Anda di halaman 1dari 24

1

PERKAWINAN SIRI PREPEKTIF HUKUM ISLAM


Makalah Revisi
Dipersentasekan
Seminar Kelas pada
Hukum Islam di
Konsentrasi Hukum
Program Doktor
UIN Alauddin

dalam Forum
Mata Kuliah
Indonesia
Islam
(S3) Pascasarjana
Makassar

Oleh:
MAHMUD HADI RIYANTO
NIM: 80100315055

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag.
Dr. Kurniati, M.H.I.

PASCASARJANA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR


2016

I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan


sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Allah menjadikan pernikahan yang diatur menurut syariat Islam sebagai
penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh
Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk yang lain.2 Dengan adanya
suatu pernikahan yang sah, maka pergaulan antara laki-laki dan perempuan menjadi
terhormat sesuai dengan kedudukan manusia yang berperadaban, serta dapat
membina rumah tangga dalam suasana yang damai, tentram dan penuh dengan rasa
kasih sayang antara suami isteri.
Pernikahan dalam kajian Hukum Islam maupun Hukum Nasional di Indonesia
dapat dilihat dari tiga segi yaitu, segi Hukum, Sosial, dan Ibadah.3
Apabila ketiga sudut pandang tersebut telah tercakup semuanya, maka tujuan
pernikahan sebagaimana yang diimpikan oleh syariat Islam akan tercapai yaitu,
keluarga yang saki>nah, mawaddah wa rah}mah. Ketiganya tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, apabila salah satunya terabaikan maka akan terjadi ketimpangan
dalam pernikahan sehingga tujuan dari pernikahan tersebut tidak akan tercapai
dengan baik.
Pernikahan dalam Islam memiliki syarat dan rukun, yang apabila telah
terpenuhi maka hukum pernikahan tersebut menjadi sah. Hal ini berbeda dengan
pandangan peraturan pernikahan di Indonesia yang menyatakan bahwa pernikahan
1Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
2Mah}mu>d al-S}abba>g, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih
bahasa Bahruddin Fannani (Cet. 3; Mesir: Da>r al-Itis}a>m, 2004), h. 23.
3Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Cet. III; Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), h. 5-8.

yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang, maka pernikahan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum.
Hukum di Indonesia mengatur tata cara pernikahan yang sah menurut Agama
Islam dan sah menurut Hukum Negara yang telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa:
Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.4
Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: Sebuah pernikahan baru dianggap memiliki
kekuatan hukum dihadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama
dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Agar terjamin ketertiban bagi
masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat. 5 Sedangkan berdasarkan
konsep Konvensional pernikahan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan
rukun pernikahan. Menurut Madhab Syafii yang termasuk dalam rukun pernikahan
adalah akad (s}iqah ij>a>b qa>bu>l), calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi
dan wali. Selain itu dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga
menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaanya.6
Dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia, aturan itu ditambah lagi
dengan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan ke Kantor Urusan Agama (KUA)
4Pasal 2 ayat (2)
5Pasal 5 ayat (1)
6Pasal 2 ayat (1)

dengan maksud agar kedua pasangan itu mendapatkan payung hukum jika terjadi halhal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Apabila dalam mengarungi kehidupan
berumah tangga mereka mendapatkan persoalan, maka mereka akan memperoleh
bantuan dari hukum yang berlaku. Oleh karena itu, makalah yang sederhana ini, penulis
akan mencoba membahas tentang masalah pernikahan siri dan endeher akte.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka dapat
dirumuskan dengan beberapa permasalahannya, diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum Nikah Siri menurut Hukum Islam?
2. Bagaimana hukum Nikah Siri menurut hukum di Indonesia?

