Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH FIQH munakahat

Tentang : Perjanjian perkawinan dalam HKI pasal 45-52

Disusun Oleh Kelompok VI :


Muhammad Alfikri
Freliyus Powapa

JURUSAN: AHWAL ALSYAKHSHIYAH


FAKULTAS: SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI
GORONTALO
BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat,


mengikat lahir dan batin dengan dasar iman. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perjanjian
perkawinan dapat dibuat dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974, perkawinan
merupakan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
BAB II
PEMBAHASAN

1.Perjanjian Perkawinan Dalam HKI

Pada Kompilasi Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII pasal
45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan. pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk:

a. Taklik talak.

b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan isteri, tidak dipenuhi
oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya isteri berhak
meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga
sebaliknya jika si isteri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama.

Sementara jika dilihat penggunaannya, seperti dalam praktek di Indonesia, taklik talak
adalah terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan istri yang digantungkan
kepada sesuatu, dan sesuatu ini dibuat dan disepakati pada waktu dilakukan akad nikah. Maka
pelanggaran terhadap apa yang disepakati inilah yang menjadi dasar terjadinya perceraian
(talak) atau perpisahan. Berdasarkan substansi inilah menjadi dasar untuk mengatakan bahwa
taklik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan yang dapat menjadi dasar dan
alasan terjadinya perceraian atau perpisahan antara suami dan isteri. Misalnya dalam buku
nikah Indonesia, shigat taklik, berisi perjanjian perkawinan.

2. Harta Bersama dan Harta Bawaan Dalam UU no. 1 Tahun 1974 Pasal 35

a. Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak
perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat
perceraian, natian maupun putusan Pengadilan. (Darmabrata dan Surini, 2016: 96)

Harta bersama meliputi:

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan
demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta

pribadi masing-masing suami istri.

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, harta

bersama suami-istri hanyalah meliputi harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan,
ingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, basil dan pendapatan
istri. (Satrio, 1993: 66)

b. Harta Bawaan

Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri.

Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

sama-sama berlaku bagi siapa saja. (dengan kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut).

sedangkan harta bersama KUH Perdata dan harta bersama menurut UU Perkawinan hanya

untuk memperbandingkan atau memperjelas pengertiannya. Harta yang selama ini dimiliki,

secara otomatis akan menjadi harta bersama sejak terjadinya suatu perkawinan sejauh tidak
ada perjanjian mengenai pemisahan harta (yang dikenal dengan perjanjian perkawinan)
sebelum atau pada saat perkawinan itu dilaksanakan.

Ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menegaskan bahwa, “Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami
dan istri sebelum menikah, serta hadiah, hibah atau warisan yang diterima dari pihak ketiga
selama perkawinan”
3. Harta Bersama dan Harta Bawaan Dalam HKI

Demikian juga dalam Pasal 85 – Pasal 97 KHI, disebut bahwa harta perkawinan dapat
dibagi atas:

Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;

Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;

Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi
harta bersama suami istri;

Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya
sebagai hadiah atau warisan;

Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai
hadiah atau warisan.

Pengakuan Harta Bersama di Indonesia

Mengapa dua sumber hukum Islam yang berlaku di Indonesia (fikih Islam Indonesia) mengakui
ada harta bersama? Sebab perkawinan itu dianggap sebagai bentuk syirkah, yaitu bersatu,
berserikat untuk membentuk rumah tangga.

Dalam kata lain adalah percampuran atau berserikatnya dua orang (calon mempelai laki-laki
dan calon mempelai perempuan dalam akad nikah untuk mengikatkan diri membentuk rumah
tangga).

Dalam pendapat T. M. Hasbi Ash Shiddiqie dalam buku Pedoman Rumah Tangga (hal. 9),
dengan perkawinan, menjadikan sang istri syirkatur rojuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami
dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abadan
(perkongsian tidak terbatas).

Itulah sebabnya di Pengadilan Agama ketika ada orang Islam bercerai dan mempersoalkan
harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta dalam perkawinan
sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85 – Pasal 97 KHI.

Maka, menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama dalam
perkawinan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perkawinan dalam Hukum Islam merupakan perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzan)
untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Maka perkawinan itu
sendiri merupakan suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan dalam
peraturan perundang-Undangan di Indonesia, perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 UU
No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan, yang implementasinya dilaksanakan dalam pasal 2
Peraturan Menteri Agama No. 3 Th. 1975 dan pasal 45-52 KHI dan pasal 1320 KUH Perdata.

Anda mungkin juga menyukai