Anda di halaman 1dari 14

ABSTRAK

Pernikahan merupakan ibadah yaitu upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma
agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan
variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Artikel ini
mendiskusikan tentang hukum keluarga islam yang mencakup batas usia perkawinan dalam
Islam dan UU yang sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 7 UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, pencatatan perkawinan yang juga penting dengan tujuan untuk menciptakan
ketertiban hukum, serta adanya kententuan poligami yang sebagaimana telah disebutkan
dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan tentang hukum poligami di
Indonesia yang diperbolehkan selama sang suami bisa berlaku dengan adil terhadap istri-
istrinya.

Kata Kunci : batas usia untuk menikah, pencatatan perkawinan, ketentuan poligami

PENDAHULUAN

Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang Al-Ahwal al-Syakhsiyah atau Hukum Keluarga,
yaitu fiqh yang mengatur hubungan antara suami-isteri, anak, dan keluaganya. Hukum
keluarga dalam pengertian sempit yakni hukum perkawinan dan perceraian. Sedangkan
hukum keluarga dalam arti luas selain mencakup mengenai hukum perkawinan dan
perceraian, juga meliputi hukum kewarisan, hibah, wasiat dan wakaf.

Hukum keluarga Islam sangat penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim


karena permasalahan tentang keluarga menyangkut tentang perkawinan, kewarisan dan
lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non muslim, sehingga
masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku khusus, apalagi
dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga dibutuhkan
metode-metode untuk pembaharuan hukum. Lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban dari keresahan,

1
ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi pedoman, rujukan dalam
mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.

Beberapa bahasan tentang hukum keluarga yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
terkait dengan pernikahan/perkawinan, batasan usia perkawinan, pencatatan perkawinan,
serta mengenai ketentuan poligami.

1. Batas Usia Perkawinan dalam Islam dan UU

Nikah menurut bahasa yaitu memiliki arti mengumpulkan, menggabungkan, membodohkan


yang merupakan arti dari kata nikah itu sendiri. Sedangkan menurut agama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam, pernikahan atau perkawinan adalah suatu ikatan lahir-
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan untuk berketurunan yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan
hukum syariat Islam.

Pernikahan di Indonesia masih merujuk kepada Al-Quran dan hadis serta pendapat ulama
terdahulu yaitu pendapat empat imam Mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Syafi'i, Hambali dan
Maliki. Selain itu dasar pernikahan tersebut di Indonesia juga berlandaskan undang-undang
yang mengatur perihal yang menyangkut problematika yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia

Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Dalam Alquran dan hadist tidak menyebutkan secara spesifik tentang batas usia minimum
untuk menikah, persyaratan umum yang lazim dikenal adalah yang sudah baligh, berakal
sehat, bisa membedakan yang baik dan yang buruk sehingga dapat memberikan
persetujuan untuk menikah.

Hukum Islam secara umum melikuti 5 prinsip, yaitu :

1) Perlindungan terhadap agama

2
2) Perlindungan terhadap jiwa
3) Perlindungan terhadap keturunan
4) Perlindungan terhadap harta
5) Perlindungan terhadap akal
Dari kelima nya salah satu diantaranya adalah agama yang menjaga jalur keturunan
batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara konkret yang
terdapat pernyataan istilah baligh sebagai batas minimalnya.

Dalam hukum agama Islam MUI menegaskan bahwa di dalam agama Islam hanya mengatur
baligh (kedewasaan) dengan beberapa tanda, yaitu :

1) Anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mengalami haid
(menstruasi)
2) Anak laki-laki sudah berusia 9 tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi
"basah"
3) Anak laki-laki atau perempuan yang telah mencapai usia 15 tahun tanpa syarat
haid dan mimpi basah

2. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Nikah dalam Kajian Ushul Fiqh

Pencatatan nikah dilihat dari kaidah perumusan hukum Islam dapat ditinjau dari
beberapa sisi: (Nenan, 2017: 56-59)

1. Nash

Perumusan pencatatan nikah merupakan persoalan baru, pencatatan nikah hadir


karena tuntunan zaman, maka dapat dipastikan bahwa persoalan ini tidak
ditemukan secara tegas (qath'i) dan jelas (sharih) dalam nash (Al-Qur'an dan
hadis).

2. Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti "mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya". Dalam hal ini yang tidak ada

3
ketentuan hukumnya adalah masalah pencatatan nikah, sementara persoalan
yang ada ketentuan hukumnya adalah persoalan muamalah hutang-piutang.
Dengan merujuk Alquran suarat al-Baqarah ayat 282 yang terdapat anjuran untuk
mencatat semua transaksi muamalah, tidak hanya dicatat tetapi juga harus
dipersaksikan oleh dua orang laki-laki. Hal ini untuk menghindari adanya
kekeliruan keraguan dan ketidakpastian.

Dalam tafsir Al-Qur'an ditemukan keterangan bahwa yang termasuk dalam makna
muamalah yaitu seperti melakukan jual beli, hutang piutang, atau sewa-menyewa
dan sebagainya, maka diketahui pula bahwa pernikahan juga merupakan bagian
dari muamalah, lebih dari itu pernikahan bukanlah muamalah biasa akan tetapi
perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam Al-Qur'an surah An-Nisa
ayat 21: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.

Jadi kesamaan antara muamalah pernikahan dengan muamalah jual beli atau
utang piutang adalah di dalamnya ada kesamaan rukun, terutama adanya orang
yang melakukan akad, adanya saksi, dan sighat akad. Dengan demikian pencatatan
nikah yang tidak ada Nash syarih yang menjelaskannya dapat diqiyaskan pada
muamalah hutang piutang yang ada penjelasannya dalam nash, karena adanya
kesamaan illah di antara keduanya, yaitu bukti keabsahan perjanjian/transaksi
muamalah (bayyinah syar'iyah).

Dengan demikian, bahwa pencatatan akad nikah dianjurkan oleh Islam


sebagaimana perintah pencatatan akad hutang-piutang atas dasar qiyas. Dalam
kaidah fikihnya dinyatakan:

‫“الثابت ابلربهان كالثابت ابلعيان‬Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti


(keterangan) sepadan dengan yang telah di tetapkan berdasarkan kenyataan”
(Sayyid Qutb, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam: 223) dalam Nenan, 2017: 58)

3. Ijma'

Dalam konsep Ushul fikh, ijma' yang dapat diterima sebagai dalil hukum adalah
ijma' para sahabat. Hal ini di pahami dari makna ijma' itu sendiri, yaitu

4
kesepakatan seluruh ulama yang ada pada satu masa akan suatu masalah (Saif al-
Din Abi al-Hasan Ali bin Ali, 1967: 132) dalam Nenan, 2017: 58)

Umat Islam ketika itu hidup pada wilayah yang berdekatan. Hal itu memudahkan
untuk menjalin komunikasi antar sesama.

Adapun ijma' di era sekarang, tentu tidak akan ditemukan dalam pengertian yang
seperti itu, karena sangat sulit terjadi kesepakatan seluruh ulama yang hidup pada
satu masa tentang suatu masalah.

Walaupun kesepakatan seluruh ulama tidak mungkin terjadi untuk hari ini, namun
ada cara lain yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan baru, di antaranya melalui mu’tamar, konferensi, lokakarya, dan lain
sebagainya. Terkait pencatatan nikah dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, para alim ulama Indonesia telah melakukan lokakarya pada tanggal 2
s.d. 5 Februari 1991. Hasil dari lokakarya tersebut bahwa ketentuan pencatatan
nikah dapat diterima dengan baik. Walaupun tidak seluruh ulama sepakat tapi
dapat dikatakan bahwa sebagian besar ulama Indonesia sepakat bahwa
pencatatan nikah merupakan bagian dari hukum yang wajib ditaati oleh umat
Islam.

4. Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah adalah kemashlahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at


dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan
masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
“Suatu tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dilakukan atas dasar maslahat"
(Ibnu Nujaim, al-Hanafi, Zayn al-Abidin ibn Ibrahim, 1983: 137) dalam Nenan,
2017: 58).

Atas dasar kemaslahatan di berbagai negara muslim termasuk di Indonesia, telah


dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan
untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan didalam masyarakat, adanya kepastian
hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri

5
serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua
dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami istri atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab,
maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami istri
memiliki bukti otentik, legal formal atas perkawinan yang terjadi antara mereka.

Peraturan perundang-undangan pencatatan perkawinan

Peraturan tentang pencatatan perkawinan tertulis dalam pasal 2 ayat (1) undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada perkawinan di
luar masing-masing agama dan kepercayaan itu. Lalu dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 22
tahun 1946 dan Undang-Undang No. 34 tahun 1954, sedangkan kewajiban pegawai
pencatat nikah diatur dalam peraturan pemerintah No. 1 tahun 1954 dan No. 2 tahun 1955.
Menurut ketentuan pasal 2 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 bahwa pencatatan
perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama, sedangkan pencatatan perkawinan bagi selain Islam dilakukan oleh pencatat
perkawinan pada kantor Catatan Sipil (Nenan, 2017: 54).

Proses pencatatan perkawinan itu diawali dengan pemberitahuan kehendak untuk


melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat di mana perkawinan
itu akan dilangsungkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua
atau wakilnya (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). Apabila syarat-syarat formil telah
terpenuhi dan tidak ada halangan hukum baik hukum agama maupun Undang-undang bagi
calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka sesaat setelah akad nikah
dilangsungkan kedua belah pihak (suami-istri) menandatangani akta perkawinan yang telah
disiapkan oleh pegawai pencatat (Nenan, 2017: 54).

6
Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh negara untuk
mengatur administrasi yang bersangkutan dengan warga negaranya. Negara mengatur
masyarakat demi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Salah satu tujuan penting
diterapkannya aturan tentang pencatatan perkawinan adalah untuk kepastian hukum.
Dengan adanya pencatatan perkawinan akan menjamin hak-hak masing-masing warga
negara dapat terpenuhi.

Sama halnya dengan pencatatan peristiwa hukum, pencatatan perkawinan dinyatakan


dalam daftar pencatatan yang telah disediakan. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan
di Indonesia tertuang dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) yang berbunyi:

"perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya


dan kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku".

Bunyi pasal 2 dari undang-undang perkawinan tersebut menimbulkan perdebatan di


antara para ilmuwan: apakah pencatatan perkawinan menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan?

Ada dua pendapat terkait dengan hal ini, yaitu: pendapat pertama yang ingin
memisahkan penafsiran pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2), bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu,
sedangkan pendaftaran adalah syarat administrasi saja. Tidak dilakukannya pencatatan
perkawinan maka tidak akan mengakibatkan cacat atau tidak sahnya suatu perkawinan.

Sedangkan pendapat kedua menafsirkan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu bukan dari
sudut yuridis saja, yakni terkait sahnya suatu perkawinan, tetapi juga dikaitkan dengan
aspek sosiologis. Oleh karena itu pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu tidak dapat dipisahkan
karena keduanya saling terkait. Dua ayat tersebut diibaratkan seperti rajutan yang saling
menjalin, yang jika salah satu jalinannya lepas maka akan berkurang kekuatan rajutan
tersebut dan bahkan akan hilang sama sekali. Sebab sebuah pernikahan pada hakekatnya
akan melahirkan akibat hukum yang melekat pada suami dan istri. Oleh karena itu
mencatatkan perkawinan merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar terwujudnya
kemaslahatan dan kepastian hukum (Idris, (1999) dalam Itsnaatul, 2015: 48).

7
Dengan dicatatnya sebuah perkawinan maka akan membantu menjaga masing-masing
pihak untuk mendapatkan haknya, sekaligus juga menjadi bukti otentik jika ada perselisihan.
Selain itu akta perkawinan juga merupakan salah satu alat bukti yang sah. Maka dapat
dikatakan pula bahwa keberadaan akta perkawinan secara hukum sangat penting adanya
khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang serta untuk
membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Oleh karena itu, ketika terjadi
tuntutan atau gugatan dari pihak lain tentang keabsahan suatu perbuatan hukum, maka
peranan alat bukti (dalam hal ini adalah akta perkawinan) menjadi sangat penting (Dian,
(2014) dalam Itsnaatul, 2015: 48-49).

Alasan lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah merupakan respons dari
masalah sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu banyaknya praktek perkawinan (tidak
dicatatkan) atau pernikahan sirri yang ternyata menimbulkan permasalahan di masyarakat.
Banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban Dari perkawinan yang tidak
memiliki bukti otentik atau surat nikah. Contoh permasalahannya adalah kasus akibat
pernikahan yang tidak dicatatkan atau nikah sirri, dari pernikahan siri anak yang lahir di
mata hukum Indonesia tidak memiliki hubungan keperdataan dengan sang ayah, akibatnya
anak itu tidak berhak atas nafkah dan harta warisan sang ayah dimata hukum.

Namun sayangnya, aturan tentang keharusan melakukan pencatatan perkawinan


tidak disertai dengan sanksi yang bisa membuat pihak yang melanggar peraturan itu
menjadi jera. Merujuk pada peraturan perundang-undangan No. 9 Tahun 1975, khususnya
pasal 45, disebutkan bahwa hukuman terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan hanya
dikenai hukuman denda setinggi-tingginya 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Tampak jelas
bahwa negara tidak tegas dalam aturan yang ada. Penjelasan tersebut pula menunjukkan
bahwa sanksi terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan tidak mengakibatkan tidak
sahnya perkawinan tetapi hanya dikenakan hukuman (Itsnaatul, 2015: 49).

Paling tidak, manfaat dari pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut: (Nenan,
2017: 56)

menjadi alat bukti yang sah dan autentik telah terjadinya perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan.

8
Menjadi alat bukti yang sah dan autentik ketika berperkara di Pengadilan
Umum/Pengadilan Agama.
menjadi alat bukti sah dan autentik untuk mendapatkan perlindungan hukum
berkaitan dengan hak-hak sebagai akibat hukum adanya perkawinan seperti nafkah
dan tempat tinggal istri/anak, nafkah iddah, hadhanah (hak pemeliharaan anak),
warisan, dan lain-lain.

3. Ketentuan Poligami

1. Pengertian poligami
Menurut Abdullah (dalam Ardhian, R. F., dkk, 2015), Kata poligami sendiri
berasal dari yunani “polygamie”, yaitu poly berarti banyak dan gamie berarti laki-laki,
jadi arti dari poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam
satu ikatan perkawinan.
Siti Musdah mulia (dalam Busthami, Fitriani, R., dan Sahara, S., 2020)
mengatakan bahwa poligami merupakan ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Dalam fiqih munakahat yang
dimaksud Poligami adalah seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi
paling banyak adalah 4 orang, karena melebihi dari 4 berarti mengingkari kebaikan
yang diisyaratkan Allah bagi kemaslahatan hidup suami istri.
Dapat disimpulkan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu
pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan.

2. Poligami dalam Hukum Islam


Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal ini dapat
dipahami dari surat an-nisa’ ayat (3):

‫ث َو ُر ٰ َب َع ۖ َف إِنْ ِخ ْف ُت ْم أَاَّل‬ َ َ‫اب لَ ُكم م َِّن ٱل ِّن َس ٓا ِء َم ْث َن ٰى َو ُث ٰل‬ ۟ ‫وا فِى ْٱل َي ٰ َت َم ٰى َف ٱن ِكح‬
َ ‫ُوا َما َط‬ ۟ ‫ط‬
ُ ‫َوإِنْ ِخ ْف ُت ْم أَاَّل ُت ْق ِس‬
۟ ُ‫ت أَ ْي ٰ َم ُن ُك ْم ۚ ٰ َذل َِك أَ ْد َن ٰ ٓى أَاَّل َتعُول‬
‫وا‬ ْ ‫وا َف ٰ َو ِح َد ًة أَ ْو َما َملَ َك‬
۟ ُ‫َتعْ ِدل‬

Artinya: Dan jika kamu tidak takut untuk berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang

9
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahayan perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Walaupun Allah SWT memberi peluang untuk laki-laki bisa beristri sampai
empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syarat-syarat yang sebenarnya cukup
berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Allah SWT dalam
Firman-Nya Dalam ayat surat an-Nisa’ ayat (3) untuk kebolehan berpoligami hanya
dipersyaratkan dapat berlaku adil. Hal ini dipahami secara kontradiktif dari mafhum
ayat yang jika diungkapkan secara lengkap akan menjadi “jika kamu tidak yakin dapat
berlaku adil cukupkanlah dengan isteri satu saja, namun apabila kamu benar-benar
yakin akan dapat berlaku adil, silahkan menikahi perempuan dua atau tiga atau
empat sebagai isterimu”. Secara implisit, Al-Qur’an membolehkan poligami, namun
tidak menentukan persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan
peringatan “apakah kamu yakin apabila berpoligami nantinya akan mampu berlaku
adil, karena adil itu sangat berat.”
Ketika ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan Nabi Muhammad
SAW melakukan perubahan radikal sesuai dengan kandungan ayat yaitu pertama
pada bilangan istri dari tidak terbatas jumlahnya kemudian dibatasi hanya menjadi 4.
Kedua syarat Poligami adalah harus mampu berlaku adil sebetulnya poligami tidak
mengenal syarat apapun termasuk syarat keadilan.
Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan
bagi ketentuan kehidupan. Allah SWT telah mengisyaratkan poligami untuk diterima
tanpa keraguan demi kebahagiaan seorang Mukmin di dunia dan di akhirat. Islam
tidak menciptakan aturan poligami dan tidak mewajibkan kan terhadap kaum
Muslimin. Hukum dibolehkannya poligami sudah didahului oleh agama samawi
seperti agama Yahudi dan Nasrani. Kedatangan Islam memberi landasan dan dasar
yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan dan kemudharatan yang
terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Musfiraj-Jahrani (dalam
Bustami, dkk, 2020).

3. Syarat dan Alasan Poligami

10
Syarat dan alasan hukum membolehkan berpoligami yang kita temui dalam
hukum Islam merupakan hasil ijtihad para ulama dalam lingkup kajian fiqh, sehingga
tidak menutup kemungkinan untuk ditransformasikan lagi kedalam hukum positif
sebagai hukum Islam yang bercorak lokal dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
hukum masyarakat Islam setempat, seperti di Indonesia, lahirnya Kompilasi Hukum Islam
dalam rangka pembentukan unifikasi hukum Islam yang berlaku bagi muslim Indonesia.
Alasan dan syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang dapat
ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yaitu: Pasal 4 ayat (2) – Pengadilan dimaksud dalam ayat (1), pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 ayat (1) – Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a) Adanya persetujuan dari isteri / isteri-isteri;


b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
4. Urgensi Pemberian Izin Poligami Di pengadilan Agama
Banyak yang beropini bahwa poligami sebagai ajaran yang tidak sesuai lagi
dengan hak asasi manusia, poligami mengandung banyak unsur negatif, dan membawa
implikasi sosial yang menjadi sesuatu buruk bagi masyarakat serta sejumlah persepsi
lainnya yang intinya memojokkan ajaran dan pelaku poligami. Banyak sebagian kalangan
mengajukan tuntutan agar segera diperbaharui undang-undang perkawinan (UU nomor
1 tahun 1974) dan menghapuskan ketentuan perihal poligami. Masyarakat
menginginkan asas perkawinan adalah monogami dengan harga mati dan tidak perlu
diberi peluang sedikitpun kearah sistem perkawinan poligami. Jika pelu dimuat
ketentuan sanksi terhadap pelaku pologami sebagai perbuatan pidana.
Opini-opini tersebut merupakan kekeliruan, mereka lupa bahwa Allah SWT
menetapkan sesuatu pasti demi kebaikan bersama dan untuk memudahkan manusia.
Manusia secara fitrah diciptakan oleh Allah SWT dengan kapasitas hasrat biologis tidak

11
sama. Ada yang keinginan sahwatnya besar, ada yang tingkat seksualitasnya kecil, dan
bahkan ada yang mengalami cacat seksual atau tidak memiliki hasrat biologis alias frigit,
impoten, dan ada pula yang pasangan mereka mandul, tidak dapat melahirkan
keturunan dan sejumlah masalah seksual lainnya.
Perkawinan poligami merupakan perbuatan hukum dan tidak dilarang oleh
ketentuan agama, namun hanya diatur sedemikan rupa agar benar-benar dilakukan
sesuai dengan dan untuk tujuan yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, agar
perkawinan poligami benar-benar dilakukan sesuai dengan tujuan perkawinan, maka
perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan pelaksana
dari syariat perkawinan. Artinya negara wajib mengatur segala perbuatan hukum
diwilayahnya demi terciptanya ketertiban hukum, memberikan perlindungan dan
jaminan hukum bagi warganya, termasuk masalah perkawinan.
Ketentuan mengenai izin poligami sebagaimana dituangkan dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa “Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1)
dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 mengatur ketentuan pelaksanaan
pemberian izin poligami dalam Pasal 43 disebutkan bahwa ”apabila Pengadilan
berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang,
maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari
seorang”. Sedangakan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam memberikan landasan hukum pemberian izin poligami melalui Pasal 56 ayat (3)
pasal ini menyatakan bahwa “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga
atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Ketentuan tersebut secara jelas menyatakan bahwa untuk berpoligami harus
melalui izin Pengadilan Agama, dan apabila dilakukan diluar izin Pengadilan Agama,
maka perkawinannya itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain
perkawinan itu dianggap tidak sah, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.
Konsekuensi ini dipahami dari hubungan kalimat “wajib” pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 1

12
Tahun 1974 dan dari ketentuan Pasal 56 ayat (3) KHI yang menyatakan “tidak
mempunyai kekuatan hukum”. Kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan
diatas adalah wajib, sehigga apabila dilakukan tidak lebih dahulu mendapat izin, maka
perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian perkawinan itu
juga tidak sah karena dianggap tidak pernah telah terjadi.
Dengan demikian disimpulkan bahwa urgensi keharusan izin Pengadilan untuk
berpoligami sangat menyangkut eksistensi perkawinan dalam pengakuan hukum
maupun pergaulan masyarakat. Nilai-nilai filosofi yang diusung ketentuan Undang-
undang yang mengharuskan adanya izin untuk berpoligami adalah bahwa eksistensi
perkawinan itu :
a) Tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah telah ada, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.
b) Tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu kepentingan hukum secara legal-formal atas
segala hal-hal yang menyangkut hubungan hukum dari perkawinan itu.
c) Tidak dapat dijadikan dasar untuk semua tuntutan hukum ke Pengadilan atas
sengketa yang timbul dari perkawinan itu dikemudian hari.
d) Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak-hak suami isteri termasuk anak-
anak mereka secara legal-formal dalam kehidupan bernegara maupun dalam
pergaulan sosial kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

H. Zahri Hamid. 1987. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta, h. 1.

Jawad, Muh. Mughiyah. 2003. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, h. 317

Julir, Nenan. 2017. Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif Ushul Fikih.


MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan. Vol. 4, No. 1: 53-62

Lathifah, Itsnaatul. 2015. PENCATATAN PERKAWINAN Melacak Akar Budaya Hukum dan
Respon Masyarakat Indonesia terhadap Pencatatan Perkawinan. Al-Maza>hib.
Vol. 3, No. 1: 43-54

13
Ardhian, R. F., Anugrah, S., dan Bima, S. (2015). Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama.
Privat Law, Vol. III No 2. Diakses dari: https://media.neliti.com › media PDF Hasil
web POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... – Neliti
Bustami, Fitriani, R., dan Sahara, S., (2020). Memikirkan Kembali Problematika
Perkawinan Poligami Secara Sirri. Deepublish: Yogyakarta

14

Anda mungkin juga menyukai