Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH


ATAS HARTA PRIBADI MENJADI HARTA BERSAMA BERDASARKAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 658 K/Ag/2021

Diajukan sebagai Tugas Hukum Keluarga Hukum Perkawinan

KELOMPOK 8:

Radhyca Nanda Pratama 2106801195

Rahimah Syamsi 2106801200

Raisa Berliana Nadhifah 2106801213

Rizki Hilmatunnur Hidayah 2106801232

Rizky Mustika Rini 2106801245

Safira Yufika Jasmin 2106801251

Sally Novita Nia 2106801213

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Harta Perkawinan seharusnya tidak menjadi hal yang selalu dipermasalahkan
ketika pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pemahaman akan sakralnya suatu perkawinan yang mana tujuan dari
perkawinan itu adalah membentuk keluarga yang saling menyayangi satu sama lain
yang seharusnya jika memang sudah tidak bisa membentuk dengan kasih sayang maka
semua bisa diatur secara baik-baik antara pasangan suami istri.
Pada dasarnya manusia adalah subyek hukum yang mendukung hak dan
kewajiban dalam suatu perbuatan hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu
lembaga yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang dibidang hukum. Oleh
karena itu, Negara berusaha untuk mengatur perkawinan dengan suatu undang-undang
nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia yang dapat menciptakan
unifikasi hukum dibidang perkawinan atau hukum keluarga.1
Ikatan perkawinan tentunya akan menimbulkan akibat hukum dalam perihal
harta yang selama ini dikenal dengan harta gono-gini. Menurut Pasal 119 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata menyatakan saat dilakukannya perkawinan suami istri
secara hukum, terjadi juga pengelolaan bersama dalam hal harta perkawinan. Yang
disebut dengan harta bersama adalah seluruh aktiva dan pasiva dari pihak suami atau
istri pada masa perkawinan, hal ini terjadi juga dalam hal modal, bunga dan utang yang
ditimbulkan dari adanya perbuatan melanggar hukum.2
Dalam KUHPerdata3 penggabungan harta bersama adalah harta keduanya yang
mana persatuan seluruh kekayaan ada jika suami istri tidak membuat perjanjian
perkawinan, semua penggabungan harta bersama itu meliputi benda tidak bergerak dan
benda bergerak saat ini atau setelahnya, juga termasuk atas harta-harta hasil hibah
ataupun waris, suami istri yang kawin atas persatuan kekayaan adalah bersama-sama
berhak atas harta tersebut.

1
Wahyono Darmabrata, Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia,
(Jakarta : Badan Penerbit FHUI, 2015), hlm 12-13.
2
Ali Afandi dalam Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020), hlm 12
3
Lihat Pasal 120 dan 121 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Selanjutnya Undang-undang Perkawinan mengatur pula mengenai harta
perkawinan namun dalam Pasal 35 UU Perkawinan membedakan harta perkawinan
menjadi tiga macam, yaitu seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung, harta yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian atau warisan, dan
hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung, kecuali yang merupakan
harta pribadi masing-masing suami istri.4
Dan juga dalam Pasal 85 KHI mengatakan bahwa adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing atau
harta bawaan dari istri dan suami. Meskipun Kitab Undang-undang Hukum Perdata, UU
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur mengenai pengurusan,
penggunaan dan pembagian harta bersama maupun harta bawaan namun pada
kenyataannya pengaturan tersebut belum memadai dilihat masih banyak permasalahan
mengenai harta bersama tersebut ketika ada pasangan suami istri yang hendak bercerai,
permasalahan inilah yang banyak melekat dipermasalahkan di muka pengadilan.
Penulisan tugas penelitian ini akan membahas terkait harta pribadi yang
dihibahkan menjadi harta bersama dalam sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian,
judul penelitian ini adalah “Penyalahgunaan Keadaan Dalam Pembuatan Akta Hibah
Atas Harta Pribadi Menjadi Harta Bersama Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 658 K/Ag/2021.”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
menetapkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status harta bersama sebagai objek hibah dalam akta hibah antara Tn.
Bajuri Bin Djais dan istrinya Ny. Siti Khasanah Binti Samsi berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 658 K/Ag/2021?
2. Mengapa pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 658
K/Ag/2021 mempertimbangkan unsur penyalahgunaan keadaan terkait pembatalan
akta hibah?

