Anda di halaman 1dari 21

Pengertian Nikah

Kata Nikah (‫ح‬ð‫ )ن‬atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa
Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (‫)زواج‬. Nikah artinya suatu akad
yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara
keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.

Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang
dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan
keturunan.

Imam Maliki
Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang kemudian menjadikan hubungan
seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak serta majusi menjadi halal
dengan shighat.
Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi pernikahan adalah seseorang memperoleh hak untuk melakukan
hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dalam hal ini, perempuan yang dimaksud ialah
seseorang yang hukumnya tak ada halangan sesuai dengan syar’i untuk dinikahi.

Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan
lafadz nikah, tazwij ataupun lafadz lain dengan makna serupa.

Imam Hambali
Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya,
akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim.

Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang telah disampaikan oleh keempat imam
tersebut memiliki kandungan makna yang hampir sama. Adapun kesamaan yang dimaksud
adalah mengubah hubungan di antara laki-laki serta perempuan yang sebelumnya tidak halal
menjadi halal dengan akad atau shighat.
https://an-nur.ac.id/pengertian-nikah-hukum-pernikahan-meminang-atau-khitbah-dan-melihat-calon-
istri-atau-suami/

https://www.gramedia.com/literasi/ayat-tentang-pernikahan/

Dasar disyariatkana perkawinan terdapat firman Allah dalam Al- Qur’an,


diantarana QS. Ar-rum ayat 21

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (QS: Ar-rum : 21)[1]

Berdasarkan ayat diatas, bahwa perkawinan memang mempunyai dasar hukum


yang bersumber dari firman Allah SWT yaitu Al-qur’an dan Hadis Nabi
Muhammad SAW, jelas bahwa Islam mensariatkan adanya perkawinan yang
diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud RA yang berbunyi:

“Dari Abdullah Ibn Mas’ud berkata: Rasululah telah bersabda kepada kami;
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka
menkahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapayang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa, karena berpuasa dapat menekan hawa nafsu” (Muttafaqun ‘Alaih)

Sebagai umat yang menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, maka menurut
adanya kepatuhan, rasa cinta dan keimanan kepada Allah dan Rasulnya.
Adapun dasar huku perkawinan dalam Islam adalah bersumber daridalil Al-
qur’an surat An-nahl ayat 72:

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS An-nahl : 72)[3]
Berdasarkan ayat diatas jelaslah bahwa perintah atau anjuran menikah adalah
perintah Allah dan menjadikan sesuatu itu dengan berpasang-pasangan,
dengan adanya perkawinan maka Allah akan memberikan rizki atau karunia
kepada manusia yang dianggap baik untuk menerimanya.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang


perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula
dorongan seorang perempuan dalam memilih laki-laki untuk pasangan
hidupnya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam hadisnya yang berbunyi:

“Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: ”Wanita dinikahi karena empat hal,
karena hartanya, keturunanya, kecantikanya, dan karena agamanya. Maka
pilihlah wanita karena agamanya, maka kamu akan beruntung” (Muttafaqun
alaih)

Yang dimaksud agama disini adalah kesungguhanya dalam


menjalankan ajaran agamanya, ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang
akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu
ketika dapat pudar. Dari hadis diatas adanya kebolehan seseorang untuk
menikah dengan melihat dari latar belakang kekayaan pasanganya tetapi itu
bukanlah anjuran yang utama dianjurkan oleh Rasulullah.

Segolongan Fuqoha yakni jumhur berpedapat bahwa nikah itu


hukumnya sunnah. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian untuk
sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainya dan mubah untuk golongan
lainya. Demikian menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran
(kesusahan) dirinya. Ulama Syafi’I mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah
mubah, disamping adanya sunnat, wajib, haram dan makruh. [5]

1. Fardu, hukum nikah fardu pada kondisi seseorang yang mampu biaya
wajib nikah yakni biaya nafkah dan biaya mahar dan adanya percya
diri bahwa dia dapat mengakaan keadilan dalam pergaulan dengan istri
ykni pergaulan dengan baik.
2. Wajib, hukum wajib menikah bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaaya nikah, mampu mengakan keadilan dalam
pergaulan dengan istri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan
kut akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah.
3. Haram, hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiyayaan jika ia
menikah.
4. Makruh, nikah makruh bagi orang yang dalam kondisi
campuran.seseorang mempunyai kemampuan serta biaya nikah dan
tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi
penganiyaan istri yang tidaksampai ketingkat yakin. [6]

UU Perkawinan merupakan perwujudan dari negara Indonesia


sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 dan negara yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagaimana termuat pada Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945. Oleh karenanya pada kehidupan masyarakat
Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam,
syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu bagi
orang Hindu. Untuk menjalankan syariat tersebut, diperlukan
perantaraan kekuasaan negara. Maka, dalam UU Perkawinan
dasar hukum yang digunakan tidak lain adalah Pasal 29 UUD
1945, sehingga setiap pasal-pasal yang ada di dalam suatu
norma harus dijiwai dan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Artinya, semua ketentuan
(termasuk perkawinan) harus sesuai dengan Pasal 29 UUD
1945 yang menjadi syarat mutlak.
Demikian keterangan yang disampaikan Neng
Djubaedah sebagai Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait, dalam sidang lanjutan
pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rabu (7/9/2022). Sidang
permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan
oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk
agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan
beragama Islam.
Lebih lanjut Neng menyebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), akad perkawinan menjadi sah setelah memenuhi
syarat perkawinan, di antaranya bagi calon mempelai laki-laki
beragama Islam dan calon mempelai perempuan beragama
Islam, di antara mereka tidak terdapat halangan untuk
melangsungkan perkawinan atau halangan perkawinan
karena perbedaan agama. Sehingga larangan perkawinan
karena perbedaan agama bagi orang Islam di Indonesia
terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang
dihubungkan dengan Pasal 8 huruf f, Pasal 40 hururf c, dan
Pasal 44 KHI.
“Menurut hukum Islam, perkawinan itu merupakan ibadah,
maka perlindungan terhadap orang Islam dalam
melaksanakan ibadah melalui pelaksanaan perkawinan
tersebut terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Perkawinan itu berkaitan dengan tatanan masyarakat.
Perkawinan itu harus seagama, sebab dengan itu maka tidak
ada pemaksaan terhadap satu pada yang lainnya untuk
menjalankan agama lainnya tersebut,” jelas Neng pada
Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan
didampingi delapan hakim konstitusi.

Sistem Hukum yang Terawat


Pada kesempatan yang sama, MUI juga
menghadirkan Muhammad Amin Suma sebagai ahli. Amin
menjelaskan peraturan perundang-undangan tertulis yang
mengatur perkawinan. Beberapa di antaranya adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam Buku I.
Menurut Amin, UU Perkawinan memiliki irisan dan urusan
dengan sistem hukum yang hidup (fiqh al-hayâh; leaving law)
dan terawat oleh dan di tengah-tengah masyarakat hukum
Indonesia. Termasuk ke dalam sistem hukum yang hidup dan
terawat dalam konteks ilmu dan praktik hukum di Indonesia
ialah hukum agama di samping hukum adat.
“Eksistensi dan peran/fungsi hukum agama termasuk untuk
tidak mengatakan terutama hukum Agama Islam
(syariat/fikih), mendapat kedudukan/tempat serta jaminan
dan perlindungan hukum yang kuat dalam tata hukum
(peraturan perundang-undangan) maupun praktek
ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia. Di antara
contoh kasusnya dalam bidang hukum keluarga ( family law;
al-ahwâl al-syakhshiyyah/ahkâm al-usrah). Utamanya bidang
Perkawinan (munâkahât; marriage),” jelas Amin.

Aspek-Aspek dalam UU Perkawinan


Berikutnya Amin menyebutkan aspek-aspek yang terdapat
dalam hukum agama dan peraturan perundang-undangan
negara tentang perkawinan. Menurut Amin, perkawinan tidak
hanya berhubungan dengan aspek hukum legal formal dan
normatif administratif. Sebab, perkawinan hanya merupakan
satu aspek atau langkah awal dari pembentukan keluarga
atau rumah tangga yang memiliki banyak aspek. Untuk itu,
sambung Amin, diharapkan hal tersebut dapat bersifat
‘abadi’ sebagaimana diamanatkan hukum agama maupun
peraturan perundang-undangan negara.
“Karenanya perkawinan khususnya dan keluarga pada
umumnya memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan
melibatkan banyak aspek. Sekurang-kurangnya sejarah
(histori), adat-kebiasaan, sosiologi, budaya, psikologi,
ekonomi, politik dan lain-lain. Tentu saja terutama aspek
hukum termasuk di dalamnya hukum agama dan tidak
terkecuali hukum agama Islam atau fikih,” terang Amin.

Perkawinan Beda Agama Tidak Sah


Sementara itu terhadap dalil Pemohon yang menyatakan
terhalang menikah karena perbedaan agama, Amin
menerangkan keterkaitannya dengan ketentuan pada UU
Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan
Pasal 8 huruf f yang dinilainya tidak berlawanan dengan UUD
1945. Sebab di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang
merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia.
Terkait dengan perkawinan beda agama yakni antara calon
mempelai muslim/muslimah dengan calon mempelai non-
muslim/muslimah, pada dasarnya ‘dihukumkan haram’ dan
dinyatakan ‘tidak sah’ secara hukum, baik menurut semangat
peraturan perundang-undangan negara maupun spirit
hukum agama Islam (fikih).
“Bahkan menurut kecenderungan hukum yang hidup pada
kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia, dan
berdasarkan pada bagian terbesar masyarakat beragama non
Islam yang lain-lainnya sebagaimana termuat dalam Pasal 8
huruf f UU Perkawinan itu, melarang perkawinan antara
orang yang berbeda agama, dalam hal ini antara warga
negara yang beragama Islam dengan non-muslim,” kata
Amin.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 24/PUU-
XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan ini diajukan
oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk
agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan
beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan
dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi
oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak
konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat
melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan
kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan
karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama,
akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan
keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan
untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk
keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya,
ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menuyatakan, “Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.”

terdapat 5 rukun nikah yang disepakati ulama dan wajib dipenuhi agar pernikahan dinyatakan sah,
yakni:

Terdapat calon pengantin laki-laki dan perempuan yang tidak terhalang secara syar'i untuk menikah
Ada wali dari calon pengantin perempuan
Dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil untuk menyaksikan sah tidaknya pernikahan
Diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan atau yang mewakilinya
Diucapkannya kabul dari pengantin laki-laki atau yang mewakilinya. Persaksian akad nikah tersebut
berdasarkan dalil hadis secara marfu: "Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi
yang adil." (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).
Lihat Juga :
Agar Bahagia, Siapkan Dua Hal Sebelum Menikah

Syarat Nikah
Pernikahan harus memenuhi unsur sebagai berikut:

1. Beragama Islam
Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan orangnya. Bahkan, tidak
sah jika seorang muslim menikahi nonmuslim dengan tata cara ijab kabul Islam.

2. Bukan mahram
Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar perkawinan bisa dilaksanakan.
Selain itu, sebelum menikah perlu menelusuri pasangan yang akan dinikahi.

Misalnya, sewaktu kecil dibesarkan dan disusui oleh siapa. Sebab, jika ketahuan masih saudara
sepersusuan maka tergolong dalam jalur mahram seperti nasab yang haram untuk dinikahi.

3. Wali nikah bagi perempuan


Sebuah pernikahan wajib dihadiri oleh wali nikah. Wali nikah harus laki-laki, tidak boleh perempuan
merujuk hadis:

"Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: 'Perempuan tidak boleh menikahkan
(menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya." (HR. ad-Daruqutni dan
Ibnu Majah).

Wali nikah mempelai perempuan yang utama adalah ayah kandung.


Namun jika ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh lelaki dari jalur
ayah, misalnya kakek, buyut, saudara laki-laki seayah seibu, paman, dan seterusnya berdasarkan
urutan nasab.

Jika wali nasab dari keluarga tidak ada, alternatifnya adalah wali hakim yang syarat dan
ketentuannya pun telah diatur.

4. Dihadiri saksi
Syarat sah nikah selanjutnya adalah terdapat minimal dua orang saksi yang menghadiri ijab kabul,
satu bisa dari pihak mempelai wanita dan satu lagi dari mempelai pria.

Mengingat saksi menempati posisi penting dalam akad nikah, saksi disyaratkan beragama Islam,
dewasa, dan dapat mengerti maksud akad.

5. Sedang tidak ihram atau berhaji


Jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (saat ihram), merujuk Islami.

Hal ini juga ditegaskan seorang ulama bermazhab Syafii dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib yang
menyebut salah satu larangan dalam haji adalah melakukan akad nikah maupun menjadi wali dalam
pernikahan:

(‫ بوكالة أو والية )و‬،‫الثامن (عقد النكاح) فيحرم على المحرم أن يعقد النكاح لنفسه أو غيره‬

"Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu akad nikah. Akad
nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi
wali)"

6. Bukan paksaan
Syarat nikah yang tak kalah penting adalah mendapat keridaan dari masing-masing pihak, saling
menerima tanpa ada paksaan. Ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah ra:

"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai pendapat, dan
tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya." (HR Al Bukhari: 5136, Muslim: 3458).

Demikian rukun dan syarat nikah yang perlu diketahui pasangan yang hendak melangsungkan
pernikahan.

Baca artikel CNN Indonesia "Rukun dan Syarat Sah Nikah dalam Islam" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211004181808-289-703269/rukun-dan-syarat-
sah-nikah-dalam-islam.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211004181808-289-703269/rukun-dan-syarat-sah-nikah-
dalam-islam

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18494&menu=2
Kedudukan pernikahan dalam Islam sangat penting. Namun demikian,
ternyata ada beberapa perkara dalam pernikahan yang dapat batal baik
disengaja maupun tidak disengaja. Perkara-perkara apa saja yang dapat
membatalkan pernikahan tersebut? Pernikahan atau menikah merupakan
suatu jalan yang paling afdhal dan paling bermanfaat dalam upaya untuk
menjaga kehormatan diri. Karena hukum pernikahan dapat menghindarkan
kita dari hal-hal yang dilarang dan diharamkan Allah Subhanahu wa ta'ala..
Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menganjurkan untuk segera mempercepat pernikahan bagi mereka yang
telah mampu, baik lahir maupun batin. Baca Juga Ingin Menikah? Inilah 9
Hadis tentang Pernikahan yang Menganjurkannya Dengan pernikahan,
gejolak biologis dalam diri manusia dapat tertuntaskan. Selain merupakan
sebuah ibadah, menikah bertujuan untuk menciptakan generasi Islami yang
shaleh dan shalehah. Tentu saja di balik itu, Allah menjanjikan ganjaran yang
amat mulia bagi mereka yang dapat menjalani ibadah pernikahan dengan
baik. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Benarkah kalian telah
berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang
paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku
berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan kedudukannya yang sangat
penting ini, Islam memberikan syarat-syarat sah yang wajib dipenuhi ketika
akan melangsungkan pernikahan tersebut. Namun demikian, ternyata ada
beberapa perkara dalam pernikahan yang dapat batal baik disengaja maupun
tidak disengaja. Yang mengkhawatirkan, pembatalan pernikahan tersebut
sering kali tidak disadari. Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa
pembatal pernikahan yang sering tidak disadari itu, antara lain: 1. Ada syarat
sah nikah yang tidak dipenuhi Bilamana ada salah satu syarat sah nikah ada
yang tidak terpenuhi dan baru diketahui, maka saat itu juga pernikahannya
batal dan tidak boleh dilanjutkan. Syarat sah menikah di antaranya: -
Mempelai wanita harus benar-benar orang yang halal dinikahi. - Ada wali
yang menikahkan. - Dihadiri dua orang saksi laki-laki muslim, baligh, berakal,
serta mendengar dan memahami ucapan ijab-qabul. 2. Tidak ada izin dari
pengantin wanita Pernikahan bisa batal, bila pernikahan itu tidak mendapat
restu dari pengantin wanita atau saat dia dipaksa oleh walinya. Ini pernah
terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, ada
seorang wanita pernah mengadu kepada Rasulullah ketika dirinya dipaksa
menikah dengan seseorang laki-laki. Kemudian Rasulullah memberikan
pilihan untuk melanjutkan atau menghentikan pernikahannya. Baca Juga
Keutamaan Menjauhi Dosa-dosa Besar 3. Ada hal-hal yang membatalkan
akad nikah Pernikahan dianggap batal apabila ada hal-hal yang membatalkan
akadnya. Misalnya, baru diketahui bahwa antara suami dan istri tersebut
ternyata memiliki ikatan saudara sepersusuan atau mahram. Kemudian juga
ketika baru diketahui bahwa si perempuan masih memiliki ikatan perkawinan
dengan orang lain atau masih dalam masa idahnya. 4. Murtad (baik calon
suami atau istri keluar dari agama Islam) Hal ini kerap kali berkaitan dengan
unsur penipuan. Misalnya ketika, seorang suami yang semula beragama non-
Islam kemudian masuk Islam hanya untuk menikahi istrinya. Lalu suami
kembali memeluk agamnya lamanya, maka secara langsung perkawinan
tersebut batal. Tanpa memerlukan persidangan,secara otomatis ikatan
perkawinan antara keduanya batal. 5. Zihar Zihar adalah ketika seseorang
suami menyamakan istri dengan ibunya sehingga haram atasnya. Dikatakan
salah satunya contohnya ketika suami mengatakan, “Punggungmu seperti
punggung ibuku.” Ketika suami mengatakan hal tersebut atau semacamnya,
maka telah jatuh talak atas istrinya, sehingga ia wajib membayar kafarat zihar.
6. Khuluk (talak tebus) Khuluk atau talak tebus adalah talak yang diucapkan
oleh seorang suami disertai pembayaran dari pihak istri kepada suaminya.
Talak ini biasanya merupakan permintaan dari pihak istri sehingga
diperbolehkan ketika istri dalam keadaan haid sekalipun.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Rabu, 29


September 2021 - 13:23 WIB oleh Widaningsih dengan judul "Perkara-
perkara yang Dapat Membatalkan Pernikahan". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://kalam.sindonews.com/read/554264/72/perkara-perkara-yang-dapat-
membatalkan-pernikahan-1632895777

https://kalam.sindonews.com/read/554264/72/perkara-perkara-yang-dapat-membatalkan-pernikahan-
1632895777

Pembatalan perkawinan menurut hukum Islam tentu saja harus


diketahui dengan jelas sebelum melakukan tindakan tersebut. Seperti
yang diketahui, ikatan laki-laki serta perempuan merupakan sebuah
ikatan yang suci dan kokoh.
Ikatan ini harus dijaga serta dipelihara siapa saja yang sedang
menjalaninya. Islam sendiri tidak menginginkan sebuah ikatan pernikahan
rusak atau putus. Jika terdapat masalah antar pasangan, mereka harus
menyelesaikan segera.
Bila masalah tersebut belum bisa diselesaikan antara keduanya, keduanya
harus menunjuk orang terdekat agar dapat menjeadi penengah maupun
juru damai. Hal tersebut dilakukan sehingga ikatan perkawinan bisa
dipertahankan.
Sayangnya, dalam kondisi yang memungkinkan tidak terjadi
kebersamaan, akhirnya terjadi pembatalan pernikahan. Sudah
banyak contoh kasus pembatalan perkawinan yang sekarang ini ada di
tengah masyarakat.
Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam
Di dalam literature dari hukum Islam, terdapat 2 keadaan yang berkaitan
dengan pernikahan yakni pembatalan yang disebabkan oleh cerai atau
talak, hingga pembatalan yang disebabkan oleh fasakh.
Fasakh sendiri bisa terjadi disebabkan karena berbagai macam alasan
seperti tidak memenuhi syarat perkawinan hingga membuatnya menjadi
tidak sah di dalam sebuah pernikahan, hingga terdapat hal lain yang
merusak akad. Berikut hukum dari pembatalan perkawinan menurut
Islam:
1. Rusaknya akad nikah
Menurut Imam Malik, dalam pernikahan bisa terjadi pembatalan, beliau
membuat rincian ada beberapa jenis pernikahan yang tergolong
pernikahan rusak seperti kawin kontrak serta pernikahan seorang pria
serta wanita yang mahrom.
Begitu juga dengan pernikahan wanita yang tidak menggunakan wali.
Menurut pandangannya hal tersebut tidak sah, namun pernikahan yang
dianggap rusak oleh Imam Malik ternyata dianggap sah imam Abu
Hanifah.
Ada juga pernikahan laki-laki dengan mahrom, terjadi sebuah perbedaan
pendapatan di kalangan ulama besar.
Menurut Allaits, imam Syafi’I, Auzai, serta Ahmad, mereka memberikan
pendapat bila hal tersebut tidak sah, pendapat ini juga sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Sahabat Nabi.
Sedangkan imam Abu Hanifah memperbolehkan pernikahan ini terjadi,
beliau memberikan argumentasi berdasarkan hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berkaitan dengan pernikahan Nabi
bersama Maimunah yang masih memiliki hubungan darah.
2. Pasangan keluar dari Islam
Jika salah satu pasangan suami istri keluar dari agama Islam, menurut
Mazhab Hanafi sudah terjadi talak secara langsung. Tetapi, jika ada
seorang suami yang dalam keadaan musyrik dan masuk Islam tetapi Istri
tidak mau mengikuti suaminya, terjadi pembatalan pernikahan.
Bila seorang istri masuk Islam serta sang suami berada dalam
kemusyrikan, terjadi talak. Pernyataan tersebut di dasarkan pada Imam
Abu Hanifah serta Imam Syafi’i.
Namun, menurut Abu Yusuf, di kasus tersebut terjadi pembatalan
pernikahan. Akibat hukum pembatalan perkawinan ini bila yang keluar
dari Islam adalah si Istri, ia tidak mendapatkan mas kawin. Tetapi bila
yang keluar dari Islam adalah sang suami, maka ia wajib membayar
separuh mas kawin.
3. Pasangan sakit atau cacat
Ulama juga memberi pendapat bila cacat memberikan hak memilih pada
dua pasangan agar dapat berpisah. Namun, ulama berbeda pendapat
mengenai penyakit dan caca tapa saja yang bisa menyebabkan hal
tersebut terjadi.
Ulama Hanafiyah memberikan pendapat bila istri tidak bisa dicerai
dengan sebab caca tapa saja begitu juga dengan suami kecuali mengidap
impotensi, hal tersebut menurut Abu Hanifah serta Abu Yusuf. Sedangkan
menurut ulama Syafi’iyyah menambahkan hal lain yakni supak, gila serta
kusta.
4. Suami tidak mampu memberi mas kawin serta nafkah
Pembatalan perkawinan menurut hukum Islam yang lainnya
mengenai nafkah. Ulama sepakat jika nafkah wajib diberi suami pada istri,
mereka juga bersepakat jika suami tidak bisa memberi nafkah dan istri
rela menerimanya, tidak ada pembatalan pernikahan.
Tetapi, bila istri tidak rela, ulama mempunyai perbedaan pendapat untuk
menyikapi keadaan ini. Namun mayoritas ulama memberikan pendapat
jika istri bisa minta pisah. Walaupun mereka beda pendapat mengenai
kategori pemisahan apakah pembatalan pernikahan atau talak.
5. Suami hilang
Seseorang yang hilang dalam jangka waktu tertentu bisa melakukan
pembatalan pernikahan, dalam hal ini, ulama beda pendapat. Menurut
Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, ikatan pernikahan tidak bisa putus jika
suaminya sudah nyata meninggal.
Jika tidak bisa, ditunggu sampai usia suami mencapai 90 tahun, bila
menurut perkiraan ia selamat seperti menuntut ilmu atau berdagang.
Namun jika perkiraan meninggal, harus ditunggu sampai 4 tahun.
Sebelum melakukan pembatalan pernikahan, tentu saja harus mengenal
dengan baik seperti apa pembatalan perkawinan menurut hukum
Islam di atas.
https://blog.justika.com/keluarga/pembatalan-perkawinan-menurut-
hukum-islam/

