Anda di halaman 1dari 17

Nama: Nabeel Zacky Muhammad Thaib

NIM: 2110211310077
Kelas: B

Hukum Kompilasi Islam


Pengertian Kompilasi Hukum Islam secara etimologis ialah kumpulan atau himpunan
yang tersusun secara teratur. Sedangkan secara terminologi kompilasi diambil dari
compilation (Inggris) atau compilatie (Belanda) yang diambil dari kata compilare, artinya
mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
dimana-mana, istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa indonesia kompilasi,
sebagai terjemahan langsung.
Sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal,
terdiri atas kelompok materi hukum yaitu hokum perkawinan, (170 pasal) hukum
kewarisan termasuk wasiat dan hiba (44 pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal)
ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum
tersebut. Kompilasi Hukum Islam disusun melalui proses yang sangat panjang dan
melelahkan karena pengaruh perubahan social politik terjadi di negeri ini dari masa ke
masa.

Sistematika Kompilasi Hukum Islam


Buku I tentang Hukum Perkawinan
1. Ketentuan Umum (Pasal 1)
2. Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
3. Peminangan (Pasal 11-13)
4. Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
5. Mahar (Pasal 30-38)
6. Larangan Kawin (Pasal 39-44)
7. Peijanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
8. Kawin Hamil (Pasal 53-54)
9. Beristri Lebih Dari Satu Orang (Pasal 55-59)
10. Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
11. Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)
12. Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 77-84)
13. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
14. Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
15. Perwalian (Pasal 107-112)
16. Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
17. Akibatnya Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
18. Rujuk (Pasal 163-169)
19. Masa Berkabung (Pasal 170)

Buku II tentang Hukum Kewarisan


1. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)
2. Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)
3. Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
4. Bab IV Aul dan Rad (Pasal 192-193)
5. Bab V Wasiat (Pasal 194-209)
6. Bab VI Hibah (Pasal 210-214)

Buku III tentang Hukum Perwakafan


1. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)
2. Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-syarat Wakaf (Pasal 216-222)
3. Bab III Tatacara perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (Pasal 223-
224)
4. Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal 225-
227)
5. Bab V Ketentuan Peralihan (Pasal 228)

BUKU I TENTANG PERKAWINAN

Undang-Undang Dasar Mengenai Perkawinan


Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termasuk dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 dan negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana
termuat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang mana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
29 Ayat 1 dan 2 berbunyi: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Maka, dalam UU Perkawinan dasar hukum yang digunakan tidak lain adalah Pasal 29
UUD 1945, sehingga setiap pasal-pasal yang ada di dalam suatu norma harus dijiwai dan
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Artinya, semua
ketentuan (termasuk perkawinan) harus sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjadi
syarat mutlak.

Sistem Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Islam


Menurut Muhammad Amin Suma, seorang ahli dari Majelis Ulama Indonesia, UU
Perkawinan memiliki irisan dan urusan dengan sistem hukum yang hidup (fiqh al-hayâh;
leaving law) dan terawat oleh dan di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia.
Termasuk ke dalam sistem hukum yang hidup dan terawat dalam konteks ilmu dan
praktik hukum di Indonesia ialah hukum agama di samping hukum adat.
Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Buku I.
Menurut Amin, eksistensi dan peran/fungsi hukum agama termasuk untuk tidak
mengatakan terutama hukum Agama Islam (syariat/fikih), mendapat kedudukan/tempat
serta jaminan dan perlindungan hukum yang kuat dalam tata hukum (peraturan
perundang-undangan) maupun praktek ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia. Di
antara contoh kasusnya dalam bidang hukum keluarga (family law; al-ahwâl al-
syakhshiyyah/ahkâm al-usrah). Utamanya bidang Perkawinan (munâkahât; marriage).
1. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah perkawinan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah yang mengandung pengertian bahwa akad nikah bukan
semata-mata perjanjian perdata, sedangkan ungkapan menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah, yang maknanya sama dengan ungkapan “berdasarkan
Yang Maha Esa”. Tuhan” dalam UU Perkawinan.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan diatur dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun Perkawinan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut Pasal
14 KHI ini, untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan Kabul

Kelima rukun perkawinan tersebut kemudiakan akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut:
A. Calon Mempelai
Adapun syarat-syarat untuk calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan untuk
dapat melangsungkan atau melaksanakan perkawinan yang diatur dalam Pasal 15 sampai
18 KHI adalah sebagai berikut:
1) Calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan calon suami berumur sekurang-
kurangnya 19 tahun.
2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua
arau wali.
3) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
4) Tidak terdapat halangan perkawinan sesuai BAB VI KHI.

