Anda di halaman 1dari 9

Nama : Amira Zahra Afianita

NIM/No Presensi : 215010107111028 / 32

Kelas : Hukum Islam (C)

Analisis UU Perkawinan yang Berlandaskan Hukum Islam

A. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974

Pasal 1 : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku

- Analisa : Dua pasal diatas merupakan pasal yang berlandaskan hukum islam karena
terdapat dalam Q.S. An-Nisa Ayat 1, "Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya
(Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasimu.”. (Q.S. An-Nisa : 1). Dan terdapat pada Surah Al Qiyamah, “ Lalu
Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan,” (QS Al-
Qiyamah: 39).
- Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk
melaksanakan perkawinan dengan pasangannya dan memelihara hubungan keluarga dan
persaudaraan agar bahagia dan kekal. Dalam Surah Al Qiyamah juga telah dijelaskan bahwa
Islam mengatur hukum mengenai perkawinan dan sebagai seorang muslim harus taat
menaati perintah Allah. Dalam hukum islam sendiri mengenal tentang syarat sah
pernikahan yang termuat dalam rukun nikah, dimana disini menjelaskan mengenai
pernikahan yang sah menurut agama islam. Perkawinan yang sah dilakukan oleh
sepasang laki-laki dan perempuan.
Pasal 3 Ayat 1 : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

- Analisa : Dalam hukum islam sendiri sebenarnya tidak mengatur mengenai


pembatasan istri bagi seorang pria dikarenakan dalam islam sendiri memiliki istri
lebih dari 1 ialah sebuah sunnah. Namun dalam hukum islam ada aturan mengenai
poliandri atau memiliki suami lebih satu bagi wanita. Praktik poliandri ini dalam
pandangan islam bertentangan dengan dalil yang termuat dalam Al-Quran surat An-
Nisa 4:24 dan Al-sunnah Hadis Riwayat Ahmad.
- “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya
perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan
dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha
dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang
telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu
kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya,
setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Q.S An Nisa : 24).

Pasal 3 Ayat 2: Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

- Analisa : Pasal tersebut berlandaskan hukum islam karena terdapat dan diatur dalam Pasal
56 ayat (1) KHI: Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama. Merujuk pada dasar hukum poligami menurut KHI, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat dilakukan, sepanjang poligami
tersebut dilakukan sesuai dengan hukum poligami yang berlaku di Indonesia dan memenuhi
sejumlah syarat-syarat poligami.

Pasal 6 Ayat 1 : Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

- Analisa : Dalam hukum islampun persetujuan kedua calon mempelai sangat di


jungjung tinggi, pasalnya perkawinan ini diadakan untuk melakukan ibadah, maka
dalam menjalani ibadah tersebut, apalagi perkawinan merupakan ibadah yang sangat
panjang maka tidak boleh sampai ada paksaan dalam pelaksanaannya harus dari
kemauan serta keikhlasan hati sang mempelai. Dalam KHI terdapat dalam pasal 16 ayat
(2): Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata
dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan
yang tegas.

Pasal 6 Ayat 3 dan 4 : (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) (Izin orang tua) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua
orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

- Analisa : Dalam hukum islam hal ini disebut sebagai perwalian dimana jika seseorang
wanita hendak menikah perlu dinikahkan oleh wali sah nya yaitu ayah kandung
namun apabila ayah kandungnya tersebut sudah meninggal dunia bisa digantikan oleh
kakek, adek atau kakak almarhum ayah, kaka kandung, adek kandung yang dipastikan
adalah laki-laki. Namun jika tidak ada laki-laki lain dalam garis keluarganya maka
dibolehkan untuk meminta diwalikan oleh wali hakim yang akan di tunjuk oleh
pengadilan agama.
- Rasulullah SAW bersabda: Diriwayatkan oleh Zuhri dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW
bersabda: "Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batil,"
(HR. Ahmad). Dalam riwayat lain dikatakan, Dari Aisyah R.A berkata: Rasulullah bersabda,
”Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah),
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil."

