Anda di halaman 1dari 9

TATA CARA MENGAJUKAN GUGAT CERAI MENURUT UU PERKAWINAN NO.

1 TAHUN 1974
Pertanyaan : Bagaimana tata cara utk mengajukan gugat cerai menurut UU Perkawinan No. 1 thn 1974 pasal 40 ayat 2? Seandainya gugatan yang diajukan gugur / ditolak, apakah alasan yg sama masih bisa dipakai sebagai gugatan berikutnya? Terima kasih

Jawaban : Pasal 40 mengatur tentang gugatan perceraian mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya sedangkan tata cara untuk mengajukan gugat cerai akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini. Menurut Pasal 14 UU Perkawinan seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut. Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19 disebutkan dibawah) dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Disamping itu pasal 19 menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasanalasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 20 (1), (2), (3) UU Perkawinan). Jika gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya maka diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21). Dalam hal gugatan karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu (Pasal 22). Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Mengenai gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Gugatan diajukan dengan alasan yang sama maka tidak akan diterima oleh Pengadilan. Jika gugatan akan diajukan kembali maka harus dengan alasan-alasan yang berbeda dengan alasan yang sebelumnya.

HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN Drs. H. Purwosusilo, S.H, M.H (Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung RI) I. PENDAHULUAN Dalam sebuah hadits Riwayat Al Khatib dari Ans Rasulullah SAW bersabda : Al Jannatu tahta agdamil ummahati, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah SAW dan bertanya : siapakah orang yang lebih berhak aku layani dengan sebaik-baiknya. Rasulullah menjawab : Ibumu. Kemudian siapa? Tanya orang itu lagi, nabi menjawab ibumu, lalu siapa? ibumu. Kemudian siapa lagi : Bapakmu. Alangkah hebatnya penghormatan yang diberikan ajaran Islam terhadap seorang wanita sebagai ibu. Penghormatan kepada ayah hanya sepertiga bagian dari penghormatan yang diberikan kepada ibu sebuah penghormatan yang luar biasa dan istimewa. Akan tetapi hal ini sering hanya berhenti pada tataran teoritik. Dalam praktek sering terjadi perlakuan kekerasan dan pelecehan dari seorang laki-laki (suami) terhadap seorang perempuan (istri). Data statistik pada Ditjen Badilaq MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental sebanyak 587 kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental 218 kasus dan lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan 40.823 kasus (sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung jawab. Sejak berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara normatif undang-undang telah memberikan jaminan kedudukan yang terhormat dan seimbang kepada perempuan sebagai istri. Terdapat perubahan signifikan terhadap dominasi laki-laki (suami) kepada perempuan (istri) dalam kehidupan berumah tangga. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 memberikan hak dan kedudukan seimbang antara seorang istri dengan seorang suami. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan angka 4 huruf F menyatakan : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri . Asas-asas dalam Undang-undang ini, adalah mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hak untuk menjatuhkan talak tidak lagi menjadi hak mutlak seorang suami, yang dapat dilakukan kapan saja dia mau, akan tetapi harus dilakukan di depan

sidang pengadilan dengan alasan yang dibenarkan oleh Undang-Undang, dan juga dengan kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak istri dalam proses perceraian tersebut. II. HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN 1. Adanya hak suami dan istri yang seimbang untuk mengajukan perceraian. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ada diskriminasi, antara suami dan istri dalam hak untuk mengajukan perceraian. Suami memiliki hak mutlak untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kapan saja suami dapat menjatuhkan talak tanpa kewajiban apapun kepada istri. Sementara istri apabila akan mengajukan perceraian, harus mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dan dengan mengajukan gugatan tersebut, istri akan kehilangan hak-haknya karena, mengajukan gugatan dianggap perbuatan nusyuz sehingga istri harus rela kehilangan hak, hanya karena istri mengajukan gugatan ke Pengadilan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989, telah merubah keadaan tersebut, dan memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian. Baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan harus ada alasan yang ditentukan di dalam Undang-undang yaitu : - Suami dapat menceraikan istri dengan mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan di tempat kediaman Termohon (Istri) . - Sedangkan istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan di tempat kediaman Penggugat (isteri) 2. Hak Mengajukan Komulasi Di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberikan hak untuk mengajukan gugatan komulasi. Yaitu istri dapat mengajukan gugatan perceraian secara komulasi dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri, atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian juga suami dapat mengajukan permohonan talak dikomulasikan dengan permohonan penguasaan anak, nafkah anak nafkah istri dan harta bersama atau dapat diajukan setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri. 3. Hak Mutah, nafkah idah dalam cerai talak Dalam hal perceraian karena permohonan cerai talak suami kepada istri, pasal 149 dan pasal 158 KHI, dengan tegas mewajibkan suami untuk memberi : a. Mutah yang layak kepada bekas isteri b. Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah c. Melunasi mahar dengan masih terhutang d. Biaya hadlonah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasi membebankan kwajiban tersebut dalam beberapa format : a. Dalam bentuk Rekonpensi Dalam permohonan cerai talak suami di PA, istri mengajukan gugatan Rekonpensi, agar suami dihukum untuk membayar kwajiban-kwajiban hal dalam pasal 149 dan pasal 158 tersebut. Dalam putusan kasasi nomor 347 k / Ag / 2010, Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi dari istri dan memperbaiki putusan PA dan PTA. Dalam pertimbangan MA, menyebutkan bahwa jumlah mutah kurang memenuhi rasa keadilan sehingga jumlah mutah suami tersebut harus disesuaikan dengan rasa keadilan. Sehingga dinaikkan dari Rp. 30.000.000,- menjadi Rp. 70.000.000. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi istri berupa : - Nafkah, maskan kiswah selama dalam iddah - Nafkah madliyah - Mutah . b. Secara ex officio Mahkamah Agung telah membuat suatu terobosan dengan mewajibkan suami sekalipun tidak terdapat gugatan Rekonpensi, dengan membebankan kewajiban secara ex officio untuk membayar : - Mutah - Nafkah, maskan, kiswah tepat istri selama dalam masa iddah. - Nafkah dua orang anak. Dalam perkara nomor 410 k/Ag/2010 : PA : Telah memberikan izin kepada suami untuk menjatuhkan ikrar talak tanpa pembebanan kewajiban suami kepada istri. PTA : Permohonan tersebut ditolak MA : Mengabulkan permohonan suami untuk mengucapkan ikrar talak dan secara ex officio (karena tidak ada gugatan Rekonpensi) telah membebankan kepada suami untuk membayar : - Mutah - Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah - Nafkah 2 orang anak. Pertimbangan Mahkamah Agung, bahwa dalam perkara ini Pemohon sebagai suami telah mengajukan permohonan cerai talak dan istri dalam pemeriksaan tidak terbukti berbuat nusyuz . 4. Hak Mutah dan nafkah iddah dalam Cerai Gugat Dalam cerai gugat undang-undang maupun KHI tidak menentukan / mengatur kewajiban suami atau hak-hak istri seperti yang diatur pasal 149 dan 158 KHI. Sehingga dalam putusan PA, masih terdapat pengadilan yang tidak membebankan kewajiban suami yang menjadi hak islam, yaitu mutah nafkah, maskan dan kiswah selama dalam masa iddah.

Dalam perkara kasasi nomor 276 k / Ag / 2010 Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan cerai istri kepada suami yang dikomulasikan dengan tuntutan, mutah, hadlonah untuk anak, dan nafkah anak yaitu dengan membebankan mutah sebesar Rp. 50.000.000,-. Pertimbangan MA, karena perceraian tersebut diajukan oleh istri disebabkan suami kawin lagi dengan perempuan lain. Padahal kesetiaan istri lebih dari cukup. Sikap Termohon yang menikah lagi adalah Sikap yang tidak terpuji dan sangat menyakitkan bagi seorang istri yang setia. Di dalam Buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah 5. Hak Istri untuk didampingi seorang pendamping Dalam proses pemeriksaan cerai talak istri dalam gugatan Rekonpensi dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping. Demikian juga dalam gugatan perceraian, istri sebagai penggugat dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping. III. KESIMPULAN 1. Dalam proses perceraian baik dengan prosedur cerai talak maupun cerai gugat, selama istri tidak berbuat nusyuz tetap mempunyai hak : - Nafkah madliyah - Mutah - Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah - Hak hadlonah - Nafkah anak 2. Penetapan hak-hak istri : mutah, nafkah, maskan, kiswah selama iddah, dan nafkah anak tersebut dapat dilakukan melalui gugatan cerai, gugatan Rekonpensi dalam permohonan cerai talak maupun ditetapkan oleh Hakim secara ex officio, sebagaimana putusan kasasi tersebut di atas. 3. Dalam hal alasan perceraian KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping. 4. Penetapan jumlah kwajiban suami sebagai hak istri harus disesuaikan dengan rasa keadilan, sehingga sesuai dengan putusan Hukum Kasasi pada MARI. PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA BUKU II REVISI

I. PENDAHULUAN Buku II bagi lingkungan peradilan baik peradilan umum, Peradilan Agama, Militer dan TUN, merupakan Pedoman Kerja dalam bidang Administrasi Peradilan maupun Teknis Peradilan. Buku II sebagai Pedoman Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Jurusita dan seluruh petugas administrasi perkara, Pengawasan pelaksanaan buku dua, dilakukan melalui buku IV, yang berisi petunjuk, dan instrumen yang memuat Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan. Dalam pelaksanaan tugas di MA terdapat : Buku I : Untuk MA Buku II : - Pengadilan TK. Pertama PN, PA, Dilmil, TUN - Pengadilan TK. Banding PT, PTA, di LMILTI, PT TUN Buku III : Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Buku IV : Pengawasan II. PENYEBAB PERCERAIAN Data statistik di MA RI, jumlah perceraian pada tahun 2009 dan 2010 adalah sebagai berikut : DATA TAHUN 2009. a. Terus menerus berselisih. 2009 2010 - Tidak ada keharmonisan : 72.274 47.453 - Gangguan pihak ketiga : 16.077 10.965 - Politis : 402 209 b. Meninggalkan kwajiban 2009 2010 - Tidak ada tanggung jawab : 61.128 40.823 - Ekonomi : 43.309 31.324 - Kawin paksa : 2.064 1.350 c. Moral 2009 2010 - Cemburu : 8.284 5.613 - Krisis akhlaq : 6..486 4.287 - Poligami : 1.196 683 d. Mengeluh jasmani dan mental - Menyakiti jasmani : 1.965 1.312 - Menyakiti mental : 587 218 e. Cacat biologis : 865 372 f. Kawin di bawah umur : 384 284 g. Dihukum : 459 229 h. Lain-lain : 806 565 Dari data jumlah perceraian Th. 2009 sejumlah : 216.286 perkara Cerai talak : % Cerai gugat : % Th. 2010 s/d Juli 2010 jumlah : 145 perkara

Cerai talak : Cerai gugat : III. PERATURAN PKDRT DALAM BUKU II A. Rekomendasi Kalau kita memperhatikan rekomendasi yang diajukan oleh jejaring Nasional Lintas institusi yang ditujukan kepada Mahkamah Agung pada tahun 2009 : 1. Menerbitkan SEMA atau Perma, yang isinya : a. b. c. d. e. 2. 3. Menunjuk pendaping atas perkara KDRT Penetapan perlindungan untuk korban KDRT Memasukkan UU KDRT dalam pertimbangan hukum Memasukkan ganti rugi atas kasus KDRT dalam Mutah Anggaran Prodeo untuk proses ekskusi Sosialisasi, Pendidikan dan Pelatihan Merevisi buku II Pedoman Administrasi Pengadilan

B. Tindak lanjut dari Rekomendasi 1. Hukum Materiil dalam buku II 1. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2. Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga 2. Hukum Acara 1. Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga 3. Permintaan untuk didampingi seorang pendamping yaitu dimuat dalam revisi buku II a. Selama proses permohonan cerai talak suami dalam permohonan provisi demikian juga istri dalam gugatan Rekonpensi dapat mengajukan permohonan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam pasal 24 PP Nomor 9 tahun 1975. Yaitu : Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau atas pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. b. Permohonan provisi sebagai dimaksud oleh huruf c diatas antara lain permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping (ps 41 UU Nomor 23 tahun 2004). c. Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi begitu juga suami dalam rekonvensi dapat mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975. d. Yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping. 4. Penetapan Perlindungan Korban KDRT Sesuai pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975 Hakim / Pengadilan dapat mengizinkan suami

atau istri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah selama proses perceraian berlangsung. 5. Cerai gugat dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah. 6. Dalam Yuris prodensi, putusan kasasi, baik perceraian atas kehendak suami (cerai talak) maupun cerai gugat, secara ex officio. Hakim membebankan mutah, nafkah, maskan kiswah selama dalam iddah selama istri tidak berbuat nusyuz (perkara nomor 276 K/Ag/2010), 488 K / Ag / 2010 Jo Ps 41 huruf c UU Nomor 1 / 1974 Jo Pasal 149 huruf a dan b KHI. 7. Dalam perkembangan, terdapat putusan kasasi nafkah anak ditetapkan secara ex officio. 8. Dalam buku II, dalam hal suami mengajukan permohonan poligami harus diikuti permohonan pembagian harta bersama dengan istri pertama, atau istri dapat mengajukan gugatan rekonpensi kalau hal tersebut tidak dipenuhi, maka gugatan tidak dapat diterima. 9. Membebankan mutah dalam KDRT sebagai ganti rugi Hal tersebut telah banyak dilakukan oleh Hakim Kasasi dengan membebankan mutah dan nafkah iddah secara ex officio, selama istri tidak berbuat nusyuz. 10. Memasukkan UU Perlindungan KDRT di dalam pertimbangan hukum putusan. - Sekalipun dalam buku II edisi revisi, hal tersebut tidak dinyatakan secara eksplesit, namun telah dicantumkan, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, sebagai hukum materiil dan hukum acara PA, sehingga Hakim dapat memasukkan dalam pertimbangan. - Telah banyak dilakukan sosialisasi 11. Anggaran Prodeo untuk eksekusi Pada tahun 2010 telah dikeluarkan sema nomor 10 tahun 2010, yang di dalam sema tersebut memuat tiga komponen : a. Pelayanan Prodeo dengan biaya ditanggung oleh negara. b. Pelayanan sidang keliling c. Pos Bantuan Hukum - Setiap PA dibentuk Pos bantuan hukum secara bertahap - Untuk tahun 2011 dibentuk di 46 Pengadilan Agama. - Disediakan dana dari DIPA Pengadilan Agama ybs - Jasa layanan hukum : o Informasi o Advis o Jasa pembuatan gugata / permohonan o Pemberi jasa : - Advokat - LBH Perguruan Tinggi - LSM
Yang telah melakukan MOU dengan PA. 12. Revisi Buku II Telah dilakukan revisi dan sedang dalam proses percetakan, dengan mengakomodir beberapa rekomendasi jejaring nasional llntas institusi. Jakarta, 8 Desember 2010

Disampaikan dalam Seminar Pemenuhan Hak-Hak Istri dalam Proses Perceraian, Rifka Annisa Yogyakarta, 8 Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai