Anda di halaman 1dari 24

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

“ Perbandingan Harta Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam “

Disusun Oleh :
Wiljzannaris Saputra Rahman
41151010170154
VI – A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
KOTA BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai berbagai macam
kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan
kebutuhannya secara tepat untuk dapat hidup sebagai manusia yang sempurna, baik secara
individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah
kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seknya merupakan kebutuhan fisiologis (the
physiological needs) yang di kenal dengan istilah perkawinan (pernikahan), tetapi perlu pula
dimaklumi bahwa perkawinan tidak hanya untuk menyalurkan kebutuhan seks manusia,
karena perkawinan mempunyai makna atau pengertian yang lebih luas lagi. Melalui
perkawinan orang akan mendapat keturunan, maka perkawinan termasuk juga dalam
kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (the belongingness and love
needs).
Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa Arab, disebut dengan kata nikah.
Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata,
yaitu nikah (‫ ) نكاح‬dan zawaj (‫) زواج‬. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.3 Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang
artiya:
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada berbuat
anianya”. Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting terhadap
manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu, hukum mengatur masalah
perkawinan ini secara detail. Yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang hurus dilaksanakan sesuai agamanya masing-masing, dan harus juga
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan adalah sendi
keluarga,
sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa
yang tidak mengenal nilai-nilai kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan
perkawinan. Oleh karena itu, masalah perkawinan ini dengan prolog dan epilognya,
pengamanan, dan pengamalan tata aturannya adalah menjadi tugas suci bagi seluruh warga
negara Indonesia.

Rumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan
oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah
secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal di luar
permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perbandingan hukum tentang Harta Perkawinan menurut Undang –
Undang dengan Harta Perkawinan menurut Hukum Islam di Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui perbandingan hukum perkawinan yang mengatur di Indonesia

2. Untuk mengetahui macam – macam hukum perkawinan di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

Tinjauan Umum Tentang Harta Perkawinan Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, harta kekayaan perkawinan diatur dalam
Pasal 35 s.d. Pasal 37. Dalam ketentuan tersebut dibedakan antara harta Bersama dan harta
bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan
masing-masing suami istri adalah harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan. Harta bawaandi bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak
menentukan lain (Pasal 35 ayat (2)

Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (1) dan (2)). Jika
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diaturmenurut hukumnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum lainnya

Tinjauan Umum Tentang Harta Perkawinan Menurut Hukum Islam


Hukum Islam tidak mengatur tentang harta Bersama dan harta bawaan ke dalam ikatan
perkawinan. Yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta
maskawin (mahar) ketika perkawinan berlangsung. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang
menyatakan: “... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ....” (Q.S. an-Nisa’: 32)
Ayat tersebut bersifat umum, tidak ditujukan terhadap suami atau istri. Dengan demikian, tidak
ditujukan kepada suami istri saja, melainkan kepada semua pria dan wanita. Jika mereka
berusaha dalam kehidupannya seharihari, maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi
yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing. Dalam kaitannya dengan perkawinan,
ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada kemungkinan dalam suatu perkawinan akan ada harta
bawaan dari istri yang terpisah dari harta suami. Masing-masing suami dan istri menguasai dan
memiliki hartanya sendiri-sendiri. Sedangkan harta bersama (harta pencarian) milik bersama
suami istri tidak ada, dan harta bawaan istri itu kemudian bertambah dengan maskawin yang
diterimanya dari suaminya.

