MINANGKABAU
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan yang beraneka ragam yang
tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia tersebut bukan hanya berupa kekayaan sumber alam saja,
tetapi masyarakat Indonesia juga memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan
kebudayaan suku bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Indonesia terbentang beribu-ribu pulau, beragam suku, dan kebudayaan. Tiap-
tiap pulaunya dihuni para penduduk yang memiliki adat istiadat yang berbeda
tiap-tiap wilayahnya. Pulau Sumatera misalkan, terdiri atas berbagai bagian
wilayah. Pulau Sumatera ini memiliki adat atau kebiasaaan yang khas di tiap-tiap
wilayahnya.
Pembagian waris menurut sistem hukum di Indonesia menganut pembagian
waris menurut Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Tata cara
pembagian dan penghitungan pembagian warisan itu sendiri terbagi sendir-
sendiri. Apabila menggunakan Hukum Perdata, maka sistem pembagian waris
meggunakan Hukum Barat yang mana telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Hukum Islam, pembagian waris berdasarkan ajaran dalam Aama
Islam yang sebagaimana bersumber dari kitab suci Al-Qur’an. Dan pembagian
waris menurut Hukum Adat, tentu menggunakan sistem hukum adat di masing-
masing daerah. Sebab, pembagian waris di tiap-tiap daerah pastilah menggunakan
aturan yang berbeda-beda.
Sumatera Barat dikenal suatu suku atau kelompok etnik nusantara yang
bernama Minangkabau. Masyarakat Minangkabau atau Minang merupakan
sebuah kumpulan etnik Nusantara yang menjunjung tinggi kebuadayaan
Minangkabau, serta dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaan Mnangkabau meliputi Sumatera Barat, separuh
darat Riau, bahagian utara Bengkulu, bahagian barat Jambi, bahagian selatan
Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.
Kebudayaan Masyarakat Minangkabau adalah bersifat keibuan (matrilineal), yang
mana dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan,
sementara urusan agama dan politik merupakan urusan kaum lelaki (meskipun
setengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang ini).
Hasil penelitian, dokumentasi perihal 19 lingkungan masyarakat hukum adat
yang digolongkan oleh Van Vollenhoven atau pakar hukum adat lainnya seperti
Ter Harr dan lain-lain, termasuk pula dari bahan sejarah Minangkabau maupun
tambo adat Minangkabau sendiri, tidak terdapat keterangan mengapa sistem ini
diterapkan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam penelusuran nenek moyang
serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal)
terlihat mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan
kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut T.O. Ihromi,
hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini
meliputi, termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung,
saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara
seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari
saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak
dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan. Dan sama sekali
tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari
saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah
kandungnya sendiri. Dalam suatu keluarga, tanggung jawab lebih banyak
kemenakan-kemenakannya. Namun, pada masa sekarang, peranan ninik-mamak
semakin kecil karena ia cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya
sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumah tangganya.
Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan
(Ihromi, 1981:83). Masyarakat Minangkabau, memiliki sistem kekerabatan yang
berdasarkan sistem keibuan atau matrilineal dipakai sebagai dasar dimana orang
yang berasasal dari keturunan yang sama berkumpul dalam suatu tempat tinggal
secara bersama. Adapun tempat tinggal tersebut berupa rumah adat yang besar
dan biasanya disebut dengan Rumah Gadang. Rumah Gadang memegang peranan
penting serta bertanggung jawab atas seluruh penghuninya adalah saudara laki–
laki ibu yang disebut dengan mamak. Jadi dapat dilihat,, meskipun organisasi
masyarakat Minangkabau berdasarkan atas garis keturunan ibu, namun yang
memegang peranan penting dalam kesatuan tersebut selalu orang laki-laki dari
garis ibu, biasanya saudara laki-laki ibu yang paling tua.berada di tangan ninik-
mamak (saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki dari ibunya ibu). Ninik-
mamak wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang
berhubungan dengan harta pusaka dan warisan.
Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya
sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan Dalam sebuah paruik yang
memegang peranan penting juga seorang laki-laki dari garis ibu yang dinamakan
kapalo paruik atau biasa juga dikenal dengan sebutan penghulu andiko. Kapalo
paruik melindungi dan mengurus segala kepentingan paruiknya yang dikuasakan
kepadanya .Biasanya kapalo paruik dipilih dari jurai tertua dari paruik tersebut.
Kapalo paruik atau penghulu andiko tersebut terhadap jurainya sendiri merupakan
seorang mamak bagi para kemenakannya. Garis keturunan ibu di Minangkabau
erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Aabila garis keturunan
mengalami perubahan maka akan terjadi suatu perubahan dari adat atau
kebiassaan masyarakat Minangkabau itusendiri. Maka, bagi orang Minangkabau
garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya
melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya. Suatu sistem ini tetap
dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan, selalu
disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Pada
dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat
peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi
harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan
sawah ladang (Hamka, 1968:46).
B. Pembahasan
1. Pewarisan dalam Hukum Perdata
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek yang
sering disebut BW adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang- orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga.Menurut para ahli hukum, khususnya
mengenai hukum kewarisan perdata sebagai berikut :
a. A. Pitlo mengemukakan Hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya
seseoraang, akibat-akibatnya di dalam kebendaan, diatur, yaitu :
akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik dalam hubungan antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
b. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum-
hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang yang masih hidup
c. Vollmar berpendapat bahwa hukum waris adalah perpindahan dari
sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi, suatu keseluruhan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada para
warisnya.
Menurut pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata , “
Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.” Jadi harta
peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah
meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
Adapun unsur-unsur kewarisan dalam Hukum Perdata . Wirjono
Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu
sebagai berikut;(1) Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada
wafatnya meninggalkan kekayaan.
(2) Seseorang atau beberapa orang ahli waris atau erfgenaam yang
berhakmenerima kekayaan yang di tinggalkan.
(3) Harta warisan atau nalatenschap, yaitu wujud kekayaan yang di
tinggalkandan beralih kepada ahli waris.
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu
(1) Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meningal
dunia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 830 KUH Perdata. Matinya
pewaris dapat dibedakan menjadi : a) Matinya pewaris diketahui secara
sungguh-sungguh ( mati hakiki) , yaitu dapat dibuktikan dengan panca
indera bahwa ia telah benar-benar mati. b) Mati demi hukum,
dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu tidak diketahui secara sungguh-
sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah
mati.
(2) Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang yang berhak atau
ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat
kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
a) Hidup secara nyata, yaitu menurut kenyataan memang benar-benar
masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indera.
b) Hidup secara hukum, yaitu tidak diketahui secara kenyataan masih
hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi yang dalam kandungan ibunya
(pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
Dalam KUH Perdata ada dua cara untuk mendapatkan sebuah waarisan
dari pewaris, yaitu :
1. Secara ab intestato (Pewarisan menurut undang-undang). Pewarisan
menurut undang-undang yaitu pembagian warisan kepada orang-orang
yang mempunyai hubungan darah yang terdekat dengan pewaris yang
ditentukan oleh undang-undang. Ahli waris menurut undang-undang
berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu :
a) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus kebawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami istri yang
ditingglkan atau yang hidup paling lama.
b) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus keatas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan
mereka.
c) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya
keatas dari pewaris.
d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya.
2. Secara testamentair (Ahli waris karena di tunjuk dalam suatu wasiat
atau testamen ). Surat wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang
tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat
surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali.
Pemberian seseoraang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak
bermaksud untuk menghapus hak untuk mewaris secara ab intestato
Nuriz, Ulfa Chaerani. Sukirno, dan Sri Wahyu Ananingsih. 2017. PENERAPAN
HUKUM ADAT MINANGKABAU DALAM PEMBAGIAN WARISAN
ATAS TANAH (Studi di : Suku Chaniago di Jorong Ketinggian Kenagarian
Guguak VII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Ibu Kota
Sarilamak). DIPONEGORO LAW JOURNAL. Vol.6, No.1, Hal. 1-13.
Prasna, Adeb Davega. 2018. PEWARISAN HARTA DI MINANGKABAU
DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM. KORDINAT. Vol.
XVII, No.1, April. Hal. 29-63.
Syarifuddin, Amir. 2015. Hukum Kewarisan Islam,. Jakarta: Prenada Media