Anda di halaman 1dari 4

DIMIPTA APRILIA

1. Iya, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua WNI adalah sah
bilamana dilaksanakan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan (asas lex loci celebrationis). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 ayat
(1) UU No.1 tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri
berlaku, berlaku hukum negara tersebut. Setelah pernikahan dilakukan, lanjut dia,
maka WNI diwajibkan untuk memberikan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun, setelah pernikahan
dilangsungkan. Namun bila lewat waktu dari yang ditetapkan harus melalui
Pengadilan Negeri sesuai  dengan domisili yang bersangkutan. Yang bersangkutan
juga dikenakan sanksi denda berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat jo. pasal
107 Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Th 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Pelaporan perkawinan, bersifat
administratif. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar
negeri, maka perkawinan tersebut adalah sah dengan segala akibat hukumnya.
Namun, jika perkawinan tidak dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dukcapil) di Indonesia maka perkawinan berdasarkan hukum Indonesia dianggap
tidak ada.
2. A. Akibat perkawinan terhadap harta benda suami isteri menurut KUHPerdata adalah
harta campuran bulat dalam pasal 119 KUHPerdata harta benda yang diperoleh
sepanjang perkawinan menjadi harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan yaitu
harta yang sudah ada pada waktu perkawinan, harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan. Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan di buat sebelum
perkawinan berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Perjanjian itu dilekatkan pada pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan
atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh pegawai catatan sipil,
serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Dalam UU
Nomor I Tahun 1974, perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 ayat 4 dimana
perjanjian perkawinan yang telah dibuat dimungkinkan untuk diubah sepanjang tidak
merugikan pihak ketiga. Bagi masyarakat Indonesia untuk mengatur harta masing-
masing (calon suami-isteri) dalam sebuah perjanjian kawin jarang dilakukan, hal
tersebut dapat dimengerti karena lembaga perkawinan merupakan sesuatu yang sakral
yang tidak hanya menyangkut aspek hukum saja tetapi juga menyangkut aspek
religius, untuk itu membuat perjanjian kawin dianggap sesuatu yang menodai
kesakralan dari perkawinan itu sendiri. Namun demikian Undang-undang Perkawinan
telah memberi peluang bagi mereka yang mau mengaturnya. Dalam kaitannya dengan
kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan adalah sama, begitu juga dalam
masalah perlindungan harta bawaan, masing-masing pihak boleh saja mengurusnya
secara pribadi setelah perkawinan, tetapi harus dilakukan terlebih dahulu perjanjian
kawin.
B. dibuat dihadapan Notaris dan didaftarkan di Dukcapil
C. Bagi masyarakat Indonesia untuk mengatur harta masing-masing (calon suami-
isteri) dalam sebuah perjanjian kawin jarang dilakukan, hal tersebut dapat dimengerti
karena lembaga perkawinan merupakan sesuatu yang sakral yang tidak hanya
menyangkut aspek hukum saja tetapi juga menyangkut aspek religius, untuk itu
membuat perjanjian kawin dianggap sesuatu yang menodai kesakralan dari
perkawinan itu sendiri. Namun demikian Undang-undang Perkawinan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memberi peluang bagi mereka
yang mau mengaturnya. Dalam kaitannya dengan kedudukan suami dan isteri dalam
perkawinan adalah sama, begitu juga dalam masalah perlindungan harta bawaan,
masing-masing pihak boleh saja mengurusnya secara pribadi setelah perkawinan,
tetapi harus dilakukan terlebih dahulu perjanjian kawin.
3. Menurut Pasal 113 KHI Putusnya Perkawinan karena Perkawinan, Perceraian dan
Putusan Pengadilan. Menurut Pasal 199 BW perkawinan bubar apabila
oleh kematian, oleh tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang
disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya. sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Bagian 5 Bab 18, oleh keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan
pendaftaran Catatan Sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini, oleh
perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 3 bab ini.
Alasan perceraian Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
a) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya;
b) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
c) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
d) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Perceraian Menurut Pasal 116 KHI dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. MELANGGAR TAKLIK TALAK
h. PERALIHAN AGAMA ATAU MURTAD YANG MENYEBABKAN
KETIDAKRUKUNAN DALAM BERUMAH TANGGA.
4. Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu merupakan sesuatu yang paling
dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling pokok dari putusnya hubungan perkawinan
adalah masalah hubungan suami-isteri, pembagian harta bersama, nafkah dan
pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak-anak mereka. Setelah terjadi putusnya
perkawinan karena perceraian, sudah dapat dipastikan
akan menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak yang melakukan perceraian.
Akibat hukum dari perceraian ini tentunya akan menyangkut terhadap anak dan harta
kekayaan selama perkawinan berlangsung (harta bersama). Anak dan harta bersama
biasanya akan menjadi sengketa oleh suami isteri yang ingin melakukan percerain.
Pengadilan harus berperan dalam proses penyelesaian persengketaan anak dan harta
bersama antara para pihak yang ingin melakukan perceraian. Pengadilan juga akan
menjadi media bagi suami isteri yang bersengketa untuk menuangkan semua
argumentasi mereka, khususnya untuk menengahi dan mecari jalan keluar supaya
memperoleh keadilan dan tidak merugikan kedua belah pihak. Menurut masyarakat
Osing di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, putusnya
suatu perkawinan karena perceraian akan berakibat hukum terhadap anak dan harta
bersama. Anak merupakan hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah baik
melaluiperkawinan yang sah maupun melalui perkawinan yang tidak sah, seperti anak
luar kawin dan anak hasil zina.12 Anak yang sah anak yang di lahirkan dari suatu
perkawinan yang sah, sedangkan anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan tanpa
adanya suatu perkawinan yang sah yang hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya. Menurut Sri Susilowati Mahdi manusia memiliki status sebagai subjek hukum
sejak ia dilahirkan, anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum
apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.
Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan yang selalu menjadi bagian dari
keluarga dan masyarakat. Hak seorang anak adalah memperoleh kasih sayang,
perlidungan serta pendidikan dari orang tua. Perceraian merupakan hal yang akan
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara psikis seorang anak yang akan
berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga anak
merupakan pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya.
Putusnya suatu perkawinan karena sebab kematian salah satu pihak, perceraian
ataupun atas putusan pengadilan akan menimbulkan suatu akibat hukum terhadap
harta perkawinan. Oleh karenanya perlu adanya penentuan kepemilikan harta selama
dalam hubungan perkawinan. Dalam hal perceraian dapat segera ditentukan mengenai
harta bawaan yang menjadi hak seorang isteri dan harta bawaan yang menjadi hak
suami, supaya mudah menentukan mengenai harta yang dapat dibagi yaitu mengenai
harta bersama (harta gono gini). Pada umumnya harta perkawinan itu cukup
digolongkan atas dua bagian yaitu sebagian berasal dari kekayaan suami dan isteri
masing-masing terpisah satu dari yang lain dan sebagian lagi merupakan cumpur kaya
yaitu harta bersama atau sering disebut harta gono-gini. Harta perkawinan merupakan
harta yang dikuasai suami isteri selama mereka
terikat dalam ikatan perkawinan baik harta yang berasal dari warisan, harta hibah,
harta penghasilan sendiri dan harta penghasilan bersama. Semua harta tersebut
dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut, seperti sistem kekerabatan
patrilineal, matrilineal dan bilateral atau parental. Pada masyarakat adat yang
menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan bentuk perkawinan pembayaran
jujur, kedudukan isteri harus tunduk pada aturan kekerabatan suami. Pada umumnya
semua harta perkawinan dikuasai oleh suami sebagai kepala rumah tangga/keluarga.
Apabila terjadi perceraian dan isteri meninggalkan tempat kedudukan suaminya,
berarti isteri melanggar adat, maka isteri tidak berhak menuntut bagian dari harta
bersama ataupun terhadap harta bawaannya. Sedangkan pada masyarakat yang
menganut sistem kekerabatan matrilineal yang bentuk perkawinannya semenda,
apabila terjadi perceraian maka yang berhak atas harta perkawinan adalah isteri dan
kerabat isteri, jika suami isteri bermata pencaharian berimbang maka dibagi bersama.
5. Maka sesuai Pasal 28 ayat 2 UU no 1 1974 bahwa putusan tidak surut bagi anak dan
harga.
6. Pasal 153 KHI masa iddah bagi seorang janda menurut Pasal 153 Ayat (2) KHI
adalah sebagai berikut: Apabila pernikahan putus karena perceraian, masa iddah bagi
janda yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
Dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari.

Anda mungkin juga menyukai