Anda di halaman 1dari 12

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ADAT

MINANGKABAU
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen : Dr. Shalman Al Farizi, S.H., S.E., M.Kn

Nama : Meganica Idha Khan Heramay Lachev


NIM : C100180185
Kelas : C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan yang beraneka ragam yang
tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia tersebut bukan hanya berupa kekayaan sumber alam saja,
tetapi masyarakat Indonesia juga memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan
kebudayaan suku bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Indonesia terbentang beribu-ribu pulau, beragam suku, dan kebudayaan. Tiap-
tiap pulaunya dihuni para penduduk yang memiliki adat istiadat yang berbeda
tiap-tiap wilayahnya. Pulau Sumatera misalkan, terdiri atas berbagai bagian
wilayah. Pulau Sumatera ini memiliki adat atau kebiasaaan yang khas di tiap-tiap
wilayahnya.
Pembagian waris menurut sistem hukum di Indonesia menganut pembagian
waris menurut Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Tata cara
pembagian dan penghitungan pembagian warisan itu sendiri terbagi sendir-
sendiri. Apabila menggunakan Hukum Perdata, maka sistem pembagian waris
meggunakan Hukum Barat yang mana telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Hukum Islam, pembagian waris berdasarkan ajaran dalam Aama
Islam yang sebagaimana bersumber dari kitab suci Al-Qur’an. Dan pembagian
waris menurut Hukum Adat, tentu menggunakan sistem hukum adat di masing-
masing daerah. Sebab, pembagian waris di tiap-tiap daerah pastilah menggunakan
aturan yang berbeda-beda.
Sumatera Barat dikenal suatu suku atau kelompok etnik nusantara yang
bernama Minangkabau. Masyarakat Minangkabau atau Minang merupakan
sebuah kumpulan etnik Nusantara yang menjunjung tinggi kebuadayaan
Minangkabau, serta dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaan Mnangkabau meliputi Sumatera Barat, separuh
darat Riau, bahagian utara Bengkulu, bahagian barat Jambi, bahagian selatan
Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.
Kebudayaan Masyarakat Minangkabau adalah bersifat keibuan (matrilineal), yang
mana dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan,
sementara urusan agama dan politik merupakan urusan kaum lelaki (meskipun
setengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang ini).
Hasil penelitian, dokumentasi perihal 19 lingkungan masyarakat hukum adat
yang digolongkan oleh Van Vollenhoven atau pakar hukum adat lainnya seperti
Ter Harr dan lain-lain, termasuk pula dari bahan sejarah Minangkabau maupun
tambo adat Minangkabau sendiri, tidak terdapat keterangan mengapa sistem ini
diterapkan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam penelusuran nenek moyang
serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal)
terlihat mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan
kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut T.O. Ihromi,
hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini
meliputi, termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung,
saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara
seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari
saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak
dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan. Dan sama sekali
tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari
saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah
kandungnya sendiri. Dalam suatu keluarga, tanggung jawab lebih banyak
kemenakan-kemenakannya. Namun, pada masa sekarang, peranan ninik-mamak
semakin kecil karena ia cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya
sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumah tangganya.
Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan
(Ihromi, 1981:83). Masyarakat Minangkabau, memiliki sistem kekerabatan yang
berdasarkan sistem keibuan atau matrilineal dipakai sebagai dasar dimana orang
yang berasasal dari keturunan yang sama berkumpul dalam suatu tempat tinggal
secara bersama. Adapun tempat tinggal tersebut berupa rumah adat yang besar
dan biasanya disebut dengan Rumah Gadang. Rumah Gadang memegang peranan
penting serta bertanggung jawab atas seluruh penghuninya adalah saudara laki–
laki ibu yang disebut dengan mamak. Jadi dapat dilihat,, meskipun organisasi
masyarakat Minangkabau berdasarkan atas garis keturunan ibu, namun yang
memegang peranan penting dalam kesatuan tersebut selalu orang laki-laki dari
garis ibu, biasanya saudara laki-laki ibu yang paling tua.berada di tangan ninik-
mamak (saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki dari ibunya ibu). Ninik-
mamak wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang
berhubungan dengan harta pusaka dan warisan.
Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya
sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan Dalam sebuah paruik yang
memegang peranan penting juga seorang laki-laki dari garis ibu yang dinamakan
