Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata
semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan
keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah
dalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik. Suatu
perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang
harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera
dan bahagia sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu
mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan
itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat.
Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara
kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah
perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang
dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan.
Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan,
pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah
tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam
sendi-sendinya.
Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri,
timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan
hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga
yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi
pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal
yang harus ditampung dan diselesaikan.
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam tiga macam perundang-
undangan, yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh
karenanya segala perbuatan hukum dan akibat hukum dari perkawinan

1
haruslah berdasar pada ketiga perundang-undangan tersebut. Termasuk juga
dalam hal putusnya perkawinan dan akibat hukum yang ditimbulkan dari
putusnya perkawinan tersebut.
Mengenai hal tersebut, berikut penulis akan memaparkan tentang
putusnya perkawinan dan serta akibat hukum yang ditimbulkan.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
2. Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?

C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan
2. Mengetahui akibat hukum dari putusnya perkawinan

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dari sudut ilmu bahasa, kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di samping kata nikah dalam
bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “ziwaaj” untuk maksud yang sama.
Perkataan nikah mengandung 2 pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya
(haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata
“nikah” itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti kiasan berarti “akad” atau
“mengadakan perjanjian perkawinan”1.
Dalam penggunaan sehari-hari kata “nikah” lebih banyak dipakai dalam
pengertian yang terakhir yaitu dalam arti kiasan2. Para ahli ilmu “fiqh” sendiri
yaitu para imam masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut apakah dalam
pengertian “wathaa” atau “aqad” sebagaimana yang disebut di atas. Imam Asy-
Syafi’i misalnya memberi pengertian “nikah” itu dengan “mengadakan perjanjia
perikatan”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan “wathaa” atau “setubuh”.
Seperti diketahui, perbedaan para imam ini dianggap penting oleh karena akan
mengakibatkan berbedanya pendapat dalam masalah-masalah lain yang
berkenaan.
Pengertian “nikah” sebagai suatu perjanjian perikatan sesungguhnya
adalah suatu pengertian dalam ruang lingkup undang-undang. Perikatan
perkawinan sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup
bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan mereka merupakan sendi
yang utama bagi pembentukan Negara dan bangsa.3
1 Lihat Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan
Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974. hlm 11
2 Ibid. Lebih lengkap lihat: Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r.
razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189. Juga lihat Abdur Rahman Al Jazairi.
Kitaabu’l Fiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV hlm 1 dan seterusnya
3 Soedaryo Soimin ,S.H dalam bukunya Hukum Orang dan Keluarga mengatakan bahwa
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat dan Negara, sebaliknya rusak dan kacaunya hidup bersama yang bernama
keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan masyarakat.

3
Menurut Undang-undang Perkawinan pengertian Perkawinan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Perkawinan merupakan hubungan hukum yang dilakukan manusia yaitu
laki-laki dan perempuan kemudian menimbulkan hak dan kewajiban bagi satu
sama lain. Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk
selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan
tidak dapat diteruskan yang berakibat perkawinan tersebut menjadi putus.
Putusnya perkawinan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi suami dan istri
Berikut ini penulis paparkan mengenai putusnya perkawinan serta akibat
yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam.

A. Putusnya Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita
sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal
dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang
antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya
sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat putus dan
atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat dengan
tali perkawinan.

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
disebutkan sebagai berikut :
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Keputusan pengadilan.

4 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya
perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal
199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan:
a. Karena meninggal dunia,
b. Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh
tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan
belas,
c. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur
dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil,
sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
d. Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian
ketiga bab ini.

3. Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


Putusnya perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
113 sampai dengan pasal 128. Dalam pasal 113 disebutkan bahwa,
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan
pengadilan. Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan berdasarkan hukum
islam. Di dalam pasal 114 disebutkan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
KHI menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian :
A. Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak
ada dua macam yaitu :
a. Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).
b. Talak Ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
1. Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi
boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam

5
masa iddah (pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi
menjadi :
- Talak yang terjdi qabla al-dukhul;
- Talak dengan tebusan atau khulu’;
- Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI
ayat 2).
2. Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da
dukhul dan habis masa iddah (pasal 120 KHI).
3. Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang
dijatuhkan kepada seorang istri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121 KHI).
4. Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci
tapi sitri dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
B. Khuluk
Merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus
dirinya dari ikatan suaminya.
C. Li’an
Menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-
lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri
berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah
lahir dari istrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal
126 KHI).
Alasan terjadinya perceraian disebutkan dalam pasal 116 KHI:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