Ketentuan Harta Perkawinan Berdasarkan UU dan Hukum Islam


1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974
Masalah harta benda atau harta kekayaan merupakan masalah pokok dalam pekawinan yang
dapat menimbulkan berbagai perselisihan dalam perkawinan, sehingga akan menghilangkan
kerukunan hidup berumah tangga. Menginngat pentingnya masalah tersebut, UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan masalah harta kekayaan perkawinan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Adapun ketentuan mengenai
harta kekayaan perkawinan dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 adalah
sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta Bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, harta kekayaan
perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu
a. Harta milik bersama (harta bersama), yaitu harta benda yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung sebagai hasil usaha suami istri bersama atau salah seorang di
antara keduanya.
b. Harta milik sendiri, yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
1) Harta bawaan, yaitu harta benda masing-masing suami istri yang dimilikinya sebelum
perkawinan dilangsungkan dan kemudian di bawa ke dalam perkawinan.
2) Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai
hadiah atau warisan sesudah perkawinan dilangsungkan. Berdasarkan bunyi Pasal 35
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang intinya menyatakan bahwa harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung antara suami istri. Pasal
35 ayat (1) tersebut tidak menyebutkan secara jelas mengenai atas jerih payah atau
hasil kerja siapa harta bersama itu diperoleh, apakah hasil kerja suami atau istri.
Dalam pasal tersebut yang jelas adalah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama yang dimiliki bersama oleh suami istri tanpa
memperhitungkan siapa yang bekerja menghasilkan harta benda tersebut Jika dilihat
dalam Penjelasan atas UU No. 1 tahun 1974 juga tidak menjelaskan mengenai
masalah ini, sehingga dengan demikian tidak menjadi persoalan siapa yang bekerja
menghasilkan harta bersama. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974,
apabila harta itu atas hasil kerja suami, istri tetap memiliki hak atas harta tersebut.
Begitu sebaliknya,apabila harta itu atas hasil kerja istri, suami juga memiliki hak atas
harta tersebut, karena harta bersama tidak mempersoalkan atas hasil kerja siapa.Jika
ditinjau dari kenyataan hidup sekarang, ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 adalah kurang adil karena dalam pasal tersebut tidak ada kejelasan mengenai
“hasil kerja siapa”, apakah harta yang menjadi harta bersama itu hasil kerja suami
atau hasil kerja istri. Jika suami yang bekerja dan istri tidak bekerja, kemudian si istri
mendapatkan penghidupan yang layak adalah sebuah keharusan karena suami sebagai
kepala rumah tangga yang wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974,
akan tetapi jika istri yang bekerja dan suami tidak bekerja, sedangkan harta hasil kerja
istri menjadi harta bersama adalah tidak adil karena seharusnya suami yang menjadi
pokok dalam mencari penghidupankeluarga. Kenyataan ini semakin terasa ketika
sekarang ini banyak istri yang bekerja sementara suami mereka tidak bekerja, atau
istri lebih banyak menghasilkan harta daripada suaminya. Jika dilihat dari rasa
keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga apabila yang
bekerja mencari harta adalah istri, maka Pasal 35 ayat (1) juga tidak adil, apalagi jika
nantinya terjadi perceraian, karena harta Bersama akan dibagi dua. Dalam Pasal 16
ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita disebutkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi
terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dalam
hubungan keluarga atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya akan
menjamin hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan pemilikan,
perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindahtangankan harta
benda baik secara Cuma Cuma maupun dengan penggantian uang. Berdasarkan Pasal
16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, maka seorang istri mempunyai persamaam
dengan suami dalam memiliki (hak milik) suatu harta benda, memperoleh harta
benda, mengurus administrasi harta benda, melakukan pengelolaan, dan menikmati
harta benda dari hasil kerja atau usahanya. Selain itu, istri juga memiliki hak yang
sama dengan suami untuk memindahtangankan harta bendanya baik dengan cuma-
cuma atau dengan penggantian uang. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7
Tahun 1984 menempatkan istri pada posisi yang adil terhadap hak-hak yang dimiliki
suami dalam masalah harta benda dalam perkawinan, sedangkan dalam UU No. 1
Tahun 1974 tidak memberikan kejelasan mengenai hal-hal tersebut sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984.Adapun
dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
dinyatakan bahwa seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan
kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta
pengelolaan harta bersama. Sedangkan pada Pasal 51 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999
menyatakan bahwa setelah putusnya perkawinan,seorang wanita mempunyai hak
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, harta
benda milik bersama berada di bawah penguasaan suami istri sejak perkawinan
dilangsungkan kedua belah pihak. Suami maupun istri pun hanya dapat bertindak
terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.
Dengan demikian, jika salah satu pihak, baik suami atau istri tidak setuju dengan
suatu tindakan terhadap harta bersama, maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan.
Berarti pula persetujuan kedua belah pihak dari suami dan istri menjadi syarat dapat
dilakukannya suatu tindakan terhadap harta benda milik bersama. Keadaan harta
milik bersama yang demikian itu dapat dijadikan sebagai barang jaminan (agunan)
oleh suami atau istri atas persetujuan pihak suami atau istrinya. Persetujuan tersebut
tidak harus dinyatakan dengan tegas, tapi dapat saja diberikan secara diam-diam
(Rachmadi Usman, 2006: 370).
Riduan Syahrani, S.H. (1978 : 32) juga berpendapat bahwa syarat persetujuan kedua
belah pihak handaknya dipahami sedemikian rupa dengan luwes, di mana tidak dalam
segala hal mengenai penggunaan harta bersama itu diperlukan adanya persetujuan
kedua belah pihak secara formal atau secara tegas. Dalam beberapa hal tertentu,
persetujuan kedua belah pihak harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang
diamdiam. Contoh dalam hal ini adalah penggunaan harta Bersama untuk keperluan
hidup sehari-hari. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kesan kaku suami istri
dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, sehingga
akan terlihat sangat kaku apabila seorang istri harus selalu minta persetujuan
suaminya setiap hari hanya untuk mengunakan uang membeli bumbu masak.
Persoalannya adalah dalam hal apa dan apakah penggunaan harta bersama itu
diharuskan adanya persetujuan kedua belah pihak? Sebaliknya juga, dalam hal apa
dan penggunaaan harta bersama yang bagaimana yang dianggap telah ada persetujuan
kedua belah pihak sebagai persetujuan diam-diam? Persoalan ini hendaknya dilihat
secara kasuistis, yakni dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi, tata hidup dan
kehidupan suami istri, serta kehidupan masyarakat di mana suami istri itu tinggal.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dan melihat Penjelasan
Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan “cukup jelas”, maka harta bersama dapat
digunakan oleh suami maupun istri untuk keperluan apa saja dan berapa pun
jumlahnya asalkan ada persetujuan dari kedua belah pihak. Pasal 36 ayat (1) dan
penjelasannya tidak menyebutkan untuk hal apa saja dan berapa jumlah harta bersama
yang bisa digunakan oleh suami maupun istri. Dengan demikian ada kebebasan bagi
suami atau istri untuk menggunakan harta bersama. Adanya hak bagi suami dan istri
untuk menggunakan harta bersama dengan persetujuan keduanya (secara timbal
balik) adalah sudah sewajarnya. Hal tersebut mengingat bahwa hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah
tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. Masing-masing suami maupun istri
memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dan berhak untuk melakukan perbuatan
hukum. Hal itu sebagaimana ditegaskan secara jelas dalam Pasal 31 ayat (1) suami
istri. Dalam keadaan seorang beristri lebih dari satu orang (poligami), menurut
ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU No. 1 Tahun 974, istri yang kedua dan seterusnya
tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan
istri kedua atau berikutnya itu terjadi. Masing-masing istri memiliki hak yang sama
atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Dengan
demikian, menurut ketentuan Pasal 65 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa
harta benda milik bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih
dari satu orang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri-sendiri (Rachmadi
Usman, 2006 : 370).