kapalo paruik atau biasa juga dikenal dengan sebutan penghulu andiko. Kapalo
paruik melindungi dan mengurus segala kepentingan paruiknya yang dikuasakan
kepadanya .Biasanya kapalo paruik dipilih dari jurai tertua dari paruik tersebut.
Kapalo paruik atau penghulu andiko tersebut terhadap jurainya sendiri merupakan
seorang mamak bagi para kemenakannya. Garis keturunan ibu di Minangkabau
erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Aabila garis keturunan
mengalami perubahan maka akan terjadi suatu perubahan dari adat atau
kebiassaan masyarakat Minangkabau itusendiri. Maka, bagi orang Minangkabau
garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya
melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya. Suatu sistem ini tetap
dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan, selalu
disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Pada
dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat
peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi
harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan
sawah ladang (Hamka, 1968:46).
B. Pembahasan
1. Pewarisan dalam Hukum Perdata
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek yang
sering disebut BW adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang- orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga.Menurut para ahli hukum, khususnya
mengenai hukum kewarisan perdata sebagai berikut :
a. A. Pitlo mengemukakan Hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya
seseoraang, akibat-akibatnya di dalam kebendaan, diatur, yaitu :
akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik dalam hubungan antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
b. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum-
hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang yang masih hidup
c. Vollmar berpendapat bahwa hukum waris adalah perpindahan dari
sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi, suatu keseluruhan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada para
warisnya.
Menurut pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata , “
Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.” Jadi harta
peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah
meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
Adapun unsur-unsur kewarisan dalam Hukum Perdata . Wirjono
Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu
sebagai berikut;(1) Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada
wafatnya meninggalkan kekayaan.
(2) Seseorang atau beberapa orang ahli waris atau erfgenaam yang
berhakmenerima kekayaan yang di tinggalkan.
(3) Harta warisan atau nalatenschap, yaitu wujud kekayaan yang di
tinggalkandan beralih kepada ahli waris.
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu
(1) Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meningal
dunia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 830 KUH Perdata. Matinya
pewaris dapat dibedakan menjadi : a) Matinya pewaris diketahui secara
sungguh-sungguh ( mati hakiki) , yaitu dapat dibuktikan dengan panca
indera bahwa ia telah benar-benar mati. b) Mati demi hukum,
dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu tidak diketahui secara sungguh-
sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah
mati.
(2) Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang yang berhak atau
ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat
kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
a) Hidup secara nyata, yaitu menurut kenyataan memang benar-benar
masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indera.
b) Hidup secara hukum, yaitu tidak diketahui secara kenyataan masih
hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi yang dalam kandungan ibunya
(pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
Dalam KUH Perdata ada dua cara untuk mendapatkan sebuah waarisan
dari pewaris, yaitu :
1. Secara ab intestato (Pewarisan menurut undang-undang). Pewarisan
menurut undang-undang yaitu pembagian warisan kepada orang-orang
yang mempunyai hubungan darah yang terdekat dengan pewaris yang
ditentukan oleh undang-undang. Ahli waris menurut undang-undang
berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu :
a) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus kebawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami istri yang
ditingglkan atau yang hidup paling lama.
b) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus keatas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan
mereka.
c) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya
keatas dari pewaris.
d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya.
2. Secara testamentair (Ahli waris karena di tunjuk dalam suatu wasiat
atau testamen ). Surat wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang
tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat
surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali.
Pemberian seseoraang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak
bermaksud untuk menghapus hak untuk mewaris secara ab intestato

2. Pembagian Warisan Tanah Adat Masyarakat Minangkabau


Semenjak masa Kerajaan Pagar Ruyung, ada tiga peringkat adat yang
diteraju suku Melayu Minang seperti: Peringkat kepimpinan Koto Piliang
Peringkat kepimpinan Bodi Caniago Peringkat kepimpinan Panjang.
Dalam pola pewarisan Soko (kepemimpinan Adat) dan Pusako (Waris
Adat),suku Minang mengambil matrilineal sebagai akibat dari Ketetapan
adat yang kedua ( Penurunan Waris Adat pada Perempuan menurut
Amak). Setiap anak anak yang lahir dari perempuan pemegang waris adat
suku adalah satu suku atau satu marga. Mereka mempunyai pemilikan hak
untuk memanfaatkan harta bersama milik suku.Pusaka milik bersama
disebut"harta tinggi pusaka" harta yang tidak boleh diberi, dijual tetapi
boleh dimanfaatkan atau dipakai guna.Pusaka menjadi harta kekal milik
suku atau puak yang berjalan sebagai "penyelamat jaring kehidupan"
anggota masyarakat suku/puak.Manakala, pusaka diperoleh dari
seseorang/ keluarga disebut "harta pusaka rendah".Harta pusaka rendah di
wariskan menurut hukum Islam.
Harta Pusaka merupakan harta yang diurus dan diwakili oleh ninik mamak
kepala waris diluar dan di dalam peradilan dan berlaku hukum adat, sedangkan
Harta Pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum faraidh yaitu hukum
Islam yang mengatur mengenai pembagian harta secara agama Islam. Kedudukan
harta pusaka di Minangkabau secara garis besar, mengenal beberapa harta
pusaka, yaitu
a. Harta Pusaka Tinggi.
Harta pusaka tinggi (harato pusako tinggi) merupakan hak milik bersama
dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara
turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah
pengelolahan mamak kepala waris (lelaki tertua dalam kaum). Proses
pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kepada
kemenakan. Mengenai harta pusaka tinggi, maka berlaku ketentuan adat
Tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai. Hal tersebut
berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak dapat diperjual beli dan
digadaikan. Namun, demikian dalam praktek mengenai gadai dapat
dilakukan dengan beberapa syarat tertentu. Untuk tanah pusaka tinggi
misalnya, gadai hanya dapat dilakukan atas kesepakatan anggota kaum
sebagai pemilik tanah pusaka tinggi yang bersangkutan.
b. Harta Pusaka Rendah
Harta pusaka rendah (harato pusako randah) adalah warisan yang
ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, yang statusnya masih
dipandang rendah, karena disamping ahli warisnya masih sedikit, juga
karena cara memperolehnya yang tidak berasal dari pewarisan kerabatnya.
Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama untuk memanfaat- kannya,
baik dijual atau dibagi-bagi antara mereka. Pusaka rendah berarti harta
pencaharian suami istri dalam rumah tangga atau dengan kata lain
merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (suami
istri) sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, harta pusaka rendah
ini bisa juga berupa tanah dan harta lainnya.
c. Sako
Sako adalah warisan yang menurut sistem matrilineal yang bukan
berbentuk benda atau materi tetapi berupa gelar adat yang diwariskan
kepada kemenakannya yang laki-laki saja setelah mamak meninggal dunia.
d. Hak Ulayat
Hak ulayat menurut konsep adat adalah hak yang dimiliki oleh suatu
kerabat masyarakat adat yang bersangkutan. Pada dasarnya objek tanah
ulayat bukan monopoli bidang-bidang tanah tetapi juga air atau perairan,
berikut kekayaan alam yang terkandung didalamnya, ikan, pasir, dll, serta
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup secara. Hak tanah ulayat
merupakan hak tertinggi di Minangkabau yang dipegang dalam tangan
penghulu, nagari, kaum atau federasi beberapa nagari.
Hukum waris adat Minangkabau merupakan salah satu pembahasan yang
cukup penting dalam Masyarakat Minangkabu, tetapi akhir-akhir ini banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi kewarisan adat Minangkabau termasuk dalam
kasus tanah, antara lain perubahan dalam faktor pendidikan, perantauan, hidup
berdasarkan sistem keluarga, ekonomi, teknologi, hidup di kota-kota besar, dan
pengaruh agama islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau.
Perlu dicatat bahwa perubahan penting terhadap bidang lain. Hal ini perlu dikaji
dan dipertanyakan bagaimana dampak dan pengaruhnya terhadap sistem
kepemilikan harta pewarisan dan bagaimana pula pola dari sistem pewarisan dari
harta pencaharian tersebut. Waris menurut adat Minangkabau yang dianut oleh
suku Chaniago tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat
menggariskan adanya waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini
bila ada kesepakatan kaum, apabila kaum itu punah, warisan jatuh kepada waris
yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula, maka harta
pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari dan ninik mamak nagarilah yang
menentukan.

