Jawaban:
a. Hubungan Keluarga dan Harta Perkawinan menurut Hukum Adat
Hukum adat mengenal adanya harta bersama dan harta asal/harta pusaka dalam
keluarga. Berlangsungnya perkawinan, menurut hukum adat menyebabkan
timbulnya harta perkawinan yang berupa harta bersama (harta gono-gini atau harta
guna kaya) dan adanya harta asal/harta pusaka dalam sebuah keluarga. Harta
bersama ini di Jawa dikenal dengan sebutan harta gono-gini sementara di Bali
dikenal dengan harta guna kaya. Sementara harta asal/atau harta pusaka
merupakan harta yang diwariskan secara turun-temurun. Harta asli ini juga
terkadang dapat menjadi identitas atau nilai magis dari satu keluarga.
Harta bersama dan harta asal memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, terutama
dalam hal pewarisan. Harta bersama biasnaya dapat diwariskan kepada anak/atau
keluarga yang berhak sesuai dengan perhitungan yang ditentukan dan/atau
kesepakatan suami-istri. Namun, harta asal sepenuhnya berada dibawah
penguasaan ahli waris, sehingga tidak membutuhkan persetujuan dari pasangannya
ketikan melakukan perbuatan hukum terhadap harta asal. Selain itu, harta asal juga
biasanya diwariskan kepada penerus keluarga, sesuai dengan sistem kekeluargaan
yang dianut oleh keluarga tersebut.
1
dan/atau persetujuan antara suami-istri untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap harta bersama (Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan
2. Harta Bawaan> Harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke
dalam pernikahan serta harta yang diterima sebagai hadiah atau warisan
(Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan). Maka dari itu, masing-
masing memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap harta bendanya (Pasal 36 Ayat 2 undang-undang Perkawinan)
2
2. JELASKAN PANDANGAN SAUDARA JENIS ANAK DAN
KEDUDUKAN/STATUS ANAK DALAM HUKUM NASIONAL DAN HUKUM
ADAT?
Jawaban:
a. Kedudukan anak menurut hukum nasional:
1. Anak Sah> Anak yang dilahirkan akibat adanya perkawinan yang sah (Pasal 42
Undang-Undang Perkawinan). Perlindungan hukum mengenai anak sah diatur
secara jelas dalam undang-undang perkawinan sebagai tanggung jawab kedua
orang tuanya.
2. Anak Luar Kawin> Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan)
3. Anak Angkat> Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan. Pengangkatan anak dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat-
syarat tertentu yang diatur dalam Pasal 13 PP 54 Tahun 2007.
b. Kedudukan anak menurut hukum adat:
Masing-masing hukum adat di Indoensia memiliki perpektif tersendiri mengenai
staus atau kedudukan anak. Setiap status anak memiliki akibat hukum yang
berbeda sesuai dengan adat setempat. Namun pada umumnya hukum adat
mengenal status anak sebagai:
a. Anak Kandung> anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, meskipun
perkawinan dilangsungkan setelah ibu hamil terlebih dahulu sebelum
dilangsungkannya perkawinan.
b. Anak Tiri> anak kandung bawaan dari istri janda atau suami duda ke
perkawinannya yang berikutnya. Anak tiri tersebut biasanya tetap menjadi
ahli waris dari ayah biologisnya. Kecuali jika kemudan ayah tirinya
mengangkatnya menjadi anak sebagai penerus keturunan karena ia tidak
memiliki anak.
c. Anak Angkat> Anak yang diangkat secara adat sebagai penerus garis
keturunan keluarga umumnya memiliki status atau hak yang sama dengan
anak kandung.
Jawaban:
3
Perjanjian perkawinan pada hakikatnya mengatur kesepakatan antara suami dan istri
mengenai harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan KUHPerdata
mengenai perjanjian perkawinan yang berfokus pada dimensi harta perkawinan. Pada
perkembangannya pengaturan mengenai KUHPerdata yang kemudian diatur dalam
Undang-Undang perkawinan, tidak menyertakan ketentuan yang lebih detail mengenai
substansi dari perjanjian perkawinan ini. Sehingga banyak pasangan suami-istri yang
kemudian memasukan substansi lain diluar persoalan harta perkawinan ke dalam
perjanjian perkawinan. Seperti halnya pembagian tanggungjawab dalam pengurusan
anak, pembagian kewajiban dala, urusan adat dan lain sebagainya.
Jika melihat dari perspektif hukum, keberadaan perjanjian perkawinan ini masih
dibutuhkan untuk mengantisipasi dan/atau mengatasi konflik antara pasangan suami-
istri. Jika terjadi konflik diantara suami-istri, maka keduanya dapat merujuk kepada
perjanjian perkawinan yang telah dibuat dan disepakati. Selain itu, adanya perjanjian
perkawinan akan memudahkan hakim dalam memutus perkara perceraian.
Namun, jika dilihat dari hakikatnya perkawinan memiliki nilai sakral berupa ikatan
lahir-batin antara seorang pria dan Wanita sebagai suami-istri untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari
itu, ketika memutuskan untuk melangsungkan suatu perkawinan, hendaknya kedua
pihak secara sadar berpegang pada komitmen untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan (agama).
Perjanjian perkawinan yang cenderung berfokus pada dimensi harta perkawinan,
menyebabakan perkawinan lebih terasa sebagai suatu hubungan yang bersifat
transaksional. Selain itu perjanjian perkawinan yang berfungsi untuk memudahkan
pembagian harta perkawinan pada saat perceraian, juga jauh dari tujuan perkawinan
untuk membuat keluarga yang bahagia dan kekal. Maka dari itu, jika dilihat dari
perspektif hakikat perkawinan, perjanjian perkawinan tidaklah dibutuhkan.
Jawaban:
4
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya masing-masing
tanpa membutuhkan persetujuan dari pihak lainnya.
Jawaban: