KELOMPOK 8:
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Wahyono Darmabrata, Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia,
(Jakarta : Badan Penerbit FHUI, 2015), hlm 12-13.
2
Ali Afandi dalam Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020), hlm 12
3
Lihat Pasal 120 dan 121 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Selanjutnya Undang-undang Perkawinan mengatur pula mengenai harta
perkawinan namun dalam Pasal 35 UU Perkawinan membedakan harta perkawinan
menjadi tiga macam, yaitu seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung, harta yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian atau warisan, dan
hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung, kecuali yang merupakan
harta pribadi masing-masing suami istri.4
Dan juga dalam Pasal 85 KHI mengatakan bahwa adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing atau
harta bawaan dari istri dan suami. Meskipun Kitab Undang-undang Hukum Perdata, UU
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur mengenai pengurusan,
penggunaan dan pembagian harta bersama maupun harta bawaan namun pada
kenyataannya pengaturan tersebut belum memadai dilihat masih banyak permasalahan
mengenai harta bersama tersebut ketika ada pasangan suami istri yang hendak bercerai,
permasalahan inilah yang banyak melekat dipermasalahkan di muka pengadilan.
Penulisan tugas penelitian ini akan membahas terkait harta pribadi yang
dihibahkan menjadi harta bersama dalam sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian,
judul penelitian ini adalah “Penyalahgunaan Keadaan Dalam Pembuatan Akta Hibah
Atas Harta Pribadi Menjadi Harta Bersama Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 658 K/Ag/2021.”
4
Ibid, Wahyono Darmabrata, Surini Ahlan Sjarif, hlm. 114
BAB 2
PEMBAHASAN
2.2. Hibah
Menurut pandangan ulama, Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba
digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.
Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau
menganugerahi. Sedangkan pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah
pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
tanpa mengharapkan balasan apapun. Menurut kamus populer internasional hibah
adalah pemberian sedekah, pemindahan hak.5
Hibah sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata oleh pembentuk
KUHPerdata sebagaimana hasil terjemahan yang secara expressive verbis (terang dan
jelas) diartikan sebagai salah satu perjanjian manakala si penghibah pada masa
hidupnya dengan cuma-cuma (sukarela) untuk menyerahkan sebuah benda yang
digunakan untuk keperluan orang lain yang berkedudukan sebagai si penerima hibah.6
Pada hakikatnya secara yuridis materiil, hibah tergolong sebagai Perjanjian
Nominaat (Bernama) karena dalam KUH Perdata tersendiri mengklasifikasikannya.
Sebagaimana dibuktikan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata,
yang menerangkan bahwa semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus dalam hal
ini secara spesifik yang mencakup jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata
maupun jenis perjanjian yang diatur di luar KUH Perdata tunduk pada ketentuan Buku
III KUH Perdata. Ketentuan mengenai Hibah tersusun dalam rangkaian bagian Buku III
KUH Perdata, khususnya terletak pada Bab Ke Sepuluh. Kualifikasi Hibah sebagai
perjanjian, diartikan dan dihubungkan dengan konsep perjanjian yang mana merupakan
tindakan hukum atau perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum dan akibat
hukum tersebut dikehendaki oleh para pihak sebagaimana bentuk akibat hukum tersebut
berupa lahirnya, beralihnya atau hapusnya hak-hak subjektif para pihak dan demikian
hal tersebut memang dikehendaki secara sukarela dan tanpa adanya paksaan.7
Hibah dapat dikategorikan sebuah perbuatan hukum yang bertujuan untuk
memperoleh alas hak (titel) secara khusus yang berimplikasi beralihnya suatu hak
5
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996),
hlm. 540.
6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. 11, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 94.
7 ?
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Cet. 3, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 47.
kebendaan.8 Mengenai Hibah untuk benda tidak bergerak yang dalam hal ini berupa
tanah atau bukan tanah sifatnya formil yang berarti harus dilakukan atau dituangkan
dalam media dengan bentuk tertentu, yakni dengan suatu akta autentik.
Pasca berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) dan Peraturan Pelaksanannya (PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah), hibah untuk hak atas tanah baik yang hanya berupa tanah saja
maupun tanah berserta bangunan yang berdiri di atasnya harus dengan Akta yang dibuat
oleh PPAT sebagai bukti dilakukannya Hibah dengan objek tanah sebagaimana hal
tersebut terlacak dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Sementara
itu untuk objek hibah yang bukan merupakan tanah harus dilakukan dengan akta
Notaris.9
Hibah tidak dapat dapat dicabut dan dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut
tidak dapat dipenuhi sebagaimana dilukiskan dalam ketentuan pasal 1688 KUH
Perdata:10
8
Herlien Budiono, Demikian Akta Ini Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris di dalam
Praktik, Cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 109.
9
Budiono, Demikian………, hlm. 110.
10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Soebekti
dan R. Tjitrosudibio, Cet.13, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Ps. 1688
2) Manakala si penerima hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu
usaha pembunuhan atau kejahatan lain atas diri si pemberi hibah; dan
3) Manakala pemberi hibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk
memberi nafkah kepadanya.
1) Penghibah dalam hal ini harus berumur minimal 21 (dua puluh satu) tahun atau
telah dewasa (vide Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 707 KHES);
2) Penghibah dalam hal ini harus memiliki akal sehat dalam melakuka hibah (vide
Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 707 KHES);
3) Tanpa adanya paksaan, jika terdapat paksaan pada saat terjadinya hibah maka dapat
dibatalkan (vide Pasal 210 ayat (1) KHI juncto Pasal 708 KHES);
4) Dapat melakukan hibah sebanyak-banyaknya 1/3 (satu per tiga) dari harta
kekayaannya kepada orang lain atau lembaga (vide Pasal 210 ayat (1) KHI);
5) Harta yang hendak dihibahkan harus sudah ada pada saat akad hibah (vide Pasal
704 KHES);
6) Asal harta yang akan dijadikan sebagai objek hibah haruslah berasal dari harta
pribadi milik si penghibah dan manakala objek hibah bukan harta pribadi atau
bukan pemilik harta maka harus mendapat izin dan persetujuan dari pemilik harta
yang bersanggkutan (vide Pasal 705 ayat (1) juncto ayat (2) KHES);
7) Sebuah harta yang akan menjadi objek hibah haruslah pasti dan diketahui (vide
Pasal 706 ayat (2) KHES);
8) Hibah dilakukan di hadapan 2 (dua) orang saksi untuk dimiliki (vide Pasal 210 ayat
(1) KHI;
9) Objek Hibah harus merupakan hak atau bagian dari si penghibah (vide Pasal 210
ayat (2) KHI).
Dalam Hukum Islam sendiri ada 2 (dua) jenis akad hibah. Pertama, hibah
Mutlaq yang diartikan sebagai hibah yang tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan,
karena jenis hibah ini sendiri dilakukan secara tulus, dalam artian hibah yang dilakukan
oleh penghibah tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Kedua, Hibah bi al-‘Iwadh yang
diartikan sebagai hibah yang diberikan dalam rangka untuk mengharapkan sesuatu dari
yang menerima benda yang diberikan secara cuma-cuma oleh penghibah, maka dari hal
tersebut pemberian semacam ini dapat ditarik kembali atau dibatalkan selama orang
yang menerima benda yang dihibahkan oleh penghibah belum melakukan apa yang
dikehendakaki atau diharapkan oleh penghibah.11
Berkenaan syarat-syarat hibah sebagaimana termuat dalam ketentuan KHI
maupun KHES, apabila tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut baik sebagian atau
seluruhnya dalam melakukan tindakan hukum yang berupa melakukan hibah, hibah
tersebut dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan. Menariknya ketentuan hibah
dalam hukum islam di Indonesia telah dikodifikasikan melalui KHI yang eksistensinya
diakui berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam dan melalui KHES yang diakui pula
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Alasan untuk membatalkan hibah secara umum pula digunakan untuk
membatalkan sebuah perjanjian, salah satunya adanya unsur cacat kehendak dalam
perjanjian atau hal merusak kehendak dalam akad. Cacat kehendak diartikan manakala
seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan hukum (perjanjian atau akad), dilain
hal kehendaknya yang terbentuk tidak secara sempurna. Adapun kualifikasi perbuatan
11
Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah Jilid 3, ditahkik dan ditahrij oleh Muhammad Nasirudin Al-
Albani (Jakarta: Cakrawala, 2008), hlm. 237-238.
yang dikategorikan sebagai penyebab adanya cacat kehendak dalam suatu perjanjian
yang ternyata berlandaskan pada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang
mengkategorikan perbuatan-perbuatan tersebut diantaranya: dwang (paksaan), bedrog
(penipuan atau tipu daya atau tipu muslihat), dan dwaling (kekeliruan atau kesesatan)
sebagaimana pengaturannya terlacak dalam ketentuan Pasal 1322 s.d. Pasal 1328 KUH
Perdata.12
Adapun terdapat satu ajaran atau doktrin yang tergolong baru serta dapat
digunakan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian yang mengandung unsur cacat
kehendak yakni berupa penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau
undue influence). Mengenai penyalahgunaan keadaan dalam KUHPerdata belum diatur
secara khusus, akan tetapi ajaran atau doktrin terkait penyalahgunaan keadaan dapat
ditemukan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi yang menerapkan
doktrin mengenai penyalahgunaan keadaan ini salah satunya terdapat pada Putusan
Mahkamah Agung 3641 K/Pdt/2001. Meksipun doktrin misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan keadaan) ini belum secara khusus diakomodir dalam hukum positif
Indonesia, praktek yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu unsur cacat
kehendak.13
Penyalahgunaan keadaan ini didefinisikan sebagai sebuah doktrin yang dijadikan
landasan untuk mengatur perbuatan hukum yang berat sebelah (tidak seimbang)
sebagaimana telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang memiliki keunggulan
dominan kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan keadaan muncul ketika pihak yang
melakukan suatu perbuatan hukum atau membuat perjanjian dengan cara di bawah
paksaan atau pengaruh intimidasi atau ancaman.14 Demikian dalam hal ini dapat
diketahui bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan salah satu faktor pemicu yang
menghalangi untuk membentuk kehendak yang bebas sebagaimana yang disyaratkan
12
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Cet. 4, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 98.
13 ?
Lintang Yudhantaka, “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan Sistem Pre
Project Selling, Yuridika 32 (1) (January 2017), hlm. 93.
untuk membuat persetujuan antara para pihak yang telah ditegaskan dalam ketentuan
Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata.
Mengenai bentuk penyalahgunaan keadaan terdapat 2 (dua) jenis kondisi antara
lain penyalahgunaan keadaan dengan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan
keadaan dengan keunggulan psikologis. Yang diartikan manakala seseorang berada
dalam keadaan terpaksa (noodtoestand) menimbulkan dimungkinkan adanya orang
tersebut dapat dikausai atau dipengaruhi oleh pihak lawan yang tentunya memiliki
keunggulan baik secara psikologis atau ekonomi yang lebih kuat atau mempunyai
kekuatan untuk monopoli.15
14
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet. 4, (Bandung: Alumni, 2014), hlm. 26.
15
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku Kesatu,
Cet. 4, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016), hlm. 17.
Kudus, qq: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus, berkedudukan di Jl.
Mejobo Mlati Kidul, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Provinsi
Jawa Tengah.
e. Turut Tergugat: Arif Khoirul Amir, pekerjaan servis komputer, beralamat
Desa Jepang Pakis RT.001 RW.003, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Banding : 372/Pdt.G/2020/PTA.Smg
Pertama : 314/Pdt.G/2020/PA.Kds
BAB 3
PENUTUP
3.1. Simpulan
3.2 Saran
Pemerintah sebaiknya membentuk aturan yang lebih rinci dan jelas mengenai
hibah antara suami dan istri, karena 1678 KUH Perdata menyebutkan adanya larangan
hibah antara suami istri selama dalam perkawinan. Adanya larangan tersebut
disebabkan dalam sistem KUH Perdata menganut percampuran kekayaan (persatuan
harta benda perkawinan), ketika dilangsungkannya perkawinan maka harta benda baik
milik suami maupun istri menjadi satu (campur bulat). Sementara dalam Hukum Islam
tidak melarang adanya hibah antara suami istri, karena mereka tetap menjadi pemilik
atas hartanya masing-masing. Apabila terdapat penyatuan atau pemisahan harta
kekayaan dalam perkawinan, maka hal itu dapat dituangkan dalam perjanjian
perkawinan yang dibuat di hadapan seroang Notaris pasca adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 serta kemudian didaftarkan pada Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama muslim dan Kantor Pencatatan Sipil bagi yang beragama
non muslim. Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian selama tidak
bertentangan dengan hukum Islam (agama), batas-batas hukum (peraturan perundang-
undangan sebagai hukum tertulis dan hukum adat (hukum tidak tertulis atau hukum
yang hidup dimasyarakat) dan kesusilaan. Dengan adanya aturan lebih rinci mengenai
Hibah antara suami dan istri memungkinkan tidak adanya kasus penyalahgunaan
keadaan lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
B. Buku
Dahlan, Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Van
Hoeve, 1996.
Sabiq, Sayyid. Kitab Fikih Sunnah Jilid 3. Ditahkik dan ditahrij oleh Muhammad
Nasirudin Al-Albani. Jakarta: Cakrawala, 2008.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. 11. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
C. Putusan Pengadilan
D. Artikel/Makalah/Laporan Penelitian
Yudhantaka, Lintang. “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan Sistem Pre
Project Selling, Yuridika 32 (1) (January 2017), hlm. 84 - 104.