Anda di halaman 1dari 6

Nama: Shahradja Al Imrani Nst

Nim: 200200389
Grup: D
Mata Kuliah: Hukum Adat Lanjutan
Subjek: Tugas Akhir

Jawaban:

1. Persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum adat secara garis besar ialah sekelompok
orang yang hidup secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau
kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang masih
ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Unsur-Unsur Masyarakat Hukum Adat:

a. Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan kebersamaan karena
kesamaan keturunan (geneologis), dan/atau wilayah (territorial);
b. Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi mereka;
c. Memiliki kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun immaterial;
d. Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan kelompok yang memiliki
kewibawaan dan kekuasaan yang sah dan didukung oleh kelompoknya;
e. Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka;
f. Tidak ada keinginan dari anggota kelompok tersebut untuk memisahkan diri.

2. Terbentuknya Persekutuan Hukum dilihat dari 3 (tiga) Asas atau macam, yaitu:

1. Persekutuan Hukum Geneologis.


Yaitu yang berlandaskan kepada pertalian darah, keturunan. Persekutuan Hukum Geneologis
dibagi tiga macam:
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal) seperti Batak, Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis Ibu (Matrilineal) seperti Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral) seperti di Pulau Jawa, Aceh, Dayak.

2. Persekutuan Hukum Territorial. Yaitu berdasarkan pada daerah tertentu atau wilayah. Ada tiga
macam persekutuan territorial yaitu:
a. Persekutuan Desa Yaitu orang-orang yang terikat dalam satu desa
b. Persekutuan Daerah Dimana didalamnya terdapat beberapa desa yang masing-masing
mempunyai tata susunan sendiri.
c. Perserikatan. Yaitu apabila beberapa persekutuan hukum yang berdekatan mengadakan
kesepakatan untuk memelihara kepentingan bersama, seperti saluran air, pengairan, membentuk
pengurus bersama. Misalnya: Perserikatan huta-huta di Batak.

3. Persekutuan Hukum Geneologis dan Territorial. Yaitu gabungan antara persekutuan


geneologis dan territorial, misalnya di Sumba, Seram. Buru, Minangkabau dan Renjang.
3. Setiap persekutuan hukum dipimpin oleh kepala persekutuan yang bertugas, antara lain:
a. Tindakan-tindakan mengenai tanah, seperti mengatur penggunaan tanah, menjual, gadai,
perjanjian-perjanjian mengenai tanah, agar sesuai dengan hukum adat.
b. Penyelenggaraan hukum yaitu pengawasan dan pembinaan hukum.
c.Sebagai hakim perdamaian desa.
d. Memelihara keseimbangan lahir dan batin
e. Campur tangan dalam bidang perkawinan
f. Menjalankan tugasnya pemerintahannya secara demokrasi dan kekeluargaan dan lain-lain

4. Ciri- ciri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau belum? Menurut
Profesor Soepomo dalam bukunya “ADATPRIVAATRECHT VAN WEST-JAVA”, seseorang sudah
dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah:
a.Kuwat gawe (dapat/ mampu bekerja sendiri).
b.Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya itu.
c. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
d. Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya

5. Menurut hukum adat pengertian tentang “dewasa” ialah mulai setelah tidak menjadi
tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin
saja. Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi
menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati
rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang
tuanya yang berdiri sendiri atau pun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya
jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.

6. 3 kelompok sistem keturunan dalam hukum adat yang dikemukakan oleh profesor soerojo
wignjodipoero, yaitu:
A. Patrilineal.
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dalam sistem ini kedudukan anak laki- laki
lebih utama dibandingkan anak perempuan. Bila suatu keluarga tidak memiliki anak laki- laki
maka keluarga tersebut harus melakukan pengangkatan anak (adopsi). Pada sistem kekerabatan
ini berlaku adat perkawinan jujur seteleh terjadi perkawinan, si istri harus mengikuti suami dan
menjadi anggota kerabat suami, termasuklah anak – anak yang dilahirkan dari perkawinannya.
Sistem kekerabatan patrilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian.
B. Matrilineal.
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu. Dalam sistem ini kedudukan anak perempuan
lebih unggul dibandingkan anak laki-laki. Dalam sistem ini umumnya berlaku perkawinan
semenda. Perkawinan semenda yaitu setelah perkawinan terjadi, si suami yang mengikuti si istri,
namun suami tetap menjadi anggota kerabat asal dan tidak masuk ke dalam kerabat istri,
sedangkan anak-anak dari hasil perkawinan harus mengikuti anggota kerabat ibunya. Sistem
kekerabatan materilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Minang kabau, Enggano, Timor.
C. Bilateral/Parental.
Sistem keturunan yang ditarik dari garis dua sisi (bapak/ibu) atau disebut Ouderelijk. Dimana
kedudukan anak laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan atau dianggap sama dan setara.
Dalam sistem kekerabatan ini berlaku perkawinan bebas, dalam arti: kedudukan suami/istri
sederajat dan seimbang. Sistem kekerabatan ini diikuti oleh masyarakat Aceh, Sumatera Timur,
Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.

7. Dalam hubungan kekeluargaan hal tersebut yang ada pada kelompok system keturunan
merupakan faktor yang sangat penting dalam hal:

a. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang
merupakan larangan untuk jadi suami istri
b. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta peninggalan.

8. Dalam hukum adat Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang
masih hidup saja, akan tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta
yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah
pihak.

Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum
terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini
telah ada sejak perkawinan terjadi, misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang
merupakan “rasah sanak” (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “rasah tuha” (hubungan
antara keluarga dari para calon suami-istri).

9. ada 3 (tiga) Sistem Perkawinan Adat di Indonesia, yaitu:

1. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya
sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya
ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri
merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu dan berputarnya zaman,
sistem tersebut mengalami proses perlunakan sedemikian rupa sehingga larangan perkawinan itu
diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3. Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki larangan-larangan dan
keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan maupun keharusan-
keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin
dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, mertua,
menantu, anak tiri.

10. Perceraian Menurut Hukum Adat, Terkait dengan makna perkawinan menurut hukum adat,
dapat dipahami bahwa perceraian yang meskipun dibolehkan, tetapi perlu dihindarkan menurut
hukum adat, karena perceraian dapat memutuskan perkawinan yang seharusnya dipertahankan
oleh suami dan isteri.

Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah mempunyai anak
maupun yang belum:

a. Dampak Terhadap Suami atau Istri

Akibat perceraian adalah suami-istri hidup sendiri-sendiri, suami atau istri dapat bebas menikah
lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan
status suami, istri dan anak serta terhadap harta kekayaannya. Dengan adanya perceraian akan
menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan
perkembangan masa depannya. Perceraian mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena
kehilangan pasangan hidup,

b. Dampak Terhadap Anak

Perceraian dipandang dari segi kepentingan anak yaitu keluarga bagi anak- anaknya merupakan
tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian,
pengharapan, dan Iain-Iain. Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-
anak akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat
pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat lain telah adanya
kegoncangan jiwa yang besar, yang langsung dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak
ini dijamin kehidupannya dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih.

c. Dampak Terhadap Harta Kekayaan

Apabila terjadi perceraian maka perikatan menjadi putus, dan kemudian dapat diadakan
pembagian kekayaan perikatan tersebut. Jika ada perjanjian perkawinan pembagian ini harus
dilakukan menurut perjanjian tersebut. Dalam suatu perceraian dapat berakibat terhadap harta
kekayaan yaitu harta bawaan dan harta perolehan serta harta bersama. Untuk harta bawaan dan
harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak
masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga
disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.
11. Kedudukan harta perkawinan dalam masyarakat adat:
A. Harta perkawinan dalam masyarakat Patrilineal terhadap semua harta (harta bersama, bawaan,
pusaka) penguasaan dan pengaturan untuk kehidupan keluarga dipegang oleh suami dan dibantu
oleh istri. Tidak ada pemisahan kekuasaan atas harta bersama dan harta bawaan dalam kehidupan
keluarga. Hal tersebut sebagai konsekuensi perkawinan jujur, dimana istri mengikuti tempat
tinggal suami.

B. Harta perkawinan dalam masyarakat Matrilineal terdapat pemisahan kekuasaan atas harta
perkawinan yaitu: Harta pusaka milik bersama dipegang oleh nenek kepala waris, suami istri
hanya punya hak menikmati harta bersama, dan terhadap harta bawaan dibawah penguasaan
masing-masing.

C. Harta perkawinan dalam masyarakat Parental harta bersama biasanya dikuasai bersama oleh
suami atau istri untuk kepentingan bersama, sedangkan terhadap harta bawaan dikuasai oleh
suami dan istri masing-masing, kecuali dalam perkawinan magih kaya (jawa) dan kawin
nyalindung kagelung (Pasundan).

12. Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan yang
ditinggalkan pewaris. Seseorang bisa dinyatakan sebagai ahli waris setelah ditunjuk secara resmi
berdasarkan hukum yang digunakan dalam pembagian harta warisan, baik melalui hukum Islam,
hukum perdata, dan hukum adat.

13. Secara garis besar, dalam hukum pewarisan adat terdapat harta warisan, yang dimana harta
warisan ini merupakan suatu sifat bawaan yang terkandung dalam hukum adat, dan harta warisan
tersebut dapat ditinjau dari macamnya, yaitu:
A. Harta Pusaka.
Harta pusaka ini merupakan harta yang mempunyai nilai magis religis yang lazimnya tidak dapat
dibagi-bagi. Proses pewarisannya hanya dilingkungan keluarga saja yang dibagi secara turun
temurun.
B. Harta Bawaan.
Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja
sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas
jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat berupa benda tetap maupun barang
bergerak.
C. Harta Bersama. Merupakan harta yang diperoleh suami istri dalam masa perkawinan.

14. Di Indonesia khususnya akan kita temukan 3 (tiga) sistem kewarisan dalam hukum adat,
seperti berikut:
A. Sistem Kewarisan Individual. Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta
peninggalan itu terbagi-bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut
KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di
lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa, yang parental, atau juga pada
keluarga-keluarga Lampung yang patrilineal. Pada umumnya sistem ini cenderung berlaku di
kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat dengan hubungan kekerabatan.
Pada belakangan ini di kalangan masyarakat adat yang modern, di mana kekuasaan penghulu-
penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik bersama, sistem ini banyak berlaku.
B. Sistem Kewarisan Kolektif. Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu
diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah
merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Harta peninggalan itu di
sebut hartou menyayanak di Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah
bersama (di Minangkabau-Gedung).

C. Sistem Kewarisan Mayorat. Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan
orang tua atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris,
melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat
patrilineal Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita)
di lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan Lampung. Kelemahan
dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam
kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat, dalam mengurus harta kekayaan
dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan.

15. Tujuan dan Manfaat dari mempelajari hukum adat ialah, kita dapat memahami pedoman
dan pengaturan apa yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama
mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui hukum adat dapat membantu kita pula untuk
menentukan hukum nasional seperti apa yang akan dibentuk.

Anda mungkin juga menyukai