2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam


Dalam hukum Islam tidak diatur secara tegas mengenai hukum harta perkawinan.
Menurut Hazairin, di dalam Al-Qur’an tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama
dalam perkawinan, juga sunnah (hadis) Rasulullah Muhammad. Sunnah Rasulullah hanya
menyebut soal syirkah. Oleh karena itu, untuk mengaturnya menjadi hak otonom setiap
masyarakat Islam dengan cara syura bainahum, yaitu bermusyawarah (kesepakatan) di antara
mereka. (Hazairin dalam Rachmadi Usman, 2006 : 371).
Pendapat Hazairin ini juga senada dengan Anwar Harjono yang menulis mengenai harta
bersama, yakni harta yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan, tidak diatur dalam Al-
Qur’an. Oleh karena itu, diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang bersangkutan untuk
mengaturnya. Selain itu ada lagi H. Abdoeraoef, S.H. yang menuliskan dalam disertasinya
dengan menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada peraturan-peraturan mengenai harta
perkawinan. Pendapat Hazairin dan yang senada dengannya dikritik dan tidak disepakati oleh
Prof. Dr. T. Jafizham, S.H. dengan menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak sejalan dengan
tafsiran Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, di mana dalam pasal tersebut terdapat ketentuan hukum
agama dalam masalah harta benda perkawinan (T. Jafizham, 2006 : 117).
Dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa jika perkawinan putus karena
perceeraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan Pasal 37 UU
No.
1 Tahun 1974 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah
hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Dengan demikian, ada hukum agama Islam
yang mengatur masalah harta perkawinan. Prof. Dr. T. Jafizhman, S.H. menyatakan bahwa suatu
hal
yang aneh jika agama Islam tidak mengatur masalah harta benda perkawinan, karena semua
persoalan diatur oleh hukum Islam, ditentukan pula hukumnya. Tidak ada satu pun yang
tertinggal dan tidak dibahas. Tentang tidak diaturnya dalam Al- Qur’an secara eksplisit, jelas,
dan rinci, bukan berarti tidak diatur oleh hukum Islam. benar bahwa Al-Qur’an adalah sumber
hukum utama dan pertama, tetapi masih ada sumber hukum Islam yang lain, yaitu hadis Nabi
Muhammad dan lainnya. Hadis Nabi Muhammad berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan juga bisa berfungsi membuat hukum baru yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an (T. Jafizhman, 2006 : 118).
Walaupun mungkin tidak disebutkan secara eksplisit, jelas, dan rinci dalam Al-Qur’an,
tetapi ada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditarik darinya dari hadis Nabi Muhammad. Prof.
Dr. T. Jafizhman, S.H. mengemukakan bahwa dasar hukum harta benda perkawinan berdasar
dari hukum syarikat yang diatur dalam hadis Nabi Muhammad seperti berikut (T. Jafizhman,
2006118):
Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., Allah ta’ala telah
berfirman: “Aku adalah orang yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama salah seorang
dari mereka tidak mengkhianati temannya. Maka, apabila salah seorang berkhianat, Aku keluar
dari mereka.” (H.R. Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim) Dari Saib al-Mahzumi, bahwasanya
ia adalah sekutu Nabi Muhammad saw. sebelum menjadi Rasul. Dia dating pada hari terbukanya
kota Makkah. Maka Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan sekutuku.” (H.R. Ahmad,
AbuDawud, dan Ibnu Majah) Ada dua pendapat yang berkembang mengenai harta bersama
dalam perspektif hukum Islam. Pendapat pertama, menyatakan bahwa dalam hukum Islam tidak
dikenal percampuran harta kekayaan antara suami istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri
tetap menjadi milik istri dandikuasai sepenuhnya oleh istri. Begitu pula harta kekayaan milik
suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. Oleh karena itu, wanita
yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga
termasuk mengurus harta benda sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam
masyarakat.
Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan pada dua ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. an-Nisa’: 32
yang menyatakan bahwa bagi laki-laki dan wanita masing-masing ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan Q.S. al-Baqarah: 228 yang menyatakan bahwa para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf(baik).
“... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) adabahagian dari apa yang mereka usahakan ....” (Q.S. an-Nisa’: 32)
“... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf ....” (Q.S. al-Baqarah: 228)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai Q.S. al-Baqarah: 228 menyatakan bahwa para istri
mempunyai hak atas suami mereka seperti hak yang dimiliki suami atas diri mereka. Masing –
masing dari keduanya harus menunaikan hak tersebut dengan cara yang baik (Ibnu Katsir, 2004 :
449).
Karena istri mendapat perlindungan, baik tentang nafkah lahir, nafkah batin, moral dan
material maupun tempat tinggal,biaya pemeliharaan maupun pendidikan anak, menjadi tanggung
jawab penuh suami sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian, istri dianggap pasif
menerima apa yang datang dari suami. Oleh karena itu, tidak ada harta Bersama antara suami
istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami kepada istrinya di luar pembiayaan rumah tangga
dan pendidikan anak, misalnya hadiah berupa perhiasan, maka itulah yang menjadi hak istri dan
tidak boleh diganggu gugat oleh suami. Apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap
menjadi milik suami, kecuali bila terjadi syirkah (M. Idris Ramulyo dalam Rachmadi usman,
2006 : 371).
Dengan demikian, pada dasarnya dalam perspektif hukum Islam, masing-masing suami istri
memiliki kewenangan penuh terhadap harta milik pribadinya. Suami tidak berwenan
gmencampuri harta milik pribadi istri meskipun di antara mereka telah terjadi perkawinan,
karena harta tersebut tetap berada dibawah penguasaan dan milik penuh istri. Demikian juga jika
suami hendak menggunakan harta milik istri, maka ia harus meminta persetujuan dari istrinya.
Namun demikian, kebersamaan dapat diwujudkan melalui syirkah.
Pada dasarnya menurut hukum Islam, harta suami istri itu terpisah. Dengan demikian, masing-
masing memiliki hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya
tanpa boleh diganggu pihak lain. Dr. Lutfi, seorang ahli hadis dari Universitas Yordania dan
Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa dalam perkawinan ada dua hak, yaitu hak
milik dan hak guna. Dr. Lutfi juga menyatakan dari sudut fikih ditentukan bahwa harta yang
dibawa suami adalah milik suami. Begitu pula harta yang dibawa istri adalah harta milik istri,
sedangkan harta yang didapat di dalam perkawinan adalah milik dari pihak yang mencari atau
mendapatkannya, sehingga dengan demikian harta yang didapat suami adalah milik suami,
sementara harta yang didapat istri adalah milik istri.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut berarti rumah dan barang - barang di dalam rumah tangga
itu adalah milik yang membeli atau mendapatkannya. Meskipun demikian, di dalam rumah
tangga terdapat pula hak guna yang memungkinkan anggota rumah tangga menggunakan barang-
barang di dalam rumah itu bersama-sama, misalnya menggunakan peralatan rumah tangga serta
barang lain seperti kursi dan meja.
Jika dilihat dari kenyataan sekarang, pendapat yang pertama ini lebih adil, mengingat
masing-masing memiliki hak atas hasil kerjanya sendiri-sendiri. Dengan demikian tidak terjadi
suatu ketimpangan dalam hal perolehan harta perkawinan dan hak memilikinya. Jika istri
bekerja, maka hasil kerjanya menjadi miliknya. Jika suami bekerja, maka hasil kerjanya menjadi
miliknya, di samping ia punya kewajiban menghidupi keluarganya sebagai kepala keluarga. Prof.
Dr. Mahmud Yunus menjelaskan pula bahwa maskawin yang diberikan suami kepada istrinya
menjadi hak milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri.
Terhadap maskawin ini istri berhak membelanjakannya, menghibahkannya,
mensedekahkannya, dan lainnya dengan tiada perlu meminta izin kepada wali atau suaminya.
Prof. Dr. Mahmud Yunus juga menjelaskan bahwa hartabenda istri lainnya selain maskawin
tetap menjadi hak milik istridan tidak ada hak suami untuk menghalanginya, kecuali jika istriitu
safih (pemboros, tidak pandai berbelanja), maka istri boleh dihajar (dilarang) ber-tasarruf
(boros) dengan harta bendanya. Pendeknya, kekuasaan istri terhadap harta bendanya tetap
berlaku dan tiada berkurang karena perkawinan. Tentang ini telah sepakat para ulama.Selain itu,
suami tidak boleh suami tidak boleh membelanjakan harta benda istri untuk belanja keperluan
rumah tangga kecuali dengan izin istri. Harta benda istri yang digunakan untuk belanja rumah
tangga menjadi hutang atas suami dan suami wajib membayar kepada istrinya kecuali jika
dibebaskan oleh istrinya. Hal ini karena nafkah rumah tangga menjadi tanggung jawab suami.
Namun, jika istri berbelanja lebih dari cukup dengan harta bendanya sendiri dan dengan
kemauannya sendiri, maka istri tidak berhak meminta ganti kepada suaminya. Tentang hal ini
pun ulama telah sepakat.Harta yang menjadi hak sepenuhnya masing-masingpihak adalah harta
bawaan masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing
pihak dalam masa perkawinan yang merupakan hasil kerja mereka masing-masing dan bukan
sebagai hasil usaha bersama. Yang termasuk harta ini misalnya adalah menerima warisan, hibah,
hadiah, dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, ditinjau darisegi asal-
usulnya, harta kekayaan suami istri dapat dikelompokkan ke dalam:
a. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya
sebelum mereka menikah.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya setelah mereka berada dalam
hubungan perkawinan melalui hadian, hibah, dan wasiat atau warisan.
c. Harta yang berasal dari usaha salah seorang suami istri yang diperoleh selama
mereka berada dalam hubungan perkawinan.
d. Harta yang diperoleh atas usaha bersama selama mereka berada dalam hubungan
perkawinan. Selain itu, dalam hukum Islam masih dikenal lagi harta peninggalan
dan harta kewarisan. Harta peninggalan adalah harta milik pribadi suami istri
yang ditinggalkan, karena yang bersangkutan meninggal dunia atau menyatakan
gaib. Adapun harta kewarisan adalah harta peninggalan seorang pewaris yang
telah dikurangi dengan biaya-biaya pemakaman, membayar hutang (jika ada), dan
melaksanakan wasiat pewaris sendiri yang bersangkutan dengan harta
peninggalannya (M.Hidjazi Kartawidjaya dalam Rachmadi Usman, 2006 : 369-
370). Adapun menurut Soemiyati, S.H. (Soemiyati, 1986 : 99)harta kekayaan
perkawinan jika ditinjau dari asalnya digolongkan menjadi tiga, yaitu:
 Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinyasebelum kawin,
baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya.
Harta ini disebut harta bawaan.
 Harta masing-masing suami istri yang diperolehnya selama berada dalam
hubungan perkawinan tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka
bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi diperoleh karena hibah,
warisan ataupun wasiat untuk masing - masing.
 Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan
atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka. Harta ini
disebut harta pencaharian. Selanjutnya, yang menjadi persoalan adalah
status harta pencaharian. Apakah harta pencaharian itu dapat dianggap
sebagai harta bersama dari suami istri? Ataukah istri hanya berhak atas
harta yang telah diberikan oleh suaminya kepadanya, misalnya: nafkah,
barang-barang perhiasan, atau lainnya yang telah jelas diberikan
kepadanya? Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad tidak menjelaskan
secara tegas dan terperinci bahwa harta yang diperoleh selama dalam
hubungan perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga tidak
menjelaskan dengan tegasbahwa harta yang diperoleh selama dalam
hubungan perkawinan itu menjadi milik bersama. Dengan demikian,
masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad,
yaitu dengan menggunakan akal pikiran manusia dimana hasil pemikiran
tersebut harus sesuai dan bersumberdengan jiwa ajaran Islam.Menentukan
status pemilikan harta selama dalam hubungan perkawinan adalah penting
sekali untuk memperoleh kejelasan mengenai staus harta tersebut jika di
kemudian hari terjadi perceraian, walaupun perceraian sangat tidak
diinginkan, atau jika terjadi kematian salah satu pihak suamiatau istri.
Dalam hal terjadi kematian salah satu pihak, jika statushartanya jelas,
maka akan mudah ditentukan mana harta peninggalan yang dapat
diwariskan kepada para ahli warisnya.Sedangkan dalam hal terjadi
perceraian, jika status hartanya jelas, maka dapat dengan segera ditentukan
harta mana yang menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak
suami. Dengan kejelasan status harta tersebut dapat menghindarkan
persengketaan ahli waris maupun antara suami istri yangbercerai.Dalam
hukum perkawinan Islam, istri memiliki hak nafkah yang wajib dipenuhi
oleh suami. Oleh karena itu, pada dasarnya harta yang menjadi hak istri
selama dalam hubungan perkawinan adalah nafkah yang diperoleh dari
suaminya untuk hidupnya. Selain itu, dimungkinkan juga ada pemberian
pemberian tertentu dari suami kepada istri, misalnya perhiasan,alat-alat
rumah tangga, dan lainnya yang pada umumnya langsung dipakai oleh
pihak istri. Ketentuan yang demikian ini berlaku jika yang berusaha atau
bekerja mencari nafkah hanya suami saja, sedangkan istri tidak ikut serta
bekerja sama sekali. Namun demikian, jika keperluan rumah tangga
diperoleh karena usaha bersama antara suami dan istri, maka dengan
sendirinya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Besar kecilnya harta yang menjadi bagian suami atau istri
tergantung kepada banyak atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya itu. Jika usaha keduanya
sama - sama kuat, makaharta yang dimiliki oleh masing - masing pihak
adalah seimbang. Jika suami lebih banyak usahanya dibandingkan istrinya,
maka hak suami lebih besar dari pada hak istri. Demikian pula sebaliknya,
jika istri lebih banyak usahanya dibandingkan suaminya, maka hak istri
atas harta bersama juga lebih besar daripada hak suaminya.
Prof. Dr. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa tambahan harta benda karena usaha
bersama suami istri selama perkawinan menjadi hak milik bersama antara suami istri. Jika istri
turut berusaha mencari rezeki bersama suaminya, padahal yang demikian itu bukan kewajiban
istri, maka istri berhak mendapat keuntungan dari usaha tersebut menurut besar kecilnya usaha
suami istri itu. Apabila suami istri bekerja sama beratnya dansama banyaknya, maka
keuntungannya 50% untuk masing - masing. Tetapi, apabila usaha istri hanya sekedar membantu
suaminya, maka ia berhak mendapat untung menurut besar kecil bantuannya itu. Jika besar
bantuannya, maka besar pula untungnya, begitu sebaliknya menurut neraca keadilan. Mengenai
hal ini tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan ulama. Dengan demikian, jika
perkawinan itu putus karena suatu sebab, maka harta benda tersebut dibagi menuru
tkeseimbangan besar kecilnya usaha suami istri itu (MahmudYunus, 1977 : 109).
Pendapat kedua, menyatakan bahwa mulai saat akad nikah dilangsungkan, maka demi
hukum sejak saat itu telah terjadi percampuran atau persatuan harta kekayaan, sehingga tidak
perlu lagi diperjanjikan sebagaimana pendapat yang pertama. Sajuti Thailib dan Hazairin
mengakui hal ini bahwa harta yang diperoleh suami dan istri karena usahanya adalah harta
bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau suami saja yang bekerja, sedangkan istrinya
hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah. Sekali mereka terikat dalam
perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun
anak-anak. Tidak perlu didiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab kabul serta
memenuhi persyaratan lain-lainnya sudah dapat dianggap adanya syirkah antara suami istri
tersebut (Rachmadi Usman, 2006 : 373).

Ketentuan Harta Perkawinan Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1


Tahun 1974 dan Hukum Islam

1. Ketentuan Harta Perkawinan Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1


Tahun 1974
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat Bab V Pasal 29 yang mengatur tentang perjanjian
perkawinan. Adapun bunyi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian
Bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan , setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama,
dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga. Perjanjian perkawinan sebagaimana disebutkan pada pasal-pasal di atas memiliki
banyak kemungkinan mengenai isi perjanjiannya. K. Wantjik Saleh mengatakan bahwa
tidak ditentukan perjanjian itu mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda. Karena
tidak ada pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali,
dapat mengenai berbagai hal. Dalam penjelasan pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974 hanya disebutkan bahwa yang dimaksud “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik
talak” (K. Wantjik Saleh, 1980 : 32).
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 memang memberikan ruang lebih lebar mengenai
isi perjanjian. Artinya, isi perjanjian perkawinan yang akan dilakukan oleh calon suami
istri sangat luas wilayahnya, bisa menyangkut masalah harta maupun selainnya. Hal ini
sependapat juga dengan Prof. H. Hilma Hadikusuma, S.H. yang menyatakan bahwa isi
perjanjian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 “lebih terbuka” tidak saja yang
menyangkut perjanjian kebandaan tetapi juga yang lain. Sedangkan R. Subekti
menyatakan bahwa baik KUH Perdata maupun UU Perkawinan mengenal apa yang
dinamakan “perjanjian perkawinan”. Ini adalah suatu perjanjian mengenai harta benda
suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari sari asas atau pola yang
ditetapkan oleh Undang-undang. Banyak yang sependapat dengan pernyataan R. Subekti
di atas. Masyarakat umum juga beranggapan bahwa perjanjian perkawinan lebih banyak
mengatur masalah harta perkawinan, karena masalah yang paling rawan dan rumit dalam
perkawinan sehingga memerlukan perjanjian adalah masalah harta, walaupun masalah
yang lain selain harta juga cukup rumit jika ada masalah.
Jika kita melihat beberapa pendapat di website hukum mengenai isi perjanjian,
kebanyakan menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan adalah
suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang
menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undangundang. Materi yang diatur
dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami istri, asalkan tidak
bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.
Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Pada umumnya berupa perolehan harta kekayaan terpisah,
masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan,
termasuk keuntungan dan kerugian
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pendapat para pakar,
pada umumnya mereka menganggap bahwa isi perjanjian perkawinan adalah mengatur
harta perkawinan. Bagaimana selanjutnya ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada
perjanjian perkawinan? Ketentuan harta perkawinan menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jika tidak ada perjanjian perkawinan mengenai
harta perkawinan, maka dengan sendirinya terjadi kebersamaan harta yang terbatas
(penyatuan harta terbatas) antara suami istri.
Adapun yang dimaksud dengan “terbatas” adalah terbatas pada harta yang
diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung yang bukan berasal dari hadiah atau
warisan. Dengan demikian, yang menjadi harta bersama hanya harta yang diperoleh
selama perkawinan. Sebaliknya, jika calon suami istri yang hendak melangsungkan
perkawinan menghendaki kebersamaan harta yang menyeluruh, maka mereka harus
mengadakan perjanjian perkawinan mengenai hal tersebut. Yang demikian itu dapat
disimpulkan dari kata-kata pada akhir Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang
berbunyi:
“... sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” Adapun yang dimaksud dengan
“sepanjang para pihak tidak menentukan lain” adalah “perjanjian perkawinan” (R.
Soetojo Prawiromahidjojo, 1986 : 68). Berdasarkan penjelasan di atas, jika calon suami
istri menghendaki kebersamaan harta (penyatuan harta) yang menyeluruh meliputi harta
harta bersama dan harta bawaan masing-masing suami istri, maka mereka dapat
melakukan perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut. Kebersamaan harta
yang menyeluruh ini merupakan “penyimpangan” dari ketentuan dalam Pasal 35 UU No.
1 Tahun 1974 yang sebenarnya dalam pasal tersebut menentukan kebersamaan harta
terbatas. Akan tetapi, karena dalam Pasal 35 ayat (2) memungkinkan adanya perjanjian
perkawinan yang mengatur kebersamaan harta yang menyeluruh, maka perjanjian
perkawinan mengatur hal lain yang menyimpang dari ketentuan awal Undang-undang,
dan hal ini sah. Selanjutnya, Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 36 UU No. 1
Tahun1974 di atas mengatur harta perkawinan yang tidak ada perjanjian perkawinan di
dalamnya, sehingg ketentuan mengenai harta Bersama dan harta bawaan suami istri tetap
sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut. Menurut R. Soetojo Prawiromahidjojo (R.
Soetojo Prawiromahidjojo, 1986 : 68) dari uraian mengenai Pasal 35 dan Pasal 36 UU
No. 1 Tahun di atas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan mengenai harta
perkawinan dapat dibuat yang isinya:
a. Kebersamaan harta (penyatuan harta) yang menyeluruh/bulat.
b. Peniadaan setiap kebersamaan harta. Perjanjian perkawinan yang isinya mengenai
kebersamaan harta yang menyeluruah atau penyatuan harta bulat dibuat sebagai
penyatuan harta bersama dan harta bawaan calon suami istri sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Sedangkan jika calon suami istri ingin harta mereka benar-
benar terpisah, baik terpisahnya harta bersama (tidak ada harta bersama) maupun
harta bawaan, maka mereka dapat mengadakan perjanjian perkawinan yang lain
juga. Pendapat R. Soetojo Prawiromahidjojo mengenai perjanjian perkawinan
yang isinya peniadaan setiap kebersamaan harta selaras dengan nilai-nilai
persamaan antara suami istri dalam perkawinan. Dengan adanya peniadaan
kebersamaan harta tersebut berarti masing-masing memiliki hak yang sama
berkaitan dengan harta yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan.
Suami memiliki hak terhadap harta yang diperolehnya tanpa meninggalkan
kewajibannya menafkahi keluarga. Istri pun memiliki hak terhadap harta yang
diperolehnya tanpa ada intervensi dari suami. Jika antara calon suami istri
mengadakan perjanjian perkawinan yang menentukan “tidak ada kebersamaan
harta yang menyeluruh” atau “tidak ada penyatuan harta bulat”, maka masing-
masing memiliki dan berhak hanya atas hartanya masing-masing. Walaupun
demikian, hak dan kewajiban sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga
tetap harus dilaksanakan dengan baik. Artinya, walaupun suami memiliki harta
sendiri dan istri memiliki harta sendiri, tapi si suami tetap harus memberikan
nafkahnya sebagai kepala rumah tangga kepada istri dan anakanaknya dengan
baik. Perjanjian perkawinan yang demikian selaras dengan rasa keadilan dan
nilai-nilai persamaan antara suami istri dalam perkawinan, khususnya masalah
harta selama perkawinan yang mereka hasilkan masing-masing. Adapun untuk
kebersamaan harta terbatas menurut ketentuan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974
tidak perlu dibuat perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut karena
tanpa perjanjian perkawinan pun sudah dengan sendirinya terjadi kebersamaan
harta yang terbatas (penyatuan harta terbatas). Kebersamaan harta terbatas di sini
adalah terbatas pada kebersamaan harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung, dan bukan harta bawaan masing-masing suami istri. Hal penting
dalam perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan adalah adanya itikad
baik dari para pihak untuk melaksanakan perjanjian sehingga perjanjian bisa
terlaksana dengan baik dan perkawinan berlangsung dengan tenteram.

2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan


Hukum Islam
Pada dasarnya ketentuan harta kekayaan perkawinan dalam hukum Islam adalah terpisah
antara harta suami dan istri dengan tidak ada harta bersama. Selain ketentuan umum
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dimungkinkan juga antara suami istri mengadakan
perjanjian percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan atau istri atas usaha bersama
suami istri atau usaha sendiri-sendiri selama dalam hubungan perkawinan. Perjanjian harta
perkawinan yang demikian ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum mengenai harta
kekayaan perkawinan. Percampuran harta suami istri inilah yang disebut dengan syirkah. Selain
itu, dimungkinkan juga antara suami istri mengadakan syirkah sebagai sebuah bentuk perjanjian
perkawinan untuk harta yang telah dimiliki sebelum terjadinya perkawinan atau harta yang
diperoleh selama perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi diperoleh karena
warisan maupun pemberian khusus yang diperuntukkan bagi masing-masing.
Mengenai harta suami istri yang telah dimiliki sebelum terjadinya perkawinan atau harta
yang diperoleh selama perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi diperoleh
karena warisan maupun pemberian khusus yang diperuntukkan bagi masing-masing, harta
tersebut tetap menjadi milik sendiri-sendiri, namun dapat juga dicampurkan menjadi harta milik
bersama dengan suatu perjanjian yang dibuat dengan cara-cara tertentu (Soemiyati, 1986 : 99-
101).
Yang dimaksud oleh Sumiyati sebagai “cara-cara tertentu” di sini adalah syirkah. Dalam
kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd (Ibnu Rusyd, 2002 : 143),
syirkah secara bahasa artinya percampuran. Syirkah adalah percampuran sesuatu harta benda
dengan harta benda lain sehingga tidak dibedakan lagi satu dari yang lain. Menurut istilah hukum
fikih, istilah syirkah itu adalah hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu (Ismuha dalam
Rachmadi Usman, 2006 : 371). sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, dalam
pemikiran mazhab Syafi’ dan Hanafi, syirkah itu ada tiga jenisnya (Mohammad Daud Ali dalam
Rachmadi Usman, 2006 : 372), yaitu:
a. . Syirkah ‘inan (milik), yakni syirkah terhadap suatu kekayaan tanpa sengaja dibuat
perjanjian khusus untuk itu.
b. Syirkah mufawadah, yakni syirkah yang sengaja dibentuk dengan memasukkan harta
kekayaan tertentu ke dalam syirkah itu.
c. Syirkah abdan, yakni syirkah yang sengaja dibentuk dengan pemberian jasa. Melihat
pada bentuk-bentuk syirkah di atas, Adapun mengenai terjadinya percampuran harta
kekayaan suami istri (harta syirkah) dapat dilakukan sebagai berikut:
 Dengan mengadakan perjanjian syirkah secara nyatanyata tertulis atau diucapkan
sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik
untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri-sendiri ataupun harta pencaharian.
 Syirkah dapat ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan perundangan, bahwa
harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami atau istri atau keduaduanya
dalam masa adanya hubungan perkawinan, yaitu harta pencaharian adalah harta
bersama suami istri tersebut.
 Di samping dengan dua cara di atas, percampuran harta kekayaan suami istri
(syirkah) dapat pula terjadi dengan kenyataan kehidupan pasangan suami istri
tersebut.
Cara ketiga ini hanya khusus untuk harta bersama atau syirkah pada harta kekayaan atas usaha
yang diperoleh selama perkawinan. Dengan cara diam-diam memanga telah terjadi percampuran
harta kekayaan suami istri apabila dalam kenyataannya bersatu dalam mencari hidup. Mencari
hidup dalam hal ini tidak hanya masalah nafkah saja dengan usaha keluar rumah saja, tetapi juga
harus dilihat dari sudut pembagian kerja dalam rumah tangga. Walaupun mungkin dalam
kenyataannya yang bekerja adalah suami, tetapi jika istri tidak dapat melaksanakan urusan rumah
tangganya dengan baik, maka usaha suami pun tidak akan maju. Oleh karena itulah, dalam hal
pengumpulan harta kekayaan rumah tangga banyak tergantung pada manajemen dan pembagian
pekerjaan yang baik antara suami istri (Sajuti Thalib dalam Soemiyati, 2006 : 101 dan Rachmadi
Usman, 2006 : 372). Berdasarkan terjadinya percampuran harta kekayaan suami istri (harta
syirkah) di atas, maka cara pertama, yaitu mengadakan perjanjian syirkah secara nyata-nyata
tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah dalam suatu
perkawinan, baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri-sendiri ataupun harta pencaharian dapat
dilakukan dengan atau sebagai perjanjian perkawinan.

C. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian


Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

1. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian


Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
Perjanjian perkawinan berlaku selama perkawinan berlangsung dan selama para pihak
tidak menentukan untuk merubahnya dengan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu
jika perkawinan putus, maka perjanjian perkawinan pun putus dengan membawa akibat hukum
pada harta yang diperjanjikan. Putusnya perkawinan yang juga secara otomatis memutus
perjanjian perkawinan adalah kematian salah satu pihak dan perceraian. UU No. 1 Tahun 1974
tidak menyebutkan secara jelas bagaimana akibat hukum harta kekayaan perkawinan yang ada
perjanjian perkawinan mengenai harta tersebut. Jika ada perjanjian kawin mengenai harta
perkawinan dengan demikian perjanjian perkawinan tersebut berfungsi sebagi undang - undang
bagi pihak suami istri yang mengadakan perjanjian perkawinan. Oleh karena itu, akibat hukum
terhadap harta yang diperjanjikan adalah sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian perkawinan.
Jika perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama, maka harta tersebut menjadi milik
bersama di mana penggunaannya juga harus dengan persetujuan bersama. Jika perjanjian
perkawinan memperjanjikan harta terpisah, maka harta tersebut menjadi milik masing-masing
dan yang berhak menggunakannya juga masing-masing pihak. Jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka akibat hukumnya juga sebagaimana yang diperjanjikan. Jika perjanjian perkawinan
memperjanjikan harta bersama, maka harta tersebut di atur sesuai Undang-undang, yaitu
mengikuti ketentuan hukum agamanya masing-masing. Hal ini karena dalam Pasal 37 UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa: “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing”. Kata-kata “hukumnya masing-masing” dalam pasal
tersebut adalah hukum yang dianut oleh pihak yang melangsungkan perkawinan dan kemudian
mengadakan perjanjian perkawinan. Dengan demikian, dalam penelitian ini fokusnya adalah
hukum Islam, yang berarti dilakukan oleh orang Islam, maka “hukumnya masing-masing” di sini
adalah hukum Islam. Walaupun pasal tersebut menyatakan putusnya perkawinan karena
perceraian, tapi karena masalah putusnya perkawinan yang berakibat pada perjanjian perkawinan
tidak ada pasal yang menyatakannya secara jelas tentang kematian salah satu pihak, maka akibat
hukum terhadap harta yang ada perjanjiannya juga kembali pada hukum Islam.

2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian


Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam
Bila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri berhak atas harta masing-masing
sesuai konsep harta milik dalam perkawinan. Istri berhak mendapat nafkah iddah dan suami
wajib memberikan nafkah itu, dan harta yang didapat selama perkawinan dibagi sesuai konsep
kepemilikan harta, dibagi dua jika disyaratkan sebelum akad, atau milik istri jika disyaratkan
sebelum akad. Apabila harta perkawinan adalah harta syirkah, kemudian terjadi perceraian atau
talak, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami istri yang turut berusaha dalam syirkah.
Dalam yurisprudensi di Indonesia dapat dilihat keadaan ini pada Keputusan Landraad Serang
tertanggal 29 Agustus 1929, yang didasarkan pada pendapat Raad van Justitie Jakarta tanggal 28
Desember 1928, menetapkan bahwa tidak ada milik bersama antara suami istri, meskipun
barang-barang diperoleh karena pekerjaan dan kewajiban bersama kecuali jika hal itu dengan
jelas disetujui pada waktu perkawinan. Selain itu, dapat juga dilihat dalam Ketetapan/Fatwa
Syarikah tentang harta bersama antara suami istri yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama
Jakarta Timur tanggal 7 Februari 1978 Nomor 21/C/1978, dalam pertimbangan hukumnya
dinyatakan: “Apabila terjadi syirkah (syirkah harta bersama) pada suatu masa tertentu, maka
harta tersebut dibagi dua, karena terjadi perceraian atau meninggal dunia salah satu pihak.
Demikian juga dengan Fatwa Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 28 April 1975 Nomor
54/C/1975 (M. Idris Ramulyo dalam Rachmadi Usman, 2006 : 372-373).

Anda mungkin juga menyukai