Anda di halaman 1dari 8

Nama : Okin sinarta

NIM : 1930104121

A. Pengertian Perkawinan
Pengertian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Berdasarkan
ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memuat pengertian yuridis perkawinan ialah "Perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dankekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Pengertian Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Perkawinan menurut
hukum islam di atur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.Pengertian perkawinan di atur di dalam Pasal 2 Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi:

" Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah".menghindari perzinahan sehingga tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa.

B. Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan berakhirnya hubungan perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang selama hidup menjadi sepasang suami istri.
Istilah yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah perceraian.
Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang memuat ketentuan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Perceraian menurut hukum Agama Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal
39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, mencakup perceraian dalam pengertian cerai talak dan perceraian
dalam pengertian cerai gugat. Perceraian karena talak adalah perceraian yang diajukan oleh
suami kepada Pengadilan Agama. Sedangkan perceraian karena cerai gugat ialah perceraian
yang diajukan oleh istri kepada Pengadilan Agama.
Perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu karena kematian, perceraian dan
atas putusan Pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian baik cerai talak maupun cerai
gugat. Talak merupakan ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 5 jenis talak
antara lain Talak Raj’I, Talak Ba’in Shughraa, Talak Ba`in Kubraa, Talak sunny dan Talak
bid`I.
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama
isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI). Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak
boleh dirujuk kembali tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam
iddah (Pasal 119 KHI). Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang tidak dapat dirujuk kembali,
karena terjadi untuk ketiga kalinya kecuali bekas isteri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan telah habis masa iddahnya (Pasal 120
KHI). Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI). Talak
bid`I adalah talak yang dilarang karena talak ini dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122
KHI).
Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya di atur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Di dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”
Putusnya perkawinan karena kematian maksudnya adalah apabila apabila salah
seorang dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena
adanya kematian. Sementara putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri
maksudnya apabila suami istri itu bercerai. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan
tempo dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang senada. Sedangkan putusnya
perkawinan karena putusan Pengadilan terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan
demikian perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 6 dan 7 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu
perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan.
Sedangkan di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mengenai
penyebab putusnya perkawinan, antara lain sebagai berikut:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang susah disembuhkan
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau diluar kemampuannya
3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang telah
membahayakan pihak lain
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
7) Suami melanggar taklik talak

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga:

Menurut Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan


bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan

tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan


menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita-
wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita- wanita dalam garis Iurus ke atas
dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari ayah, anak yang sudah mumayyiz berhak memilih
untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
b) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama
dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula
c) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).

Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). 6) Pengadilan dapat pula
dengan mengingat kemampuan.

Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan


menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita-
wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita- wanita dalam garis Iurus ke atas
dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat
sedarah menurut garis samping dari ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut
garis samping dari ayah, anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

2) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani


dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka
atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).

4) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan


Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). 6)
Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya

Adapun di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bilamana perkawinan


putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri sudah tersebut qobla al dukhul
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah ke bekas istri selama dalam iddah, kecuali
bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nisyuz dalam keadaan tidak hamil
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al
dukhul
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21
tahun.

B. PERKAWINAN CAMPURAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara pasangan yang berbeda suku,
budaya, atau agama. Dalam perkawinan campuran, pasangan harus mengatasi perbedaan-
perbedaan yang ada dan belajar untuk menerima satu sama lain. Perkawinan campuran
seringkali menimbulkan masalah karena perbedaan pandangan dan tradisi antar pasangan.
Dalam hal ini, pasangan harus bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik untuk mengatasi
masalah yang timbul. Penting untuk diingat bahwa perkawinan campuran juga memiliki
banyak keuntungan. Pasangan dalam perkawinan campuran seringkali dapat belajar dari satu
sama lain dan memperkaya hidup mereka dengan tradisi dan pandangan yang berbeda.
Perkawinan campuran juga memperlihatkan betapa pentingnya toleransi dan kebersamaan
antar pasangan. Dalam hal ini, pasangan harus mampu mengatasi perbedaan-perbedaan yang
ada dan menciptakan hubungan yang harmonis dan menyenangkan.Dengan demikian,
perkawinan campuran memang memiliki tantangan yang harus diatasi, namun juga membawa
banyak keuntungan bagi pasangan yang mengalaminya. Pasangan dalam perkawinan
campuran harus mampu memanfaatkan perbedaan-perbedaan mereka dan membentuk
hubungan yang harmonis dan menyenangkan.
Pandangan Islam terhadap perkawinan campuran sangat tegas dan
memperlihatkan betapa pentingnya mempertahankan identitas dan agama dalam perkawinan.
Islam memandang bahwa perkawinan antar pasangan yang berbeda agama atau suku sangat
tidak dianjurkan dan dianggap tidak baik.
Menurut Al-Quran, Islam menyarankan bahwa pasangan harus menikah dengan
orang yang sama agamanya agar dapat mempertahankan keyakinan dan tradisi yang sama.
Dalam hal ini, Islam memandang bahwa perkawinan campuran seringkali menimbulkan
masalah dan memperlihatkan betapa pentingnya mempertahankan identitas dan agama dalam
perkawinan.
Menurut ajaran Islam, perkawinan harus dilakukan antara pasangan yang sama
agamanya agar dapat mempertahankan keyakinan dan tradisi yang sama. Dalam hal ini, Islam
memandang bahwa perkawinan campuran bukanlah solusi bagi masalah perkawinan dan
dapat menimbulkan masalah yang lebih besar. Namun, Islam juga memperlihatkan betapa
pentingnya toleransi dan kasih sayang antar pasangan. Dalam hal ini, pasangan dalam
perkawinan campuran harus mampu mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dan
membangun hubungan yang harmonis dan menyenangkan.
Dengan demikian, pandangan Islam terhadap perkawinan campuran sangat tegas
dan memperlihatkan betapa pentingnya mempertahankan identitas dan agama dalam
perkawinan. Islam menyarankan bahwa perkawinan harus dilakukan antara pasangan yang
sama agamanya dan memperlihatkan betapa pentingnya toleransi dan kasih sayang antar
pasangan.
Pandangan Islam terhadap pelarangan perkawinan beda agama sangat jelas dan
tegas. Dalam tradisi Islam, perkawinan antara seorang Muslim dan non-Muslim dilarang dan
tidak diterima. Ini karena ajaran Islam menekankan pentingnya kesamaan visi dan misi hidup,
serta kebutuhan untuk membesarkan keluarga dengan ajaran Islam.
Menurut Al-Quran, perkawinan antara Muslim dan non-Muslim dapat
menimbulkan masalah dan mempengaruhi agama suami atau istri. Al-Quran juga mengatakan
bahwa pasangan harus memiliki kesamaan agama dan harus saling memahami dan
menghormati satu sama lain. Beberapa ulama juga berpendapat bahwa perkawinan antara
Muslim dan non-Muslim dapat membahayakan stabilitas dan keamanan keluarga. Mereka
mengatakan bahwa pasangan harus memiliki agama yang sama untuk menjaga harmoni
dalam keluarga. Secara keseluruhan, pandangan Islam terhadap pelarangan perkawinan beda
agama sangat jelas dan tegas. Ini karena Islam menekankan pentingnya kesamaan agama dan
visi hidup dalam membentuk keluarga yang harmonis dan stabil
Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(selanjutnya disebut Undang Undang Perkawinan) disebutkan bahwa Perkawinan campuran


adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan
pihak yang lain berkewarganegaraan Indonesia. Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur

perkawinan campuran itu sebagai berikut:

1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;

2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;

3. Karena perbedaan kewarganegaraan;

4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan.

Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita
yang melangsungkann perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan karena
perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena

unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini pun bukan
kewarganegaraan asing semuanya, melainkan

unsur keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan
Indonesia.

C. Syarat Pelangsungan Perkawinan Campuran dan Pencatatan Perkawinan


Campuran
Perkawinan campuran dapat dilangsungkan di luar Indonesia (luar negeri) dan
dapat pula dilangsungkan di Indonesia. Apabila dilangsungkan di luar negeri maka
perkawinan tersebut sah bilamana perkawinan tersebut menurut hukum negara yang berlaku
menurut di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Pokok Perkawinan (Pasal 56 ). Apabila
dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan ini (Pasal 59 Ayat (2). Mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
harus dipenuhi

syarat-syarat perkawinan materiil yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal
60 Ayat (1). Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi

syarat-syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak ialah
pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (2)). Apabila pejabat
pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan mengajukan
permintaan kepada Pengadilan, dan Pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan
Pengadilan itu menyatakan bahwa penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan
itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (Pasal 60 Ayat (3)) dan Ayat (4).
Setelah surat keterangan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera
dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama.
Pelangsungan perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat. Tata cara ini menurut
Undang-Undang Perkawinan, jika perkawinan dilangsungkan di Indonesia. Jika perkawinan
dilangsungkan di negara pihak lainnya itu, maka berlakulah ketentuan tata cara menurut
hukum di negara yang bersangkutan (Pasal 56 Ayat (1). Setelah surat keterangan atau
keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Pelangsungan perkawinan
dilakukan di hadapan pegawai pencatat. Tata cara ini menurut Undang-Undang Perkawinan,
jika perkawinan dilangsungkan di Indonesia. Jika perkawinan dilangsungkan di negara pihak
lainnya itu, maka berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan
(Pasal 56 Ayat (1), setelah memperoleh Surat Keterangan atau Putusan Pengadilan,
perkawinan tidak segera di lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam
masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau
putusan Pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (Pasal 60 ayat (5)). Perkawinan
campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 Ayat (1)). Pegawai
pencatat yang berwenang bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi yang
bukan beragama Islam ialah Pegawai Kantor Catatan Sipil.

Persoalan yang sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah


kewarganegaraan anak. Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa
memiliki satu kewarganegaraan yang dalam undang- ndang tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan

ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia
orang tuanya harus terus menerus memperpanjang izin tinggalnya.

Persoaan lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan
pengasuhan anak yang Warga Negara Asing. Undang-undang Kewarganegaraan No. 12
Tahun 2006 tidak lagi mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan
yang melakukan perkawinan campuran, Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk
berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau sampai mereka
menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak tersebut harus memilih
kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau menjadi WNI. Pernyataan untuk
memiih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin.

Anda mungkin juga menyukai