Anda di halaman 1dari 2

1.

PENGERTIAN PRRKAWINAN DAN TUJUAN


 Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini disyaratkan perkawinan antara seorang pria dan wanita
dan belum/tidak diatur tentang perkawinan dengan status baru yang terjadi dengan adanya fenomena
operasi ganti kelamin.
 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah
 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah,dan rahmah
 Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan Al Qur’an sebagai sumber ajaran yang
pertama. Al-Qur’an dalam Surat Ar-Ruum : 21 menegaskan bahwa Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah
SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dan jenis mereka sendiri agar mereka merasa
tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang
(mawaddah danrahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tandatanda (pelajaran)
bagi mereka yang mau berfikir.
 Tujuan perkawinan di atas terefleksi dalam ketentuan Pasal 3 KHI, yaitu bahwa perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
2. WALI NIKAH dalam KHI
 1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim.
 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan
dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
 Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan
seterusnya.
 Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
 Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka.
 Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
 (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi
wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
 (3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah
ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
 (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau
sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali
 Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah
atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi
wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
 Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
 (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
3. DESPENSASI NIKAH
 Jika seseorang ingin menikah tetapi terdapatat penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) baik dalam UU No.1
Tahun 1974 ataupun dalam UU No. 16 Tahun 2019 orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan agama bagi muslim atau pengandilan Negri bagi agama lainya
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
 Caranya adalah calon suami atau istri yang belum mencapai umur 19 tahun yang ingin melangsungkan
perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan permohonan disepensasi pernikahan pada
pengadilan agama atau dapat diajukan oleh orang yang bersangkutan itu sendiri di pengadilan dimana orang
tersebut tinggal dan permohonan dilakukan bersama calon suami dan istri.
 Pengajuan disepensasi diajukan dengan alasan yang sangat mendesak disini diartikan tidak ada pilihan lain
dan sangat terpaksa untuk segera dilangsungkanya perkawinan dan hal tersebut harus juga disertai bukti-
bukti yang mendukung seperti surat keterangan bahwa mempelai Wanita atau pria masih dibawah umur dan
surat keterangn dari tenaga Kesehatan yang mendukung peryataan orang tua bahwa pernikahan tersebut
sangat mendesak untuk dilaksanakan.
 Pengadilan wajib mendengarkan keterangan atau pendapat orang tua, keluarga dekat, walinya, calon
mempelai Wanita dan pria disni orang yang dimintai keterangan wajib memberikan keterangan yang
sesungguhnya, seperti contoh : bahwa si calon memepelai Wanita memberi keterangan bahwa dia telah
hamil dan si calon pria mengakui bahwa anak yang dikandung adalah benar anaknya dan keterangn tersebut
di benarkan oleh orang tua, sadara dekat, walinya, setelah keterangan dirasa cukup hakim pada pengadilan
agama dapat memberikan dispensasi.
 Pemberian disepesasi pada pengadilan agama / negri berdasarkan dengan pertimbangan moral, agama,
budaya, adat, aspek psikologis, Kesehatan dan dampak yang di timbulkan.
 Pemberian dispensasi sifatnya valontair/permohonan dan produknya berbentuk penetapan, jika
permohonan tidak puas dengan penetapan tersebut, maka permohonan dapat mengajukan dispensasi.
4. HARTA BERSAMA . DIPELAJARI
 Pasal 86 (KHI)
 1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
 (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
 Pasal 87
 Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
 (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Anda mungkin juga menyukai