cara yang lebih elegan, yaitu dengan
cara damai (musyawarah). Namun, jika memang ternyata keadilan itu hanya bisa diperoleh
melalui pengadilan maka jalan itulah yang lebih baik.

dalam pembagian harta gonogini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang
harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya :
suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang
mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri
mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan
suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan
mereka berdua.

Menurut undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang perkawinan juga mengatur tentang harta
kekayaan dalam pasal :

a. Pasal 35 ayat (1), menyatakan harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi
harta bersama
b. Pasal 35 ayat (2), menyebutkan harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lainnya.
c. Pasal 35 ayat (1), menyebutkan harta bersama suami dan istri dapat berpindah atas
persetujuan di kedua belah pihak.
d. Pasal37 ayat (1), bila mana perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.

c. Sengketa Harta Apabila Terjadi Perceraian

Harta Perkawinan akibat sengketa setelah terjadi perceraian, maka harta bersama dalam
perkawinan umumnya dibagi dua sama rata di antara suami dan istri. Hal ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 128 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Setelah bubarnya persatuan, maka
harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka
masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu
diperolehnya”. Sementara itu, harta bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak
milik pribadi masing-masing yang tidak perlu dibagi secara bersama.

Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta Bersama diatur dalam pasal 37 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena
perceraian terhadap harta Bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam maksud
penjelesan ini disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Hukumnya” masing-masing ialah
hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
D. KESIMPULAN

Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak sebelum melangsungkan
perkawinan. Atau harta yang sudah dimiliki oleh suami atau istri, sebelum perkawinan.
Menurut Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-
masing suami dan istri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Yakni masing-masing dari mereka berhak menggunakan untuk keperluan apa
saja.

Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak
perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat
perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan. Dan menurut pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian terhadap harta
Bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kata menurut “hukumnya” disini adalah
menurut hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Felicitas, M.W. 2013. Penyelesaian Sengketa Atas Harta Perkawinan Setelah Bercerai. Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam 1 (1): 54-64.

Ida, A.P.K.M, 2020. Akibat Hukum Serta Penyelesaian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan
Hukum Perkawinan. Jurnal Kertha Semaya 9 (1): 112-120.

Dwi, A.H, 2021. Perbandingan Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam. Jurnal Gagasan Hukum 3 (2): 149-171.

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2009.

Sohari Sahrani, Tihami, Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers 2013.

http://www.islam-yes.com/harta_benda.html (di unduh pada hari selasa,29 maret 2016 pukul


14.00 wib).

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999).

Evi, D, 2016. Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan
dan KUH Perdata. Jurnal Penelitian Hukum, 17 (4): 445-461.

Hijriyana, S, 2020. Sita Marital (Maritale Beslag) atas Harta Bersama dalam Perkawinan dalam
Hal Terjadi Perceraian. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan, 1(2): 1-13.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Anda mungkin juga menyukai