Anda di halaman 1dari 19

Muh Nur Ilyas Husain

Hukum Keluarga Islam


Semester 4 kelas A
NIM 212012044

1. Sebutkan Pasal yang membahas tentang perceraian baik dalam UU No.1 /1974 dan PP

penjelasan UU No.1/1974, KHI maupun UU Peradilan Agama, uraikan jawabanmu

 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak

akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

 Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan

tersendiri.

Dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No.

1/1974 jo. Pasal 19 huruf (a) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum

Islam) .

- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin

pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena ada hal yang lain di luar

kemampuannya ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf b UU.No. 1/1974 jo. Pasal

19 huruf (b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih

berat setelah perkawinan berlangsung ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf c

UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi

Hukum Islam).

- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan

terhadap pihak yang lain ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf d UU.No. 1/1974 jo. Pasal

19 huruf (d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).

- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat

menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e

UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi

Hukum Islam).

2. Pasal berapa yang mengatur tentang alasan-alasan perceraian baik UU. No 1 maupun

KHI,bagaimana bunyinya? Apakah ada perbedaan dalam aturan alasan perceraian

tersebut?

Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan diterangkan adanya 6 sebab yang dapat dijadikan

alasan perceraian, baik untuk menjatuhkan talak maupun cerai gugat. Adapun alasan-

alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

o Salah satu pihak atau pasangan melakukan zina, merupakan pemabuk, pemadat,

penjudi, dan perbuatan lainnya yang sukar disembuhkan.

o Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin

pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
o Salah satu pihak atau pasangan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

o Salah satu pihak atau pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain.

o Salah satu pihak atau pasangan mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

o Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 KHI. yakni sebagai berikut.

o Salah satu pihak atau pasangan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

o Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin

pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

o Salah satu pihak atau pasangan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

o Salah satu pihak atau pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

o Salah satu pihak atau pasangan mendapat cacat berat atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

Penting untuk diketahui bahwa KHI mengatur ketentuan lanjutan akan alasan-alasan

perceraian tersebut secara lebih terperinci. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah

sebagai berikut:
o Gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan rumah tanpa izin

dapat diajukan setelah dua tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

Kemudian, gugatan karena alasan ini dapat diterima jika tergugat (pihak yang

meninggalkan) menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau kembali ke rumah

(Pasal 133 KHI).

o Gugatan perceraian karena alasan terus terjadi perselisihan di antara suami dan

istri dapat diterima jika Pengadilan Agama telah mengetahui penyebab terjadinya

perselisihan dan telah mendengar pihak keluarga serta orang-orang terdekat dari

pasangan suami-istri tersebut (Pasal 134 KHI).

o Gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara

lima tahun atau lebih berat, dapat diajukan dengan menyampaikan salinan putusan

pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan

bahwa putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Pasal 135

KHI).

3. Pada perundang-undangan tersebut pasal berapa yang mengatur tentang kawin hamil

bagaimana bunyinya dan bagaimana pendapat para ahli fikih ?


Pada perundang-undangan tentang perkawinan, terdapat beberapa pasal yang mengatur

tentang kawin hamil. Salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam UU tersebut, tidak terdapat pasal yang secara khusus mengatur tentang kawin

hamil. Namun, terdapat pasal yang mengatur tentang batas usia perkawinan. Pasal 7 ayat

(1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak

pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun.

Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat

Pendapat para ahli fikih tentang kawin hamil beragam. Sebagian ahli fikih berpendapat

bahwa kawin hamil tidak dilarang dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang sah

dan tidak merugikan pihak lain. Namun, sebagian ahli fikih lainnya berpendapat bahwa

kawin hamil tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan

ibu dan anak, serta dapat mengganggu proses perkembangan anak secara optimal.

Bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan Ketentuan

bila telah bertaubat dan Menjalani hukuman dera (cambuk), Karena keduanya telah

berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang Pernah diterapkan oleh Sahabat Nabi

SAW

4. Perkara Nuzus, Syiqaq, Khuluk, Talik, Talak, Lian, Iddah, rujuk, Hadhonah, diatur

dalam pasal berapa pada KHI dan Undang-undang peradilan agama, bagaimana bunyi

pasal-pasalnya, adakah perbedaan aturannya dalam KHI dan UU Peradilan Agama? Dan

apakah dalam UU No. 1 tahun 1974 adakah bunyi pasal mengatur tentang perkara

tersebut?
Nuzus adalah perkara di mana suami melanggar taklik talak, yaitu suami yang

tidak mengucapkan talak pada saat yang telah ditentukan dalam taklik talak. Taklik

talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah,

yang berisi janji suami untuk memberikan talak pada istrinya dalam kondisi tertentu.

Dalam hal suami melanggar taklik talak, maka istrinya berhak mengajukan gugatan

nuzus ke pengadilan agama. Hakim akan memeriksa apakah suami benar-benar

melanggar taklik talak dan apakah istrinya berhak atas gugatan nuzus tersebut. Jika

hakim memutuskan bahwa suami melanggar taklik talak, maka hakim akan

memberikan putusan yang mengikat suami untuk memberikan talak pada istrinya.

Perkara nuzus diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 19

Undang-Undang Peradilan Agama.

Syiqaq: Syiqaq adalah keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri

sehingga tidak mungkin lagi hidup bersama

Syiqaq adalah pertengkaran antara suami dan istri yang tidak dapat diselesaikan

sendiri oleh keduanya. Perselisihan ini dapat disebabkan oleh istri nusyuz atau suami

yang berbuat kejam dan aniaya kepada istrinya. Syiqaq juga dapat diartikan sebagai

keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri sehingga tidak mungkin lagi

hidup bersama. Dalam hukum Islam, syiqaq dapat menjadi alasan perceraian jika

tidak dapat diselesaikan dengan cara lain. Dalam hal ini, pengadilan agama dapat

mengangkat hakam atau juru damai yang berasal dari kedua belah pihak untuk

membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. Perkara syiqaq diatur dalam Pasal

76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


Khuluk: Khuluk atau khulu’ adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami-

isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta.

Khuluk atau khulu’ adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri

dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang

dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara khulu’. Syarat yang menjadi

illat (sebab) dibolehkannya khuluk adalah suami istri itu tidak bisa lagi menjalankan

peraturan-peraturan Tuhan, kalau mereka teruskan hubungan perkawinannya.

Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam khuluk:

Perceraian berdasarkan khuluk hendaknya dilakukan dengan bebas oleh suami-istri.

Hendaknya terdapat persetujuan bersama antara suami istri mengenai jumlah uang

atau harta tebusan perceraian. Jika tidak terdapat persetujuan bersama mengenai

jumlah uang penebus, hakim pengadilan agama menentukan jumlah uang penebus

itu.

Prosedur cerai dengan jalan khuluk di pengadilan agama adalah sebagai berikut:

Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‘,

menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan

suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang

akibat khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya.

Kemungkinan juga suami sengaja menunda-nunda pelaksanaan ikrar, karena


menurut pasal 148 KHI telah menunjuk penyelesaian selanjutnya ditempuh

sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5 KHI, berarti setelah ada putusan

Pengadilan Agama tentang perceraian dengan khuluk, sudah berkekuatan hukum

tetap lalu suami dipanggil untuk mengikrarkan talak terhadap istrinya.

Talik/Talak: Talak adalah perceraian suami-istri yang diucapkan oleh suami

dengan atau tanpa sebab tertentu.

Talak adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada perceraian yang

dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Talak dapat dilakukan dengan cara lisan atau

tertulis, dan dapat dilakukan tanpa sebab atau dengan sebab tertentu. Dalam hukum

Islam, talak merupakan hak suami yang diakui secara sah dan diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Peradilan Agama. Namun,

talak yang dijatuhkan oleh suami baru dianggap sah secara hukum agama, namun

belum dianggap sah secara hukum negara apabila belum didaftarkan dan

disidangkan pada Pengadilan Agama. Oleh karena itu, perceraian antara suami dan

istri harus diajukan dan dipersidangkan di Pengadilan Agama agar dianggap sah

secara hukum negara. Dalam proses talak, suami harus mengajukan permohonan

baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggalnya. Setelah itu, Pengadilan Agama akan memanggil suami dan istri untuk

didengar keterangannya masing-masing. Jika talak dijatuhkan, maka akan dibuat

akta cerai dan Salinan putusan yang menjadi bukti sah perceraian antara suami dan

istri. Talak juga dapat dibedakan menjadi talak sunni dan talak bid’i. Talak sunni

adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah dan memenuhi syarat-

syarat talak sunni, sedangkan talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai
atau bertentangan dengan tuntunan sunnah dan tidak memenuhi syarat-syarat talak

sunni. Talak bid’i dapat berdampak pada pembagian warisan terhadap istri yang

ditalak.

Lian: Lian adalah perkara di mana seorang suami menuduh istrinya berzina dan

kemudian mengajukan sumpah lian.