II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Nikah Siri Menurut Hukum Islam
1. Nikah

Nikah menurut bahasa ialah berkumpul; bersenggama (wat}u). Sedang


menurut istilah adalah suatu perjanjian atau akad yang menghalalkan persetubuhan
antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata nikah atau yang
menunjukkan arti nikah.7
Kata zawa>j pada awal penggunaannya berartikan pasangan, akan tetapi arti
yang dimaksud dalam al-Quran adalah perkahwinan. Allah swt. menjadikan manusia
berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina. Nikah
menurut syariat selain diartikan sebagai akad juga diartikan sebagai hubungan badan
dan itu hanya metafora saja.
2. Siri

Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri> yang artinya adalah rahasia.8
Namun apabila digabungkan antara kata nika>h} dan kata sirri> maka dapat
diartikan secara bahasa dengan nikah diam-diam yang dirahasiakan yakni tidak
ditampakkan.
Nikah Siri menurut terminologi, para ulama mengartikan dengan tiga
pengertian yang berbeda-beda. Berikut uraiannya:
a. Pernikahan tanpa dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA)

7Ah}mad binUmar bin Awad} al-Sya>t}iri>, al-Ya>qu>t al-Nafi>s (Bairu>t:


Da>r al-Fikr, t.th), h. 141.
8Abu> al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukrim al-Ans}a>ri> Ibn
Manz{u>r, Lisa>n al-Arab. Bairu>t: Da>r S{a>dir, 1990), h. 356-357.

Nikah Siri adalah, pernikahan yang dilakukan oleh sepasang kekasih tanpa
ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi pernikahan
ini sudah memenuhi unsur-unsur pernikahan dalam Islam, yang meliputi dua
mempelai, dua orang saksi, wali, ijab-kabul dan juga mas kawin.
Nikah Siri ini hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum
positif (hukum negara) dengan mengabaikan sebagian atau beberapa aturan hukum
positif yang berlaku, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 bahwa setiap perkawinan
dicatatkan secara resmi pada Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan instansi yang
dapat melaksanakan perkawinan adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang
beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama Non Islam.9
Oleh karena itu, pernikahan siri yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama itu tidak punya kekuatan hukum, sehingga jika suatu saat mereka berdua
punya permasalahan yang berkenaan dengan rumah tangganya seperti perceraian,
kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perebutan hak asuh anak dan lainnya, pihak
kantor urusan agama dan pengadilan agama tidak bisa memutuskan bahkan tidak bisa
menerima pengaduan mereka berdua yang sedang punya masalah.10
b. Pernikahan tanpa wali atau saksi

Nikah Siri adalah, pernikahan yang dilangsungkan oleh suami istri tanpa
kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-

9Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya? (Cet. I; Jakarta: Visimedia, 2007), h.
22.
10Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo ala Yusuf Al-Qardawi (Tinjauan Hukum Islam),
(Surabaya: Khalista, 2010), h. 45-46.

saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk
menyembunyikan pernikahan tersebut.
Menurut pandangan seluruh ulama fikih, pernikahan yang dilaksanakan
seperti ini adalah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat pernikahan. Seperti
keberadaan wali dan saksi-saksi. Bahkan termasuk ke dalam perzinahan
atau ittikha>z\ul akhda>n (menjadikan wanita atau laki-laki sebagai piaraan
untuk pemuas nafsu). Namun apabila dua saksi telah berada di tengah acara
menyertai mempelai laki-laki dan perempuan, sementara itu pihak wali belum hadir,
kemudian mereka bersepakat untuk merahasiakan pernikahan tersebut dari
masyarakat, maka pernikahan ini juga termasuk pernikahan yang batil karena tidak
terpenuhinya rukun nikah, hal itu telah dikemukakan oleh Abu> Bakar alH{usaini> dalam kitabnya Kifa>yah al-Akhya>r:










.11


Artinya:
Disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang, yaitu: wali,
calon pengantin dan dua orang saksi yang adil.
Hal itu sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw:

12

(
) .




