NIM: 2110211310077
Kelas: B
Kelima rukun perkawinan tersebut kemudiakan akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut:
A. Calon Mempelai
Adapun syarat-syarat untuk calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan untuk
dapat melangsungkan atau melaksanakan perkawinan yang diatur dalam Pasal 15 sampai
18 KHI adalah sebagai berikut:
1) Calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan calon suami berumur sekurang-
kurangnya 19 tahun.
2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua
arau wali.
3) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
4) Tidak terdapat halangan perkawinan sesuai BAB VI KHI.
B. Wali Nikah
Dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 KHI mengatur mengenai wali nikah. Wali nikah dalam
perkawinan harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkan. Yang dapat bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari:
1) Wali nasab
Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan
calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni
ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok
kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-
laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
2) Wali hakim
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agam tentang wali tersebut.
C. Saksi Nikah
Pasal 24 sampai Pasal 26 KHI mengatur mengenai saksi nikah. Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua
orang saksi. Adapun yang dapat menjadi saksi adalah
1) Laki-laki muslim
2) Adil
3) Aqil baligh
4) Tidak terganggu ingatan
5) Tidak tuna rungu atau tuli
Saksi juga harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Akta
Nikah ini yang selanjutnya menjadi bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah dan
telah tercatat oleh negara.
D. Akad Nikah
Menurut Pasal 27 KHI ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. Selain itu, akad nikah dilaksanakan sendiri oleh wali
nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain yang berhak
mengucapkan Kabul adalah mempelai laki-laki.
E. Mahar
Dalam Pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus
diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Namun sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) KHI bahwa
kewajiban menyerahkan mahar bukanlah merupakan rukun dalam perkawinan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka rukun dan syarat merupakan satu kesatuan yang
sulit dipisahkan dan melekat satu sama lain. Dalam KHI istilah yang digunakan adalah
rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14, antara lain adalah calon suami, calon
isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan Kabul.
Putusnya Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. atas putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian dapat terjadi salah satunya bisa karena salah
satu pihak meninggal, murtad dari salah satu pihak, suami melanggar taklik talak, dan
lain-lain. Perceraian dapat dilakukan apabila Pengadilan Agama tidak dapat
mendamaikan kedua belah pihak.
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan. Adapun macam-macam talak yaitu:
a. Talak Raj`I
b. Talak Ba`in Shughraa
c. Talak Ba`in Kubraa
d. Talak sunny
e. Talak bid`I
Ada juga Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-
lamanya. Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Dan Li`an hanya sah apabila dilakukann di
hadapan sidang Pengadilan Agama.
Rujuk
Menjelaskan dimana Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masa iddah.
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah
dengan putusan Pengadilan Agama. Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya
semula. Bagian Kedua menjelaskan tentang Tata Cara Rujuk, jika suami ingin merujuk
istrinya maka mereka harus datang bersama ke Pegawai Pencatat Nikah serta atas dengan
persetujuan sang istri. Lalu hal tersebut akan segera di urus oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
Masa Berkabung
Menjelaskan tentang Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah. Dan Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa
berkabung menurut kepatutan.
Hukum Waris
Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia Hukum waris Islam diatur di dalam Pasal 171-
214 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, Hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
Ahli Waris
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah,
ibu, janda atau duda.
Dari ketentuan pasal lni bahwa ayah dan ibu (dan anak, janda atau duda), dalam kondisi
apapun, selain karena halangan memperoleh warisan menurut pasal 173 KHI, selalu
mendapatkan bagian warisan. Dengan demikian tidak ada ahli waris yang bisa
menghalangi “menghijab” kewarisan ayah dan ibu (orangtua).
Halangan memperoleh waris menurut pasal 173 KHI adalah : Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
Besarnya Bahagian
Dalam besarnya bagian dalam waris yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 2
Pasal 177 dan 178 ayat (1) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara umum (lex
generalis), sedangkan pasal 178 ayat (2) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara
khusus (lex specialis), yaitu bila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari
duda atau janda.
Bila pewaris tidak meningggalkan anak, maka ayah dan ibu masing-masing mendapat 1/3
bagian, Bila pewaris meninggalkan anak, maka ayah dan ibu masing-masing mendapat
1/6 bagian, Hanya saja menurut ketentuan pasal 176, seorang anak perempuan bila
seorang hanya mendapat bagian tidak lebih dari 1/2, karena anak perempuan tidak
menjadi ahli waris ashabah, Bila pewaris meninggalkan juga beberapa saudara, maka
ayah mendapat 1/3 bagian karena ayah tidak terhijab oleh saudara. Ibu mendapat 1/6
bagian, karena terhijab nuqshan dengan adanya beberapa orang saudara. Kalau hanya
dengan seorang saudara saja ibu tetap mendapat 1/3 bagian. Dengan demikian sisanya
ada 1/2 bagian setelah ayah dan ibu mengambil bagiannya masing-masing. Sisa yang 1/2
itu tidak dapat diberikan kepada beberapa saudara karena beberapa saudara terhijab oleh
adanya ayah.
Hibah
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tentang Hibah dimuat di dalam Pasal 171
huruf g dan Pasal 210 sampai Pasal 214. Menurut Kompiasi Hukum Islam, Hibah adalah
“pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang
lain yang masih hidup untuk dimiliki.”
menurut Pasal 211 KHI menyatakan bahwa hibah dari orang tua dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Sehubungan fungsi hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan
kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama dan golongan, maka hibah dapat
dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa ini. Pasal 212
KHI menyatakan, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada
anaknya.
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama‐lamanya
guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun wakif yaitu orang atau orang‐orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya. Adajuga Nadzir, adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf
Fungsi wakaf yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Syarat-syarat untuk wakaf yaitu, telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum
tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku. Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus
merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang
harus memenuhi syarat‐syarat yang sudah ditentukan.
Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta
hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan‐ketentuan
yang diatur oleh Menteri Agama. Nadzir juga diwajibkan membuat laporan secara
berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan
kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. Nadzir berhak mendapatkan
penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas
saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
Ketentuan Peralihan
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan‐ketentuan ini. Hakim dalam
menyelesaikan perkara‐perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan
sungguh‐sungguh nilai‐nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.