Lian adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada tuduhan zina yang

dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Lian terjadi ketika seorang suami menuduh

istrinya melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain dan istri menolak tuduhan

tersebut. Dalam hal ini, suami harus mengajukan sumpah lian di hadapan hakim dan

empat orang saksi yang hadir. Sumpah lian berisi pernyataan suami bahwa istrinya

telah berzina dengan laki-laki lain, dan jika pernyataan tersebut tidak benar, maka

suami akan terkena kutukan Allah. Setelah suami bersumpah lian, maka istri harus

bersumpah lian dengan cara yang sama untuk menolak tuduhan suaminya. Jika istri

bersumpah lian, maka perkawinan antara suami dan istri tersebut akan batal secara

otomatis dan mereka tidak dapat hidup bersama lagi sebagai suami istri. Lian diatur

dalam Pasal 126-129 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam hukum Islam, lian

merupakan upaya untuk melindungi kehormatan dan martabat seorang istri dari

tuduhan zina yang tidak benar.

Iddah: Iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita setelah talak atau perceraian

sebelum ia dapat menikah lagi

Iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita setelah talak atau perceraian

sebelum ia dapat menikah lagi. Masa iddah ini bertujuan untuk memberikan waktu

bagi pasangan yang bercerai untuk merenungkan kembali keputusan mereka dan
memberikan kesempatan bagi suami untuk meminta rujuk. Selain itu, masa iddah

juga memberikan waktu bagi istri untuk memastikan bahwa ia tidak hamil. Masa

iddah ini diatur dalam Pasal 119-125 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 39-

45 Undang-Undang Peradilan Agama. Lamanya masa iddah tergantung pada jenis

talak atau perceraian yang terjadi dan kondisi istri, seperti berikut:

Iddah karena talak: Masa iddah bagi istri yang ditalak oleh suaminya adalah tiga

bulan atau tiga kali haid, tergantung mana yang lebih cepat berakhir. Namun, jika

istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah berakhir setelah ia melahirkan.

Iddah karena khuluk: Masa iddah bagi istri yang bercerai karena khuluk adalah tiga

bulan atau tiga kali haid, tergantung mana yang lebih cepat berakhir.

Iddah karena kematian: Masa iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya

adalah empat bulan dan sepuluh hari. Namun, jika istri dalam keadaan hamil, maka

masa iddah berakhir setelah ia melahirkan.

Selama masa iddah, istri tidak diperbolehkan menikah lagi atau melakukan

hubungan suami istri dengan suami lamanya. Namun, jika istri ingin menikah lagi

setelah masa iddah berakhir, maka ia harus mengajukan permohonan izin nikah ke

pengadilan agama.

Rujuk: Rujuk adalah proses kembali bersatu kembali setelah terjadi

perceraian.Rujuk adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada proses

kembali bersatu kembali setelah terjadi perceraian. Rujuk dapat dilakukan oleh

suami dan istri yang telah bercerai, dengan syarat bahwa perceraian baru terjadi satu

atau dua kali dan rujuk akan membawa kemaslahatan atau kebaikan bagi istri dan

anak-anak. Rujuk dapat dilakukan dengan cara lisan atau perbuatan seperti suami
menyentuh atau mencium istrinya dengan nafsu atau suami mensetubuhi istrinya.

Syarat rukun rujuk adalah tidak diperlukan adanya akad nikah yang baru karena

akad yang lama belum terputus, pernikahan awal dilakukan sakral dan sah

disaksikan oleh para saksi serta banyak umat Muslim. Namun, secara hukum negara,

agama, dan adat, rujuk dibuktikan dengan adanya akta pernikahan dalam Islam

yakni Sertifikat Kursus Calon Pengantin yang mutlak milik penerima Sakral yang

Sah yaitu suami, yang dikeluarkan oleh Badan Penasihatan Pembinaan dan

Pelestarian Perkawinan dan Keluarga Berencana Kementerian Agama. Prosedur

rujuk dapat dilakukan sebelum masa menunggu atau masa iddah habis.

Hadhonah: Hadhonah adalah perkara di mana seorang suami menuduh istrinya

berzina dan kemudian mengajukan sumpah hadhonah

Hadhanah adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada pemeliharaan

dan pengasuhan anak di bawah umur. Hadhanah menjadi tanggung jawab kedua

orang tua, baik kedua orang tua masih hidup rukun atau ketika perkawinan mereka

telah bercerai. Dalam hukum Islam, hadhanah dapat dilakukan oleh ayah atau ibu,

tergantung pada keadaan dan kondisi anak. Hadhanah harus dilakukan oleh orang

yang sudah baligh berakal dan tidak terganggu ingatannya, karena hadhanah

merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Dalam kasus perceraian,

hadhanah menjadi salah satu hal yang harus diputuskan oleh pengadilan agama.

Pengadilan agama akan menentukan siapa yang berhak melakukan hadhanah

terhadap anak, apakah ayah atau ibu, berdasarkan pertimbangan kepentingan dan

kesejahteraan anak. Hadhanah diatur dalam Pasal 105-108 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dan Pasal 49-52 Undang-Undang Peradilan Agama.


Peraturan mengenai perkara-perkara tersebut diatur dalam Pasal 116-148

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Peradilan Agama. Pasal-pasal

tersebut mengatur tentang prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam

menyelesaikan perkara-perkara tersebut. Perbedaan aturan dalam KHI dan Undang-

Undang Peradilan Agama tidak ditemukan dalam hasil pencarian. Namun, terdapat

perbedaan antara cerai gugat dan khulu’ dalam KHI, sedangkan dalam Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tidak

membedakan antara keduanya sehingga tidak membicarakannya

5. Bagaimana pula perkara hak dan kewajiban suasmi istri dalam peraturan tersebut,

termuat dalan pasal berapa dan bagaimana bunyinya?

Dalam peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat

hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Berikut adalah beberapa hak dan kewajiban

suami dan istri yang diatur dalam undang-undang tersebut:

Hak Suami:

Memimpin keluarga dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga. Menuntut istri

untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

Menentukan tempat tinggal keluarga.

Kewajiban Suami:

Menafkahi istri dan anak-anaknya. Memberikan perlindungan dan keamanan bagi istri

dan anak-anaknya. Memberikan nafkah yang cukup dan layak bagi istri dan anak

anaknya.
Hak Istri:

Mendapatkan perlindungan dan keamanan dari suami. Mendapatkan nafkah yang cukup

dan layak dari suami. Mendapatkan hak waris dari suami.

Kewajiban Istri:

Menjaga kehormatan suami dan keluarga. Menjaga rumah tangga dan mendidik anak-

anak. Patuh pada suami dan membantu suami dalam memimpin keluarga. Peraturan

mengenai hak dan kewajiban suami dan istri diatur dalam Pasal 31-35 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

6. Jelaskan bagaimana penyelesaian perselisihan terus menerus dalam Undang undang no.

1 KHI, dan undang-undang Peraturan Peradilan Agama, uraikan jawabanmu

berdasarkan pasal-pasal tersebut?

Penyelesaian perselisihan terus menerus dalam Undang-undang No. 1 KHI dan Undang-

undang Peraturan Peradilan Agama diatur dalam beberapa pasal, antara lain:

• Pasal 19 Undang-undang Peradilan Agama mengatur bahwa dalam hal terjadi

perselisihan antara suami dan istri, maka pengadilan agama harus berusaha

menyelesaikan perselisihan tersebut secara musyawarah dan mufakat.

• Pasal 20 Undang-undang Peradilan Agama mengatur bahwa jika perselisihan tidak

dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, maka pengadilan agama harus

memutuskan perkara tersebut berdasarkan hukum yang berlaku.

• Pasal 116 KHI mengatur bahwa jika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang
tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, maka istri dapat mengajukan

gugatan nuzul, syiqaq, atau khuluk ke pengadilan agama.

• Pasal 118 KHI mengatur bahwa jika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang

tidak dapat diselesaikan dengan cara lain, maka pengadilan agama dapat mengangkat

hakam atau juru damai untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.

• Pasal 126-129 KHI mengatur tentang lian, yaitu perselisihan antara suami dan istri

terkait tuduhan zina. Dalam hal ini, pengadilan agama harus memeriksa dan

menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara yang adil dan bijaksana.

Dalam Undang-undang No. 1 KHI dan Undang-undang Peraturan Peradilan

Agama, penyelesaian perselisihan antara suami dan istri diutamakan dengan cara

musyawarah dan mufakat. Namun, jika tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut,

maka pengadilan agama dapat membantu menyelesaikan perselisihan tersebut dengan

cara yang adil dan bijaksana.

7. Jelaskan tentang pasal yang mengatur cerai talak, cerai gugat pada 3 peraturan tersebut,

uraikan persamaan dan perbedaan tentang pasal yang mengatur istilah tersebut ?

Pasal yang mengatur cerai talak dan cerai gugat diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang

Peradilan Agama. Berikut adalah persamaan dan perbedaan pasal yang mengatur istilah

tersebut: Persamaan:

• Ketiga peraturan tersebut mengatur tentang cerai talak dan cerai gugat sebagai bentuk

perceraian antara suami dan istri.


• Ketiga peraturan tersebut mengatur bahwa perceraian harus dilakukan di hadapan

pengadilan agama.