6
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang
berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk
agama Islam, yaitu suami melanggar taklik talak, Peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas ada tiga hal


yang sama yang menjadi sebab putusnya jalinan perkawinan yaitu, kematian,
perceraian, dan putusan pengadilan. Ketiga hal tersebut akan penulis jabarkan
penjelasannya sebagai berikut :

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian


Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia. Kematian ini tentu menimbulkan akibat hukum. Kematian
dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu
pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan. Jika
salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia dengan sendirinya
perkawinan itu terputus, pihak yang masih hidup diperbolehkan kawin lagi,
apabila segala persyaratan yang telah di tentukan oleh ketentuan yang berlaku
di penuhi sebagaimana mestinya.
UUPK tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan
hilangnya atau dianggap meninggalkan seseorang itu, melihat KUHPerdata
Pasal 493 ada dinyatakan bahwa apabila selain terjadinya meninggalkan tempat
tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri selama genap sepuluh
tahun tidak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau
matinya pun tidak pernah diperolehnya, maka istri atau suami yang

7
ditinggalkannya atas izin dari Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri
bersama berhak memanggil pihak yang tidak hadir tadi dengan tiga kali
panggilan umum berturut-turut dengan cara seperti yang di atur dalam Pasal
467 dan 468.5
Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, yang dimaksudkan dengan Pasal 467
KUHPerdata yang disebutkan oleh pasal tersebut diatas ialah ketentuan yang
berkenaan dengan di anggap meninggalnya seseorang dimana antara lain
disyaratkan paling tidak ada kabar beritanya untuk masa lima tahun atau lebih,
yakni jangka terakhir terdengar berita orang masih hidup, pengadilan akan
memanggil orang yang mengatakan hal ersebut melalui sebaran umum untuk
menghadap dalam waktu tiga bulan, panggilan ini akan diulangi tiga kali jika
panggilan yang pertama dan kedua tidak mendapatkan sambutan maka setelah
itu barulah pengadilan akan membuat suatu ketetapan tentang telah
dianggapnya meninggalnya orang itu.6

2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian


Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami
dan istri.7 Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali
tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan
tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai
satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses
dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama (Undang-undang

5 Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kristis Perkembangan hukum
Islam dari fikh, UU NO. 1 tahun 1997 sampai KHI, (jakarta: Kencana, 2006), hlm. 216-217
6 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian dimalaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni,
1982) , hlm 291
7 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) , hlm. 18.

8
N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi pemeluk agama
non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Negeri.
Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama
maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya
campur-tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan
sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum,
maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.8
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan
di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan
bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun
karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah
pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan
ini.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal
39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat
beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan
perceraian, yaitu:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-
turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;

8 Sigit Budhiarto, Putusnya Perkawinan. Embedhttp: // www.slideshare.net /sigit


budhiarto/putusan-perkawinan.

9
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain;
- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta
perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian
ditandatangani oleh panitera kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan
perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan
pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku
register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa
perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung
sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian,
yaitu:
a. zinah,
b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri
terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan
jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-
luka yang membahayakan.

Dalam hukum Islam setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat


terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya
perceraian yaitu:
a. Terjadinya Nusyuz Dari Pihak Istri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya.
Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan
hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka dalam
hal ini dapat diselesaikan dengan (1) istri diberi nasihat dengan cara yang
ma’ruf, (2) pisah ranjang, apabila dengan cara ini tidak berhasil maka

10
langkah berikutnya adalah (3) memberi hukuman fisik dengan cara
memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh dipukul hanyalah bagian
yang tidak membahayakan si istri seperti betisnya.
b. Nusyuz Suami Terhadap Istri
Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari
pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir
maupun nafkah batin, suami tidak memperlakukan istrinya dengan cara
yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik
maupun mental. Jika suami melalaikan kewajibannya berulang kali dan
istrinya mengingatkanya namun tetap tidak ada perubahan maka istri
diminta untuk lebih bersabar dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk
sementara waktu. Semua itu bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
c. Terjadinya Syiqaq
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh
alasan syiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan bahwa syiqaq
adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk
sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan
harus melalui beberapa proses.
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah
dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.

3. Putusnya Perkawinan Karena Putusan Pengadilan


Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena
adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga
perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk
kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian membawa akibat yang luas
bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi
anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena
adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota
keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua
calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan
perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’

11
atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam
Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila
dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang
menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau
memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam,
perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan
seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan.
Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul
sebagai akibat hukum perceraian itu.

B. AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN


Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang
suami dengan seorang istri yaitu sebagai berikut :
1. Akibat Hukum Putus Perkawinan Karena Kematian
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak
mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat
penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan
seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah,
hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya
juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima
waris.
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak
mewarisi antara suami dan istri, suami memperoleh bagian dari harta
warisan istrinya, tidak mungkin terhalang oleh siapa pun dan tidak pernah
menghalangi ahli waris lain, akan tetapi bagian suami bisa berbeda antara
ada anak dari istri atau tidak ada anak. Jika istrinya mempunyai anak, maka
suami mendapat bagian warisan ¼ dan bila istrinya tidak mempunyai anak
maka suami mendapat ½ dari harta warisan. Sedangkan istri tidak pernah
terhalang mendapat harta warisan dan tidak pernah menghalangi orang lain
untuk mendapat harta warisan akan tetapi bagian warisan istri bisa
berkurang menjadi 1/8 karena ada anak dari suami dan jika tidak ada anak

12
dari suaminya, maka istri mendapat ¼.9 Apabila perkawinan putus karena
kematian Pasal 39 (a) PP Perkawinan ketetapan ini berlaku bagi istri yang
ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya bila istri
yang ditinggal dalam keadaan hamil waktu tunggunya adalah sampai
melahirkan.10
Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam
pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum
yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan
sengketa di antara ahli waris.11
Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau
hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai
kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian
wasiat.12
Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil
untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi,
yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta
peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta
warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta
benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya
perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di
saat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan
dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara
khusus.

9 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.88

10 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: ZAHIR Trading, 1975) , hlm.46

11 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39

12 Ibid, hal. 21

13
Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak
mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan
tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan.

Ditinggal Mati Suami


Kalau perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka sitri
menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-
anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu
pasal 157 KHI, harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana
disebut dalam pasal 96 dan 97. Pasal 96 KHI menjelaskan ikatan
perkawinan yang putus karena salah seorag pasangan suami istri meninggal
sehingga pembagian harta bersama dibagikan oleh ahli waris berdasarka
proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup.
Pembagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta
itu ada. Namun, bila harta bersama belum ada, karena kelangsungan ikatan
perkawinan sangat singkat, maka pihak yang masih hidup tidak dapat
bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai akibat cerai hidup,
maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda cerai masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
Selain itu, perlu juga dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya
salah seorang suami istri, baik istri atau suami yang hilang adalah
pembuktian autentik yang dapat diterima oleh berbagai pihak secara hukum.

2. Akibat Hukum Perceraian


Diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 inpres No 1
Tahun 1991. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu :
a. Akibat talak
b. Akibat perceraian
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang
maupun benda.

14
- Memberi nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama
dalam masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in dan dalam
keadaan tidak hamil.
- Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qabla al dukhul.
- Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Yang menjadi hak suami terhadap istrinya melakukan rujuk kepada bekas
istrinya yang masih dalam masa iddah. Waktu tunggu atau masa iddah bagi
seorang janda ditentukan sebagai berikut :
- Perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul waktu
tunggu ditetapkan 130 hari
- Perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bai yang masih haid
ditetapkan tiga kali suci sekurang-kurangnya Sembilan puluh hari dan
bagi yang tidak haid juga ditetapkan Sembilan puluh hari
- Perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam
keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan.
- Perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan (pasal
153 ayat 2 inpres Nomor 1 Tahun 1951).
- Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
- Bagi perkawinan yang putus karena perceraian tenggang waktu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Yang menjadi kewajiban istri yang di talak oleh suaminya dalam masa iddah
adalah :
a. Menjaga dirinya.
b. Tidak menerima pinangan.
c. Tidak menikah dengan pria lain
Sedangkan yang menjadi hak istri dalam masa iddah mandapatkan nafkah
iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 156
inpres Nomor 1 tahun 1991 ada tiga akibat putusnya perkawinan karena
perceraian yaitu :
a. Terhadap anak-anaknya

15
b. Terhadap harta bersama
c. Terhadap muth’ah
Ada tujuh akibat putusnya perkawinan terhaap anak-anaknya karena
perceraian yaitu :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya
kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh :
- Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
- Ayah
- Wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
- Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
b. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih hadanah dari ayah dan
ibunya
c. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama
dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunya
hak hadanah pula.
d. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan anaknya dan pemilikan
anaknya yang tidak turut padanya (pasal 156 inpres Nomor 1 tahun 1991)