Pasal 7 : (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
- Dan ujilah anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia nikah. Apabila kalian
menemukan kecerdasannya maka serahkanlah harta-harta itu kepada mereka. Dan
janganlah kalian memakannya dengan berlebih-lebihan dan jangan pula kalian tergesa-gesa
menyerahkannya sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (dari kalangan wali anak yatim itu)
berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan
barangsiapa yang miskin maka dia boleh memakan dengan cara yang baik. Apabila kalian
menyerahkan harta-harta mereka, maka hadirkanlah saksi-saksi. Dan cukuplah Allah
sebagai pengawas. (Q.S. An Nisa: 6).
- Analisa : Dalam ayat Al-Quran diatas hanya disebutkan bahwa perkawinan dilakukan jika
sudah baligh, definisi umur baligh tidak disebutkan tetapi dapat diketahui baik
perempuan/laki-laki tersebut sudah dapat membedakan baik dan benar. Menurut Imam
Syafi’i, masa dewasa itu dimulai dengan sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan
perempuan.

Pasal 8 Ayat A, B, D, F : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah


ataupun keatas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.

- Analisa: Dalam islam dilarang adanya pernikahan yang memiliki hubungan sedarah
yakni nasab, selain itu dalam islam juga melarang adanya kawin kontrak, rujuk
setelah talak 3, menikah dengan non muslim, menikah dalam masa iddah, melakukan
pernikahan tanpa adanya mahar.
- Terdapat dalam Surah An Nisa Ayat 23, “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-
ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Pasal 11 ayat (1) : Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

- Analisa: Dalam hukum islam mengenal adanya masa iddah, masa iddah sendiri ini
merupakan waktu tunggu bagi seorang wanita setelah bercerai. Dalam islam masa
iddah akibat putusnya pernikahan dengan suaminya sebelumnya yakni selama 4 bulan
10 hari hal ini dilakukan untuk memastikan bahwasanya pada saat diceraikan wanita
tersebut tidak dalam keadaan hamil.
- Terdapat dalam Surah Al Ahzab Ayat 49, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan.
Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya.”

Pasal 33 : Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan


memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain

- Analisa: Dalam hukum islam pun kewajiban suami istri untuk saling mencintai,
menghormati serta memberi bantuan lahir dan bathing merupakan hal yang harus
dilakukan dan di junjung tinggi dalam kehidupan perkawinan.
- Terdapat dalam Surah An Nisa Ayat 1, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki -
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. ”

Pasal 34 Ayat 1 dan Ayat 2 : (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri
wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
- Analisa: Dalam hukum islam suami wajib melindungi istri juga keluarganya juga
memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya, dan istripun memiliki kewajiban guna
mengurus serta mengatur urusan rumah tangga sesuai dengan syariat islam yang
berlaku.
- Terdapat dalam Surah Al Baqarah Ayat 233, "Dan kewajiban ayah (suami) memberi
makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya," (QS Al-Baqarah 233). Selain
itu, rasulullah SAW pun menjelaskan dalam sebuah hadis shahih. Rasulullah SAW
bersabda: “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rezeki dan pakaian (nafkah)
yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami),” (HR Muslim 2137).

Pasal 35 Ayat 1 dan Ayat 2 : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

- Analisa: Dalam hukum islam juga mengatur mengenai syirkah yang merupakan harta
kekayaan dalam perkawinan dimana disini memuat mengenai harta yang di peroleh
sendiri sendiri saat melangsungkan pernikahan lalu disebut sebagai harta bersama
tidak perduli di daftarkan atas nama siapa.

Pasal 41 Ayat B : Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut;

- Analisa: Menurut hukum islam sendiri hubungan ayah dan anak yang dihasilkan
dalam sebuah pernikahan yang sah tidak ada putusnya walaupun adanya perceraian
antara kedua orang tuanya, maka dari itu nafkah untuk anak yang harus dipenuhi oleh
ayah tidak pernah putus sampai anak tersebut bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
- Analisa: Dalam hukum islam anak yang sah ialah anak yang dilahirkan setelah
adanya perkawinan yang sah yang ditandai oleh pengucapan ijab qobul oleh sang ayah
dengan wali ibunya baik kakeknya ataupun wali hakim lainnya.

Pasal 43 Ayat 1 : (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

- Analisa: Dalam hukum islam juga dinyatakan bahwasanya anak diluar perkawinan
tidak mempunyai nasab bapaknya, dimana ia hanya memiliki nasab ibuny a. ini berarti
tidak adanya hubungan antara sang anak dengan ayahnya

Pasal 45 Ayat 1 dan Ayat 2 : (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

- Analisa: Dalam hukum islam sendiri menyatakan bahwasanya orang tua memiliki
kewajiban guna mendidik serta memelihara anak dengan baik juga penuh kasih
sayang, dalam hukum islam juga dijelaskan bahwasanya menjadi orang tua
merupakan pekerjaan yang tidak ada ujungnya karena harus terus dilakukan sampai
anak tersebut menikah sehingga putuslah kewajiban tersebut

Pasal 46 Ayat 1 dan Ayat 2 : (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya.

- Analisa: Sama hal nya seperti kewajiban yang dimiliki oleh orang tua kepada
anaknya, dalam hukum islam juga mengatur mengenai kewajiban anak kepada orang
tuanya, wajib menghormati serta menjaga orang tua ini tertuang dalam firman allah
di Surah Al-Isra' ayat 23,
- ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya,
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” Di dalam ayat tersebut Allah
menyatakan bahwa sanya berbakti kepada orang tua ialah kewajiban untuk setiap
muslim setelah tauhid. (Q.S. Al-Isra' ayat 23).

Pasal 51 Ayat 1 Dan 2 : (1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan 2 (dua) orang saksi. (2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik."

- Analisa: Dalam hukum islam hal ini disebut sebagai perwalian dimana jika seseorang
wanita hendak menikah perlu dinikahkan oleh wali sah nya yaitu ayah kandung
namun apabila ayah kandungnya tersebut sudah meninggal dunia bisa digantikan oleh
kakek, adek atau kakak almarhum ayah, kaka kandung, adek kandung yang dipastikan
adalah laki-laki. Namun jika tidak ada laki-laki lain dalam garis keluarganya maka
dibolehkan untuk meminta diwalikan oleh wali hakim yang akan di tunjuk melalui
wasiat oleh orang tuanya atau boleh ditunjuk oleh pengadilan agama.

B. UU No 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7 : (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.

- Analisa : Dalam ayat Al-Quran Surah An Nisa ayat 6, “Dan ujilah anak-anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan
janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim
itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.”.
- Pada Ayat tersebut hanya disebutkan bahwa perkawinan dilakukan jika sudah baligh,
definisi umur baligh tidak disebutkan tetapi dapat diketahui baik perempuan/laki-laki
tersebut sudah dapat membedakan baik dan benar. Menurut Imam Syafi’i, masa dewasa itu
dimulai dengan sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Referensi

Rohidin. (2016). Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.

Ali, Mohammad Daud. (1990). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. Depok: RajaGrafindo Persada.

https://regional.kompas.com/read/2019/07/05/11075241/pernikahan-sedarah-kakak-dan-adik-
kandung-berlangsung-siri-ini-kata
mui?page=all#:~:text=Secara%20hukum%20agama%20maupun%20hukum%20dunia
wi%2C%20pernikahan%20sedarah%20itu%20tidak%20diperbolehkan.&text=Ia%20
menjelaskan%2C%20dalam%20ajaran%20Islam,sebagai%20umat%20Islam%2C%22
%20tegasnya.

https://news.detik.com/berita/d-4830385/rukun-menikah-dan-syarat-sahnya-dalam-islam

https://pa-tanjung.go.id/kolom-artikel/414-nafkah-dalam-bingkai-islam.html

Anda mungkin juga menyukai