11Taqiyy al-Di>n Abu>> Bakar bin Muh}ammad al-H{useini> al-H}is}ni>,
Kifa>yah al-Akhya>r fi> H{ill Ga>yah al-Ikhtis}a>r (Bairu>t: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001 M/1422 H), h. 477.
12Abu>> Bakar Ah}mad bin al-H}usein bin Ali al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra>,
Juz. 7 (Cet. III. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 M/1424 H), No Hadis.
13719, h. 202.

Artinya:
Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi. (HR AlBaihaqi>)
Kata La> dalam hadis di atas menunjukkan arti bukan hanya tidak
sempurna akan tetapi ia berartikan tidak sah.
c. Pernikahan siri perspektif Islam

Nikah Siri adalah, pernikahan yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan


rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab-kabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi
mereka (suami-istri, wali dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan pernikahan ini
dari masyarakat. Dalam hal ini, sering pihak lelakilah yang berpesan supaya dua saksi
menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.13
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama memandang
pernikahan seperti ini sah akan tetapi hukumnya adalah makruh. Hukumnya sah dan
resmi menurut agama karena sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta
adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang. Sebab suatu perkara yang
rahasia, jika telah dihadiri oleh dua orang atau lebih, maka tidak lagi disebut dengan
rahasia. Adapun sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah
saw., untuk melakukan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan unsur yang berpotensial mengundang keragu-raguan
serta tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo misalnya) pada keduanya. Sebagaimana sabdanya:

13Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 288.







::
14
(
)





Artinya:
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: tampakkanlah
pernikahan ini dan laksanakan di masjid-masjid serta pukullah terbang atasnya. (HR Al-Tirmiz\i>)
Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah menilai pernikahan yang seperti ini
tidak sah, karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah
pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sahnya pernikahan. 15 Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, karena syarat-syarat dan rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak
diberitahukan kepada khalayak. Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah
sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang
mengetahui, maka semakin baik. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan
pernikahan agar supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak
sedap, ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk dari orang lain.16
Sementara itu dalam pengertian masyarakat, Nikah Siri sering disebut dengan nikah
dibawah tangan yang lebih mengarah pada pernikahan yang tidak menyertakan
14Abu> I<sa> Muh}ammad Ibn I<sa> al-Tirmiz\i>, al-Ja>mi al-S}ah}i>h}
Sunan al-Tirmiz\i>, Juz. 3 (Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1938), h. 398.
15Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Rajawali, 1995), h. 48.
16Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo, 1997),
h. 70.

10

petugas pencatat nikah (misalnya KUA) untuk mencatat pernikahan tersebut dalam
dokumen negara. Akibatnya, dua mempelai tersebut tidak mengantongi surat nikah
dari pihak yang berwenang. Perkawinan model seperti ini biasanya muncul berbagai
masalah tatkala terjadi bentrokan dengan sebuah kepentingan dalam bentuk
pengingkaran terjadinya pernikahan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam
pernikahan ini juga tidak diakui bahkan merembet pada masalah hak waris.17
B.

Kedudukan Hukum Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Positif


Berdasarkan sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia bahwa Nikah

Siri merupakan pernikahan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dipahami bahwa berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan
(2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum
agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang.18 Dengan demikian, dalam
perspektif peraturan perundang-undangan, Nikah Siri tergolong pernikahan yang
ilegal dan tidak sah.
Ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif
bagi kalangan umat Islam Indonesia yang menjadikan pernikahan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:
1. Pernikahan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan
2. Setiap pernikahan harus dicatat.
Pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo.
UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan
dalam pasal 2 tersebut menyebabkan pernikahan menjadi batal atau setidaknya cacat
17Abdus Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), h. 309.
18Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
145.

11

hukum dan dapat dibatalkan. Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih
dipahami sebagai syarat alternatif, maka pernikahan dianggap sah meskipun hanya
dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum
mengenai sah atau tidaknya suatu pernikahan yang tidak dicatatkan akan selalu
menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak
mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan
secara tegas yang disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai
dasar hukum Islam yang kuat mengingat pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian
luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang
pernikahan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, pernikahan
merupakan perjanjian yang sangat kuat (mi>s\aqan gali>z}an). Bagaimana
mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang ringan? Mengapa logika sebagian
umat Islam terhadap wajibnya pencatatan pernikahan seperti mengalami distorsi?
Perlu diyakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan pernikahan hukumnya adalah
wajib syari. Sungguh sangat keliru apabila pernikahan bagi umat Islam tidak
dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian
biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah
misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan pernikahan yang merupakan perjanjian
luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang
berwenang. Ironi bagi umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban
dan keteraturan tapi mereka mengabaikannya. Allah swt. berfirman dalam QS alNisa>/4: 59.

12

:


.....
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan
Ulil Amri di antara kamu..19
Berdasarkan firman Allah swt. di atas maka dapat ditarik garis tegas tentang
adanya beban hukum wajib bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada
Allah, Rasulnya dan kepada para pemmpin. Sampai pada tahapan ini umat Islam
semua sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara
imperatif (wajib) sesuai perintah Allah swt. tersebut. Akan tetapi ketika perintah taat
kepada para pemimpin diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis
termasuk di dalamnya adalah perintah untuk menaati peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam
sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di
bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar
ketentuan hukum syara.
Permasalahan masih banyaknya Nikah Siri di kalangan umat Islam adalah
terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam
ayat di atas. Ada banyak pendapat mengenai siapakah Ulil Amri itu, antara lain ada
yang mengatakan bahwa Ulil Amri adalah kelompok Ahl al-H}alli Wa al-Aqdi
(DPR) dan ada pula yang berpendapat bahwa Ulil Amri adalah pemerintah. Dalam
tulisan ini, penulis tidak ingin memperdebatkan tentang siapakah Ulil Amri itu?
19Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, h. 128.

13

Akan tetapi lebih mengedepankan pemahaman terhadap hukum Islam secara


komprehensif sesuai dengan katakteristik hukum Islam itu sendiri. Komprehensifitas
(dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari keberlakuan hukum Islam di tengah-tengah
mayarakat. Hukum Islam tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa
keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan
pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup
umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari
bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama Ahli Kitab
maupun kaum penyembah berhala (paganis).
Perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat di atas secara komprehensif dalam konteks ini. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap penalaran makna Ulil
Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan pernikahan bagi umat Islam,
dapat dipahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan
itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta
para ahli lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahl al-H{alli wa al-Aqdi.
Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat,
maka wajib syari hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti
ketentuan undang-undang tersebut. Pernikahan bagi umat Islam adalah suatu
keniscayaan dan ia merupakan suatu yang mutlak kebenarannya. Oleh karena itu,
pernikahan perlu adanya sistem hukum yang mengaturnya.
C.

Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Siri

14

Nikah Siri dilakukan pada umumnya karena ada sesuatu yang dirahasiakan,
atau karena mengandung suatu masalah. Oleh karena Nikah Siri mengandung masalah, maka masalah itu akan berakibat menimpa pada orang yang bersangkutan, termasuk anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan siri.20
Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Nikah Siri adalah sebagai berikut:

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi diantaranya karena biaya administrasi pencatatan nikah, yaitu


sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi menengah ke bawah merasa tidak
mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat
dari biaya resmi.21
Ada keluhan dari masyarakat bahwa biaya pencatatan pernikahan di KUA
tidak transparan, berapa biaya sesungguhnya secara normatif. Oleh karena dalam
praktik masyarakat yang melakukan pernikahan di kenai biaya yang beragam. Adanya
kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang mempelai laki-laki selain ada
kewajiban membayar mahar, juga harus menanggung biaya pesta perkawinan yang
cukup besar (meskipun hal ini terjadi menurut adat kebiasaan), di daerah Jawa
20Widiastuti, Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri Melakukan
Pernikahan di Bawah Tangan, Jurnal Eksplorasi, Vol. XX (1) tahun 2008, LPPM
Slamet Riyadi, h. 78-89.
21Admin, Hukum Nikah Sirri, 04 April 2010, http://
dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/ april10/140-april4.html, akses
tanggal 6 Februari 2011

15

Tengah selain mahar ada juga biaya untuk serah-serahan (pemberian biaya untuk
penyelenggaraan pernikahan), alasan ini pula yang menjadi penyebab laki-laki yang
ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan cara diam-diam, yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta seperti umumnya pernikahan.
2. Faktor belum cukup umur

Nikah Siri dilakukan karena adanya salah satu calon mempelai belum cukup
umur. Kasus ini terjadi disebabkan alasan ekonomi juga, dimana orang tua merasa kalau anak perempuannya sudah menikah, maka beban keluarga secara ekonomi menjadi berkurang, karena anak perempuannya sudah ada yang menanggung biaya hidupnya yaitu suaminya. Salah satu contoh kasus yang ramai terjadi adalah kasus Nikah
Sirinya Syekh Puji (Pujiono) dengan Ulfah yang masih anak-anak di Kabupaten Semarang.

3. Faktor ikatan dinas/kerja atau sekolah

Adanya ikatan dinas/kerja atau peraturan sekolah yang tidak membolehkan


menikah karena dia bekerja selama waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang
sudah disepakati, atau karena masih sekolah maka tidak boleh menikah dulu sampai
lulus. Kalau kemudian menikah, maka akan dikeluarkan dari tempat kerja atau
sekolah, karena dianggap sudah melanggar aturan.
4. Faktor adanya anggapan bahwa Nikah Siri sah menurut agama, pencatatan itu

hanya tertib administrasi

16

Menurut Ahmad Rofiq, adanya anggapan yang menyatakan bahwa sahnya


sebuah pernikahan hanya didasarkan pada norma agama sebagaimana disebut dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) yang menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan
dengan sah tidaknya sebuah perkawinan dipraktekkan sebagian masyarakat dengan
menghidupkan praktek Nikah Siri tanpa melibatkan petugas Pegawai Pencatat Nikah
(PPN). Fenomena ini banyak terjadi pada sebagian masyarakat yang masih berpegang
pada hukum perkawinan yang fiqh sentris.22
5. Hamil diluar nikah, sebagai efek pergaulan bebas

Akibat dari pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang tidak lagi
mengindahkan norma dan kaidah-kaidah agama adalah terjadinya hamil diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga yang akan
mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan secara
siri anaknya dengan laki-laki yang menghamilinya dengan alasan menyelamatkan
nama baik keluarga dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh
imam masjid atau muallim (ada istilah nikah secara kiyai) tanpa melakukan pencatatan.
6. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan per-

nikahan
Pemahaman masyarakat yang sangat minim tentang pentingnya pencatatan
pernikahan, akibatnya mempengaruhi masyarakat tetap melaksanakan pernikahan siri.
Adanya anggapan bahwa pernikahan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja.
22Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), h. 109.

17

Padahal telah dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan yaitu: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1) Undang- undang nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama
Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil
(KCS).
7. Faktor sosial

Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif


kepada setiap orang (laki-laki) yang menikah lebih dari satu (berpoligami), maka
untuk

menghindari

stigma

negatif

tersebut,

seseorang

tidak

mencatatkan

pernikahannya kepada lembaga resmi.


8. Sulitnya aturan berpoligami

Untuk dilakukannya pernikahan yang kedua, ketiga dan seterusnya (poligami)


ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu harus mendapat izin dan
persetujuan dari istri sebelumnya. Hal ini diharapkan dapat memperkecil dilakukannya poligami bagi laki-laki yang telah menikah tanpa alasan tertentu. Dan karena sulit
untuk mendapatkan izin dari istri, maka akhirnya suami melakukan nikah secara
diamdiam atau Nikah Siri.23
9. Masih adanya masyarakat yang melakukan Nikah Siri karena tidak ada yang

mau mengambil tindakan yang tegas

23Heru Susetyo, Revisi Undang-Undang Perkawinan, Jurnal Lex Jurnalica 4 (2)


April 2007 Universitas Indonusa Esa Unggul, h. 73.

18

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 menyatakan:
a. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, maka:
1) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat

(3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
2) Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8,

9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran

Pegawai Pencatat Nikah atau aparat penegak hukum mestinya memberikan sanksi
secara tegas terhadap pelaku Nikah Siri yang tidak bertanggung jawab dan
mengabaikan kewajibannya, hal ini untuk membuat jera pelaku, meskipun sanksi
yang ada cukup ringan.
Pelaku Nikah Siri yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan kewajibannya yang diproses secara hukum, akan memberikan gambaran atau contoh bahwa
Nikah Siri itu berdampak buruk baik terhadap suami, isteri maupun anak-anaknya.
Sebaliknya bila tidak diambil tindakan hukum, maka masyarakat menganggap tidak
masalah melakukan Nikah Siri dan masyarakat akan terus dan banyak yang tetap melakukan Nikah Siri.24
24Siti Ummu Adillah, Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang
Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri Dan Dampaknya Terhadap Perempuan
(Istri) Dan Anak-Anak (Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari
2011), h. 106-108

19

D. Dampak Nikah Siri


1. Dampak Positif
a. Menghindari zina
b. Apabila suami dan istri bekerja pada instansi yang melarang orang beristri ber-

suami maka Nikah Siri adalah solusi alternatif.


2. Dampak Negatif

a. Hukum
1) Tidak ada Perlindungan hukum bagi wanita;25
2) Tidak ada kepastian hukum terhadap status anak;
3) Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam harta waris.26
b. Ekonomi
1) Wanita yang diperistri tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut besarnya ekonomi yang diperlukan;
2) Terjadi kesewenangan dari pihak suami dalam memberikan nafkah;
3) Tingkat kesejahteraan kehidupan keluarga rendah;
4) Meningkatnya jumlah keluarga yang tidak memperoleh peluang untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarganya (kendala birokrasi);
5) Memperbanyak jumlah keluarga miskin.
c.

Sosiologis

25Tsuroya Kiswati dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, (Surabaya: Pusat
Studi Gender IAIN Sunan Ampel, 2004), 151.
26Tsuroya Kiswati dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, h. 154.

20

1) Terciptanya komunitas baru berupa masyarakat yang tidak mendapatkan jaminan hukum yang layak dan memadai. Ketika terjadi tindak kekerasan dalam
rumah tangga, istri tidak bisa berbuat banyak, karena ia tidak memiliki kekuatan hukum legal formal;
2) Meningkatnya jumlah keluarga yang kurang bertanggung jawab dalam
membina rumah tangga;
3) Munculnya patologi sosial, akibat rendahnya tingkat ekonomi masyarakat;
4) Meningkatnya jumlah generasi muda yang kurang mendapatkan perhatian dan
kasih sayang dari orang tuanya (terutama dari pihak bapak), sehingga berdampak pada kehidupannya di masa mendatang;
5) Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak memiliki peluang dalam
memperoleh lapangan kerja (kendala birokrasi).
d. Pendidikan
1) Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak terjamin pendidikannya;
2) Meningkatnya jumlah generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah;
3) Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak memiliki peluang untuk
meningkatkan prestasinya (kendala birokrasi).
e. Budaya
1) Terciptanya budaya Nikah Siri dalam masyarakat menciptakan semakin
banyak suami yang kurang bertanggung jawab;
2) Meningkatnya budaya mempermainkan wanita/istri;

21

3) Meningkatnya jumlah kaum lelaki untuk mengumbar nafsunya (perzinahan


terselubung);
4) Merebaknya budaya hidup berpoligami dalam masyarakat secara diamdiam/tersembunyi.
f. Psikologis
1) Munculnya perasaan was-was, terancam, atau pun dibohongi oleh lelaki
secara terus menerus di dalam diri wanita yang diperistri secara siri;
2) Kedamaian dan ketentraman yang dialami oleh wanita yang diperistri adalah
semu, tanpa mengetahui jalan keluarnya.27

27Tsuroya Kiswati dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, h. 169.