• Ketiga peraturan tersebut mengatur bahwa perceraian harus dilakukan dengan cara

musyawarah dan mufakat terlebih dahulu sebelum dilakukan secara resmi.

Perbedaan:

• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa cerai

talak dapat dilakukan oleh suami tanpa sebab atau dengan sebab tertentu, sedangkan

cerai gugat dapat dilakukan oleh suami atau istri dengan sebab tertentu.

• Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa cerai talak dapat dilakukan oleh suami tanpa

sebab atau dengan sebab tertentu, sedangkan cerai gugat dapat dilakukan oleh suami

atau istri dengan sebab tertentu.

• Undang-Undang Peradilan Agama mengatur bahwa cerai talak dapat dilakukan oleh

suami tanpa sebab atau dengan sebab tertentu, sedangkan cerai gugat dapat dilakukan

oleh suami atau istri dengan sebab tertentu.

• Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa dalam cerai talak, suami harus memberikan

nafkah iddah kepada istri, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Peradilan Agama tidak mengatur hal tersebut.

• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa dalam

cerai gugat, su ami atau istri harus memberikan nafkah iddah kepada pasangan yang

ditalak, sedangkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Peradilan Agama

tidak mengatur hal tersebut.

Dalam kesimpulannya, ketiga peraturan tersebut mengatur tentang cerai talak dan cerai
gugat sebagai bentuk perceraian antara suami dan istri. Namun, terdapat perbedaan

dalam hal sebab perceraian, nafkah iddah, dan beberapa hal lainnya.

8. Setelah perceraian diproses di Pengadilan,kapan proses ikrar talak dan rujuk dilakukan

oleh para pihak? Dan kapan pula perceraian di anggap resmi bahwa para pihak sudah

bercerai?jelaskan berdasarkan pasal yang mengaturnya!

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan dalam pasal 38

perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan.

Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur perihal

perceraian, antara lain disebutkan dalam pasal-pasal berikut :

Pasal 65 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak.

Pasal 66 ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna

menyaksikan ikrar talak.


Kompilasi Hukum Islam juga mengatur perihal perceraian, antara lain disebutkan dalam

pasal-pasal berikut :

Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena

talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah

Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal

129, 130, dan 131

Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan

permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk

keperluan itu.

Pasal 132 ayat 1 Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan

Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut bahwa perceraian antara suami

dan istri dianggap putus dan sah secara hukum apabila telah diajukan ke Pengadilan

Agama, baik cerai yang disebabkan karena pengajuan gugatan cerai oleh istri maupun

permohonan cerai talak oleh suami. Sepanjang tidak ada pengajuan ke Pengadilan

Agama, perkawinan antara suami istri masih dianggap berlangsung dan belum terjadi
perceraian, sampai salah satu pihak mengajukan gugatan atau permohonan cerai talak ke

Pengadilan Agama.

9. Jelaskan pula ketentuan berpoligami dalam peraturan tersebut!

Perkawinan poligami dalam hukum Islam tidak Dilarang dan diakomodir oleh pemerintah

dengan Keluarnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun masih banyak

laki laki yang Melakukan poligami sirri (tanpa mengajukan ijin ke Pengadilan). UU

Nomor 1 Tahun 1974, mensyaratkan bbagi Laki-laki yang ingin berpoligami harus

memenuhi Syarat kumulatif dan alternatif serta mendapat ijin Dari pengadilan agama

seternpat.’ Pasal 4 ayat (2) UU nomor 1 Tahun 1974 berbunyi “penqadilan Hanya akan

memberikan ijin kepada suami yang Ingin beristri lagi apabila;Istri tidak dapat

Menjalankan kewajibannya sebagai istri, lstri Mendapat cacat badan atau penyakit yang

tidak Dapat disembuhkan, lstri tidak dapat melahirkan Keturunan”. Syarat yang tersebut

pada Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan syarat Altematif, artinya

apabila terpenuhi salah satu dari Ketiga point tersebut, suami dapat mengajukan ijin

Poligami.

UU Nomor 1 Tahun 1974 juga mensyaratkan Pada Pasal 5 ayat (1 ), bahwa “Untuk dapat

Mengajukan permohonan harus terpenuhi syaratsyarat ;(a)Adanya persetujuan dari

istri/istri-istri, (b) Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin Keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak Mereka, (c) Adanya jaminan bahwa suami akan

Berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak Mereka•. Pengajuan permohonan ijin
poligami harus Memenuhi ketiga syarat tersebut pada Pasal 5 ayat ( 1) Atau biasa disebut

dengan syarat kumulatif.

Anda mungkin juga menyukai