B. Wali Nikah
Dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 KHI mengatur mengenai wali nikah. Wali nikah dalam
perkawinan harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkan. Yang dapat bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari:
1) Wali nasab
Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan
calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni
ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok
kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-
laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
2) Wali hakim
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agam tentang wali tersebut.

C. Saksi Nikah
Pasal 24 sampai Pasal 26 KHI mengatur mengenai saksi nikah. Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua
orang saksi. Adapun yang dapat menjadi saksi adalah
1) Laki-laki muslim
2) Adil
3) Aqil baligh
4) Tidak terganggu ingatan
5) Tidak tuna rungu atau tuli
Saksi juga harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Akta
Nikah ini yang selanjutnya menjadi bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah dan
telah tercatat oleh negara.

D. Akad Nikah
Menurut Pasal 27 KHI ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. Selain itu, akad nikah dilaksanakan sendiri oleh wali
nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain yang berhak
mengucapkan Kabul adalah mempelai laki-laki.

E. Mahar
Dalam Pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus
diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Namun sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) KHI bahwa
kewajiban menyerahkan mahar bukanlah merupakan rukun dalam perkawinan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka rukun dan syarat merupakan satu kesatuan yang
sulit dipisahkan dan melekat satu sama lain. Dalam KHI istilah yang digunakan adalah
rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14, antara lain adalah calon suami, calon
isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan Kabul.

Aspek-Aspek dalam Undang-Undang Perkawinan


Aspek hukum dalam hukum perkawinan adalah Undang-Undang Perkawinan tentang
perkawinan itu sendiri. Perkawinan tidak hanya berhubungan dengan aspek hukum legal
formal dan normatif administratif. Sebab perkawinan hanya merupakan satu aspek atau
langkah awal dari pembentukan keluarga atau rumah tangga yang memiliki banyak
aspek. Untuk itu, sambung Amin diharapkan hal tersebut dapat bersifat ‘abadi’
sebagaimana diamanatkan hukum agama maupun peraturan perundang-undangan
negara.

Perjanjian Pra Nikah


Dasar hukum tentang perjanjian Pra nikah (Prenuptial Agreement) telah diatur oleh
hukum kita seperti yang terdapat pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974,
begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada BAB VII Pasal
47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian perkawinan
dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing,
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian
dengan pihak Bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama. Akan tetapi
melakukan Perjanjian Pra nikah haruslah juga mempertimbangkan beberapa sisi (aspek).
Wanita Hamil Di Luar Nikah
Pada Kompilasi Hukum Islam Buku I terdapat bab khusus mengenai kawin hamil, yaitu
Bab VII Pasal 53 dan Pasal 54.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ditetapkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, tanpa harus menunggu kelahiran
anak yang ada dalam kandungannya terlebih dahulu. Pernikahan yang dilangsungkan
pada saat hamil tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya
lahir. Maka tiga ayat yang terkandung di dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
tersebut adalah bentuk aturan Hukum yang mengatur wanita hamil di luar nikah jika
terjadi pernikahan. Dari ketiga ayat pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 di atas, dapat
memberikan gambaran bahwa:
1. Yang bertanggung jawab dalam menikahi wanita hamil adalah laki-laki yang
menghamilinya, berkaitan dengan nasab anak yang ada dalam kandungannya.
2. Agar tidak dijadikan hal yang bisa menikahi wanita hamil di luar nikah, maka harus
menunggu wanita itu melahirkan dan mensucikan dirinya dari nifas. Sebab, pernikahan
adalah suci.
3. Pernikahan tidak dapat diulang. Dengan maksud agar pernikahan tidak ternodai.

Poligami Dalam Kompilasi Islam


Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menganut adanya
asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1
yang menyebutkan "Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami". Akan tetapi asas monogami
dalam UU perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada
pembentukan perkawinan monogami dengan mempersulit penggunaan lembaga poligami
dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil argumen yaitu jika
perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun
yang belum tentu akan beramai- ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan
sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang akan dilahirkannya nanti di
kemudian hari.
KHI seperti yang terlihat tidak berbeda dengan Undang-undang Perkawinan dalam
masalah poligami ini. Khusus yang beragama Islam pelaksanaan poligami diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan Bab IX Pasal 55 sampai
dengan pasal 59.
Pada pasal 57 Kompilasi Ilmu Hukum Islam, Pengadilan Agama hanya memberikan izin
kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan
sebagaimana disebut dalam pasal 4 UU perkawinan. Jadi pada dasarnya pengadilan dapat
memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan
Agama dalam memberikan keizinan. Sehingga bagi isteri yang tidak mau memberikan
persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh
Pengadilan Agama. Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan pengadilan Agama dan terhadap
penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KIII).
Pada sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan praktik poligami menjadi
sangat menentukan bahkan dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas
untuk mengizinkan poligami.
Dalam hal ini Pengadilan Agama sangat menentukan mengabsahkan praktik poligami
karena dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan
poligami. Diperbolehkannya poligami itupun dengan batas sampai empat orang dan
mewajibkan berlaku adil kepada mereka Kebolehan itupun kalau di telusuri sejarahnya
tergantung pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam. Poligami boleh dilakukan jika
keadaan benar-benar darurat.

Hak dan Kewajiban Suami dan Istri


Salah satu unsur utama yang menjadi penentu terwujudnya keluarga sakinah adalah
pemenuhan atas hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Sehubungan dengan hal
ini, Islam telah menentukan hak dan kewajiban suami istri. Al-Quran surat an-Nisa ayat
34 misalnya menjelaskan bahwa tugas utama suami adalah sebagai pemimpin dan pencari
nafkah keluarga. Sedangkan istri sebagai pengurus rumah tangga yang wajib taat kepada
suami. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bagian Kedua Pasal 79 menyebutkan bahwa
suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Pasal 80 menyebutkan bahwa suami
berkewajiban memimbing istri dan rumah tangganya, melindungi dan mencukupi semua
kebutuhan rumah tangga. Kemudian Pasal 83 menyebutkan bahwa kewajiban utama istri
adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas tertentu yang dibenarkan
hukum Islam. Istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumahtangga sehari-hari dengan baik. Seorang suami harus mempunyai sikap-sikap
kepemimpinan sedangkan seorang istri yang salehah adalah ia yang taat dan
menyenangkan hati suami. semua hak dan kewajiban ini hendaknya dipahami dan
dilaksanakan dengan baik oleh kedua belah pihak. Namun demikian, pada kenyataanya
pelaksanaan hak dan kewajiban ini seringkali terabaikan. Tak jarang antara suami istri
terjadi konflik karena satu sama lain merasa pasangannya tidak dapat melaksanakan apa
yang menjadi kewajibannya.

Konsep Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam


Ketentuan-ketentuan mengenai rujuk di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur
dalam Bab XVIII Pasal 163 sampai dengan Pasal 169. Namun definisi rujuk itu sendiri
tidak diatur secara khusus di dalamnya. Dan hanya terdapat pasal-pasal yang memberikan
gambaran secara global tentang definisi rujuk tersebut. Seperti halnya Pasal 118, Pasal
150, dan Pasal 163.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulakan bahwasanya definisi rujuk dalam
pandangan kompilasi hukum Islam (KHI) adalah: kembali hidup bersuami isteri antara
laki-laki dan perempuan yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i, 4 dan bukan
talak ba’in ataupun talak sebelum kedua orang tersebut berhubungan suami isteri (qobla
al-dukhûl) juga bukan perceraian yang berdasarkan putusan pengadilan karena suatu
alasan tertentu selain alasan-alasan zina dan khulû’, selama perempuan tersebut masih
dalam masa ‘iddah tanpa melakukan akad nikah baru.

Perkawinan Beda Agama Tidak Sah


Menurut ketentuan pada UU Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan
Pasal 8 huruf f, Pasal 40 hururf c, dan Pasal 44 KHI yang dinilai tidak berlawanan dengan
UUD 1945. Sebab di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang merugikan hak-hak
konstitusional warga negara Indonesia. Terkait dengan perkawinan beda agama yakni
antara calon mempelai muslim/muslimah dengan calon mempelai non-muslim/muslimah,
pada dasarnya ‘dihukumkan haram’ dan dinyatakan ‘tidak sah’ secara hukum, baik
menurut semangat peraturan perundang-undangan negara maupun spirit hukum agama
Islam (fikih).
Bahkan menurut kecenderungan hukum yang hidup pada kebanyakan masyarakat muslim
di Indonesia, dan berdasarkan pada bagian terbesar masyarakat beragama non Islam yang
lain-lainnya sebagaimana termuat dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan itu,
melarang perkawinan antara orang yang berbeda agama, dalam hal ini antara warga
negara yang beragama Islam dengan non-muslim.

Putusnya Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. atas putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian dapat terjadi salah satunya bisa karena salah
satu pihak meninggal, murtad dari salah satu pihak, suami melanggar taklik talak, dan
lain-lain. Perceraian dapat dilakukan apabila Pengadilan Agama tidak dapat
mendamaikan kedua belah pihak.

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan. Adapun macam-macam talak yaitu:
a. Talak Raj`I
b. Talak Ba`in Shughraa
c. Talak Ba`in Kubraa
d. Talak sunny
e. Talak bid`I

Ada juga Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-
lamanya. Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Dan Li`an hanya sah apabila dilakukann di
hadapan sidang Pengadilan Agama.

Tata Cara Perceraian.


Suami yang ingin menceraikan istrinya harus menyampaikan pernyataan talak secara
tegas dan jelas kepada istrinya. Pernyataan ini dapat dilakukan secara lisan atau tertulis,
dengan atau tanpa saksi. Setelah pernyataan talak disampaikan, suami harus memberi
tahu Pengadilan Agama setempat tentang talak yang diajukan. Permohonan ini dapat
dilakukan secara tertulis atau melalui pendaftaran langsung ke Pengadilan Agama.
Setelah permohonan diterima oleh Pengadilan Agama, biasanya pihak pengadilan akan
mencoba melakukan mediasi antara suami dan istri untuk mencari solusi damai dan
rekonsiliasi. Jika mediasi berhasil, maka perceraian tidak akan dilanjutkan. Jika mediasi
tidak berhasil atau salah satu pasangan tetap ingin bercerai, Pengadilan Agama akan
mengadakan sidang talak. Sidang ini akan melibatkan suami, istri, dan mungkin juga
saksi-saksi yang terkait. Mereka akan diminta untuk memberikan keterangan dan bukti
yang mendukung talak yang diajukan. Hakim akan mempertimbangkan keterangan dan
bukti yang diajukan dalam sidang talak. Hakim akan berusaha mencari solusi terbaik dan
adil berdasarkan hukum Islam. Setelah mempertimbangkan semua pendapat dan bukti
yang diajukan, hakim akan membuat putusan tentang talak. Putusan ini akan mencakup
penetapan cerai dan hak-hak yang berkaitan dengan perceraian. Setelah putusan
pengadilan dikeluarkan, pasangan yang bercerai harus melaksanakan prosedur
administratif yang ditentukan untuk merekam dan melaporkan perceraian tersebut.
Biasanya, prosedur ini melibatkan Kantor Urusan Agama setempat.

Akibat Putusnya Perkawinan


Menjelaskan tentang kewajiban mantan suami dan mantan istri bilamana perkawinan
putus karena talak. Lalu di Bagian Kedua tentang Waktu Tunggu, yang dimana
menjelaskan waktu tunggu bagi seorang wanita yang ditinggal cerai atau pasangannya
meninggal dunia untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Selanjutnya Bagian Ketiga
tentang Akibat Perceraian, disini menjelaskan tentang hak harta dan nafkah anak yang
orangtua nya telah berpisah. Lalu Bagian Keempat tentang Mut'ah, menjelaskan tentang
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul.
b. perceraian itu atas kehendak suami.
yang dimana Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima tentang Akibat Khuluk, menyebutkan bahwa perceraian dengan jalan
khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk. Dan Bagian Keenam tentang
Akibat Li'an, Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan
anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.

Rujuk
Menjelaskan dimana Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masa iddah.
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah
dengan putusan Pengadilan Agama. Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya
semula. Bagian Kedua menjelaskan tentang Tata Cara Rujuk, jika suami ingin merujuk
istrinya maka mereka harus datang bersama ke Pegawai Pencatat Nikah serta atas dengan
persetujuan sang istri. Lalu hal tersebut akan segera di urus oleh Pegawai Pencatat
Nikah.

Masa Berkabung
Menjelaskan tentang Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah. Dan Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa
berkabung menurut kepatutan.

BUKU II TENTANG HUKUM KEWARISAN

Hukum Waris
Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia Hukum waris Islam diatur di dalam Pasal 171-
214 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, Hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.

Ahli Waris
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah,
ibu, janda atau duda.
Dari ketentuan pasal lni bahwa ayah dan ibu (dan anak, janda atau duda), dalam kondisi
apapun, selain karena halangan memperoleh warisan menurut pasal 173 KHI, selalu
mendapatkan bagian warisan. Dengan demikian tidak ada ahli waris yang bisa
menghalangi “menghijab” kewarisan ayah dan ibu (orangtua).
Halangan memperoleh waris menurut pasal 173 KHI adalah : Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.

Besarnya Bahagian
Dalam besarnya bagian dalam waris yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 2
Pasal 177 dan 178 ayat (1) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara umum (lex
generalis), sedangkan pasal 178 ayat (2) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara
khusus (lex specialis), yaitu bila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari
duda atau janda.
Bila pewaris tidak meningggalkan anak, maka ayah dan ibu masing-masing mendapat 1/3
bagian, Bila pewaris meninggalkan anak, maka ayah dan ibu masing-masing mendapat
1/6 bagian, Hanya saja menurut ketentuan pasal 176, seorang anak perempuan bila
seorang hanya mendapat bagian tidak lebih dari 1/2, karena anak perempuan tidak
menjadi ahli waris ashabah, Bila pewaris meninggalkan juga beberapa saudara, maka
ayah mendapat 1/3 bagian karena ayah tidak terhijab oleh saudara. Ibu mendapat 1/6
bagian, karena terhijab nuqshan dengan adanya beberapa orang saudara. Kalau hanya
dengan seorang saudara saja ibu tetap mendapat 1/3 bagian. Dengan demikian sisanya
ada 1/2 bagian setelah ayah dan ibu mengambil bagiannya masing-masing. Sisa yang 1/2
itu tidak dapat diberikan kepada beberapa saudara karena beberapa saudara terhijab oleh
adanya ayah.

Aul dan Radd


Hukum warisan dalam islam terdapat suatu penyelesaian warisan yaitu dengan isltilah
Aul dan Radd. Seperti dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H.
Akhmad Haries, menurut As-Sayyid Sabiq pengertian 'aul adalah adanya kelebihan
saham dzawil dan adanya kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta
warisan. Seperti dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H. Akhmad
Haries, menurut Hasanain Muhammad Makhluf pengertian radd adalah kebalikan dari
'aul. Yakni adanya suatu kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya kekurangan
pada jumlah sahamnya.
Aul dalam kompilasi hukum islam yaitu Hukum warisan dalam Islam mengenal adanya
asas keadilan berimbang. Asas ini pun juga dibahas dalam KHI, lebih tepatnya dalam
pasalpasal tentang besarnya bagian yang diperoleh oleh setiap ahli waris. Di mana pasal
yang dimaksud adalah pasal 176 dan pasal 180 KHI.
Selain itu juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan di saat menyelesaikan
pembagian warisan dengan cara 'aul. Yakni dengan membebankan kekurangan harta yang
akan dibagikan pada setiap ahli waris yang memang berhak mendapatkannya sesuai
dengan bagiannya masing-masing. Hal itu pun dijelaskan dalam pasal 192 KHI.
radd adalah supaya asas keadilan berimbang bisa tercapai di saat menyelesaikan
pembagian harta warisan.
Pada radd ini kerap terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang memiliki hak untuk
mendapatkan pengembalian tersebut. Namun, ulama secara umum berpendapat bahwa
yang memiliki hak untuk mendapatkan penerimaan pengembalian sisa harta tersebut
hanyalah ahli waris. Hal ini karena adanya hubungan darah dan bukan karena adanya
hubungan perkawinan.
Pembahasan terkait radd ini ada dalam KHI lebih tepatnya pada pasal 193 KHI

Hibah
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tentang Hibah dimuat di dalam Pasal 171
huruf g dan Pasal 210 sampai Pasal 214. Menurut Kompiasi Hukum Islam, Hibah adalah
“pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang
lain yang masih hidup untuk dimiliki.”
menurut Pasal 211 KHI menyatakan bahwa hibah dari orang tua dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Sehubungan fungsi hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan
kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama dan golongan, maka hibah dapat
dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa ini. Pasal 212
KHI menyatakan, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada
anaknya.

BUKU III TENTANG HUKUM PERWAKAFAN

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama‐lamanya
guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun wakif yaitu orang atau orang‐orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya. Adajuga Nadzir, adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf
Fungsi wakaf yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Syarat-syarat untuk wakaf yaitu, telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum
tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku. Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus
merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang
harus memenuhi syarat‐syarat yang sudah ditentukan.

Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta
hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan‐ketentuan
yang diatur oleh Menteri Agama. Nadzir juga diwajibkan membuat laporan secara
berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan
kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. Nadzir berhak mendapatkan
penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas
saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf


Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat
Pembuatnya Akta Ikrar Wakaf, pelaksanaan ikrar harus dihadiri dan disaksikan oleh
sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi. Dan dalam melaksanakan ikrar pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan surat yang sudah ditentukan kepada Pejabat.
Setelah itu maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang
bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan
perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

Perubahan Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf


Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyelesaian
perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan
kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Nadzir dilakukan secara bersama‐sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan,
Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.

Ketentuan Peralihan
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan‐ketentuan ini. Hakim dalam
menyelesaikan perkara‐perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan
sungguh‐sungguh nilai‐nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.

Anda mungkin juga menyukai