A. Hukum Waris
Hukum waris merupakan salah satu hukum yang ada dalam masyarakat dan
menjadi perhatian dari berbagai pihak. Hukum waris juga merupakan hukum yang
mengatur kepentingan masyarakat umum, khususnya yang berhubungan dengan harta
warisan. Effendi Perangin (2008) menyatakan bahwa “secara umum hukum waris adalah
hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
yang telah meninggal serta akibatnya bagi ahli warisnya”. Hukum waris yang ada di
Indonesia memiliki bentuk dan sistem pewarisan yang beranekaragam.
Menurut artikel detik Bali, Hukum waris yang berlaku di Indonesia sendiri terbagi
menjadi tiga, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam, dan sistem
hukum waris menurut Undang-Undang Hukum Perdata. Sistem waris adat Bali
merupakan salah satu contoh sistem hukum waris adat yang berlaku bagi masyarakat adat
Bali.
Sistem kekerabatan merupakan suatu kondisi ketika suatu keluarga besar memiliki
aturan tertentu terkait posisi seseorang berdasarkan garis keturunan.
Terdapat tiga penggolongan dalam sistem kekerabatan :
1. Sistem Parental atau Bilateral
adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak dan ibu, artinya
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Dalam sistem
bilateral ini tidak ada perbedaan antara pihak bapak dan pihak ibu.
2. Sistem Matrilineal
adalah sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu (wanita), dimana kedudukan
wanita lebih menonjol dari kedudukan pria di dalam pewarisan.
3. Sistem Patrilineal
adalah sistem keturunan yang ditarik menurus garis bapak (laki-laki), dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan.
Terdapat tiga sistem pewarisan yang dikenal di dalam hukum adat meliputi :
1) Sistem Pewarisan Individual
memiliki ciri utama yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi secara merata baik
kepada anak laki-laki maupun anak perempuan.
2) Sistem Pewarisan Kolektif
adalah sistem pewarisan dimana seorang ahli waris menerima harta warisan
secara bulat, utuh, dan tidak terbagi-bagi secara perorangan dari pewarisnya.
3) Sistem Pewarisan Mayorat
yang memiliki ciri utama yaitu harta warisan hanya diwariskan kepada satu anak
yaitu anak tertua maupun anak tertentu saja. Dalam masyarakat, hukum Adat Bali
menganut sistem kewarisan mayorat, yang mana anak tertua laki-laki merupakan
ahli waris asli atau utama.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Bali menganut
sistem kekerabatan patrilineal sehingga kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan karena ditarik dari garis keturunan ayah. Dalam Hukum Hindu, sistem
pewarisan menggunakan sistem individual dan mayorat dengan sistem keturunan yang
bercorak patrilineal. Sistem tersebut dapat diketahui dari Pasal 104 dan 105 Bab IX.
Kitab Manawa Dharamasastra, yang menyatakan bahwa ;
Urdhwam pitu|ca mãtu|sa sametya bhrãtarah samam, bhajeranpuitrikam anicaste hi
jiwatoh
(MD. IX. 104)
Artinya : Setelah meninggal dunia ayah dan ibu, saudara-saudara (laki) setelah
berkumpul bersama-sama mereka boleh membagi harta (orang tua) sesungguhnya tidak
ada kekuasaan atas harta itu selagi orang tua mereka masih hidup.
Dari bunyi pasal 104 di atas ada beberapa asas hukum yang dapat ditarik :
1. Penerusan warisan kepada ahli waris (anak laki-laki) dilakukan setelah orang
tuanya meninggal, dan atau kemungkinan semasih orang tuanya hidup (seperti
dalam masyarakat Hindu di Bali, adanya pembagian sementara semasih orang
tuanya masih hidup dengan cara pedom Pamong/Raksa saja).
2. Terlihat adanya tiga unsur yang berkaitan dengan hukum waris yaitu, pewaris
(orang tua), ahli waris (anak laki-laki), dan harta warisan baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud (seperti kewajiban terhadap leluhur dan
kemasyarakatan).
Jadi pada prinsipnya anak perempuan dalam keluarga masyarakat Bali tidak bisa menjadi
ahli waris. Tetapi tidak menutup kemungkinan bisa diberikan harta warisan yang
berbentuk materi oleh orang tuanya sebagai bekal apabila anak perempuannya memasuki
kehidupan berumah tangga.
Warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari sumbernya dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Aetamian (harta pusaka)
yaitu berupa harta yang diperoleh karena pewarisan secara turun-temurun.
Aetamian meliputi :
a. Tetamian yang tidak dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai
magis religius, seperti tempat persembahyangan keluarga
(sanggah/merajan), dan lain-lain.
b. Tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak mempunyai
nilai religius, seperti sawah, ladang, dan lain-lain.
2. Tetatadan
Yaitu harta yang dibawa masing-masing suami dan istri ke dalam pernikahan, baik
yang diperoleh atas usahanya sendiri (sekaya), ataupun pemberian (jiwadana).
3. Pegunkaya (gunakaya),
yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama pernikahan berlangsung.
Menurut Peswara Pewarisan Tahun 1900, harta warisan terjadi dari hasil bersih
kekayaan pewaris setelah dipotongkan hutangnya termasuk juga hutang-hutang yang
dibuat untuk ongkos penyelenggaraan pengabenan pewaris. Terdapat penafsiran terhadap
Peswara ini bahwa hutang pewaris tidak ditanggung oleh ahli warisnya jika harta warisan
tidak mencukupi.
c. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Mengenai ahli waris, dalam hukum adat
dikenal adanya penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis
pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-
urutan keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris dengan pengertian
bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain.
Garis pokok pengganti adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di
antara kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli
waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti ini maka harus
diperhatikan dengan seksama sistem kekeluargaan yang berlaku. Dengan garis pokok
keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu :
1. Kelompok keutamaan pertama adalah keturunan pewaris.
2. Kelompok keutamaan kedua adalah orang tua pewaris.
3. Kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4. Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya.
Warisan berupa swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya, yaitu :
1. Warisan parhyangan (berhubungan dengan keyakinan sebagai umat Hindu).
2. Warisan pawongan (berhubungan dengan aktivitas sosial sebagai umat Hindu).
3. Warisan palemahan (berhubungan dengan tata kelola lingkungan alam sesuai
dengan keyakinan Hindu).
Seorang anak laki-laki yang telah kawin nyentana tidak lagi memiliki hak waris
dalam keluarga asalnya dikarenakan bahwa yang bersangkutan dapat dikategorikan
ninggal kedaton, yaitu meninggalkan tanggung jawabnya dalam keluarga asalnya.
Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)
Bali Nomor 01.Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 pada prinsipnya menyatakan bahwa
laki-laki nyentana dapat dikualifikasikan sebagai ninggal kedaton terbatas dan berhak
atas bagian tertentu dari harta gunakaya orang tuanya.
f. Hak Waris bagi Laki-Laki yang Berpindah Agama ke Agama Lainnya, namun
Kembali Lagi Memeluk Agama Hindu
Jika membahas tentang masyarakat Bali yang memilih pindah agama dari agama
Hindu ke agama lain maka kita akan membahas lebih dalam tentang ninggal kedaton.
Ninggal kedaton dikenal pula dengan sebutan nilar kedaton, ninggal kawitan, atau pegat
mapianak. Ninggal kedaton merupakan meninggalkan keratuan atau “kerajaan” atau
“rumah tinggal orang tua”.
Dalam konteks pewarisan ninggal kedaton memiliki makna meninggalkan
kewajiban atau tanggung jawab (swadharma) terhadap keluarga (leluhur) dan masyarakat.
Swadharma yang dimaksud meliputi : swadharma parahyangan, swadharma pawongan,
dan swadharma palemahan. Tanggung jawab yang berhubungan dengan parahyangan
atau tempat suci keluarga. Tanggung jawab yang berhubungan dengan pawongan atau
anggota keluarga. Selain tanggung jawab tersebut, ahli waris juga harus melaksanakan
kewajiban atau tanggung jawab terhadap masyarakat hukum adat, seperti mebanjar dan
medesa adat. Setelah semua kewajiban atau tanggung jawab dilaksanakan oleh ahli waris
kepada keluarga maupun masyarakat adat barulah memiliki hak (swadikara) atas berbagai
fasilitas dari keluarga maupun dari masyarakat desa adat. Apabila seorang laki-laki
berpindah ke agama lainnya, maka menurut hukum adat Bali hak Jurnal Konstruksi
Hukum Vol. 3, No. 2, 2022 297 mewaris bersangkutan gugur. Selain pindah
agama/keyakinan ada beberapa hal yang mengakibatkan gugurnya seorang ahli waris
sebagai berikut :
1. Seorang anak yang dianggap durhaka sehingga dipecat kedudukannya sebagai
anak oleh orang tuanya (pegat mapianak).
2. Seseorang yang dengan sengaja meninggalkan tanggung jawab keluarga dan
masyarakat (ninggal kedaton) untuk jangka waktu tertentu (ngumbang), tanpa
alasan yang dapat diterima oleh keluarga atau masyarakat.
3. Seseorang yang tidak lagi memeluk agama Hindu.
Jadi menurut kami, pewarisan bagi seorang laki-laki yang berpindah ke agama lainnya
serta kembali memeluk agama Hindu, jika dilihat dari prosesi upacara untuk masuk ke
dalam agama Hindu di Bali (Suddhi Wadani) mengartikan bahwa seseorang tersebut
terlahir kembali dari agama yang berbeda ke agama Hindu. Walaupun sudah sempat
memeluknya namun dalam prosesi tersebut harus melaksanakan prosesi seperti otonan,
mepandes, dan perkawinan seperti yang di atur dalam Hukum adat Bali, jadi menurut
kami orang seperti diatas juga tidak dapat mewaris tetapi jika ingin diberikan sesuatu
dalam bentuk hibah dari keluarga itu sah sah saja, tetapi dalam hibah ini tidak ada
paksaan dari siapapun karena hibah bersifat sukarela.