Anda di halaman 1dari 8

HANDOUT UAS HUKUM ADAT

A. HUKUM PERKAWINAN ADAT


▪ Di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1, Perkawinan adalah Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
▪ Perkawinan menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki
dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-
laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
▪ Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Sistem Endogami, dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang
dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
2) Sistem Exogami, dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah
dengan suku sendiri merupakan larangan.
3) Sistem Eleutherogami, sistem ini berbeda dengan dua sistem diatas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusankeharusan. Elheuterogami tidak mengenal larangan-
larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam
sistem ini adalah larangan yang berhubungan engan ikatan kekeluargaan yang
menyangkut nasab (keturunan), eperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga
dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah
(periparan), seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri.
▪ Bentuk Perkawinan Adat
1. Perkawinan Jujur
Yang dimaksud dengan perkawinan jujur adalah bentuk perkawinan yang dilakukan
dengan pembayaran "jujur". Pembayaran demikian diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan sebagaimana terdapat di daerah Gayo, Maluku, Timor, Batak, Nias, Lampung,
Bali, Sumba dan Timor. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan
berarti setelah perkawinan si perempuan akan mengalihkan kedudukannya ke dalam
kekerabatan suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau sebagaimana
berlaku di daerah Lampung dan Batak untuk selama hidupnya.
2. Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang
"matrilineal" dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Bentuk
perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan
semanda, calon mempelai laki-laki dan kerabtnya tidak melakukan pemberian uang jujur
kepada pihak perempuan, bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak
perempuan kepada pihak laki-laki.
3. Perkawinan Bebas (Mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri ini pada umumnya berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti berlaku di kalangan masyarakat
Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta di kalangan masyarakat
Indonesia yang modern, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur
tangan dalam keluarga atau rumah tangga.
4. Perkawinan Campuran
Pengertian Perkawinan Campuran dalam arti hukum adat adalah bentuk perkawinan yang
terjadi antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda
agama yang dianut. Terjadinya perkawinan campuran pada umumnya menimbulkan
masalah hukum antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan
hukum apa yang akan diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu.
5. Perkawinan Lari
Perkawinan Lari atau biasa di sebut kawin lari dapat terjadi di suatu lingkungan
masyarakat adat, tetapi paling banyak terjadi adalah di kalangan masyarakt Batak,
Lampung, Bali, Bugis, Makassar dan Maluku. Walaupun kawin lari merupakan
pelanggaran adat, tetapi di daerah-daerah tersebut terdapat tata tertib guna menyelesaikan
masalah ini.

B. PENGANGKATAN ANAK DAN KEDUDUKAN ANAK


▪ Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dengan anak yang diangkat timbul suatu
hubungan kekeluargaan yang sama seperti antara orangtua dengan anak kandung.
▪ Hilman Hadikusuma, (2003), mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat,
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan
rumah tangganya.
▪ Pengangkatan anak dilaksanakan dengan motif dan cara yang berbeda-beda pada suatu
masyarakat, diantaranya dilaksanakan sesuai dengan hukum adat masyarakat dan juga
pengangkatan anak dapat dilakukan sesuai dengan hukum positif. Pada saat ini belum ada
undang-undang khusus yang mengatur pengangkatan anak, namun pengangkatan anak telah
diatur dalam berbagai peraturan. Sedangkan pengangkatan anak yang disesuaikan dengan tata
cara adat masyarakat setempat yang terdapat di Indonesia tersebut menurut sistem
kekeluargaan masing- masing. Baik sistem kekerabatan parental, patrilineal dan matrilineal.
▪ Faktor Umum yang Melatarbelakangi Pengangkatan Anak
1. Motif umum yaitu untuk melanjutkan keturunan. Bagi masyarakat Minangkabau
pengangkatan anak itu biasanya bertujuan untuk mencegah kepunahan suatu kerabat
(famili) dengan mengangkat seorang anak perempuan.
2. Melanjutkan dan memelihara/mengurus harta benda, pengangkatan anak dimaksudkan
supaya anak perempuan dapat mengurus harta kekayaan.
3. Untuk maksud pemeliharan, misalnya di Jawa dan Sulawesi. Untuk memberi kedudukan
kepada anak dianggap lebih baik dan menguntungkan daripada kedudukannya semula,
misalnya di Bali bahwa mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-
laki isterinya atau mengangkat anak tiri menjadi anaknya sendiri, karena tidak mempunyai
anak sendiri.
▪ Status Anak
Dalam lingkup hukum keluarga
1. Anak Sah
2. Anak Luar Kawin (ALK)
3. Anak Angkat atau Adopsi
Dalam Hukum Adat :
1. Anak Sah Anak Kandung
2. Anak yang lahir di luar perkawinan
3. Anak Angkat
4. Anak Tiri
▪ Anak Sah, Pasal 42- Pasal 43, UU No 1 tahun 1974 tentang kedudukan anak, hak dan
kewajiban anak terhadap orangtua. Anak yang sah adalah Anak dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak Kandung yang sah adalah Anak yang dilahirkan
dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah atau dilahirkan dari ibu dan ayah biologisnya.
▪ Anak Luar Kawin, mengenai anak luar kawin dalam hukum adat " pada dasarnya baik
menurut hukum perundang-undangan maupun adat,untuk menentukan sah tidaknya si anak
adalah dilihat pada kenyataan yuridis bukan kenyataan bilogis " (Hadikusuma,2003).
▪ Anak Angkat merupakan seorang anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun ia
diambil, dipelihara, dan diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri.
▪ Anak Tiri adalah anak kandung istri janda atau suami duda yang mengikuti tali perkawinan
atau dapat dikatakan sebagai anak kandung bawaan dari istri janda atau suami duda yang
mengikat tali perkawinan
▪ Kedudukan seorang anak dalam hukum adat membagi tiga sistem masyarakat terkait
kedudukan seorang anak
1. Sistem patrilineal merupakan sistem yang mengikatkan diri dengan kerabat dari ayah
atas dasar garis keturunan laki-laki secara unilateral. Pada masyarakat patrilineal,
keturunan dari pihak laki-laki dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding
dari pihak perempuan
2. Sistem matrilineal merupakan sistem yang mengikatkan diri dengan kerabat dari garis
keturunan perempuan secara unilateral. Pada masyarakat matrilineal, menganggap bahwa
keturunan berdasarkan garis ibu merupakan hal yang sangat penting. Hubungan
antarkeluarga lebih erat diantara para kerabat yang menganut garis keturunan dari ibu
3. Dalam sistem parental, kedua orang tua dan kerabat dari kedua orang tua memiliki aturan
yang sama, baik mengenai perkawinan, kewajiban dalam menafkahi, penghormatan,
maupun warisan. Dalam sistem parental, anak hanya akan mendapatkan semenda melalui
jalan perkawinan, baik secara langsung oleh perkawinan sendiri maupun secara tidak
langsung oleh perkawinan kerabatnya.

C. HUKUM WARIS ADAT


▪ Hukum waris adat ialah hukum lokal yang berasal dari suatu daerah atau suku tertentu yang
telah ditetapkan, diyakini, dan diterapkan oleh masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat
merupakan hukum adat yang mencangkup ketentuan terkait sistem dan asas hukum waris,
tentang adanya pengalihan harta warisan berupa penguasaan ataupun kepemilikkannya dari
pewaris kepada ahli waris. Berdasarkan pengertian ini bisa dikatakan bahwasanya hukum
waris adat merupakan peratiran yang menetapkan terkait proses perpindah tangannya harta
kekayaan baik itu berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris kepada ahli waris
▪ Unsur-Unsur Pewarisan dalam Hukum Waris. Dalam hukum waris, terdapat empat unsur yang
sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan di antaranya ialah:
1. Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan,
kewajiban ataupun hutang kepada ahli waris
2. Ahli waris ialah seseorang yang berhak menerima warisan serta diberikan hak secara
hukum untuk menerima harta dan kewajiban atau hutang yang diwariskan oleh pewaris.
3. Harta warisan adalah segala hal yang diberikan kepada ahli waris, baik itu berupa hak
seperti harta ataupun kewajiban seperti hutang.
4. Pewarisan adalah proses peralihan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal kepada
para ahli warisnya.
▪ Adapun hal yang esensial dalam hal hukum waris ini, yakni waris itu memperlihatkan adanya
unsur-unsur yang masing-masing merupakan unsur yang mutlak, yaitu:
1. Apabila seseorang wafat, ia meninggalkan harta warisannya.
2. Seseorang atau lebih yang merupakan ahli waris dan berhak menerima harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh mendiang pemilik warisnya.
3. Harta warisan atau yang disebut dengan harta peninggalan, yakni harta kekayaan “in
concreto” yang ditinggalkan serta beralih satu kali pada ahli waris tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya, proses penerusan warisan tersebut akan menimbulkan


persoalan sebagai berikut:

- Seperti apa dan sampai mana hubungan seseorang yang meninggalkan warisan dengan
harta kekayaannya yang juga banyak dipengaruhi lingkungan kekeluargaan di mana si
peninggal warisan itu berada;
- Menimbulkan bagaimana dan sampai mana terdapat tali atau hubungan kekeluargaan
antara si peninggal warisan dan ahli warisnya; serta Tentang bagaimana dan sampai mana
bentuk kekayaan yang beralih tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli warisnya berada bersama-sama
▪ Sistem Kewarisan
Berdasarkan hak yang dimiliki oleh ahli waris, sistem kewarisan dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Sistem kolektif, Dalam sistem ini, ahli waris memperoleh harta warisan secara kolektif
atau tidak dibagi pada setiap ahli waris.
2. Sistem Mayorat, Sistem ini mengatur bahwa harta warisan tidak dibagi kepada setiap ahli
waris melainkan hanya boleh dimiliki oleh anak tertua.
3. Sistem Individual, Dalam sistem ini, harta peninggalan dapat dibagi dan dapat dimiliki
secara pribadi oleh para ahli waris.

D. DELIK ADAT
▪ Hukum adat delik adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan
kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat,sehingga perlu
diselesaikan dengan tujuan agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.
▪ Ter Haar: delik atau pelanggaran adalah setiap gangguan dari satu pihak terhadap
keseimbangan, dimana pelanggaran baik dari satu pihak maupun kelompok,yang berwujud
maupun tidak berwujud, berakibat menimbulkan reaksi, karena ada reaksi itu maka
keseimbangan harus dipulihkan kembali.
▪ Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan
keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya
ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-
reaksi adat.
▪ Delik Adat adalah Perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup
dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan
masyarakat bersangkutan. Hukum delik adat akan timbul seiring berkembang dan lenyap
dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan masyarakat.
▪ Sifat Pelanggaran Hukum Adat
- Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan
tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran
hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata, makapetugashukum (kepala adat)
mengambiltindakan yang konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar
itu.
- Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga dapat memulihkan kembali keseimbangan
yang semula ada itu, dapat berupa sebuah tindakan saja. kadang-kadang mengingat
sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan. Contoh: Mengganti kerugian
kepada orang yang terkena (korban).
- Dimaksudkan agar masyarakat menjadi bersih dan suci kembali atau agar
mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu tadi dan memberikan efek jera.
- Hukum delik adat bersifat dinamis, artinya suatu perbuatan yang tadinya bukan delik,
maka pada suatu waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat) karena menentang
tata tertib masyarakat sehingga perlu ada (upaya) adat untuk memulihkan kembali.
- Perkara delik adat itu dapat bersifat:
a. Melulu delik adat, misalnya pelanggaran peraturan peraturan exogami, pelanggaran
perturan panjar atau perturan-peraturan khusus adat lainya.
b. Disamping delik adat, juga bersifat selik menurut Kitab Undang-undang hukum Pidana
(KUHPidana) misalnya delik-delik terhadap harta kekayaan seseorang, menghina
seseorang dan lain sebagainya.

▪ Perbedaan Hukum Pelanggaran Adat dengan Hukum Pidana (KUHP)


1. Sistem Pemidanan
Hukum Adat : pelanggaran tidak mengenal pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih
dahulu (prae existebte regels). Pelanggaran adat baru akan menjadi hukum setelah para
fungsionaris hukum menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Azas ini lebih dikenal
dengan “teori keputusan atau beslissingen leer”.
Hukum Pidana : hukum Barat (KUHP) menentukan bahwa seseorang itu melakukan
suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada aturannya terlebih dahulu. Apabila
peraturannya belum ada maka akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan
pelanggaran atau tidak. Jadi dalam KUHP menganut azas “legalitas” seperti yang diatur
dalam Pasal 1 KUHP.
2. Perbuatan Salah
Hukum Adat : hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah perbuatannya itu
dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian, tetapi lebih memperhatikan pada akibat
dari perbuatannya.
Hukum Pidana : KUHP menyatakan bahwa perbuatan salah yang berakibat dapat dijatuhi
hukuman ditujukan kepada orang yang berbuat atau orang yang melakukan kesalahan dan
perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
3. Kesahalan Yang Berulang
Hukum Adat : Hukum penggaran adat memperhitungkan keseluruhan dari perbuatan
yang dilakukannya karena perhitungan ini akan menjadi dasar pertimbangan apakah
perbuatannya itu dapat dimaafkan atau tidak.
Hukum Pidana : KUHP memnentukan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan
beberapa kali hanya dapat dihukum atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat
ancama hukumannya.
4. Berat Ringannya Hukuman
Hukum Adat : Hukum pelanggaran adat justru permintaan maaf dan pengakuan
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku menjadi pertimbangan dalam pengenaan
hukumannya.
Hukum Pidana : Penghilangan atau pengurangan hukuman ataupun penambahan
hukuman dalam KUHP ditentukan atas dasar Pasal 44-52 KUHP dan Hakim tidak boleh
mempergunakan dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya.
5. Pertanggungjawaban Kesalahan
Hukum Adat : Hukum pelanggaran adat, kesalahan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada
pelakunya tetapi juga pada orang tua, sanak saudara atau bahkan pada masyarakat hukum
adatnya. Karena hukum adat membedakan kedudukan seseorang di masyarakat adat.
Dalam hukum pelanggaran adat semua perbuatan dan pelaku dipandang sebagai satu
kesatuan dan diperlakukan sama sejauh itu menimbulkan gangguan keseimbangan dalam
masyarakat (I Gede A.B.Wiranata)
Hukum Pidana : KUHP berdasarkan pertanggung jawaban pada kondisi fisik si pelaku,
artinya orang yang dapat dihukum hanyalah orang secara jasmani dan rohani sehat. KUHP
membedakan antara pelaku (dader) dengan orang yang membantu melakukan (mede
plichtigheid) dan orang yang ikut berbuat (mede daderchap), membujuk berbuat
(uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare poging) dalam suatu perbuatan pidana.

Anda mungkin juga menyukai