Anda di halaman 1dari 7

Hukum Waris Adat

Hukum Waris Adat Batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal dan


menganut sistem pewarisan individual atau perseorangan. Sistim kekeluargaan
yang Patrilineal yaitu sistem kekeluargaan yang garis keturunan ditarik dari ayah.

Hukum Waris adat

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan

tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta

cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari

pewaris kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta

kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.

a) Sebab keturunan Keturunan dalam hal ini diutamakan adalah anak sebagai
ahli waris utama yang mempunyai ketentuan berbeda. Sesuai dengan
perbedaan sifat kekeluargaan di berbagai tempat ia tinggal.

b) Sebab perkawinan Seorang istri yang ditinggal mati suaminya atau suami
yang ditinggal mati istrinya, dikebanyakan daerah lingkungan hukum adat,
dianggap sebagai orang yang asing. Seorang istri yang ditinggal mati
suaminya hanya dapat ikut memiliki atau mengambil hasil seumur hidup dari
harta peninggal suaminya.

c) Sebab adopsi Menurut hukum adat, anak angkat mendapat warisan


sebagaimana anak kandungnya sendiri. Jika anak yang diadopsi itu
kemenakannya sendiri ia menjadi waris terhadap orang tua yang sebenarnya,
kecuali di Sumatera yang menetapkan hubungan waris dengan orang tua dan
kerabatnya sendiri telah terputus.
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang

sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta

cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada

ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan

harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat

sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan

atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang

bersangkutan.

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak

berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.Hukum adat waris meliputi

norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun

immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada

keturunannya. Jadi, Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur

tentang cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang

tidak berwujud dari generasi ke generasi. Secara teoritis hukum waris adat di

Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem kekeluargaan di dalam

masyarakat.

Hukum adat warisan meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta

kekayaan baik materil maupun yang immateriil yang manakah dari seseorang yang

dapat diserahkan kepada keturunan serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara

dan proses peralihan nya.


Hukum adat bersifat tradisional, bersifat turun-temurun dari zaman dahulu
sampai saat ini, masih berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat setempat. Misalnya
saja dalam kekerabatan masih belaku menarik garis keturunan berdasarkan ibu, bapak,
dan atau keduanya. Pada masyarakat Batak masih belaku apa yang dinamakan dalihan
na tolu, somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru dalam
kekerabatan.
Sifat keagamaan terkait erat dengan keyakinan/kepercayaan terhadap hal yang
bersifat gaib yang menentukan kehidupan manusia, sehingga segala sesuatu terdapat
campur tangan Yang Maha Esa. Perilaku dan kaidah yang berlaku di masyarakat
sangat erat dengan keyakinan terhadap agama yang diyakini oleh masyarakat
setempat. Saat ini pada umumnya orang Batak mayoritas menganut agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik, dan Islam, sehingga hukum adat yang berlaku berkaitan
erat dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing.

Masyarakat adat Batak mengedepankan persekutuan hukum yang bersifat


geneologis berdasarkan garis laki-laki atau patrililenal. Garis laki-laki menjadi
penentu utama untuk menentukan pihak yang menerima hak pewarisan dari sebuah
perkawinan pada masyarakat Batak. Dalam suku Batak Toba, ada beberapa
perkawinan yang dilarang karena melanggar adat, namun ada juga perkawinan yang
sangat dianjurkan

HUKUM WARIS ADAT BATAK


Pengertian Hukum Waris Adat
terdapat istilah di dalamnya yangistilah tersebut dibagi menjadi beberapa. Yang pertama
adalah warisan, dimana dalam hukum waris adat menunjuk pada harta kekayaan daripewaris
yang telah meninggal.Harta kekayaan meliputi harta warisan yang telah dibagi dan yang
belumdibagi. Pengertian dalam hukum waris adat sebenarnya tidak memiliki
perbedaanantara daerah satu dengan lainnya. Namun demikian harta warisan
yangditinggalkan tentu tidak sama, karena kekayaan dan penghasilan suatudaerah tidak selalu
sama.
SISTEM KEWARISAN ADAT BATAK
1. Sistem keturunan Pratilinea (kelompok garis Ayah)Harta warisan lebih dominan
diberikan kepada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan mendapat warisan
berupa hibah darisuaminya.!.
2. Sistem kewarisan adat batak adalah sistem kewarisan Kolektif ,karena ahli waris
mendapatkan warisan" peninggalan yang dapat dinikmati bersama-sama. Contohnya
adalah rumah adat tua yangberada di hutalotung yang tidak dapat dimiliki secara
individu namun dapat digunakan bersama-sama.
3. Meski sistem kewarisan individu pada umumnya terjadi dimasyarakat yang menganut
parental namun dapat dikatakan pula adat batak menganut sistem kewarisan ini yaitu
warisan yang dibagikan dapat dimiliki secara individu oleh setiap ahli waris,
contohnya sebidang tanah.
4. Menurut sistem Mayorat harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya
anak laki-laki tertua (Contohnya di Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso), atau
perempuan tertua.

Bagaimana pembagian warisan menurut adat Batak?

Pembagian warisan dalam masyarakat Batak, yang mendapatkan warisan


adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua
suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara
hibah (Nasution, Amsia & Maskun, 2015: 3).

Adanya pembagian harta warisan tersebut, maka kedudukan anak laki-laki


menjadi lebih dominan dibandingkan perempuan untuk mendapatkan hak waris yang
diterima dari harta orang tuanya yang telah meninggal dunia, sedangkan perempuan
Batak tidak memiliki hak waris, namun penerima hibah yang biasanya diterima
setelah menikah. Nalle menambahkan menurut asas hukum waris adat Batak Toba,
hak atas warisan seorang ayah hanya dimiliki anak laki-laki.

Anak perempuan beserta keturunan sulungnya hanya dapat memperoleh


pembekalan tanah pertanian atau ternak dari ayahnya. Penelitian yang dilakukan
Sulistyowati Irianto juga menunjukkan komunitas Batak Toba di daerah perkotaan
masih memegang sistem pewarisan adat Batak Toba yang mengacu pada sistem
kekerabatan patrilineal (Nalle, 2018: 437). Penelitian tersebut mengukuhkan
keberadaan sistem pewarisan adat Batak yang tetap mengedepankan pola patrilineal
dari pihak laki-laki, bapak atau ayah.

Ayah dalam masyarakat Batak memiliki panggilan yang berbeda. Orang-orang


berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga), pada orang Karo dinamakan sada
bapa (satu keluarga), sedangkan pada Simalungun disebut sapanganan (satu keluarga)
(Elpina, 2015: 4-6). Meski terdapat perbedaan panggilan, namun secara prinsip adalah
sama yaitu pewarisan melalui garis keturunan laki-laki patrilineal.

Apakah hukum waris adat masih berlaku?


Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya
terlepas dari Hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun
tidak tertulis.

Bagaimana proses pembentukan hukum adat?

Proses Pembentukan Hukum Adat adalah proses bagaiman bisa muncul


dan berkembang sebuah praturan yang di anut oleh sekelompok masyarakat yang
kebanyakan hukum tersebut tidak tertulis namun masyarakat tersebut bisa tunduk
dan patuh terhadap peraturan tersebut.

Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht, jilid 2, halaman 398 menulis :
bahwa dalam pembentukan hukum adat ini tidak perlu menggunakan teori, melainkan
dapat di teliti lansung dalam kenyataan seperti :

a. Tindakkan dan tingkah laku


b. Ketertiban-ketertiban
c. Ada kepentingan-kepentingan dalam masyarakat
d. Hubungan yang harmonis (kosmis)
e. Mengutamakan sangsi
f. Lingkungan wilayah

Penjelasan:
Proses Pembentukan Hukum Adat adalah proses bagaiman bisa muncul dan
berkembang sebuah praturan yang di anut oleh sekelompok masyarakat yang
kebanyakan hukum tersebut tidak tertulis namun masyarakat tersebut bisa tunduk dan
patuh terhadap peraturan tersebut. Hukum adat juga lahir dan dipelihara oleh putusan-
putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang
membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan
keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan kesadaran
tersebut diterima atau ditoleransi.
Apa saja sistem hukum waris adat?

Sistem pewarisan dalam hukum adat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu
:

a. Sistem Pewarisan Individual,


b. Sistem Pewarisan Kolektif dan
c. Sistem Pewarisan Mayorat.

Relasi Hukum Adat dan Putusan Pengadilan


Bagi bangsa Indonesia pembinaan hukum nasional, bukan semata-mata
merupakan monopolinya bidang perundang-undangan saja, akan tetapi juga dilakukan
melalui berbagai sektor antara lain melalui yurisprudensi. Yurisprudensi sebagai salah
satu sumber hukum akan menentukan arah perubahan dalam suatu pembinaan hukum
dapat lebih cepat terakomodir, sehingga hukum yang dilahirkan dapat sesuai dengan
perasaan keadilan yang hidup di masyarakat dan perwujudan kepastian hukum,
keadilan, dan kemanfaatan.

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan


hukum atau asal mulanya hukum. Sumber hukum menurut Kansil dapat dilihat dari
segi materil dan segi formal. Sumber hukum formal antara lain: undang-undang
(statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi), dan traktat
(treaty) (Agustine, 2018: 645). Urgensi kedudukan yurisprudensi sebagai salah satu
sumber hukum senantiasa harus dikaitkan dengan tugas dan kewenangan hakim yang
dijamin oleh konstitusi.

Jaminan konstitusi bahwa hakim memiliki independensi dalam memeriksa,


mengadili, dan memutus sebuah perkara. Independensi tersebut melahirkan kebebasan
hakim dalam menjalankan tugasnya yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Oleh sebab itu, hakim dalam memutus perkara mendapatkan legalitas melakukan
penemuan hukum atau rechtsvinding dengan melakukan penafsiran undang-undang.

Teori tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai


interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Pada dasarnya setiap orang
dapat menemukan hukum, namun penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim
adalah hukum, sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh orang adalah
doktrin, dalam ilmu hukum doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum
(Muwahid, 2017: 225).

Penemuan hukum selalu menghasilkan ketentuan hukum baru, maka secara


praktis setiap penemuan hukum pasti merupakan pembaruan hukum. Selain itu,
penemuan hukum oleh hakim selalu bersifat kasuistis, yakni untuk kasus tertentu yang
sedang dihadapi, sehingga tidak mesti berlaku untuk kasus-kasus lainnya, kecuali jika
memang kasusnya sama persis.

Penemuan hukum atau rechtsvinding tersebut sejalan dengan kewajiban hakim


dalam Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yaitu: “Hakim
harus mengadili berdasarkan Undang-Undang,” selaras dengan asas hukum berlaku
umum yaitu ius curia novit, hakim dianggap tahu hukum.

Ketentuan tersebut kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor


48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 10 ayat (1) yang
menyatakan pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Anda mungkin juga menyukai