Dalam pasal 41 UU Nomor 1 tahun 1974 disebutkan tiga akibat putusnya


perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak itu.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suamiuntuk membiayai
penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

Bagi suami atau istri yang khusus karena talak dan perceraian berhak
mendapatkan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama dalam perkawinan hak suami dalam harta bersama sebagian dari
harta bersma itu begitu juga istri mendapatkan bagian yang sama besar
dengan suami.
Disamping itu, kewajiban lain dari bekas suami adalah memberikan
muth’ah kepada bekas istrinya. Muth’ah adalah berupa pemberian bekas

16
suami kepada istri yang dijatuhi talak baik benda atau uang dan yang
lainnya. Syarat pemberian muth’ah ini adalah :
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul
b. Perceraian itu atas kehendak suami
c. Pemberian muth’ah yang dilakukan oleh bekas suami kepada istrinya
diberikan tanpa syarat apapun.

3. Akibat Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai
beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a.) Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b.) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al-dukhul.
d.) Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai 21 tahun.

Akibat Perceraian (cerai gugat)


Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan
gugatan yang dimaksud, sehingga putus hubungan penggugat (istri)
dengan tergugat (suami) perkawinan.
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai
akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti
oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu

17
6. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada
kerabat lain yang memiliki hak hadanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak,
putusan hadanah memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan
(d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut kepadanya.

Akibat Khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan
yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk
membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah
perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan
atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu,
khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk men gurangi jumlah
talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang
berbunyi “perceraian dengan khulu’ mengirangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk”

Akibat li’an
Perceraian yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang
putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang
dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an.
Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut :

18
Bila mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan
anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya
terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

19
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang
wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian,
keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan
antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis
hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun
yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak,
pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila
putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara
perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali
terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang
diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri)
yang masing-masng diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI
untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat,
Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan
alasan zina.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa peran pengadilan pasif
hanya bersifat pasif, hanya untuk melegalkan ikrar talak. Tetapi pada
dasarnya peran pengadilan sangatlah efektif untuk mencegah adanya
perceraian dan untuk meluruskan keluarga yang bertikai. Yang menarik dari
perkembangan hukum perceraian adalah diman Undang-Undang dalam
kasus perceraian apakah melalui talak atau cerai gugat telah menempatkan
laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat
mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang
menentukan dapat atau tidaknya perceraian itu terjadi dengan
mempertimabngkan hal-hal tertentu.

20
2. Saran
Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan akibat
hukumnya serta tatacara perceraian yang telah penulis paparkan guna
memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari
sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan


Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: ZAHIR Trading, 1975)


, hlm.46

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2012), hlm.88

Sigit Budhiarto, Putusnya Perkawinan. Embedhttp: // www.slideshare.net /sigit


budhiarto/putusan-perkawinan.

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) ,


hlm. 18

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian dimalaysia dan Indonesia,


(Bandung: Alumni, 1982) , hlm 291

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kristis


Perkembangan hukum Islam dari fikh, UU NO. 1 tahun 1997 sampai KHI,
(jakarta: Kencana, 2006), hlm. 216-217

Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan


Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974. hlm 11

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

22
HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBAT HUKUM


PERSPEKTIF UU, NO. 1 TAHUN 1974, KUHPerdata dan KHI

Dosen Pembimbing :
DR. M. MUHIBBIN., SH., MH.

Disusun Oleh :
1. M ZAHIR FIKRI : 21902022015
2. MUHAMMAD ZAINI : 21902022013
3. IMAM WAHYUDIN : 21902022014
4. ZAIN MAULANA HUSEIN : 21902022020
5. RHAHMA HASTA A : 21902022016
6. RISALATIN NUR FITRI : 21902022012
7. NOVITA RISKA RATIH : 21902022019
8. Hfhgfhgfgf :

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS ISLAM MALANG

23
2019
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
BAB III TEMUAN........................................................................................... 21
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 23
Daftar Pustaka .................................................................................................. 25

24
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibat Hukum
Perspektif UU, NO. 1 TAHUN 1974, KUHPerdata dan KHI.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca.

Malang, 10 Oktober 2019

Penyusun

25

Anda mungkin juga menyukai