Kata Nikah (حð )نatau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa
Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan ()زواج. Nikah artinya suatu akad
yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara
keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang
dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan
keturunan.
Imam Maliki
Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang kemudian menjadikan hubungan
seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak serta majusi menjadi halal
dengan shighat.
Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi pernikahan adalah seseorang memperoleh hak untuk melakukan
hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dalam hal ini, perempuan yang dimaksud ialah
seseorang yang hukumnya tak ada halangan sesuai dengan syar’i untuk dinikahi.
Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan
lafadz nikah, tazwij ataupun lafadz lain dengan makna serupa.
Imam Hambali
Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya,
akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim.
Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang telah disampaikan oleh keempat imam
tersebut memiliki kandungan makna yang hampir sama. Adapun kesamaan yang dimaksud
adalah mengubah hubungan di antara laki-laki serta perempuan yang sebelumnya tidak halal
menjadi halal dengan akad atau shighat.
https://an-nur.ac.id/pengertian-nikah-hukum-pernikahan-meminang-atau-khitbah-dan-melihat-calon-
istri-atau-suami/
https://www.gramedia.com/literasi/ayat-tentang-pernikahan/
“Dari Abdullah Ibn Mas’ud berkata: Rasululah telah bersabda kepada kami;
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka
menkahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapayang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa, karena berpuasa dapat menekan hawa nafsu” (Muttafaqun ‘Alaih)
Sebagai umat yang menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, maka menurut
adanya kepatuhan, rasa cinta dan keimanan kepada Allah dan Rasulnya.
Adapun dasar huku perkawinan dalam Islam adalah bersumber daridalil Al-
qur’an surat An-nahl ayat 72:
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS An-nahl : 72)[3]
Berdasarkan ayat diatas jelaslah bahwa perintah atau anjuran menikah adalah
perintah Allah dan menjadikan sesuatu itu dengan berpasang-pasangan,
dengan adanya perkawinan maka Allah akan memberikan rizki atau karunia
kepada manusia yang dianggap baik untuk menerimanya.
“Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: ”Wanita dinikahi karena empat hal,
karena hartanya, keturunanya, kecantikanya, dan karena agamanya. Maka
pilihlah wanita karena agamanya, maka kamu akan beruntung” (Muttafaqun
alaih)
1. Fardu, hukum nikah fardu pada kondisi seseorang yang mampu biaya
wajib nikah yakni biaya nafkah dan biaya mahar dan adanya percya
diri bahwa dia dapat mengakaan keadilan dalam pergaulan dengan istri
ykni pergaulan dengan baik.
2. Wajib, hukum wajib menikah bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaaya nikah, mampu mengakan keadilan dalam
pergaulan dengan istri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan
kut akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah.
3. Haram, hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiyayaan jika ia
menikah.
4. Makruh, nikah makruh bagi orang yang dalam kondisi
campuran.seseorang mempunyai kemampuan serta biaya nikah dan
tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi
penganiyaan istri yang tidaksampai ketingkat yakin. [6]
terdapat 5 rukun nikah yang disepakati ulama dan wajib dipenuhi agar pernikahan dinyatakan sah,
yakni:
Terdapat calon pengantin laki-laki dan perempuan yang tidak terhalang secara syar'i untuk menikah
Ada wali dari calon pengantin perempuan
Dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil untuk menyaksikan sah tidaknya pernikahan
Diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan atau yang mewakilinya
Diucapkannya kabul dari pengantin laki-laki atau yang mewakilinya. Persaksian akad nikah tersebut
berdasarkan dalil hadis secara marfu: "Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi
yang adil." (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).
Lihat Juga :
Agar Bahagia, Siapkan Dua Hal Sebelum Menikah
Syarat Nikah
Pernikahan harus memenuhi unsur sebagai berikut:
1. Beragama Islam
Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan orangnya. Bahkan, tidak
sah jika seorang muslim menikahi nonmuslim dengan tata cara ijab kabul Islam.
2. Bukan mahram
Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar perkawinan bisa dilaksanakan.
Selain itu, sebelum menikah perlu menelusuri pasangan yang akan dinikahi.
Misalnya, sewaktu kecil dibesarkan dan disusui oleh siapa. Sebab, jika ketahuan masih saudara
sepersusuan maka tergolong dalam jalur mahram seperti nasab yang haram untuk dinikahi.
"Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: 'Perempuan tidak boleh menikahkan
(menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya." (HR. ad-Daruqutni dan
Ibnu Majah).
Jika wali nasab dari keluarga tidak ada, alternatifnya adalah wali hakim yang syarat dan
ketentuannya pun telah diatur.
4. Dihadiri saksi
Syarat sah nikah selanjutnya adalah terdapat minimal dua orang saksi yang menghadiri ijab kabul,
satu bisa dari pihak mempelai wanita dan satu lagi dari mempelai pria.
Mengingat saksi menempati posisi penting dalam akad nikah, saksi disyaratkan beragama Islam,
dewasa, dan dapat mengerti maksud akad.
Hal ini juga ditegaskan seorang ulama bermazhab Syafii dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib yang
menyebut salah satu larangan dalam haji adalah melakukan akad nikah maupun menjadi wali dalam
pernikahan:
( بوكالة أو والية )و،الثامن (عقد النكاح) فيحرم على المحرم أن يعقد النكاح لنفسه أو غيره
"Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu akad nikah. Akad
nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi
wali)"
6. Bukan paksaan
Syarat nikah yang tak kalah penting adalah mendapat keridaan dari masing-masing pihak, saling
menerima tanpa ada paksaan. Ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah ra:
"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai pendapat, dan
tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya." (HR Al Bukhari: 5136, Muslim: 3458).
Demikian rukun dan syarat nikah yang perlu diketahui pasangan yang hendak melangsungkan
pernikahan.
Baca artikel CNN Indonesia "Rukun dan Syarat Sah Nikah dalam Islam" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211004181808-289-703269/rukun-dan-syarat-
sah-nikah-dalam-islam.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211004181808-289-703269/rukun-dan-syarat-sah-nikah-
dalam-islam
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18494&menu=2
Kedudukan pernikahan dalam Islam sangat penting. Namun demikian,
ternyata ada beberapa perkara dalam pernikahan yang dapat batal baik
disengaja maupun tidak disengaja. Perkara-perkara apa saja yang dapat
membatalkan pernikahan tersebut? Pernikahan atau menikah merupakan
suatu jalan yang paling afdhal dan paling bermanfaat dalam upaya untuk
menjaga kehormatan diri. Karena hukum pernikahan dapat menghindarkan
kita dari hal-hal yang dilarang dan diharamkan Allah Subhanahu wa ta'ala..
Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menganjurkan untuk segera mempercepat pernikahan bagi mereka yang
telah mampu, baik lahir maupun batin. Baca Juga Ingin Menikah? Inilah 9
Hadis tentang Pernikahan yang Menganjurkannya Dengan pernikahan,
gejolak biologis dalam diri manusia dapat tertuntaskan. Selain merupakan
sebuah ibadah, menikah bertujuan untuk menciptakan generasi Islami yang
shaleh dan shalehah. Tentu saja di balik itu, Allah menjanjikan ganjaran yang
amat mulia bagi mereka yang dapat menjalani ibadah pernikahan dengan
baik. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Benarkah kalian telah
berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang
paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku
berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan kedudukannya yang sangat
penting ini, Islam memberikan syarat-syarat sah yang wajib dipenuhi ketika
akan melangsungkan pernikahan tersebut. Namun demikian, ternyata ada
beberapa perkara dalam pernikahan yang dapat batal baik disengaja maupun
tidak disengaja. Yang mengkhawatirkan, pembatalan pernikahan tersebut
sering kali tidak disadari. Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa
pembatal pernikahan yang sering tidak disadari itu, antara lain: 1. Ada syarat
sah nikah yang tidak dipenuhi Bilamana ada salah satu syarat sah nikah ada
yang tidak terpenuhi dan baru diketahui, maka saat itu juga pernikahannya
batal dan tidak boleh dilanjutkan. Syarat sah menikah di antaranya: -
Mempelai wanita harus benar-benar orang yang halal dinikahi. - Ada wali
yang menikahkan. - Dihadiri dua orang saksi laki-laki muslim, baligh, berakal,
serta mendengar dan memahami ucapan ijab-qabul. 2. Tidak ada izin dari
pengantin wanita Pernikahan bisa batal, bila pernikahan itu tidak mendapat
restu dari pengantin wanita atau saat dia dipaksa oleh walinya. Ini pernah
terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, ada
seorang wanita pernah mengadu kepada Rasulullah ketika dirinya dipaksa
menikah dengan seseorang laki-laki. Kemudian Rasulullah memberikan
pilihan untuk melanjutkan atau menghentikan pernikahannya. Baca Juga
Keutamaan Menjauhi Dosa-dosa Besar 3. Ada hal-hal yang membatalkan
akad nikah Pernikahan dianggap batal apabila ada hal-hal yang membatalkan
akadnya. Misalnya, baru diketahui bahwa antara suami dan istri tersebut
ternyata memiliki ikatan saudara sepersusuan atau mahram. Kemudian juga
ketika baru diketahui bahwa si perempuan masih memiliki ikatan perkawinan
dengan orang lain atau masih dalam masa idahnya. 4. Murtad (baik calon
suami atau istri keluar dari agama Islam) Hal ini kerap kali berkaitan dengan
unsur penipuan. Misalnya ketika, seorang suami yang semula beragama non-
Islam kemudian masuk Islam hanya untuk menikahi istrinya. Lalu suami
kembali memeluk agamnya lamanya, maka secara langsung perkawinan
tersebut batal. Tanpa memerlukan persidangan,secara otomatis ikatan
perkawinan antara keduanya batal. 5. Zihar Zihar adalah ketika seseorang
suami menyamakan istri dengan ibunya sehingga haram atasnya. Dikatakan
salah satunya contohnya ketika suami mengatakan, “Punggungmu seperti
punggung ibuku.” Ketika suami mengatakan hal tersebut atau semacamnya,
maka telah jatuh talak atas istrinya, sehingga ia wajib membayar kafarat zihar.
6. Khuluk (talak tebus) Khuluk atau talak tebus adalah talak yang diucapkan
oleh seorang suami disertai pembayaran dari pihak istri kepada suaminya.
Talak ini biasanya merupakan permintaan dari pihak istri sehingga
diperbolehkan ketika istri dalam keadaan haid sekalipun.
https://kalam.sindonews.com/read/554264/72/perkara-perkara-yang-dapat-membatalkan-pernikahan-
1632895777
Melansir buku Hukum Perceraian oleh Muhammad Syaifuddin, talak secara bahasa berarti
lepas atau bebas. Dalam artian istilah, talak yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafaz talak atau sejenisnya.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu, talak termasuk perkara yang
dibenci Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Umar RA,
Artinya: "Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak." (HR Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan dalam Tafsir Al Munir, meskipun talak adalah hal yang
diperbolehkan dalam Islam, tetap hal itu harus dihindari kecuali sudah mencapai kondisi darurat
atau hajat.
"Meskipun talak adalah hal yang boleh dan mubah serta berada di tangan suami, namun ia
mesti menjauhinya dan tidak melakukannya kecuali ketika adanya suatu hal yang mencapai
tingkatan darurat atau hajat, harus dilakukan secara terpisah dan tidak boleh lebih dari satu
talak sekaligus serta dilakukan ketika suasana hati dan pikiran dalam keadaan normal," jelas
Wahbah az-Zuhaili.
Hukum Talak
Dalam buku Hadis Ahkam: Perkawinan, Nafkah, Hadanah, Waiyat dan Peradilan, dikatakan
mengenai hukum talak yang terdapat perbedaan pandangan. Ulama Ibnu Abidin berpendapat
bahwa talak adalah mubah, dengan mengambil dalil dari firman Allah SWT dalam surah At-
Talaq ayat 1.
ٰٓي َاُّيَه ا الَّن ُّي ِاَذ ا َط َّلْقُتُم الِّن َس ۤا َء َف َط ِّلُقْو ُهَّن ِلِع َّد ِت َّن َو َاْح ُصوا اْلِع َّد َۚة
ِه ِب
Artinya: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu."
Artinya: "Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika kamu menceraikan istri-
istrimu."
Mazhab Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa talak merupakan perbuatan yang seharusnya
dihindari, kecuali ada penyebab yang mengharuskannya. Dalil yang dijadikan landasan adalah
hadits Nabi SAW, "Allah melaknat orang yang tukang mencicipi dan mentalak."
Talak berarti tidak bersyukur atas nikmat yang diberi Allah SWT, yang mana pernikahan
merupakan suatu nikmat dari-Nya.
Ulama mazhab Syafi'i dan Maliki mengemukakan hukum talak yaitu jaiz atau boleh, tetapi lebih
baik dihindari.
Jika kata-kata tersebut diucapkan suami kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Baik diniatkan
maupun tidak, dan dalam keadaan bercanda atau serius.
Baca juga:
3 Hak Istri yang Jadi Kewajiban Suami, Nafkah Harta - Jaminan Rasa Aman
Lafaz yang Diucapkan dengan Kiasan
Pada lafaz itu terkandung makna talak dan arti lainnya. Bila kata kiasan diucapkan suami
kepada istrinya, maka ada dua kemungkinan. Jika suami meniatkan cerai maka talaknya telah
jatuh, dan bila ia tidak berniat maka talak tidak berlaku.
Ucapan talak kiasan seperti: 'Aku telah melepaskanmu', 'Engkau telah dilepaskan', 'Aku telah
berpisah darimu', 'Engkau dipisahkan', 'Pergilah kepada keluargamu'.
Baca artikel detikhikmah, "Talak dalam Islam: Pengertian, Dalil, Hukum, dan Lafaznya"
selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/muslimah/d-6428849/talak-dalam-islam-
pengertian-dalil-hukum-dan-lafaznya.
https://www.detik.com/hikmah/muslimah/d-6428849/talak-dalam-islam-pengertian-dalil-hukum-dan-
lafaznya
Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan pernikahan jika seorang
suami memutuskan untuk rujuk dengan istrinya keduanya tidak perlu melangsungkan
akad nikah[1]. Merujuk ialah mengambil kembali istri yang sudah ditalak[2]. Merujuk
artinya bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa
menunggu (iddah).[3] Merujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali
kepada isterinya (talak), yakni di antara talak satu atau dua.[3]
Syarat rukun rujuk, jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad
nikah yang baru karena akad yang lama belum terputus, pernikahan awal dilakukan sakral
dan Sah disaksikan oleh para saksi serta banyak umat Muslim, sedangkan
secara hukum negara, agama, adat dibuktikan dengan adanya akta pernikahan dalam Islam yakni
Sertifikat Kursus Calon Pengantin yang mutlak milik penerima Sakral yang Sah yaitu suami, yang
dikeluarkan oleh Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan masa sekarang,
masih utuh tidak tercabut. Dan juga tidak dibenarkan perkara buku nikah suami-istri Dipegang,
Dikemudikan oleh orang lain[3].
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan
kepada pandangan ulama fiqh rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus
itu dipahami dari firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228. Untuk sahnya
tindakan rujuk hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh suami[4].
Persyaratan merujuk[sunting | sunting sumber]
Ada beberapa syarat yang menjadikan merujuk sah:
1. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya yang
belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah
persetujuan (ijmak) para ulama‟.[5]
2. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak (talaktalak raj‟i).[5]
3. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak talak bain
atau tidak dapat merujuk lagi istrinya.[5]
4. Merujuk untuk rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah
pernikahan yang sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak
berhak untuk merujuk. Ini hanya merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama fiqih.[5]
Hukum[sunting | sunting sumber]
Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat ketentuan-ketentuan
yang mengatur masalah rujuk, demikian juga halnya di dalam Peraturan Presiden No 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974[6].Valid ketentuan hak khusus
yang di pergunakan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228
ditetapkan tentang rujuk.
Konpetensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan
daerah hukum, Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-
batas wilayah hukumnya.
Batasan untuk menentukan kompetensi relatif merujuk kepada pasal 118 HIR, 142 RBG atau pasal
99 Rv. Agar gugatan memenuhi syarat Kompentensi relatif: gugatan harus diajukan kepengadilan
domisili TERGUGAT, tidak sah gugatan tersebut diajukan ke PENGUGAT.