3. Sistem dan Asas Kewarisan Harta di Minangkabau


Menurut Hazairin, secara garis besar ada tiga sistem kewarisan yang dipakai
di Indonesia, yaitu : Pertama, sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan
yang membagi-bagi harta peninggalan kepada orang perorangan sebagai ahli
waris dan dibagi sama rata antar ahli waris. Sistem kekerabatan ini antara lain
ditemukan pada masyarakat Jawa yang menganut kekerabatan bilateral dan Batak
yang menganut patrilineal. Kedua, sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem
kewarisan tunggal anak yang tertua dalam satu keluarga terhadap harta
peninggalan atau sejumlah harta pokok dari keluarga tersebut. Kewarisan ini
seperti yang terjadi pada masyarakat Sumatera Selatan dan Bali. Ketiga, sistem
kewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan secara kelembagaan. Kelembagaan
yang dimaksud adalah keluarga sebagai satu kesatuan kekerabatan genealogis.
Warisan ini biasanya berupa benda atau tanah sebagai lahan pertanian. Yang
dibagi-bagi adalah giliran menggarap dan menikmati hasilnya. Penerima waris
biasanya perempuan, laki-laki hanya boleh memungut hasilnya. Karena itu ia
disebut harta pusaka sebagaimana yang terdapat di Minangkabu (Hazairin,
1982:15). Jadi dari ketiga sistem kewarisan tersebut, yang dipakai di dalam adat
Minangkabau adalah sistem kewarisan kolektif atau kelembagaan, dimana yang
berhak menerima warisan adalah keluarga di dalam satu kaum menurut garis
matrilineal, bukan perorangan. Setelah agama Islam masuk dan berkembang di
Minangkabau, maka secara berangsur pula Islam dapat mempengaruhi sistem
kepemilikan harta dan sistem warisan di Minangkabau ini. Maka sistem waris pun
di Minangkabau terbagi atas dua sistem sesuai dengan jenis hartanya. Untuk harta
pusaka tinggi berlaku sistem warisan kolektif, sedangkan untuk harta pusaka
rendah dan pencaharian berlaku sistem waris Islam dengan asas ijbari, bilateral,
individual, keadilan berimbang, dan semata akibat kematian. Sedangkan untuk
asas kewarisan sendiri, Minangkabau juga mempunyai beberapa asas tertentu
dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar pada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewarisan di Minangkabau ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian sendiri
tentang keluarga dan cara perkawinan. Dari kedua itu maka muncullah ciri khas
struktur kekerabatan dalam adat Minangkabau yang juga menimbulkan bentuk
hukum kewarisannya. Amir Syarifuddin menjelaskan ada 3 asas pokok dalam
hukum kewarisan Adat Minangkabau, yaitu :
(a) Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, yaitu kekerabatan melalui jalur ibu (matrilineal). Harta pusaka dari
atas diterima dari nenek moyang melalui garis ibu dan ke bawah diteruskan
kepada anak cucu melalui anak perempuan.
(b) Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang
perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan hal ini, maka
harta pusaka tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan secara kolektif.
(c) Asas keutamaan, yaitu bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan
dalam peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak
yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan pihak yang lain,
dan selama yang berhak masih ada maka yang lain belum dapat menerima
(Syarifudin, 2015:231).
C. Referensi
Hamka. 1968. Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya, dalam Mochtar Naim.
Menggali Hukum Tanah dan Hukum WarS. Padang : Center For Minangkabau
Studies Press.
Hazairin. 1982. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Hadits.
Jakarta: Tintamas
Ihromi, T.O. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta:PT. Gramedia.

Nuriz, Ulfa Chaerani. Sukirno, dan Sri Wahyu Ananingsih. 2017. PENERAPAN
HUKUM ADAT MINANGKABAU DALAM PEMBAGIAN WARISAN
ATAS TANAH (Studi di : Suku Chaniago di Jorong Ketinggian Kenagarian
Guguak VII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Ibu Kota
Sarilamak). DIPONEGORO LAW JOURNAL. Vol.6, No.1, Hal. 1-13.
Prasna, Adeb Davega. 2018. PEWARISAN HARTA DI MINANGKABAU
DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM. KORDINAT. Vol.
XVII, No.1, April. Hal. 29-63.
Syarifuddin, Amir. 2015. Hukum Kewarisan Islam,. Jakarta: Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai