Anda di halaman 1dari 12

EKSISTENSI PENCATATAN AKAD NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN

ISLAM INDONESIA

Oleh

Sasmita Sari

Universitas Islam Malang

e-mail: s4smit4s4ri@gmail.com.

Abstract

Marriage registration for some people seems to still need to be disseminated.


Marriage registration is an administrative obligation based on statutory regulations
which aims to guarantee protection, in the event that a legal act occurs so that it can
be proven with perfect evidence with an authentic deed as a form of legal certainty.
The method used in this study is a qualitative method, namely literature research to
describe the existence of marriage records based on secondary data. happiness for
many.
Keywords : registration of marriage, Existence, recording
A. Pendahuluan

Mayoritas masyarakat merupakan penganut agama islam


mempunyai pengaruh sangat besar dalam pelaksanaan perkawinan di
Indonesia. Seiring berkembangnya zaman, Zaman modern sekarang ini,
serta globalisasi digitalisasi mengantarkan manusia pada era baru.
Pernikahan merupakan hal yang selalu diimpikan oleh semua orang,
dimana suatu perkawinan dianggap sudah sah apabila sudah memenuhi
ketentuan agama tanpa harus dicatatkan. Hal ini dalam status perkawinan
menimbulkan masalah yang serius karena perkawinan yang tidak
dicatatkan merupakan perkawinan yang tidak diakui oleh Negara dan tidak
mempuyai kekuatan hukum(Ginting, n.d.)

Kita menyaksikan dalam masyarakat adanya pola perkawinan yang


dibungkus dengan hukum agama tetapi jiwanya bertentangan dengan
ajaran agama, serta pola perkawinan menurut adat kebiasaan yang kiranya
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan
zaman. Dalam mengatur perkawinan diperlukan tata tertib dan norma
hukum. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama
diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab
masing-masing anggota keluarga, untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kekal dan sejahtera (Media sarana press 1987).

Ketentuan mengenai pencatatan nikah diatur dalam Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (UU RI
1974). Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan
mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik
tentang keabsahan pernikahan baik secara agama maupun Negara
Indonesia. Dengan buku nikah, mereka dapat membuktikan pula keturunan
sah yang di hasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-
haknya sebagai ahli waris (Kencana 2006 : 17).

Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan pasangannya


mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama jika terjadi
masalah, antara lain mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan
kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya
hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari
tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami-istri
(Grafindo Persada, 1995: 30).

Aturan tentang pencatatan akad nikah ini telah diformulasikan sejak


lama, bahkan bisa dipastikan telah diketahui secara umum dan disadari
oleh masyarakat Muslim, tetapi kenyataan yang terjadi bahwa tidak sedikit
di antara masyarakat Muslim melangsungkan akad nikah tanpa
sepengetahuan Pegawai Pencatat Nikah. Artinya penyelenggaraan akad
nikah ini tidak dicatat secara resmi oleh pencatat yang berwenang dan
perilaku semacam ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Perilaku sebagian masyarakat Muslim ini sangat
mungkin bukan disebabkan ketidaktahuan masyarakat terhadap
pencatatan akad nikah, tetapi sangat mungkin pula mengetahui bahwa
pencatatan akad nikah tidak termasuk salah satu syarat ataupun rukun
akad nikah baik ditentukan dalam Alquran, hadis Nabi atau pun yang
diformulasikan para pakar hukum Islam klasik. (Abdul Helim 2017: 4)
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (librray reseach)untuk menguraikan
eksistensi pencatatan perkawinan berdasarkan data sekunder bahan yang
digunakan dalam data sekunder ini mengunakan literature literature yang
berkaitan dengan tema dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif.(Oliveira,
2016).
Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penulisan adalah
menggunakan pendekatan normative (doktrin) yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan Undang Undang yang ada. Teknik pengumpulan data
yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi yaitu dengan menggali
data dari peraturan yang berlaku di Indonesia beserta pelaksanaanya dan
para ahli maupun buku-buku atau karya-karya ilmiah yang relevan dengan
masalah yang diteliti.(Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987: 10)
Analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif karena data yang diperoleh bukan dari angka
melainkan dari informasi deskriptif dan naratif. (Djoko Prakoso, I Ketut
Murtika. 1987:11.)
Terkait penelitian ini pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pencatatan perkawinan. (Pagej & Thorne, 1974)
B. Pembahasan
1. Pengertian Akad Nikah
Akad Nikah merupakan dua kata berbeda maknanya. Oleh karena itu
sebelum dua kata tersebut dikombinasi dalam satu pengertian terlebih
dahulu masing-masing kata dimaknai. Kata akad dapat diartikan sebagai
sebuah janji atau ikatan yang kuat apabila dihubungkan dengan
pernikahan. Kata nikah berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ نكحا‬- ‫نكح – ينكح‬
dilihat dari segi bahasa kata nikah ini diartikan sebagai “ ‫ الضم واجلمع‬atau
bisa disebut “menyatukan dan mengumpulkan. Dalam pengertian lain
disebutkan bahwa nikah adalah suatu akad yang dinyatakan untuk
mendapatkan legalitas kepemilikan agar dapat melakukan hubungan
badan dengan istrinya.(Abdul Helim 2017 : 28)
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan dalam perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari
segi beberapa terminiologi yang telah dikemukakan tampak jelas
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.(Wibisana, 2016)
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah.
Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara
keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan
merupakan ucapan seremonial yang sacral.(Santoso 2016)
Nikah adalah salah satu fondasi dalam hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan
menuju pintu perkenalan antara kaum laki laki dan kaum perempuan.
Ikatan pertalian nikah bukan saja antara suami istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga.

2. Eksistensi Pencatatan Akad Nikah


a. Pengertian Eksistensi
Eksistensi dalam kamus besar Indonesia Ejaan Yang
Disempurnakan berarti adanya, keberadaan. Dalam Wikipedia
menjelaskan eksistensi berasal dari bahasa latin existere yang
artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan actual.
Pemahaman secara umum tentang eksistensi berarti keberadaan.
Akan tetapi, eksistensi dalam kalangan filsafat eksistensialisme
memiliki arti sebagai cara berada manusia, bukan lagi apa yang ada
tetapi, apa yang memiliki aktualisasi (ada).(sarah sambiran, 2018)
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa
eksistensi adalah adanya pengakuan terhadap suatu wujud karena
wujud tersebut benar ada di dalam kehidupan. Wujud ini dapat
menentukan adanya wujud yang lain, sehingga keberadaannya pun
patut diperhitungkan sebagai salah satu unsur pokok dalam wujud
yang lain.
b. Pengertian Pencatatan

Pengertian pencatatan bisa disebut juga dengan “registrasi”


mendaftarkan atau melakukan pendaftaran. Dalam beberapa
refrensi kata pencatatn bisa diartikan sebagai “proses”, “cara”.
Setelah melakukan pendaftaran maka akan berfumngsi menjadi
dokumen. Dokumen ini merupakan bukti yang dipandang memiliki
kredibilitas tinggi.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada pasal 2


ayat 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Walaupun di dalam undang-undang perkawinan, masalah
pencatatan perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat, namun
masalah pencatatan ini sangat dominan. Hal ini akan tampak dengan
jelas dalam tata cara perkawinan yang semuanya berhubungan
dengan pencatatan. perkawinan baru dianggap sempurna, jika telah
memenuhi syarat dan rukun hukum Islam dan telah dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.(Dian Mustika, 2003: 61)

Idealnya perkawinan dianggap autentik apabila telah


memenuhi syarat materil dan formil yang telah ditentukan.
Realitanya yang terjadi di tengah masyarakat masih menganggap
pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang tidak penting. Hal ini
ditandai dengan banyaknya praktek nikah dibawah tangan (nikah
sirri) yang pada dasarnya pernikahan semacam ini merupakan
tindak pidana pelanggaran administrasi yang dapat dijatuhi sanksi
pidana, baik pelaku maupun petugas yang melaksanakan pernikahan
tersebut.

Menyikapi banyaknya perkawinan yang tidak tercatat, maka


undang-undang memberikan solusi dengan dibukanya peluang
permintaan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, yaitu permohonan
agar pernikahan tersebut (tidak dicatatkan/tidak punyai akte nikah)
dinyatakan sah, dan selanjutnya diperintahkan kepada PPN/KUA
kecamatan setempat untuk mencatat perkawinan semacam ini dan
memberikan Kutipan Akta Nikah berdasarkan keputusan Pengadilan
Agama. Ketentuan ini dijelaskan dalam pasal 7 ayat 2-4 Kompilasi
Hukum Islam. Selain itu, ketentuan ini juga dimuat dalam UU Nomor
22 Tahun 1946 pasal 3 ayat 5 dan pasal 31 ayat 3 Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1990.(Dian Mustika, 2003: 62)

3. Sejarah Hukum Pencatatan Pernikahan Di Indonesia


a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Ketentuan mengenai pencatatan akad nikah pada masa
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah ada undang-undang lain yang mengatur tentang
pencatatan akad nikah. Undang-Undang tersebut adalah Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk. Pada masa itu pencatatan perkawinan bukan suatu keharusan
dalam sebuah perkawinan. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang menyatakan
bahwa: “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya
disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang berwenang
dalam pencatatan perkawinan.”(Abdul Helim 2017 : 61)

Perkawinan menjadi kebutuhan dasar yang harus


dipenuhi, karena menyangkut eksistensi manusia untuk
melanjutkan garis keturunannya. Kebebasan untuk menentukan
pasangan hidup berada di tangan manusia seutuhnya. Negara
tidak berhak melakukan intervensi soal urusan perkawinan.
Akan tetapi, bagaimana dengan ketentuan negara yang mengatur
persoalan pencatatan perkawinan? Dalam hal ini harus
ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah termasuk
usaha negara untuk mengintervensi ruang-ruang privat warga
negaranya. Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang
dilakukan oleh negara untuk mengatur administrasi yang
bersangkutan dengan warga negaranya. Negara mengatur
masyarakat demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Kepastian hukum menjadi salah satu tujuan penting diadakannya
aturan tentang pencatatan perkawinan. Adanya pencatatan
perkawinan menjamin hak-hak masing-masing warga negara
dapat terpenuhi.(Lathifah, Itsnaatul, 2015: 47)

Pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan


peristiwa hukum lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang
dinyatakan dalam daftar pencatatan yang telah disediakan. Di
Indonesia, ketentuan tentang pencatatan perkawinan tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.

Bunyi pasal undang-undang pasal 2 ayat (1) menimbulkan


perbedaan pendapat bagi para ilmuan. Sehingga menimbulkan
sebuah pertanyaan apakah pencatatan pernikahan menjadi
syarat sahnya sebuah pernikahan? Dari pertanyaan ini muncul
terdapat dua pendapat sarjana hukum. Pendapat pertama
cenderung ingin memisahkan penafsiran Pasal 2 ayat (1) dengan
ayat (2), bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sedangkan
pendaftaran adalah syarat administratif saja. Tidak dilakukannya
pencatatan perkawinan tidak akan mengakibatkan cacat atau
tidak sahnya suatu perkawinan. Pendapat kedua menafsirkan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu bukan dari sudut yuridis saja,
yakni terkait sahnya suatu perkawinan, tetapi juga dikaitkan
dengan aspek sosiologis. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) itu tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling
terkait. Dua ayat tersebut diibaratkan seperti rajutan yang saling
jalin-menjalin, yang jika salah satu jalinannya lepas maka akan
berkurang kekuatan rajutan tersebut dan bahkan akan hilang
sama sekali. Sebab, sebuah pernikahan pada hakikatnya akan
melahirkan akibat hukum yang melekat pada suami dan istri.
(Lathifah, Itsnaatul, 2015: 48)

b. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan maka sejak itu perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat
dilihat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.” Peraturan
pencatatan akad nikah sebagaimana disebutkan pada pasal di atas
diatur kembali dalam peraturan pelaksanaan UndangUndang Nomor
1 Tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2). Dengan adanya Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini, pencatatan perkawinan dilakukan
oleh 2 (dua) instansi pemerintah, yaitu : Kantor Urusan Agama
(KUA), bagi mereka yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil
(KCS) bagi mereka yang bukan beragama Islam. (Abdul Helim
2017:62)

Dicatatkannya sebuah perkawinan untuk membantu


menjaga para pihak mendapatkan haknya sekaligus menjadi
bukti nyata jika suatu hari ada perselisihan ataupun ingkar janji.
Oleh karena itu, mencatatkan perkawinan merupakah sesuatu
yang harus dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan dan
kepastian hukum.

c. Pencatatan Akad Nikah dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1


Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang pencatatan akad
nikah. Hal ini disebabkan bahwa eksistensi pencatatan akad
nikah dipandang penting dalam suatu pernikahan, setidaknya
ketertiban akad pernikahan di masyarakat pun dapat terjamin.
Persoalan ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam : “Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.”
agar tercapainya ketertiban sebagaimana disebutkan dalam
pasal itu, akad nikah yang dilakukan mesti di bawah pengawasan
dan sepengetahuan pejabat yang berwenang sebab apabila hal ini
tidak dipenuhi, berarti akad nikah yang diselenggarakan pun
tidak tercatat secara resmi yang berarti tidak memiliki kekuatan
hukum dan cenderung tidak diakui negara. Hal ini sesuai dengan
pasal 6 ayat (1) dan (2) Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. (Abdul Helim 2017:63)

Akad nikah yang memiliki kekuatan hukum tetap, hanya


dapat dibuktikan melalui akta nikah yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat (1) bahwa
“perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.(Abdul Helim 2017:64)

Ketentuan yang disebutkan di atas, dikatakan dengan jelas


bahwa eksistensi pencatatan akad nikah memiliki kemaslahatan bagi
pasangan suami istri. Keduanya (suami isteri) dapat membuktikan
bahwa mereka pasangan yang legal di mata hukum Islam maupun
Negara tak hanya itu, identitas anak yang dihasilkan dari pernikahan
ini dapat diketahui secara pasti.

Permasalahan yang sering terjadi tidak satu pun dari


beberapa ketentuan di atas yang menyatakan eksistensi pencatatan
akad nikah sebagai penentu sah atau tidaknya suatu akad
pernikahan, sehingga ketentuan ini pun tampaknya masih diabaikan
sebagian masyarakat muslim Indonesia sebagaimana dijelaskan
dalam beberapa penelitian terdahulu. Meskipun ada ketentuan
pidana bagi yang melanggar ketentuan ini seperti pada pasal 45 ayat
(1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi
sanksi pidana yang diberlakukan sangat ringan. Oleh karena itu, para
ilmuan hukum islam seharusnya mempertimbangkan permasalahan
ini dan melakukan pengkajian ulang agar eksistensi pencatatan akad
nikah tidak hanya bersifat ketentuan administrative saja, melainkan
menjadi penentu sah atau tidaknya akad nikah.

4. Tujuan Pencatatan Akad Nikah

Di atas sudah dijelaskan sangat penting melakukan pencatatan


pernikahan terutama untuk mendapatkan legalitas (pengakuan di mata
hukum) warisan, nafkah bagi anak-anaknya dan lain sebagainya.
Seharusnya masyarakat Muslim dapat menyadari dampak dari akad
nikah yang dilakukan secara sirri, karena hal tersebut mengakibatkan
kerugian pada pihak istri dan anak-anak yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut.

Dalam pendapat yang lain ada sebuah rumusan bahwa pencatatan


akad nikah bertujuan untuk:

1. Mendapatkan perlindungan hukum


Dengan adanya bukti yang otentik bagi orang-orang yang
berkepentingan terhadap pernikahan yang dilakukannya,
sehingga hal ini memberikan kemudahan kepada mereka dalam
melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
2. Memudahkan urusan perbuatan hukum yang terkait dengan
pernikahan.
3. Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan
terjamin kemanannya dari kemungkinan pemalsuan dan
kecurangan lainnya.
4. Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan
kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung oleh
masyarakat dan Negara.

Dengan adanya pencatatan akad nikah yang dilakukan


memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak,
terlebih istri dan memudahkan pula dalam melakukan
pembuktian tentang telah terjadinya suatu pernikahan.
Sebaliknya, apabila akad nikah dilakukan secara sirri maka akad
tersebut tidak memiliki kepastian hukum yang tetap dan akan
mendapatkan kesulitan dalam membuktikan bahwa pernikahan
yang dilakukan adalah pernikahan yang legal serta hal ini juga
berdampak adanya keraguan terhadap pengakuan identitas anak.

C. KESIMPULAN

Pencatatan akad nikah merupakan suatu hal yang sangat urgen guna
mendapatkan legalititas (pengakuan hukum), menjaga para pihak (suami
istri) mendapatkan haknya sekaligus menjadi bukti nyata jika suatu hari
ada perselisihan ataupun ingkar janji. Pencatatan akad nikah diatur dalam
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku.”

Tujuan dari pencatatan akad nikah ini mendapatkan perlindungan


hukum, memudahkan urusan perbuatan hukum yang terkait dengan
pernikahan, lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan
kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung oleh
masyarakat dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Helim (2017). Eksistensi Pencatatan Akad Nikah. Penerbit K-Media


Yogyakarta

Dian Mustika, (2003). jurnal Pencatatan Perkawinan dalam Undang -Undang


Hukum Keluarga di Dunia Islam.

Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. (1987).azas-zas hukum perkawinan di Indonesia, PT


BimaAksara:Jakarta

Ginting, R. Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor catatan
sipil terhadap harta bersama.

Lathifah, Itsnaatul, (2015). Jurnal Pencatatan perkawinan: Melacak abar budaya


hukum dan respon masyarakat indonesia terhadap pencatatan perkawinan.
Al-Mazahib,.

Oliveira, R. (2016). Jurnal ‫ جلة‬.‫مقياس مقترح لتقييم جودة خدمات الملحقيات الثقافية المقدمة للطالب‬
40–11 ,147 ,:‫ مسقط‬،‫ سلطنة عمان‬،‫ معهد اإلدارة العامة‬،‫اإلداري‬..

Santoso (2016). Jurnal pemikiran dan penelitian ssosial keagamaan Yudisia,

sarah sambiran, (2018). Jurnal Eksistensi Lembaga Adat dalam Pembangunan


Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa (Suatu Studi Di Kecamatan Tawalian
Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat). Jurnal Eksekutif, 1(1).

Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam -


Ta’lim,

Pagej dan Torne, (1974) jurnal urgensi pencatatan perkawinan perspektif utilities

Mohammad Daud Ali, (2012) Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, ,
hlm.201

Anda mungkin juga menyukai