Anda di halaman 1dari 17

SISTEM KEKERABATAN PADA MASYARAKAT ADAT

MAKALAH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata
kuliah Sistem Hukum Waris Islam Di Indonesia

Dosen Pengampu : Nur Wahid S.H., M.H

Disusun Oleh :
Kelompok 8

1. Abdan Syakuron NIM. 214110302084


2. Sufia Salma NIM. 214110302089
3. Isnaini Dian Latifah NIM. 214110302158

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


5 HKI-C
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2023
SISTEM KEKERABATAN PADA MASYARAKAT ADAT
INDONESIA

Pendahuluan
Sebelum Indonesia memiliki sistem hukum sendiri masyarakat
Indonesia telah memiliki aturan hidup dan bermasyarakatnya sendiri yang
terbentuk dan bersumber dari adat istiadat, tradisi lisan, pemimpin adat
atau sesepuh, hukum kebiasaan, persetujuan bersama dan musyawarah,
praktek-praktek tradisional serta putusan adat. Hal ini berdasarkan pada
Sejarah perkembangan dinamika hukum Indonesia tentang teori masuk
atau pengaruhnya hukum agama dengan adat, salah satunya adalah teori
reception in complexu.
Teori ini terbagi dalam 3 tahapan yang pertama adalah teori
receptio in complexu dari van den berg yang menyebut hukum adat sama
dengan hukum agama. Akan tetapi teori ini dibantah oleh c.van vollen
hoven dan snock horgronje yaitu teori receptie yang meengatakan bukan
hukum adat sama dengan hukum agama akan tetapi hukum agama hanya
berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum adat, tetapi kemudian teori
ini dibantah oleh hazairin dan sayuti thalib ahli hukum Indonesia yang
mengungkapkan bahwa hukum adat justru yang hanya diberlakukan
selama hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum islam, teori ini
disebut receptio exit atau teori reception a contracio.
Dalam masalah waris juga berlaku ketentuan adat salah satunya
adalah pembagian waris berdasarkan hubungan kekerabatan adat yang
terdiri dari patrilineal, matrilineal dan bilateral, ketentuan berikutnya
adalah dalam hal kepemilikan harta waris adat, ada kepemilikan secara
individual, kolektif dan mayorat oleh karena itu makalah ini akan
membahas tentang bagaimana sistem kekerabatan yang ada di indonesia,
penerapan pembagian harta waris adat disetiap daerah, daerah yang
menerapkan sistem kekerabatan, dan bagaimana kepemilikan harta waris
dari setiap sistem kekerabatan yang ada di Indonesia.

1
A. Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistem kekerabatan dalam hukum adat mengatur tentang kedudukan
pribadi seseorang sebagai anggota keluarga, kedudukan anak terhadap orang
tuanya dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, serta
masalah hak asuh anak yang semuanya memiliki akibat hukum. Hukum adat
mengatur hubungan kekerabatan, berdasarkan hubungan darah, hubungan
suami istri dan perkawinan adat. Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat,
ikatan darah penting untuk menjaga garis keturunan (marga), baik lurus
maupun horizontal. Seperti pada masyarakat Bali, dimana laki-laki nantinya
akan membangun Pura keluarga untuk mengenang leluhurnya.
Pada umumnya setiap daerah berbeda mengenai konsep kekerabatan,
namun pada kenyataannya Masyarakat adat memiliki satu pandangan dasar
yang sama di semua daerah mengenai keturunan, yaitu bahwa keturunan
merupakan unsur garis keturunan yang esensial dan mutlak. suku atau sanak
saudara sangat menginginkan adanya penerus suatu generasi agar kehidupan
Masyarakat adat tidak punah sehingga ada generasi yang akan datang. Apabila
suatu marga, suku, atau garis keturunan khawatir akan punah, maka biasanya
marga, suku, atau garis keturunan tersebut melakukan adopsi (mengangkat
anak) atau mengangkat anak melalui perkawinan atau pengangkatan anak
untuk meneruskan garis keturunan.
Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang
diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat
dengan bapak angkatnya. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga)
mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan
kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya, boleh ikut
menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan
berhak atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili
dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.1

1
Helwan Kasra, “PROSPEK 19 WILAYAH HUKUM ADAT DILIHAT DARI MENGUATNYA
SISTEM KEKERABATAN PARENTAL BILATERAL DALAM BIDANG HUKUM
KELUARGA,” Doctrinal 1, no. 1 (1 Maret 2016): 77–86.

2
Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem penerusan garis keturunan
yang mengistimewakan anak laki-laki dan mengesampingkan anak Perempuan
karena bagi Masyarakat adat patrilineal hanya anak laki-laki yang pantas dan
layak menjadi penerus nenek moyang mereka oleh karena itu Dalam
kehidupan masyarakat patrilineal yang berhak menerima warisan hanya anak
laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak menerima warisan karena
dengan berlangsungnya perkawinan maka dianggap anak perempuan sudah
keluar dari kerabatnya. Hal ini berbeda dengan anak laki-laki yang dianggap
lebih berhak menerima warisan karena harus bertanggung jawab sepenuhnya
atas kehidupan dan penghidupan dari anak dan istrinya. Sistem kekerabatan
patrilineal mengenal perkawinan dengan pembayaran “jujur” yang
memindahkan tanggung jawab atas perempuan yang dipinang dari kerabat
perempuan ke kerabat laki-laki yang meminang.
1. Praktik pembagian waris patrilineal
Ada beberapa daerah yang menerapkan sistem waris adat dengan
struktur kekerabatan yang patrilineal diantaranya adalah daerah Sumatra
utara dalam Masyarakat batak, kabupaten Sikka nusa Tenggara timur dan
provinsi lampung. Berikut penerapan warisnya :
a. Masyarakat batak Sumatra utara

Proses pembagian waris Masyarakat batak toba Sumatra utara setelah


orang tua meninggal dunia dan tidak meninnggalkan wasiat tentang siapa
saja penerima hartanya, maka akan diadakan sidang pembagian waris
keluarga dengan unsur yang dinamakan dalihan na tolu, pembagian waris
keluarga yang dipimpin oleh anak laki-laki pertama, akan membagi harta
warisan hanya kepada dirinya sendiri dan kepada anak laki-laki bungsu
dan anak Perempuan atau laki-laki kedua dan kedua terakhir tidak akan
mendapatkan harta warisan sama sekali.2

2
Aisyah Aisyah dan Novia Alexia, “KEBERADAAN HUKUM WARIS ADAT DALAM
PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA SUMATERA
UTARA,” Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 11, no. 1 (14 Juni 2022): 1–8,
https://doi.org/10.32503/mizan.v11i1.2323.

3
b. Masyarakat adat kabupaten sikka NTT

Hukum waris di kabupaten Sikka terletak pada besaran pembagian


setiap ahli waris berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Adapun
sesuai ketentuan hukum waris adat yang berlaku maka, besaran pembagian
warisan tanah pada anak laki laki pertama lebih dari satu bidang tanah,
anak laki-laki kedua dan seterusnya mendapatkan ½ bagian dan anak
perampuan mendapatkan ¼ bagian, dengan alasan perempuan akan
meninggalkan rumah dan ikut dengan suaminya.

c. Masyarakat adat provinsi Lampung

Hukum adat Lampung dalam pelaksanaan pembagian harta


warisan bertujuan untuk mengatur keutuhan keluarga yang ditinggalkan
oleh pewaris, sehingga dalam masyarakat adat Lampung menganut sistem
patrilinial, sistem yang ditarik dari keturunan ayah, dimana laki-laki lebih
menonjol kedudukannya daripada perempuan, dimaksudkan agar anak
tertua laki-laki dapat menjaga dan memelihara harta yang ditinggalkan
oleh orang tua yang telah meninggal untuk kepentingan dan kebutuhan
keluarga pewaris. Selain sistem keturunan tersebut terdapat pula sistem
kewarisan mayorat yaitu sistem waris ini yaitu harta peninggalan dikuasai
atau difokuskan kepada anak sulung baik laki-laki (mayorat pria) atau
anak sulung perempuan (mayorat perempuan). Sistem ini hampir sama
dengan sistem kewarisan kolektif yaitu harta waris yang tidak dibagi-bagi
ahli warisnya, melainkan sebagai hak milik bersama

B. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem matrilineal adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis


ibu (perempuan) dimana kedudukan perempuan lebih menonjol dari pada
kedudukan laki-laki dalam sistem pewarisan. Dalam sistem ini pihak laki-laki
tidak menjadi pewaris bagi anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari
garis perempuan atau ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari
keluarga ibunya sedangkan ayahnya merupakan anggota keluarganya sendiri.
Intinya, sistem matrilineal menarik garis keturunan dari pihak perempuan atau
ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan nenek moyang
perempuan, sehingga berakhir pada satu kepercayaan bahwa mereka semua
berasal dari seorang ibu.

4
Dalam masyarakat ini sistem perkawinannya disebut dengan kawin
sumendo atau (kawin menjemput) dimana pihak perempuan yang menjemput
pihak laki-laki untuk pergi ke dalam lingkungan kerabat pihak istri, namun
suami tersebut tidak masuk ke dalam kerabat pihak istri, dia tetap bertempat
tinggal di dalam kerabat ibunya sendiri dan tidak termasuk di dalam kerabat
pihak istrinya. Anak-anaknya di dalam perkawinan itu masuk ke dalam clan
atau kerabat pihak istrinya atau ikut ibunya. Prinsipnya, ayah tidak
mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Apabila suami atau ayah
tersebut meninggal dunia baik istri maupun anak-anaknya tidak dapat
mewarisi harta peninggalannya.

Kekayaan yang ada dipergunakan untuk keperluan atau kepentingan


rumah-tangga (suami- istri) dan anak-anak keturunannya, biasanya diambil
dari milik kerabat pihak istri. Harta kekayaan atau harta pusaka ini dikuasai
oleh seorang yang dinamakan Mamak Kepala Waris, yaitu seorang laki-laki
yang tertua dari pihak kerabat si istri. Dalam hal pewarisan, biasanya seorang
anak tidak dapat atau menerima warisan dari pihak ayahnya, melainkan
mendapat warisan dari pihak kerabat ibunya sendiri. Sedangkan harta
peninggalan ayahnya sendiri jatuh kepada lingkungan kerabatnya sendiri dan
tidak kepada anak-anaknya. Pada masyarakat modern sekarang ini muncul
ketidakpuasan atas sistem pewarisan tersebut, akan tetapi hal ini bisa diatasi
dengan cara seorang ayah pada waktu masih hidup dapat memberikan
sebagian hartanya kepada anak-anaknya, dan hal ini dapat diterima oleh pihak
kerabat ayah atau laki-laki tersebut.

1. Praktik pembagian waris matrilineal

Beberapa masyarakat adat di Indonesia yang menggunakan sistem


kekerabatan matrilineal.3 Berikut ini ada beberapa praktik pembagianya :

3
Ellyne Dwi Poespasari dkk, Kapita Selekta Hukum Waris Indonesia (Jakarta: Prenadamedia
Grup, 2023), hal. 314.

5
a. Suku Minangkabau

Suku Minangkabau di Indonesia menerapkan sistem kekerabatan


matrilineal, yang berarti bahwa pewarisan diikuti melalui garis keturunan ibu.
Dalam praktiknya, masyarakat Minangkabau menerapkan dua sistem
kewarisan yaitu kewarisan kolektif untuk harta pusaka tinggi dan kewarisan
individual untuk harta pusaka rendah. Kewarisan kolektif adalah sistem
pewarisan yang diwariskan bersama-sama (sekelompok pewaris) dan tidak
dapat dibagi, sedangkan kewarisan individual adalah sistem pewarisan yang
diwariskan secara individual dan dapat dibagi-bagi. Hal ini dilakukan untuk
melindungi wanita sebagai kaum lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Di Minangkabau, warisan dibagi menjadi beberapa jenis, termasuk warisan
tertinggi, warisan rendah, warisan mata pencaharian, warisan surang, dan
warisan asosiasi.

Warisan tertinggi diwarisi dari nenek moyang ke keluarga atau


keturunan. Warisan rendah adalah semua mata pencaharian dari ayah dan ibu
selama pernikahan, ditambah mamak dan tungganai kepada keturunan mereka.
Warisan tertinggi dapat dijual, tetapi hanya dengan persetujuan mamak kepala
klan dan seluruh klan. Kedudukan anak perempuan dalam sebuah keluarga
pada masyarakat adat Minangkabau sangatlah penting dalam hal penerusan
Marga dari suatu keluarga, demikian juga dalam hal ahli waris yang mendapat
hak warisnya. Terdapat dua jenis warisan yang ada di adat Minangkabau yaitu
disebut dengan suko dan pasuko." Suko merupakan sebuah warisan gelar
kebesaran adat yang terdiri dari dubalang. manti, malin, penghulu dan lain
sebagainya.

Gelar ini merupakan gelar yang diberikan turun- temurun menurut


garis keturunan ibu dari suatu kaum. Sako ini memiliki fungsi sebagai gelar
yang diberikan kepada kepala kaum, sako ini merupakan unsur adanya sebuah
kaum. Sako adalah identitas sebuah kaum maka dari itu penghulu memiliki
kewajiban untuk menjaga dan melestarikan sako kepada masyarakat. Terdapat
pula gelar kebesaran yaitu sangsako, sangsako ini gelar yang diberikan kepada
sesorang yang diperoleh melalui kesepakatan bersama dengan cara mufakat,
sifat dari sangsako ini tidak turun-temurun. Sangsako merupakan gelar yang
tidak tetapk atau bisa berpindah-pindah dari satu lingkungan kelingkungan
lain. Sangsako bukan termasuk kedalam harta pusaka tinggi karena sangsako
bukan merupakan gelar yang didapat dari nenek moyang.

Pasuko atau disebut juga dengan pusaka, merupakan satu jenis warisan
diantara lainnya, pasuko ini memiliki sifat material yang dimiliki orang yang

6
telah meninggal dunia dan dapat beralih kepemilikan ke orang lain karena
akibat peristiwa hukum yaitu kematian." Perbedaan dari sako dan pusako
adalah jenisnya sako sendiri merupakan jenis warisan immaterial sedangkan
pusako merupakan warisan yang berbentuk material penyebutan dibedakan
karena untuk pembeda hibah yang bukan disebabkan oleh kematian tapi
disebabkan pada tindakkan hukum yang ia lakukan saat masih hidup di dunia.

Minangkabau awalnya hanya memiliki satu jenis harta yaitu pusaka


harta ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan merupakn
milik bersama seluruh anggota keluarga. Wajibnya laki-laki yang sudah
dewasa memiliki tanggug jawab untuk mengembangkan harta pusaka. Lambat
laun berjalannya waktu muncul istilah baru mengenai harta pusaka ini yaitu
harta pusaka rendah. Harta pusaka rendah ini muncul karena berkembannya
kebutuhan anggota keluarga sehingga diperlukan harta pencaharian yang juga
disebut sebagai harta pusaka rendah. Dengan begitu dikenalah sebuah istilah
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah."4

b. Suku Enggano
Dalam sistem kekerabatan Matrilineal yang ada di suku Enggano
sudah dimengerti oleh sebagian besar ketua adat. Sistem matrilineal yang
menurunkan garis keturunan dari pihak Ibu kepada anak perempuan dan anak
laki-lakinya. Anak perempuanlah yang nanti dapat menurunkan garis
keturunan suku kepada anak-anaknya, tetapi terdapat pengecualian apabila
anak laki-laki adalah anak tunggal maka suku Ibunya dapat diturunkan
kepadanya. Anak tunggal laki-laki inilah yang nanti akan menggantikan
Ibunya (meneruskan suku Ibunya kepada anak-anaknya). Garis keturunan Ibu
diturunkan seorang Ibu kepada anaknya yang merupakan hasil pernikahnnya
dengan laki-laki dari Suku Enggano yang lain maupun laki-laki dari luar
Enggano. Anak hasil pernikahan inilah yang akan mendapatkan garis
keturunan suku Ibunya. Suku Enggano hanya diturunkan kepada anak
kandung dan nama suku yang diturunkan tidak dapat dibatalkan kecuali orang
tersebut melakukan pelanggaran ketentuan dalam sukunya dan keluar dari
sukunya. Warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuan
suku Enggano berupa rumah, kebun, peralatan rumah, ternak dan sepertiga
dari harta yang ada untuk anak perempuan.

Warisan yang diberikan di sebagian besaar Suku merupakan kewajiban


yang harus dipenuhi orang tua kepada anak perempuaannya tetapi ada juga

4
Alif Husni, (2016), Pembagian Harta Pusaka Rendah Tidak Bergerak dalam Masyarakat
Minangkabau Kunagarian Kurai, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol.1 No.2, h
304.

7
yang berpendapat ini bukanlah suatu keharusan, perempuan suku Enggano
mewarisi rumah, tanah, ternak dan peralatan rumah dari orang tuanya,
tergantung kepada orang tua apa yang ingin diberikannya kepada anak
perempuannya. Seorang perempuan suku Enggano memiliki hak untuk
memilih ketua adat tetapi tidak dapat dipilih sebagai ketua adat.5

c. Masyarakat Petalangan
Dalam masyarakat Petalangan, dalam sistem kekerabatan matrilineal
berarti bahwa garis keturunan dan hak waris diturunkan melalui jalur ibu.
Dengan kata lain, anak-anak mewarisi harta dari pihak ibu dan keluarga ibu.
Di Masyarakat Petalangan, lembaga adat atau pemimpin adat, yang disebut
"datu," memegang peranan kunci dalam mengatur dan memfasilitasi
pembagian kewarisan. Datu adalah pihak yang memastikan bahwa proses
pembagian berjalan sesuai dengan adat dan tradisi setempat. Tanah sering kali
menjadi aset yang sangat penting dalam pembagian warisan di masyarakat
Petalangan. Tanah yang dimiliki oleh keluarga ibu dapat diberikan kepada
anak perempuan sebagai bagian dari warisan. Dalam sistem kekerabatan
matrilineal, anak perempuan memiliki peran yang signifikan dalam
mempertahankan keluarga dan warisan keluarga ibu. Mereka juga dapat
berperan dalam mewarisi dan menjaga tanah keluarga.

d. Suku Sakai
Di sini garis keturunan perempuan memiliki hak penuh atas semua
barang yang dimiliki keluarga. Sebaliknya, keberadaan laki-laki cenderung
hanya untuk melanjutkan keturunan. Harta warisan yang mutlak seluruhnya
harus diberikan kepada kemenakan (sodara) si meninggal dinamakan
“pusako” (harta pusaka) yang terdiri atas senjata, perhiasan, dan barang
berharga lainnya. Ini mungkin merupakan adaptasi dari diberlakukannya
pembagian warisan menurut garis laki-laki oleh orang Sakai, yang pada
dasarnya menganut prinsip pembagian warisan Harta Pusaka secara
matrilineal, dimana hubungan mamak-kemenakan yang pada dasarnya adalah
prinsip hubungan matrilineal melalui garis ibu menjadi prinsip hubungan
langsung laki-laki dengan laki-laki. Pada zaman sekarang bila yang meninggal
adalah kepala keluarga (suami) maka separuh warisan dari si meninggal
diberikan kepada kemenakan laki-laki anak dari saudara kandung perempuan,
dan separuhnya lagi diberikan kepada anak-anak kandungnya. Warisan yang

5
Susi Ramadhani dkk, “Hak-Hak Perempuan Enggano Dalam Sistem Kekerabatan Matrilineal”
University of Bengkulu Law Journal, Volume 4 Number 2, October 2019, hal. 110.

8
terutama harus dibagi dua tersebut dinamakan “pusako”. Hal yang sama juga
berlaku bagi “pusako” yang dimiliki istri yang meninggal.6

C. Sistem Kekerabatan Bilateral

Kewarisan bilateral adalah sistem penetapan ahli waris dengan cara menarik
dari dua garis keturunan, garis keturunan ibu dan bapak tanpa adanya
pengutamaan salah satu garis keturunan. Sehingga berbeda dengan sistem
patrilineal dan matrilineal, kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak
dibedakan dan dianggap setara dalam sistem kewarisan bilateral ini. Aritnya, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta
peninggalan orang tua mereka.7

Sistem perkawinan pada kekerabatan bilateral terbagi menjadi 3 yaitu:


Pertama, sistem endogami, yakni dimana seseorang diperbolehkan untuk kawin
dengan orang dari suku keluarganya sendiri, seperti di daerah Toraja. Kedua,
sistem eksogami, yakni seseorang diharuskan kawin dengan orang dari luar suku
keluarganya, seperti Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan.
Ketiga, sistem eleutherogami, sistem ini tidak mengenal adanya larangan seperti
sitem endogamy dan eksogami. Larangan yang ada di dalam sistem ini adalah
bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu karena nasab dan musyaharah (per-
iparan), musyaharh di sini seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, atau
anak tiri.8

Di dalam hukum adat bilateral ini pembagian waris di anggap sama hanya di
bedakan golongan-golongan saja di mana golongan pertama adalah keturunan dari
sipewaris, golongan kedua adalah orang tua pewaris, golongan ketiga adalah
saudara-saudara pewaris dan yang keempat adalah orang tua dari pada orang tua si
pewaris.
1. Praktik pembagian waris bilateral
Dengan adannya penggolongan ini maka dapat di lihat siapa yang dapat
menjadi ahli waris dengan, dimana golongan pertama lebih di utamakan daripada
golongan-golongan lainnya. Adapun praktik sistem waris bilateral pada
masyarakat adat:

6
Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai di Riau Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 192-193
7
Eman Suparman, 2007, Op. cit., h. 42.
8
Oemar Moechtar, Kapita Selekta Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Kencana,2020), hal. 316.

9
a. Pelaksanaan waris pada masyarakat Jawa
Prinsip tahap regenerasi yang merupakan ciri pokok yang esensial dalam
masyarakat Adat Jawa. Timbulnya dua tahap regenerasi ini terjadi karena
harta keluarga yang terdiri dari harta asal suami, harta asal istri dan harta
bersama merupakan dasar materiil bagi kehidupan keluarga. Harta itu nantinya
akan disediakan pula untuk dasar materiil bagi kehidupan keturunan keluarga
itu. Oleh karena itu keturunan (anak) merupakan hal yang penting dalam
kehidupan keluarga dan merupakan salah satu tujuan utama dalam
perkawinan, yaitu untuk meneruskan angkatan atau keturunan. Sehingga
kematian pewaris tidak begitu berpengaruh dalam proses pewarisan hal inilah
yang menyebabkan pemahaman masyarakat Jawa mengenai pelaksanaan
kewarisan yang dilakukan sebelum meninggal, walaupun kematian orang tua
(pewaris) merupakan suatu peristiwa penting bagi proses tersebut. Pada
masyarakat yang pada umumnya adalah penduduk yang beragama Islam,
seharusnya proses pewarisan adalah tahap regenerasi harta warisan setelah
orang tua (pewaris) sudah meninggal. Namun pada kenyataannya yang terjadi
pada masyarakat Jawa menyatakan proses pewarisan berlangsung pada waktu
orang tua (pewaris) masih hidup.
Sikap dan tindakan orang tua tersebut timbul dari rasa kekawatiran sesuatu
hal yang mungkin terjadi diantara ahli waris dengan adanya harta warisan.
Menghindari perselisihan juga nampaknya merupakan salah satu unsur yang
dominan yang mendorong orang tua melakukan pembagian harta warisan.
Sikap kebersamaan dalam keluarga ini adalah merupakan unsur penting dalam
tataan kehidupan keluarga maupun masyarakat, sehingga dengan sikap ini
akan menjadikan ahli waris tidak lagi mempermasalahkan sama atau tidaknya
jumlah pembagian waris yang diterima, akan tetapi yang paling diutamakan
adalah rasa kerukunan diantara pihak ahli waris.
Pada masyarakat Jawa proses pewarisan dapat berjalan sebelum pewaris
meninggal dunia. Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi
dengan beberapa cara, yaitu penerusan atau pengalihan (lintiran), penunjukan
(acungan), dan mewasiatkan atau berpesan (weling atau wekas). Pelaksanaan

10
pengoperan atau peralihan harta warisan sebelum pewaris meninggal dapat
terjadi “saat itu”, yang artinya harta warisan itu dimiliki dan dikuasainya serta
dimanfaatkan secara langsung pada saat setelah pemberian berlangsung.
Disamping itu atas harta warisan hanya “mengolah” yang beralih artinya hak
milik harta warisan itu masih dimiliki oleh pewaris, sedangkan ahli waris
hanya diserahi hak pemanfaatan atau pengolahan harta tersebut. Kemudian
cara yang terakhir dari peralihan dan pengoperan adalah “ditunjuk” artinya
ahli waris hanya ditunjukkan bagian masing-masing, tetapi baik harta warisan
maupun hak penguasaannya belum beralih dan masih dikuasai orang tua.
Sedangkan pemilikan dan penguasaan harta warisan itu baru akan beralih
setelah pewaris meninggal dunia. Motivasi adanya penunjukkan dalam proses
pewarisan adalah suatu usaha untuk mencegah perselisihan antar ahli waris.
Disamping itu agar pembagian itu memenuhi rasa keadilan menurut anggapan
pewaris. Kemudian pelaksanaan pembagian warisan pada upacara selamatan
kematian pewaris, karena pada saat itu para ahli waris sedang berkumpul di
rumah orang tua (pewaris).
Pada masyarakat Jawa, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki
kedudukan yang sama dalam hal pewarisan. Laki-laki dan perempuan sama-
sama memiliki hak untuk mewarisi harta ayah dan ibunya, tetapi tidak ada
masalah jika bagian diantara keduanya tidak sama, asalkan ada kesepakatan
dalam keluarga. Akan tetapi cara pembagian harta waris tergantung pada
keadaan harta dan ahli waris dan diupayakan untuk dijalankan secara rukun
dan bersifat kebersamaan melalui musyawarah mufakat.
Di kalangan masyarakat Jawa ada dua kemungkinan dalam pembagian
warisan antara anak laki-laki dan perempuan, di antaranya yaitu:
a. Cara segendong sepikul
Secara harafiah, kata sapikul sagendhongan berarti satu pikul satu
gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki-laki mendapat
bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagendhongan) dengan perempuan.
Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam
pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang.

11
Sementara perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di
punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya adalah bagian
anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak perempuan, sama halnya dalam
Islam yaitu 2:1.
b. Cara dum dum kupat atau sigar semangka
Pada masyarakat Jawa sebagian besar pembagian waris menggunakan prinsip
sigar semangka, yaitu suatu prinsip yang memberikan hak yang sama bagi anak
laki-laki dan perempuan karena diasumsikan bahwa keduanya sama-sama akan
membangun keluarga yang memerlukan banyak modal. Bagian yang sama
besarnya ini dimaksudkan sebagai modal berumah tangga. Dengan sistem ini
menurutnya dirasa adil sebab baik istri maupun suami sama-sama menyumbang
bagi ekonomi keluarga sehingga istri tidak sepenuhnya ditanggung oleh suami,
istri ikut membantu membangun ekonomi bagi keluarganya sendiri.9

b. Pelaksanaan waris pada masyarakat Madura


Sistem yang dipakai adalah sistem kekeluargaan. Jadi, apabila semua ahli
waris sepakat untuk dibagi menggunakan hukum waris adat Madura maka bisa
dibagikan secara langsung dengan formasi satu banding satu (1:1) yaitu satu
bagian untuk perempuan dan satu bagian untuk laki-laki. Sistem bagi waris yang
dilakukan oleh suku Madura menggunakan sistem waris adat yang tidak
membedakan antara bagian laki-laki dan perempuan yang masing-masing
mendapat satu bagian itu berarti adanya kesetaraan dalam hukum waris yang
mereka gunakan.
Akan tetapi sebelum adanya pembagian secara hukum waris adat atau
secara musyawarah, maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pembagian
dengan cara hukum waris Islam. Setelah dijelaskan mengenai hukum waris Islam
terhadap semua ahli waris namun jika para ahli waris ingin membagikan harta
warisan tersebut dengan cara hukum waris adat atau secara musyawarah, maka
harta waris bisa dibagi dengan menggunakan hukum waris adat. Semua itu

9
Anggita vela, Pembagian Hukum Waris Pada Masyarakat Jawa, Vol. IV, No. 2,(jurnal As-
salam, Th. 2015). Hal. 80.

12
tergantung pada ahli waris yang bersangkutan, apakah ingin membagi harta
warisan tersebut dengan cara hukum waris adat (musyawarah/mufakat) atau
dengan menggunakan hukum waris Islam yang sudah terlebih dahulu dijelaskan
kepada para ahli waris.

c. Pelaksanaan waris pada masyarakat Melayu Sambas Kalimantan Timur


Proses pembagian dalam hukum waris yang ada pada masyarakat Melayu
Sambas tidak mempunyai aturan yang tertulis melainkan dibagi menurut sistem
keturunan baik secara kerukunan atau kesepakatan antara keluarga. Masyarakat
Melayu Sambas dengan menerapkan pembagian 1:1 antara laki-laki dan
perempuan. Ketentuan tersebut sejatinya telah diatur pada masa kerajaan Mufti.10
Tidak ada perbedaan antara hukum waris islam dan hukum waris yang ada
di Sambas, hanya saja terdapat perbedaan pembagian sama rata antara laki-laki
dan perempuan dengan alasan tidak tega atau kasihan kepada sesama
saudaranya.11
Dalam pembagian yang dilakukan oleh salah satu tokoh adat dalam
pembagian harta warisan dalam keluarganya, di mana setelah ayah beliau wafat,
harta waris dibagi sama rata meskipun masih ada Ibu sebagai ahli waris, sebelum
harta dibagi sama rata kepada anak, Ibu terlebih dahulu mendapatkan bagian 1/2
dari harta peninggalan tersebut, baru kemudian setelah itu 1/2 dari sisa harta
tersebut dibagi secara sama rata kepada anak. Dalam keadaan seperti ini orang tua
tidak membedakan kedudukan anak laki-laki dan perempuan, akan tetapi
manakala orang tua lebih dekat kepada anak perempuannya yang mengakibatkan
adanya pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan, karena ketika anak
laki-laki menikah ia akan meninggalkan rumah dan menetap dirumah istrinya
sehingga kedekatan antara orang tua dan anak laki-laki tidak seperti anak
perempuan.12

10
Mufti: Kesultanan Sambas pada masa Kerajaan, diantara peninggalannya sekarang bisa
ditemukan di daerah Sambas bekas peninggalan kerajaan yang disebut Keraton Sambas atau Istana
AlwatzikHoebillah
11
Rizki Pangestu, Pembagian Waris Bilateral Masyarakat Sambas dan Relevansinya dalam teori
Maslahah Mursalah, Vol 18, No 1 (Jurnal Al-Maslahah, Juni 2022). hal. 9.
12
Ibid

13
Masyarakat Melayu Sambas tidak mengenal perbedaan antara harta
peninggalan dan harta waris, mereka lebih mengenal bahwasanya hukum waris
yang mereka terapkan adalah sejatinya hukum waris Islam, karena mereka
bersandar kepada ketentuan “adat bersendikan syara‟, syara‟ bersendikan
kitabullah” artinya dalam urusan agama, arahnya tetap ke agama, otomatis adat
harus bersendikan agama, jadi bisa dikatakan bahwa Melayu identik Islam,
sehingga ketika praktik dalam sehari-hari ada yang tidak menggunakan, maka di
bagilah secara adil dengan pembagian 1:1.
Pembagian harta oleh Masyarakat Melayu Sambas memiliki dua variatif
ada yang disesuaikan dengan nilai uang, misalkan berupa tanah maka kemudian
tanah itu dijual lalu uangnya dibagi sama rata. Ada juga yang langsung
membagikan tanpa menominalkan terlebih dahulu. Berbagai proses atau cara
dalam membagikan harta dikembalikan kepada ketentuan dari masing-masing
keluarga yang mayoritas membagikan harta peninggalan dengan sama rata
berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini dianggap sebagai representasi dari
pembagian waris yang dilakukan oleh Masyarakat Melayu Sambas Kalimantan
Barat.

14
KESIMPULAN

Sistem kekerabatan pada Masyarakat adat terdiri dari 3 bentuk , yang


pertama adalah sistem kekerabatan patrilineal yang menarik garis keturunan dan
hanya mengakui dari garis keturunan ayah, yang kedua adalah kekerabatan
matrilineal yaitu kekerabatan yang menarik dan mengunggulkan garis keturunan
hanya kepada ibu dan yang ketiga adalah bilateral atau kekerabatan yang menarik
dan mengakui kedua garis keturunan baik ayah maupun ibu. setiap daerah
berbeda-beda tergantung bagaimana Masyarakat mengakui keberedaan suatu
tradisi, tradisi ini bisa bersumber dari adat istiadat melalui lisan, turun temurun
melalui tetuah pemimpin adat atau sesepuh, hukum kebiasaan, persetujuan
bersama atau musyawarah, praktik-praktik adat, dan putusan adat.
Di Indonesia praktik-praktik pembagian waris adat bermacam-macam
jenisnya, dalam sistem kekerabatan patrilineal daerah adat yang masih
menggunakan praktik waris adat adalah Masyarakat batak toba Sumatra utara
yang membagi kewarisan setelah orang tua meninggal tanpa wasiat maka anak
laki-laki tertua akan mengadakan sidang pembagian waris yang unsurnya disebut
dalihan na tolu kemudian hanya anak sulung laki-laki dan anak bungsu laki-laki
yang berhak mendapatkan warisan. Selain batak, daerah Ntt tepatnya kabupaten
sikka juga menerapkan hal yang sama akan tetapi anak Perempuan masih
diberikan hak ¼ dari harta warisan, sedangkan pada Masyarakat lampung
menerapkan sistem mayorat atau kepemilikan harta waris diberikan pada salah
satu ahli waris saja akan tetapi bukan individual.
Kekerabatan matrilineal berlaku tiga praktik pembagian waris adat, yang
pertama secara individual, kedua kolektif dan ketiga mayorat seperti suku
Minangkabau, suku enggano, suku petalangan dan suku sakai. Terakhir sistem
kekerabatan bilateral yang pembagian warisnya disamakan ratakan dengan
sebutan dumdum kupat dan sigar semangka, juga berlaku pembagian 2:1 atau
lebih dikenal dengan istilah sepikul segendongan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Helwan Kasra, “PROSPEK 19 WILAYAH HUKUM ADAT DILIHAT DARI MENGUATNYA


SISTEM KEKERABATAN PARENTAL BILATERAL DALAM BIDANG HUKUM
KELUARGA,” Doctrinal 1, no. 1 (1 Maret 2016): 77–86.

Aisyah Aisyah dan Novia Alexia, “KEBERADAAN HUKUM WARIS ADAT DALAM
PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA
SUMATERA UTARA,” Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 11, no. 1 (14 Juni 2022): 1–8,
https://doi.org/10.32503/mizan.v11i1.2323.

Ellyne Dwi Poespasari dkk, Kapita Selekta Hukum Waris Indonesia (Jakarta: Prenadamedia
Grup, 2023), hal. 314.

Alif Husni, (2016), Pembagian Harta Pusaka Rendah Tidak Bergerak dalam Masyarakat
Minangkabau Kunagarian Kurai, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol.1
No.2, h 304.

Susi Ramadhani dkk, “Hak-Hak Perempuan Enggano Dalam Sistem Kekerabatan Matrilineal”
University of Bengkulu Law Journal, Volume 4 Number 2, October 2019, hal. 110.

Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai di Riau Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 192-193

Eman Suparman, 2007, Op. cit., h. 42.

Oemar Moechtar, Kapita Selekta Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Kencana,2020), hal. 316.

Anggita vela, Pembagian Hukum Waris Pada Masyarakat Jawa, Vol. IV, No. 2,(jurnal As-
salam, Th. 2015). Hal. 80.

Mufti: Kesultanan Sambas pada masa Kerajaan, diantara peninggalannya sekarang bisa
ditemukan di daerah Sambas bekas peninggalan kerajaan yang disebut Keraton Sambas
atau Istana AlwatzikHoebillah

Rizki Pangestu, Pembagian Waris Bilateral Masyarakat Sambas dan Relevansinya dalam teori
Maslahah Mursalah, Vol 18, No 1 (Jurnal Al-Maslahah, Juni 2022). hal. 9.

16

Anda mungkin juga menyukai