Dasar terpenting dalam mengajukan Gugatan adalah Menentukan tempat tinggal Tergugat
Berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru terdaftar dan Aktif, Kartu Keluarga Sesuai KTP
juga terbaru terdafta Aktif, Surat pajak sesuai Kartu Keluarga dan KTP juga terdaftar Aktif, apabila
dasar terpenting ini Tidak terdafta pada Dinas Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil, Direktorat Jendral Pajak maka gugat tersebut tidak Sah, terkategori status gugat dari
gugatan Perdata menjadi tindakan Pidana memalsukan identitas Tergugat atau/dan Pengugat[7],
yang di atur dalam Undang-undang KUHP pasal 263, Pasal 266 KUHP merupakan yang mengatur
tentang pemalsuan identitas[8], untuk terealisasinya Pidana tersebut telah diatur dalam Pasal 108
KUHAP sebagai berikut "Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana segera melaporkan hal itu
kepada penyelidik atau penyidik" pegawai negeri sipil di BPU, Badan Pengadilan Agama, BPM,
BPTUN memiliki kewajiban baik secara hukum maupun secara sebagai manusia yang bersifat
kemanusiaan untuk segera melaporkan/atau pengaduan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai Penegakan hukum di Indonesia agar supaya sesegera mungkin di buat Laporan
Polisi (LP) untuk mendapatkan kepastian hukum dan untuk membuka keadilan yang seadil adilnya
oleh hakim ...
"yang seadilnya adilnya dalam surat At-tin ayat (8) adalah Allah merupakan hakim yang paling adil,
karena di akhirat nanti setiap-tiap manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa
yang telah dilakukannya selama di dunia dengan perhitungan yang paling adil",
dan juga harus dilakukan lidik hingga sidik oleh Polisi sampai dilimpahkan ke Pengadilan
Tinggi atau Pengadilan Negeri apabila telah terbukti oleh Polri yang membidangi/atau menangani
kasus tersebut Bid krimum/atau krimsus Kepolisian,
karena apabila tidak segera ditindak lanjuti Penindasan, zalim terhadap korban penindasan,
kezaliman akan semakin lama terasakan oleh korban, karena perbuatan manusia yang tidak
memiliki Akhlak serta hati yang suci[9][10]. Terkecuali telah terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), tergugat pemakai pengedar narkoba, perselingkuhan hingga melakukan pernikahan baru
tampa seijin istri/suami yang pertama, Perceraian itu adalah Terbaik[11].
Pada dasarnya hukum merujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum merujuk dapat berkembang
menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. [12] Dan
perubahan hukum merujuk untuk rujuk dapat menjadi sebagai berikut:[12]
1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai
(talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.[3][12] Maksudnya adalah, seorang
suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya.[3][12] Apabila
belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.[3][12]
2. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian. [3][12]
3. Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat
dibanding mereka merujuk kembali, catatan: tidak memiliki anak dibawah umur 12 tahun. [3][12]
4. Haram, yaitu apabila dengan adanya merujuk si istri semakin menderita, catatan: selama
berumah tangga suami tidak pernah memberikan nabkah terhadap istrinya[3][12]. Maka istri
diperbolehkan meminta cerai kepada suaminya dengan cara Khulu[13].
Secara hukum negara penolakan rujuk oleh istri dapat terealisasi bilamana minimal 3 (tiga) alasan
dapat dibuktikan dengan bukti yang sebenarnya, secara tertulis dan minimal menghadirkan 2 (dua)
orang saksi dihadapan Ketua Hakim persidangan, serta tidak ada sanggahan jawaban dari sang
suami secara tertulis dan dibenarkan oleh suami tersebt dihadapan persidangan yang sakral, dan
juga tanpa tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 118HIR dan pasal 142 ayat 1-5 R.BG,
sebagai dasar utama ketentuan formulasi yang sah menurut Hukum di Indonesia dan juga Hukum
Islam di Indonesia didasarkan dari berbagai ketentuan yang terserak[14].