Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

Ni Putu Kompiang Ratna Dewi (2282411050)

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
UTS HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

1. JELASKAN PANDANGAN SAUDARA MENGENAI HUBUNGAN KELUARGA


DAN HARTA PERKAWINAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM ADAT, UU
PERKAWINAN DAN KUHPerdata?

Jawaban:
a. Hubungan Keluarga dan Harta Perkawinan menurut Hukum Adat

Hukum adat mengenal adanya harta bersama dan harta asal/harta pusaka dalam
keluarga. Berlangsungnya perkawinan, menurut hukum adat menyebabkan
timbulnya harta perkawinan yang berupa harta bersama (harta gono-gini atau harta
guna kaya) dan adanya harta asal/harta pusaka dalam sebuah keluarga. Harta
bersama ini di Jawa dikenal dengan sebutan harta gono-gini sementara di Bali
dikenal dengan harta guna kaya. Sementara harta asal/atau harta pusaka
merupakan harta yang diwariskan secara turun-temurun. Harta asli ini juga
terkadang dapat menjadi identitas atau nilai magis dari satu keluarga.

Harta bersama dan harta asal memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, terutama
dalam hal pewarisan. Harta bersama biasnaya dapat diwariskan kepada anak/atau
keluarga yang berhak sesuai dengan perhitungan yang ditentukan dan/atau
kesepakatan suami-istri. Namun, harta asal sepenuhnya berada dibawah
penguasaan ahli waris, sehingga tidak membutuhkan persetujuan dari pasangannya
ketikan melakukan perbuatan hukum terhadap harta asal. Selain itu, harta asal juga
biasanya diwariskan kepada penerus keluarga, sesuai dengan sistem kekeluargaan
yang dianut oleh keluarga tersebut.

b. Hubungan Keluarga dan Harta Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai produk hukum


yang dibuat oleh bangsa Indonesia, menganut prinsip-prinsip hukum adat. Tidak
terkecuali dalam hal keluarga dan harta perkawinan. Undang-undang Perkawinan
mengatur tentang hubungan antara keluarga dan harta perkawinan pada pasal 35
dan pasal 36.

Menurut perspektif Undang-Undang perkawinan, dengan berlangsungnya


perkawinan maka harta yang dimiliki dan/atau diperoleh oleh suami atau isteri
akan dikelompokkan berdasarkan sumber dari harta tersebut. Harta tersebut dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Harta Bersama> Harta yang diperoleh selama perkawinan (Pasal 35 ayat 1
Undang-unadang Perkawinan). Sehingga, perlu adanya kesepakatan

1
dan/atau persetujuan antara suami-istri untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap harta bersama (Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan
2. Harta Bawaan> Harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke
dalam pernikahan serta harta yang diterima sebagai hadiah atau warisan
(Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan). Maka dari itu, masing-
masing memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap harta bendanya (Pasal 36 Ayat 2 undang-undang Perkawinan)

Dengan adanya pengelempokan harta perkawinan, maka ketika berkeluarga


seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta perkawinan
sesuai kehendak pribadinya saja. Namun perlu dipilah dan dipilih ketika
melakukan perbuatan hukum terhadap harta yang mana seseorang perlu
memperoleh persetujuan dan/atau tidak membutuhkan persetujuan dari
pasangannya.
Kendati demikian, undang-undang perkawinan tetap memberikan ruang bagi
suami-istri untuk membuat kesepakatan mengenai harta perkawinan melalui
perjanjian perkawinan. Sepanjang tidak bertentangan dengan batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan (Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan jo Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015).
c. Hubungan Keluarga dan Harta Perkawinan menurut KUHPerdata
Menurut KUHPerdata, berlangsungnya perkawinan menyebabkan terjadinya
persatuan harta secara bulat antara kekayaan suami dan istri. Hal ini sebagaimana
diatur dalam pasal 119 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan harta
secara bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai hal itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.

Berdasarkan ketentuan diatas, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang


menikah untuk kemudian membentuk keluarga akan menyebabkan seluruh harta
yang dibawa oleh keduanya ke dalam perkawinan dan harta yang diperoleh selama
perkawinan masuk ke dalam harta persatuan. Persatuan harta ini terjadi demi
hukum tanpa memerlukan adanya perjanjian terlebih dahulu. Maka dari itu,
menurut KUHPerdata terbentuknya keluarga menyebabkan adanya persatuan bulat
antara harta suami dan isteri.
Ketentuan mengenai persatuan harta secara bulat ini dapat dikecualikan jika suami
dan isteri bersepakat untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan pasal
119 KUHPerdata tersebut dengan membuat perjanjian perkawinan (BAB Ketujuh
KUHPerdata). Penyimpangan yang dilakukan terhadap pasal 119 KUHPerdata
dapat dilakukan secara terbatas dengan mengatur adanya harta pribadi isteri dan
harta pribadi suami. Selain itu perjanjian perkawinan bisa juga mengatur tentang
dilakukannya pisah harta sepenuhnya.

2
2. JELASKAN PANDANGAN SAUDARA JENIS ANAK DAN
KEDUDUKAN/STATUS ANAK DALAM HUKUM NASIONAL DAN HUKUM
ADAT?

Jawaban:
a. Kedudukan anak menurut hukum nasional:
1. Anak Sah> Anak yang dilahirkan akibat adanya perkawinan yang sah (Pasal 42
Undang-Undang Perkawinan). Perlindungan hukum mengenai anak sah diatur
secara jelas dalam undang-undang perkawinan sebagai tanggung jawab kedua
orang tuanya.
2. Anak Luar Kawin> Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan)
3. Anak Angkat> Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan. Pengangkatan anak dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat-
syarat tertentu yang diatur dalam Pasal 13 PP 54 Tahun 2007.
b. Kedudukan anak menurut hukum adat:
Masing-masing hukum adat di Indoensia memiliki perpektif tersendiri mengenai
staus atau kedudukan anak. Setiap status anak memiliki akibat hukum yang
berbeda sesuai dengan adat setempat. Namun pada umumnya hukum adat
mengenal status anak sebagai:
a. Anak Kandung> anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, meskipun
perkawinan dilangsungkan setelah ibu hamil terlebih dahulu sebelum
dilangsungkannya perkawinan.
b. Anak Tiri> anak kandung bawaan dari istri janda atau suami duda ke
perkawinannya yang berikutnya. Anak tiri tersebut biasanya tetap menjadi
ahli waris dari ayah biologisnya. Kecuali jika kemudan ayah tirinya
mengangkatnya menjadi anak sebagai penerus keturunan karena ia tidak
memiliki anak.
c. Anak Angkat> Anak yang diangkat secara adat sebagai penerus garis
keturunan keluarga umumnya memiliki status atau hak yang sama dengan
anak kandung.

3. JELASKAN PANDANGAN SAUDARA MENGENAI PERJANJIAN


PERKAWINAN, APAKAH PERLU ATAU TIDAK PADA MASA KINI?

Jawaban:

3
Perjanjian perkawinan pada hakikatnya mengatur kesepakatan antara suami dan istri
mengenai harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan KUHPerdata
mengenai perjanjian perkawinan yang berfokus pada dimensi harta perkawinan. Pada
perkembangannya pengaturan mengenai KUHPerdata yang kemudian diatur dalam
Undang-Undang perkawinan, tidak menyertakan ketentuan yang lebih detail mengenai
substansi dari perjanjian perkawinan ini. Sehingga banyak pasangan suami-istri yang
kemudian memasukan substansi lain diluar persoalan harta perkawinan ke dalam
perjanjian perkawinan. Seperti halnya pembagian tanggungjawab dalam pengurusan
anak, pembagian kewajiban dala, urusan adat dan lain sebagainya.
Jika melihat dari perspektif hukum, keberadaan perjanjian perkawinan ini masih
dibutuhkan untuk mengantisipasi dan/atau mengatasi konflik antara pasangan suami-
istri. Jika terjadi konflik diantara suami-istri, maka keduanya dapat merujuk kepada
perjanjian perkawinan yang telah dibuat dan disepakati. Selain itu, adanya perjanjian
perkawinan akan memudahkan hakim dalam memutus perkara perceraian.
Namun, jika dilihat dari hakikatnya perkawinan memiliki nilai sakral berupa ikatan
lahir-batin antara seorang pria dan Wanita sebagai suami-istri untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari
itu, ketika memutuskan untuk melangsungkan suatu perkawinan, hendaknya kedua
pihak secara sadar berpegang pada komitmen untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan (agama).
Perjanjian perkawinan yang cenderung berfokus pada dimensi harta perkawinan,
menyebabakan perkawinan lebih terasa sebagai suatu hubungan yang bersifat
transaksional. Selain itu perjanjian perkawinan yang berfungsi untuk memudahkan
pembagian harta perkawinan pada saat perceraian, juga jauh dari tujuan perkawinan
untuk membuat keluarga yang bahagia dan kekal. Maka dari itu, jika dilihat dari
perspektif hakikat perkawinan, perjanjian perkawinan tidaklah dibutuhkan.

4. BAGIMANAKAH PEMBAGIAN HARTA PEKAWINAN DI INDONESIA


DILAKUKAN, JELASKAN PANDANGAN SAUDARA?

Jawaban:

Pembagian harta perkawinan di Indonesia dilakukan berdasarkan hukum adat yang


kemudian prinip-prinsipnya diadopsi ke dalam Undang-Undang Perkawinan. Harta
Perkawinan dibagi berdasarkan sumber dan waktu perolehannya menjadi:
a. Harta Bersama> Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung disebut
sebagai harta bersama yang ketika dilakukan suatu perbuatan hukum terhadap
harta bersama tersebut maka memutuhkan kesepakatan dan/atau persetujuan dari
pasangannya (suami atau istri).
b. Harta Bawaan> Harta yang diperoleh sebelum berlangsungnya perkawinan,
warisan dan/atau hibah dimana masing-masing suami dan istri memiliki hak

4
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya masing-masing
tanpa membutuhkan persetujuan dari pihak lainnya.

5. JELASKAN PANDANGAN SAUDARA MENGENAI FUNGSI NOTARIS DALAM


PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN?

Jawaban:

Pada hakikatnya, notaris berfungsi untuk merumuskan kesepakatan antara suami-istri


yang akan dituangkan kedalam perajanjian perkawinan yang hendak dibuat. Karena
kehendak dan kesepakatan tetaplah berasal dari para pihak. Namun pada praktiknya,
Notaris lebih dari itu, notaris juga berfungsi untuk membantu para pihak untuk:
a. Memberikan pemahaman mengenai fungsi dan akibat hukum dari
dibuatnya suatu perjanjian perkawinan
b. Memberikan pemahaman hukum kepada para pihak mengenai substansi
yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian perkawinan
c. Memberikan pemahaman mengenai akibat hukum yang mungkin terjadi
akibat substansi-substani yang di masukkan ke dalam perjanjian
perkawinan

Anda mungkin juga menyukai