4
Ibid, Wahyono Darmabrata, Surini Ahlan Sjarif, hlm. 114
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Harta Benda Perkawinan


Harta benda dalam perkawinan yang digunakan dalam UU Perkawinan
merupakan pembedaan dalam hukum benda dengan hukum orang yang diatur dalam
KUHPerdata. Karena dalam KUHPerdata memberikan aturan mengenai hak kebendaan
sedangkan dalam UU Perkawinan memberikan pengaturan mengenai Hukum Pribadi
(hukum orang). Sehingga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memberikan penjelasan mengenai pembagian harta perkawinan, yang terbagi atas Harta
Pribadi dan Harta Bersama.
Harta Pribadi merupakan harta bawaan masing-masing suami istri yang
merupakan harta tetap dibawah penguasaan suami atau istri, sepanjang tidak ditentukan
lain melalui perjanjian perkawinan. Harta pribadi ini meliputi utang yang belum
dilunasi, harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain,
harta yang diperoleh dari warisan dan hasil-hasil dari harta milik pribadi suami atau istri
sepanjang perkawinan termasuk utang yang timbul selama perkawinan dilaksanakan.
Harta Pribadi diatur dalam Pasal 35 Ayat (2) jo Pasal 36 Ayat (2) UU
Perkawinan, yaitu harta yang sudah dimiliki suami ataupun istri pada saat perkawinan
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak
masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain dan mereka
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya tersebut.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan hingga putusnya
perkawinan akibat perceraian, kematian maupun suatu putusan pengadilan. Harta
bersama ini meliputi harta yang diperoleh selama perkawinan, harta yang diperoleh
sebagai hadiah, pemberian, atau warisan apabila tidak ditentukan sedemikian rupa, dan
utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung, kecuali yang merupakan harta
pribadi masing-masing suami-istri. Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) jo
Pasal 36 ayat (1), bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
Pengaturan Harta benda dalam perkawinan menurut Hukum Islam mengatur
mengenai sistem pemisahan harta perkawinan sepanjang tidak menentukan lain (tidak
membuat suatu perjanjian Perkawinan). Dalam Hukum Islam memberikan masing-
masing pihak yaitu suami istri untuk memegang harta benda secara perseorangan yang
tidak dapat diganggu oleh masing-masing pihak lainnya. Sehingga, harta bawaan yang
mereka miliki sebelum terjadinya suatu perkawinan merupakan hak milik masing-
masing para pihak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan mengenai harta kekayaan dalam
perkawinan diatur dalam Bab XIII Pasal 85 sampai Pasal 97 KHI. Terdapat penjelasan
bahwa harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri, karena pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta istri karena suatu perkawinan. Sehingga untuk harta bersama
masing-masing yang dimiliki oleh suami maupun istri dan harta yang diperoleh sebagai
suatu hadiah atau warisan merupakan pengawasan masing-masing pihak selama tidak
dibuatnya suatu perjanjian perkawinan. Dengan demikian baik istri maupun suami
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas harta
masing-masing yang dimilikinya.

2.2. Hibah
Menurut pandangan ulama, Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba
digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.
Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau
menganugerahi. Sedangkan pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah
pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
tanpa mengharapkan balasan apapun. Menurut kamus populer internasional hibah
adalah pemberian sedekah, pemindahan hak.5
Hibah sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata oleh pembentuk
KUHPerdata sebagaimana hasil terjemahan yang secara expressive verbis (terang dan
jelas) diartikan sebagai salah satu perjanjian manakala si penghibah pada masa
hidupnya dengan cuma-cuma (sukarela) untuk menyerahkan sebuah benda yang
digunakan untuk keperluan orang lain yang berkedudukan sebagai si penerima hibah.6
Pada hakikatnya secara yuridis materiil, hibah tergolong sebagai Perjanjian
Nominaat (Bernama) karena dalam KUH Perdata tersendiri mengklasifikasikannya.
Sebagaimana dibuktikan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata,
yang menerangkan bahwa semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus dalam hal
ini secara spesifik yang mencakup jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata
maupun jenis perjanjian yang diatur di luar KUH Perdata tunduk pada ketentuan Buku
III KUH Perdata. Ketentuan mengenai Hibah tersusun dalam rangkaian bagian Buku III
KUH Perdata, khususnya terletak pada Bab Ke Sepuluh. Kualifikasi Hibah sebagai
perjanjian, diartikan dan dihubungkan dengan konsep perjanjian yang mana merupakan
tindakan hukum atau perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum dan akibat
hukum tersebut dikehendaki oleh para pihak sebagaimana bentuk akibat hukum tersebut
berupa lahirnya, beralihnya atau hapusnya hak-hak subjektif para pihak dan demikian
hal tersebut memang dikehendaki secara sukarela dan tanpa adanya paksaan.7
Hibah dapat dikategorikan sebuah perbuatan hukum yang bertujuan untuk
memperoleh alas hak (titel) secara khusus yang berimplikasi beralihnya suatu hak

5
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996),
hlm. 540.

6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. 11, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 94.

7 ?
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Cet. 3, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 47.
kebendaan.8 Mengenai Hibah untuk benda tidak bergerak yang dalam hal ini berupa
tanah atau bukan tanah sifatnya formil yang berarti harus dilakukan atau dituangkan
dalam media dengan bentuk tertentu, yakni dengan suatu akta autentik.
Pasca berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) dan Peraturan Pelaksanannya (PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah), hibah untuk hak atas tanah baik yang hanya berupa tanah saja
maupun tanah berserta bangunan yang berdiri di atasnya harus dengan Akta yang dibuat
oleh PPAT sebagai bukti dilakukannya Hibah dengan objek tanah sebagaimana hal
tersebut terlacak dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Sementara
itu untuk objek hibah yang bukan merupakan tanah harus dilakukan dengan akta
Notaris.9
Hibah tidak dapat dapat dicabut dan dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut
tidak dapat dipenuhi sebagaimana dilukiskan dalam ketentuan pasal 1688 KUH
Perdata:10

1) Manakala syarat-syarat melakukan hibah tidak dapat dipenuhi oleh si penerima


hibah;

8
Herlien Budiono, Demikian Akta Ini Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris di dalam
Praktik, Cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 109.

9
Budiono, Demikian………, hlm. 110.

10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Soebekti
dan R. Tjitrosudibio, Cet.13, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Ps. 1688
2) Manakala si penerima hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu
usaha pembunuhan atau kejahatan lain atas diri si pemberi hibah; dan
3) Manakala pemberi hibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk
memberi nafkah kepadanya.

Adapun syarat-syarat hibah agar dapat dilakukan dengan menurut ketentuan


Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juncto Pasal 704 s.d. Pasal 706 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai berikut:

1) Penghibah dalam hal ini harus berumur minimal 21 (dua puluh satu) tahun atau
telah dewasa (vide Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 707 KHES);
2) Penghibah dalam hal ini harus memiliki akal sehat dalam melakuka hibah (vide
Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 707 KHES);
3) Tanpa adanya paksaan, jika terdapat paksaan pada saat terjadinya hibah maka dapat
dibatalkan (vide Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 708 KHES);
4) Dapat melakukan hibah sebanyak-banyaknya 1/3 (satu per tiga) dari harta
kekayaannya kepada orang lain atau lembaga (vide Pasal 210 ayat (1) KHI);
5) Harta yang hendak dihibahkan harus sudah ada pada saat akad hibah (vide Pasal
704 KHES);
6) Asal harta yang akan dijadikan sebagai objek hibah haruslah berasal dari harta
pribadi milik si penghibah dan manakala objek hibah bukan harta pribadi atau
bukan pemilik harta maka harus mendapat izin dan persetujuan dari pemilik harta
yang bersanggkutan (vide Pasal 705 ayat (1) juncto ayat (2) KHES);
7) Sebuah harta yang akan menjadi objek hibah haruslah pasti dan diketahui (vide
Pasal 706 ayat (2) KHES);
8) Hibah dilakukan di hadapan 2 (dua) orang saksi untuk dimiliki (vide Pasal 210 ayat
(1) KHI;
9) Objek Hibah harus merupakan hak atau bagian dari si penghibah (vide Pasal 210
ayat (2) KHI).

Dalam Hukum Islam sendiri ada 2 (dua) jenis akad hibah. Pertama, hibah
Mutlaq yang diartikan sebagai hibah yang tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan,
karena jenis hibah ini sendiri dilakukan secara tulus, dalam artian hibah yang dilakukan
oleh penghibah tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Kedua, Hibah bi al-‘Iwadh yang
diartikan sebagai hibah yang diberikan dalam rangka untuk mengharapkan sesuatu dari
yang menerima benda yang diberikan secara cuma-cuma oleh penghibah, maka dari hal
tersebut pemberian semacam ini dapat ditarik kembali atau dibatalkan selama orang
yang menerima benda yang dihibahkan oleh penghibah belum melakukan apa yang
dikehendakaki atau diharapkan oleh penghibah.11
Berkenaan syarat-syarat hibah sebagaimana termuat dalam ketentuan KHI
maupun KHES, apabila tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut baik sebagian atau
seluruhnya dalam melakukan tindakan hukum yang berupa melakukan hibah, hibah
tersebut dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan. Menariknya ketentuan hibah
dalam hukum islam di Indonesia telah dikodifikasikan melalui KHI yang eksistensinya
diakui berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam dan melalui KHES yang diakui pula
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Alasan untuk membatalkan hibah secara umum pula digunakan untuk
membatalkan sebuah perjanjian, salah satunya adanya unsur cacat kehendak dalam
perjanjian atau hal merusak kehendak dalam akad. Cacat kehendak diartikan manakala
seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan hukum (perjanjian atau akad), dilain
hal kehendaknya yang terbentuk tidak secara sempurna. Adapun kualifikasi perbuatan

11
Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah Jilid 3, ditahkik dan ditahrij oleh Muhammad Nasirudin Al-
Albani (Jakarta: Cakrawala, 2008), hlm. 237-238.
yang dikategorikan sebagai penyebab adanya cacat kehendak dalam suatu perjanjian
yang ternyata berlandaskan pada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang
mengkategorikan perbuatan-perbuatan tersebut diantaranya: dwang (paksaan), bedrog
(penipuan atau tipu daya atau tipu muslihat), dan dwaling (kekeliruan atau kesesatan)
sebagaimana pengaturannya terlacak dalam ketentuan Pasal 1322 s.d. Pasal 1328 KUH
Perdata.12
Adapun terdapat satu ajaran atau doktrin yang tergolong baru serta dapat
digunakan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian yang mengandung unsur cacat
kehendak yakni berupa penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau
undue influence). Mengenai penyalahgunaan keadaan dalam KUHPerdata belum diatur
secara khusus, akan tetapi ajaran atau doktrin terkait penyalahgunaan keadaan dapat
ditemukan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi yang menerapkan
doktrin mengenai penyalahgunaan keadaan ini salah satunya terdapat pada Putusan
Mahkamah Agung 3641 K/Pdt/2001. Meksipun doktrin misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan keadaan) ini belum secara khusus diakomodir dalam hukum positif
Indonesia, praktek yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu unsur cacat
kehendak.13
Penyalahgunaan keadaan ini didefinisikan sebagai sebuah doktrin yang dijadikan
landasan untuk mengatur perbuatan hukum yang berat sebelah (tidak seimbang)
sebagaimana telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang memiliki keunggulan
dominan kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan keadaan muncul ketika pihak yang
melakukan suatu perbuatan hukum atau membuat perjanjian dengan cara di bawah
paksaan atau pengaruh intimidasi atau ancaman.14 Demikian dalam hal ini dapat
diketahui bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan salah satu faktor pemicu yang
menghalangi untuk membentuk kehendak yang bebas sebagaimana yang disyaratkan

12
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Cet. 4, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 98.

13 ?
Lintang Yudhantaka, “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan Sistem Pre
Project Selling, Yuridika 32 (1) (January 2017), hlm. 93.
untuk membuat persetujuan antara para pihak yang telah ditegaskan dalam ketentuan
Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata.
Mengenai bentuk penyalahgunaan keadaan terdapat 2 (dua) jenis kondisi antara
lain penyalahgunaan keadaan dengan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan
keadaan dengan keunggulan psikologis. Yang diartikan manakala seseorang berada
dalam keadaan terpaksa (noodtoestand) menimbulkan dimungkinkan adanya orang
tersebut dapat dikausai atau dipengaruhi oleh pihak lawan yang tentunya memiliki
keunggulan baik secara psikologis atau ekonomi yang lebih kuat atau mempunyai
kekuatan untuk monopoli.15

2.3 Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 658 K/Ag/2021

2.3.1 Para Pihak


a. Penggugat: Siti Khasanah binti Samsi, pekerjaan buruh harian lepas,
beralamat di Dukuh Krajan Kidul RT.007/RW.004, Desa Jepang Pakis,
Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
b. Tergugat I: Bajuri bin Djais, pekerjaan buruh harian lepas, beralamat Desa
Besito Gang XI RT.00 RW.00, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
c. Tergugat II: Soegianto, S.H., pekerjaan Notaris/Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), beralamat di Jl. A. Yani No. 18 Kudus.
d. Tergugat III: Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berkedudukan di Jakarta,
Cq. Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional R.I. Provinsi Jawa
Tengah berkedudukan di Semarang, Cq. Kantor Pertanahan Kabupaten

14
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet. 4, (Bandung: Alumni, 2014), hlm. 26.

15
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku Kesatu,
Cet. 4, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016), hlm. 17.
Kudus, qq: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus, berkedudukan di Jl.
Mejobo Mlati Kidul, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Provinsi
Jawa Tengah.
e. Turut Tergugat: Arif Khoirul Amir, pekerjaan servis komputer, beralamat
Desa Jepang Pakis RT.001 RW.003, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.

2.3.2 Kasus Posisi


Bahwa Penggugat merupakan istri dari Tergugat I, kemudian Penggugat
mendapatkan warisan dari orang tuanya berupa sebidang tanah pekarangan C. No.
2490, persil 59a, D.II seluas 215 m2 dan telah didaftarkan haknya ke Tergugat III yaitu
Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus. Diatas objek sengketa, terdapat bangunan yang
ditempati oleh Turut Tergugat untuk usaha servis komputer atas izin Penggugat.
Pada tahun 2003, hubungan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat I
mengalami perselihan karena Tergugat meminta agar namanya dimasukkan sebagai
pemegang hak atas objek sengketa, tetapi Penggugat menolak. Kemudian, Tergugat I
selingkuh dan mengatakan akan menikahi selingkuhannya apabila tidak
mencantumkan namanya, sehingga Penggugat terpaksa memenuhi keinginan Tergugat
I dengan syarat tidak akan selingkuh. Kemudian, Penggugat baru menyadari
kepemilikan obyek sengketa telah berubah menjadi milik bersama dengan Tergugat I
saat Tergugat II memberikan sertipikat. Penggugat tidak menyadari bahwa maksud
tujuan Tergugat I membawa ke kantor Tergugat II untuk penghibahan obyek sengketa.
Walaupun telah melakukan penghibahan obyek sengketa, Tergugat I tetap selingkuh
dan berniat untuk poligami, namun Penggugat menolak memberi izin. Sehingga,
Penggugat dan Tergugat I bercerai karena Tergugat I meninggalkan Penggugat dalam
keadaan sakit dan tidak memberi nafkah. Kemudian, Penggugat menyatakan bahwa
penghibahan mengandung cacat hukum karena:
a. Penghibahan melebihi batas yang diperbolehkan menurut Pasal 210 KHI yaitu
penghibahan paling banyak hanya 1/3 bagian dari harta pemberi hibah. Namun,
Penggugat telah menghibahkan keseluruhan objek hibah dan menjadi milik
bersama dengan Tergugat I;
b. Penghibahan dilakukan terhadap orang yang dilarang menurut Pasal 1678
KUHPerdata yaitu antara suami istri selama perkawinan. Sehingga, penghibahan
menjadi tidak sah;
c. Akta hibah tersebut tidak memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian dalam Pasal
1320 KUHPerdata, karena penghibahan menurut Pasal 1678 KUHPerdata antara
suami dan istri dilarang, sehingga penghibahan tidak memenuhi unsur syarat suatu
sebab yang halal.
Namun, Tergugat I menyatakan objek sengketa merupakan harta bersama dan
alasan perubahan nama berdasarkan persetujuan Penggugat tanpa adanya paksaan.
Perubahan nama pemegang hak dilakukan untuk menciptakan kepastian hukum bahwa
obyek sengketa merupakan milik bersama, sehingga tidak ada maksud Tergugat I
untuk menguasai objek sengketa seluruhnya. Berdasarkan hal tersebut, Penggugat
ingin membatalkan hibah Penggugat kepada Tergugat I dan menyatakan Akta Hibah
No. 28/2003 yang dibuat oleh Tergugat II memiliki cacat hukum dan memerintahkan
Tergugat III untuk mengembalikan kepemilikan objek sengketa kepada Penggugat.

2.3.1 Upaya Hukum

Kasasi : 658 K/Ag/2021

Banding : 372/Pdt.G/2020/PTA.Smg

Pertama : 314/Pdt.G/2020/PA.Kds

Majelis Hakim pemeriksa perkara nomor 314/Pdt.G/2020/PA.Kds pada intinya


dalam konvensi mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dengan menetapkan hibah
yang dilakukan Penggugat batal 2/3 bagian dan sah 1/3 bagian lainnya. Kemudian,
menetapkan Akta Hibah No. 28/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum dan
menetapkan SHM No. 1482 Desa Jepang Pakis atas nama Penggugat dan Tergugat I
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Selanjutnya pada tingkat banding, Majelis Hakim pemeriksa perkara nomor
372/Pdt.G/2020/PTA.Smg pada intinya membatalkan putusan Pengadilan Agama
tingkat pertama dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi dengan menetapkan
objek sengketa merupakan harta milik bersama. Kemudian, menghukum Penggugat
dan Tergugat untuk membagi harta dan apabila tidak dapat dibagi dalam wujudnya
maka dijual lelang.
Pada tingkat kasasi, Majelis Hakim pemeriksa perkara nomor 658 K/Ag/2021
mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan tidak sah hibah yang dilakukan
Penggugat kepada Tergugat I atas obyek sengketa. Kemudian, tidak memiliki
kekuatan hukum Akta Hibah No. 28.2003 serta menghukum Tergugat II untuk
mengembalikan Sertipikat Hak Milik No. 1482 dan menjadikan pemegang haknya
hanya atas nama Penggugat (Siti Khasanah Binti Samsi).

2.4. Analisis Hukum Terhadap Pembatalan Akta Hibah Dalam Putusan


Mahkamah Agung 628 K/Ag/2021
Dalam putusan ini Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan Siti
Khasanah selaku pemohon kasasi, yakni membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang. Adanya pertimbangan hakim yang mengabulkan permohonan Siti
Khasanah untuk membatalkan akta hibahnya yakni, telah terbukti tidak sah pembuatan
akta hibah yang dilakukan antara Siti Khasanah kepada Bajuri yang dilatar belakangi
dengan penyalahgunaan keadaan, lalu hakim juga memutuskan atas akta hibah Nomor
28/2003 tanggal 20 Februari 2003 yang dibuat di hadapan Soegianto Sarjana Hukum
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak mempunyai kekuatan hukum
dikarenakan serta hakim memerintahkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
RI Provinsi Jawa Tengah untuk mengembalikan Sertipikat Hak Milik Nomor 1482
yang sebelumnya atas nama Siti Khasanah Binti Samsi dan Bajuri menjadi hanya atas
nama Siti Khasanah saja.
Terkait sah atau tidaknya hibah, sudah sepatutnya tunduk pada syarat dan rukun
suatu akad. Karena pada dasarnya pembuatan akta hibah ialah suatu perjanjian (akad
tabarru) yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu dalam Hukum Islam. Pada
perkara Siti Khasanah dan Bajuri merupakan seseorang yang beragama Islam, maka
terkait hibah dalam perkara ini dapat menggunakan hukum yang sesuai dengan syari’at
Islam.
Dalam perkara ini sudah terbukti dari latar belakang pembuatan akta hibah
dengan dasar penyalahgunaan keadaan yang kemudian dilakukan perilaku ingkar janji
yang dilakukan oleh Bajuri yang meminta kepada Siti Khasanah pada saat meminta
untuk mencantumkan namanya kedalam sertifikat Hak Milik Nomor 1482, sehingga
terbitlah akta hibah dan disusul dengan terbitnya sertifikat hak milik atas nama Siti
Khasanah dan Bajuri. Kemudian daripada itu, dalam salah satu pertimbangan hakim
menyebutkan bahwa pada Hukum Islam ada beberapa hal yang dapat merusak
kehendak saat akad; yaitu ghalath (kekeliruan), ikrah (paksaan), taghrir (muslihat), dan
ghubn (penyamaran).
Dari keempat hal tersebut hakim mendalilkan bahwa akad hibah yang dibuat
oleh Siti Khasanah Binti Samsi dan Bajuri Bin Djais mengandung unsur taghrir
(muslihat) karena adanya ingkar janji yang dilakukan Bajuri Bin Djais yang semula
berjanji tidak akan berselingkuh lagi, Namun Bajuri Bin Djais tetap melakukan
perselingkuhan dan ingin menikahinya, hal ini berujung bercerainya Siti Khasanah dan
Bajuri. Hakim tidak mendalilkan unsur ikrah (paksaan), akan tetapi hakim
mendalilkan unsur misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan) karena
keadaan Siti Khasanah selaku penggugat ingin mempertahankan kerukunan rumah
tangga dengan Bajuri Bin Djais selaku Tergugat I, serta berjanji tidak akan menikah
kembali apabila namanya tercantum dalam Sertipikat Hak Milik tersebut. Disini
terlihat adanya penggabungan antara kaidah hukum Islam dengan kaidah hukum
Yurisprudensi.
Misbruik van omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan merupakan bentuk
ke 4 (empat) dari cacat kehendak yang tidak diatur dalam KUHPerdata akan tetapi
diakui secara yurisprudensi. Meskipun dalam putusannya hakim tidak menyebutkan
secara khusus mengenai penyalahgunaan keadaan mana yang dijadikan dalil dalam
pertimbangan hakim, dalam kasus tersebut memang terlihat adanya penyalahgunaan
karena keunggulan psikologis (geestelijke overwicht). Dikarenakan alasan saat
membuat akta hibah tersebut keadaan Siti Khasanah dengan latar belakang keadaan
psikologis yang dimanfaatkan demi mempertahankan keharmonisan dan kerukunan
rumah tangganya.
Meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dimungkinkan adanya
pembatalan hibah, karena Pasal 212 KHI menegaskan bahwa Hibah tidak dapat ditarik
kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam pertimbangannya
hakim menyebutkan bahwa menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah Vol.
III, halaman 366-367, akad hibah dalam Hukum Islam terbagi dua, yaitu hibah Mutlaq
dan Hibah bi al-‘Iwadh (imbalan), hibah Mutlaq tidak bisa ditarik kembali atau
dibatalkan, sedangkan Hibah bi al-‘Iwadh dapat ditarik kembali atau dibatalkan
apabila ‘Iwadh (imbalan) tidak dipenuhi. Karena timbulnya hibah ini akibat sesuatu
yang dijanjikan oleh Bajuri bin yang kemudian diingkari olehnya, maka hakim
menyatakan bahwa akta hibah tersebut dapat dibatalkan.
Objek sengketa yang awalnya diperdebatkan sebagai harta bersama, namun pada
dasarnya hukum hibah dan hukum harta bersama memiliki rezim hukum yang
berbeda. Sesuai pasal 87 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum islam, disebutkan bahwa
apabila suatru objek sudah dihibahkan, maka objek tersebut telah menjadi milik
pribadi penerima hibah. Sedangkan harta bersama telah diatur dan dijelaskan dalam
Pasal 85 sampai dengan pasal 97 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan Kompilasi Hukum Islam. Dan pada pembuktiannya objek sengketa
tersebut adalah harta bawaan dari Siti Khasanah yang diberikan oleh orang tuanya
yaitu atas nama Samsi. Maka gugatan pembatalan hibah ini dikatakan bukan sengketa
hak milik.
Berdasarkan uraian di atas, adapun akibat dari akta hibah yang sudah dinyatakan
tidak sah dan dapat dibatalkan, berdampak pada hal-hal yang terkait akan akta hibah
tersebut. Sertipikat Hak Milik Nomor 1482 yang menggunakan akta hibah 28/2003
tanggal 20 Februari 2003 sebagai alas hak terbitnya sertipikat hak milik atas nama Siti
Khasanah dan Bajuri berarti sudah kehilangan alas haknya sehingga sudah seharusnya
nama Bajuri tidak ada lagi di dalam Sertipikat Hak Milik tersebut. Dan maka sebab itu
hakim memerintahkan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kudus
untuk mengembalikan sertifikat hak milik hanya atas nama Siti Khasanah dengan
prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB 3
PENUTUP
3.1. Simpulan

1. Keabsahan akta pengikatan hibah yang dibuat atas dasar penyalahgunaan


keadaan seperti kasus yang telah dibahas sebelumnya tidak sah secara hukum.
Hal itu berdampak pada status harta bersama antara Ny. Siti Khasanah dan Tn.
Bajuri yang objek hibahnya tidak lagi dapat dikatakan harta bersama. Karena Tn.
Bajuri melakukan ingkar janji serta memanfaatkan keadaan psikologi Ny. Siti
Khasanah yang mengakibatkan terdapat cacat kehendak dalam penghibahan
harta pribadi Ny. Siti Khasanah, sehingga akta hibah dinyatakan tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
2. Misbruik van omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan
sebagai salah satu bentuk cacat kehendak yang diakui dan berkembangan
melalui yurisprudensi Mahkamah Agung di Indonesia kendatipun dalam KUH
Perdata eksistensi dan pengaturannya belum tampak. Terkait dengan
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Kasasi Nomor 658 K/Ag/2021 adalah telah
terbukti tidak sah pembuatan akta hibah yang dilakukan antara Siti Khasanah
Binti Samsi kepada Bajuri Bin Djais yang dilatar belakangi dengan adanya
penyalahgunaan karena keunggulan psikologis (geestelijke overwicht). Akta
Hibah yang dibuat oleh PPAT yang terdapat unsur penyalahgunaan keadaan di
dalamnya dapat dinyatakan tidak sah dan dapat dibatalkan. Akibat hukum yang
timbul dari harta hibah dengan objek tanah dan/atau tanah beserta bangunan
yang berdiri di atasnya yang dimohonkan pembatalan kepada Pengadilan.
Adanya putusan pembatalan hibah yang telah berkekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) menjadikan kepemilikan atas harta hibah dengan objek
tanah dan/atau tanah beserta bangunan yang berdiri di atasnya tersebut akan
kembali kepada pemberi hibah. Harta hibah tersebut akan kembali menjadi hak
miliknya pribadi secara penuh. Apabila objek hibah telah dilakukan baliknama
atau telah disertipikatkan atas nama penerima hibah, maka sertipikat tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam artian kondisi objek hibah terkait
kepemilikannya kembali semula sedia kala sebelum dilakukan hibah.