Pengertian Talak Menurut Fikih


Pengertian talak dalam istilah fikih adalah melepaskan ikatan atau pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.

Melansir buku Hukum Perceraian oleh Muhammad Syaifuddin, talak secara bahasa berarti
lepas atau bebas. Dalam artian istilah, talak yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafaz talak atau sejenisnya.

Wahbah az-Zuhaili mengatakan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu, talak termasuk perkara yang
dibenci Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Umar RA,

‫َأْبَغ ُض اْلَح اَل ِل ِإَلى ِهللا الَّط اَل ُق‬

Artinya: "Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak." (HR Abu Dawud dan Ibnu
Majah)

Hadits tersebut turut diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia mengatakannya shahih.

Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan dalam Tafsir Al Munir, meskipun talak adalah hal yang
diperbolehkan dalam Islam, tetap hal itu harus dihindari kecuali sudah mencapai kondisi darurat
atau hajat.

"Meskipun talak adalah hal yang boleh dan mubah serta berada di tangan suami, namun ia
mesti menjauhinya dan tidak melakukannya kecuali ketika adanya suatu hal yang mencapai
tingkatan darurat atau hajat, harus dilakukan secara terpisah dan tidak boleh lebih dari satu
talak sekaligus serta dilakukan ketika suasana hati dan pikiran dalam keadaan normal," jelas
Wahbah az-Zuhaili.

Hukum Talak
Dalam buku Hadis Ahkam: Perkawinan, Nafkah, Hadanah, Waiyat dan Peradilan, dikatakan
mengenai hukum talak yang terdapat perbedaan pandangan. Ulama Ibnu Abidin berpendapat
bahwa talak adalah mubah, dengan mengambil dalil dari firman Allah SWT dalam surah At-
Talaq ayat 1.

‫ٰٓي َاُّيَه ا الَّن ُّي ِاَذ ا َط َّلْقُتُم الِّن َس ۤا َء َف َط ِّلُقْو ُهَّن ِلِع َّد ِت َّن َو َاْح ُصوا اْلِع َّد َۚة‬
‫ِه‬ ‫ِب‬

Yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li'iddatihinna wa aḥṣul-'iddah

Artinya: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu."

Juga surah Al-Baqarah ayat 236,

‫اَل ُج َن اَح َع َلْي ُك ْم ِاْن َط َّلْقُتُم الِّن َس ۤا َء‬

Lā junāḥa 'alaikum in ṭallaqtumun-nisā`a

Artinya: "Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika kamu menceraikan istri-
istrimu."

Mazhab Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa talak merupakan perbuatan yang seharusnya
dihindari, kecuali ada penyebab yang mengharuskannya. Dalil yang dijadikan landasan adalah
hadits Nabi SAW, "Allah melaknat orang yang tukang mencicipi dan mentalak."

Talak berarti tidak bersyukur atas nikmat yang diberi Allah SWT, yang mana pernikahan
merupakan suatu nikmat dari-Nya.

Ulama mazhab Syafi'i dan Maliki mengemukakan hukum talak yaitu jaiz atau boleh, tetapi lebih
baik dihindari.

Lafaz Talak dalam Islam


Dalam Fikih Sunnah Wanita oleh Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, ada dua jenis talak
berdasarkan shigah (model kalimat).

Lafaz yang Diucapkan Jelas atau Terang-terangan


Yang termasuk lafaz jelas adalah yang bisa dipahami langsung makna talaknya saat diucapkan,
tapa adanya makna lain. Misalnya pada ucapan suami kepada istrinya, seperti 'Engkau
diceraikan', 'Aku telah menceraikanmu', atau 'Engkau telah aku ceraikan'.

Jika kata-kata tersebut diucapkan suami kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Baik diniatkan
maupun tidak, dan dalam keadaan bercanda atau serius.

Baca juga:
3 Hak Istri yang Jadi Kewajiban Suami, Nafkah Harta - Jaminan Rasa Aman
Lafaz yang Diucapkan dengan Kiasan
Pada lafaz itu terkandung makna talak dan arti lainnya. Bila kata kiasan diucapkan suami
kepada istrinya, maka ada dua kemungkinan. Jika suami meniatkan cerai maka talaknya telah
jatuh, dan bila ia tidak berniat maka talak tidak berlaku.

Ucapan talak kiasan seperti: 'Aku telah melepaskanmu', 'Engkau telah dilepaskan', 'Aku telah
berpisah darimu', 'Engkau dipisahkan', 'Pergilah kepada keluargamu'.

Baca artikel detikhikmah, "Talak dalam Islam: Pengertian, Dalil, Hukum, dan Lafaznya"
selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/muslimah/d-6428849/talak-dalam-islam-
pengertian-dalil-hukum-dan-lafaznya.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

https://www.detik.com/hikmah/muslimah/d-6428849/talak-dalam-islam-pengertian-dalil-hukum-dan-
lafaznya
Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan pernikahan jika seorang
suami memutuskan untuk rujuk dengan istrinya keduanya tidak perlu melangsungkan
akad nikah[1]. Merujuk ialah mengambil kembali istri yang sudah ditalak[2]. Merujuk
artinya bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa
menunggu (iddah).[3] Merujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali
kepada isterinya (talak), yakni di antara talak satu atau dua.[3]
Syarat rukun rujuk, jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad
nikah yang baru karena akad yang lama belum terputus, pernikahan awal dilakukan sakral
dan Sah disaksikan oleh para saksi serta banyak umat Muslim, sedangkan
secara hukum negara, agama, adat dibuktikan dengan adanya akta pernikahan dalam Islam yakni
Sertifikat Kursus Calon Pengantin yang mutlak milik penerima Sakral yang Sah yaitu suami, yang
dikeluarkan oleh Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan masa sekarang,
masih utuh tidak tercabut. Dan juga tidak dibenarkan perkara buku nikah suami-istri Dipegang,
Dikemudikan oleh orang lain[3].
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan
kepada pandangan ulama fiqh rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus
itu dipahami dari firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228. Untuk sahnya
tindakan rujuk hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh suami[4].
Persyaratan merujuk[sunting | sunting sumber]
Ada beberapa syarat yang menjadikan merujuk sah:

1. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya yang
belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah
persetujuan (ijmak) para ulama‟.[5]
2. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak (talaktalak raj‟i).[5]
3. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak talak bain
atau tidak dapat merujuk lagi istrinya.[5]
4. Merujuk untuk rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah
pernikahan yang sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak
berhak untuk merujuk. Ini hanya merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama fiqih.[5]
Hukum[sunting | sunting sumber]
Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat ketentuan-ketentuan
yang mengatur masalah rujuk, demikian juga halnya di dalam Peraturan Presiden No 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974[6].Valid ketentuan hak khusus
yang di pergunakan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228
ditetapkan tentang rujuk.
Konpetensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan
daerah hukum, Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-
batas wilayah hukumnya.
Batasan untuk menentukan kompetensi relatif merujuk kepada pasal 118 HIR, 142 RBG atau pasal
99 Rv. Agar gugatan memenuhi syarat Kompentensi relatif: gugatan harus diajukan kepengadilan
domisili TERGUGAT, tidak sah gugatan tersebut diajukan ke PENGUGAT.
Dasar terpenting dalam mengajukan Gugatan adalah Menentukan tempat tinggal Tergugat
Berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru terdaftar dan Aktif, Kartu Keluarga Sesuai KTP
juga terbaru terdafta Aktif, Surat pajak sesuai Kartu Keluarga dan KTP juga terdaftar Aktif, apabila
dasar terpenting ini Tidak terdafta pada Dinas Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil, Direktorat Jendral Pajak maka gugat tersebut tidak Sah, terkategori status gugat dari
gugatan Perdata menjadi tindakan Pidana memalsukan identitas Tergugat atau/dan Pengugat[7],
yang di atur dalam Undang-undang KUHP pasal 263, Pasal 266 KUHP merupakan yang mengatur
tentang pemalsuan identitas[8], untuk terealisasinya Pidana tersebut telah diatur dalam Pasal 108
KUHAP sebagai berikut "Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana segera melaporkan hal itu
kepada penyelidik atau penyidik" pegawai negeri sipil di BPU, Badan Pengadilan Agama, BPM,
BPTUN memiliki kewajiban baik secara hukum maupun secara sebagai manusia yang bersifat
kemanusiaan untuk segera melaporkan/atau pengaduan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai Penegakan hukum di Indonesia agar supaya sesegera mungkin di buat Laporan
Polisi (LP) untuk mendapatkan kepastian hukum dan untuk membuka keadilan yang seadil adilnya
oleh hakim ...
"yang seadilnya adilnya dalam surat At-tin ayat (8) adalah Allah merupakan hakim yang paling adil,
karena di akhirat nanti setiap-tiap manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa
yang telah dilakukannya selama di dunia dengan perhitungan yang paling adil",
dan juga harus dilakukan lidik hingga sidik oleh Polisi sampai dilimpahkan ke Pengadilan
Tinggi atau Pengadilan Negeri apabila telah terbukti oleh Polri yang membidangi/atau menangani
kasus tersebut Bid krimum/atau krimsus Kepolisian,
karena apabila tidak segera ditindak lanjuti Penindasan, zalim terhadap korban penindasan,
kezaliman akan semakin lama terasakan oleh korban, karena perbuatan manusia yang tidak
memiliki Akhlak serta hati yang suci[9][10]. Terkecuali telah terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), tergugat pemakai pengedar narkoba, perselingkuhan hingga melakukan pernikahan baru
tampa seijin istri/suami yang pertama, Perceraian itu adalah Terbaik[11].
Pada dasarnya hukum merujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum merujuk dapat berkembang
menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. [12] Dan
perubahan hukum merujuk untuk rujuk dapat menjadi sebagai berikut:[12]

1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai
(talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.[3][12] Maksudnya adalah, seorang
suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya.[3][12] Apabila
belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.[3][12]
2. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian. [3][12]
3. Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat
dibanding mereka merujuk kembali, catatan: tidak memiliki anak dibawah umur 12 tahun. [3][12]
4. Haram, yaitu apabila dengan adanya merujuk si istri semakin menderita, catatan: selama
berumah tangga suami tidak pernah memberikan nabkah terhadap istrinya[3][12]. Maka istri
diperbolehkan meminta cerai kepada suaminya dengan cara Khulu[13].
Secara hukum negara penolakan rujuk oleh istri dapat terealisasi bilamana minimal 3 (tiga) alasan
dapat dibuktikan dengan bukti yang sebenarnya, secara tertulis dan minimal menghadirkan 2 (dua)
orang saksi dihadapan Ketua Hakim persidangan, serta tidak ada sanggahan jawaban dari sang
suami secara tertulis dan dibenarkan oleh suami tersebt dihadapan persidangan yang sakral, dan
juga tanpa tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 118HIR dan pasal 142 ayat 1-5 R.BG,
sebagai dasar utama ketentuan formulasi yang sah menurut Hukum di Indonesia dan juga Hukum
Islam di Indonesia didasarkan dari berbagai ketentuan yang terserak[14].

Rukun Merujuk Untuk Rujuk[sunting | sunting sumber]


1. Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut: istri telah dicampuri atau disetubuhi (ba’da
dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya, ditalak dengan talaktalak raj’i, yakni talak
dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan syarat selanjutnya adalah istri
tersebut masih dalam masa menunggu (iddah).[15]
2. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat
akal.[3][15][12]
3. Adanya saksi.[15][12]
4. Adanya sighat atau lafadz atau ucapan merujuk yang dapat dimengerti dan tidak ambigu. [3]
[3]
yaitu ada dua cara:
5. Secara terang-terangan, misalnya: “Saya merujuk untuk rujuk kepadamu”.[3][5]
6. Secara sindiran, seperti kata suami: “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Perkataan ini
disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya
saya merujuk untuk rujuk kepadamu jika bapakmu mu.[3] Rujuk dengan kalimat seperti di
atas hukumnya tidak sah.[3][5]
Ketentuan[sunting | sunting sumber]
1. Merujuk untuk rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan atau
kebaikan bagi istri dan anak-anak. Merujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru
terjadi satu atau dua kali.[3][5]
2. Merujuk dengan tujuan rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa menunggu atau
masa iddah habis.[3][5]
Tata cara Rujuk
https://id.wikipedia.org/wiki/Rujuk

Anda mungkin juga menyukai