22

III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan:


1. Bahwa Nikah Siri dihukumi sah bila memenuhi aturan yang berlaku dalam

ketentuan ajaran agama Islam.


2. Bahwa secara hukum positif, nikah siri adalah tidak sah apabila tidak ada

pencatatan secara hukum, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B. Implikasi Penelitian

Jadikanlah makalah ini sebagai pedoman yang bersifat untuk menambah wawasan pengetahuan dan jadikan acuan pemahaman yang lebih dalam sebagai wadah
untuk menampung ilmu.

23

DAFTAR PUSTAKA
Admin, Hukum Nikah Sirri, 04 April 2010, http:// dewan dakwah
jakarta.or.id/index.php/buletin/april10/140-april4.html, akses
tanggal 6 Februari 2011
Afkar, Tanwirul. Fiqh Rakyat. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Al-Baihaqi>, Abu>> Bakar Ah}mad bin al-H}usein bin Ali>. alSunan al-Kubra>. Cet. III. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003 M/1424 H.
Al-H}is}ni>, Taqiyy al-Di>n Abu>> Bakar bin Muh}ammad alH{useini>. Kifa>yah al-Akhya>r fi> H{ill Ga>yah alIkhtis}a>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001 M/1422 H.
Al-S}abba>g, Mah}mu>d. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut
Islam, alih bahasa Bahruddin Fannani. Cet. 3. Mesir: Da>r alItis}a>m, 2004.
Al-Sya>t}iri>, Ah}mad binUmar bin Awad}. Al-Ya>qu>t al-Nafi>s.
Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Tirmiz\i>, Abu> I<sa> Muh}ammad Ibn I<sa>. Al-Ja>mi alS}ah}i>h} Sunan al-Tirmiz\i>. Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1938.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Departeman Agama RI. Al-Quran Dan Terjemahannya, Madinah alMunawwarah: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Quran,
Edisi Khusus, Mujamma Kha>dim al-Haramain al-Syari>fain,
al-Malik Fahd li> T}ibaah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1990 M.
Ibn Manz{u>r, Abu> al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin
Mukrim al-Ans}a>ri>. Lisa>n al-Arab. Beirut: Da>r S{a>dir,
1990.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Kiswati, Tsuroya dkk. Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan
Dampaknya Bagi Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal
Kuda Jawa Timur. Surabaya: Pusat Studi Gender IAIN Sunan
Ampel, 2004.
Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali, 1995.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Cet.
3. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo ala Yusuf al-Qardawi (Tinjauan
Hukum Islam). Surabaya: Khalista, 2010.

24

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2000.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. II. Jakarta: Raja
Grafindo, 1997.
Shomad, Abdus. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Susanto, Happy. Nikah Sirri Apa Untungnya? Cet. I. Jakarta:
Visimedia, 2007.
Susetyo, Heru. Revisi Undang-Undang Perkawinan, Jurnal Lex
Jurnalica 4 (2) April 2007 Universitas Indonusa Esa Unggul.
Ummu Adillah, Siti. Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang
Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri Dan Dampaknya
Terhadap Perempuan (Istri) Dan Anak-Anak (Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
Pasal 5 ayat (1)
Widiastuti, Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri
Melakukan Pernikahan di Bawah Tangan, Jurnal Eksplorasi,
Vol. XX (1) tahun 2008, LPPM Slamet Riyadi.

Anda mungkin juga menyukai