3.2 Saran
Pemerintah sebaiknya membentuk aturan yang lebih rinci dan jelas mengenai
hibah antara suami dan istri, karena 1678 KUH Perdata menyebutkan adanya larangan
hibah antara suami istri selama dalam perkawinan. Adanya larangan tersebut
disebabkan dalam sistem KUH Perdata menganut percampuran kekayaan (persatuan
harta benda perkawinan), ketika dilangsungkannya perkawinan maka harta benda baik
milik suami maupun istri menjadi satu (campur bulat). Sementara dalam Hukum Islam
tidak melarang adanya hibah antara suami istri, karena mereka tetap menjadi pemilik
atas hartanya masing-masing. Apabila terdapat penyatuan atau pemisahan harta
kekayaan dalam perkawinan, maka hal itu dapat dituangkan dalam perjanjian
perkawinan yang dibuat di hadapan seroang Notaris pasca adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 serta kemudian didaftarkan pada Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama muslim dan Kantor Pencatatan Sipil bagi yang beragama
non muslim. Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian selama tidak
bertentangan dengan hukum Islam (agama), batas-batas hukum (peraturan perundang-
undangan sebagai hukum tertulis dan hukum adat (hukum tidak tertulis atau hukum
yang hidup dimasyarakat) dan kesusilaan. Dengan adanya aturan lebih rinci mengenai
Hibah antara suami dan istri memungkinkan tidak adanya kasus penyalahgunaan
keadaan lagi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang Undang tentang Perkawinan. UU No. 1, LN No. 1 Tahun 1974

________. Instruksi Presiden tentang Penyerbarluasan Kompilasi Hukum Islam.


Inpres No. 1 Tahun 1991

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 35 [Burgerlijk Wetboek].


Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004.

Mahkamah Agung. Perarturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum


Ekonomi Syariah. Perma No. 02 Tahun 2008.

B. Buku

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cet. 4. Bandung: Alumni,


2014.
_______________________. Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku
Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasannya. Cet. 1. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2015.

Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang


Kenotariatan. Cet. 4. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

_______________. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan


Buku Kesatu. Cet. 4. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016.

_______________. Demikian Akta Ini Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta


Notaris di dalam Praktik. Cet. 1 Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018.

Cahyani, Tinuk Dwi. Hukum Perkawinan. Malang: Universitas Muhammadiyah


Malang, 2020.

Dahlan, Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Van
Hoeve, 1996.

Darmabrata, Wahyono dan Sjarif, Surini Ahlan. Hukum Perkawinan Dan


Keluarga di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2015.

Sabiq, Sayyid. Kitab Fikih Sunnah Jilid 3. Ditahkik dan ditahrij oleh Muhammad
Nasirudin Al-Albani. Jakarta: Cakrawala, 2008.

Satrio, J. Hukum Perikatan Pada Umumnya. Cet. 3. Bandung: Alumni, 1999.

Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. 11. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
C. Putusan Pengadilan

Pengadilan Agama Kudus. Putusan No. 314/Pdt.G/2020/PA.Kds


Pengadilan Tinggi Agama. Putusan No. 372/Pdt.G/2020/PTA.Smg
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 658 K/Ag/2021

D. Artikel/Makalah/Laporan Penelitian

Yudhantaka, Lintang. “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan Sistem Pre
Project Selling, Yuridika 32 (1) (January 2017), hlm. 84 - 104.

Anda mungkin juga menyukai