Anda di halaman 1dari 11

HUKUM WARISAN

A. Hukum Waris
Hukum waris merupakan salah satu hukum yang ada dalam masyarakat dan
menjadi perhatian dari berbagai pihak. Hukum waris juga merupakan hukum yang
mengatur kepentingan masyarakat umum, khususnya yang berhubungan dengan harta
warisan. Effendi Perangin (2008) menyatakan bahwa “secara umum hukum waris adalah
hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
yang telah meninggal serta akibatnya bagi ahli warisnya”. Hukum waris yang ada di
Indonesia memiliki bentuk dan sistem pewarisan yang beranekaragam.
Menurut artikel detik Bali, Hukum waris yang berlaku di Indonesia sendiri terbagi
menjadi tiga, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam, dan sistem
hukum waris menurut Undang-Undang Hukum Perdata. Sistem waris adat Bali
merupakan salah satu contoh sistem hukum waris adat yang berlaku bagi masyarakat adat
Bali.

B. Hukum Waris Adat


Menurut Ter Haar (dalam Lestawi, 1999). Hukum Waris Adat adalah aturan-
aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Menurut Soepomo (dalam Lestawi, 1999) hukum adat waris memuat
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang yang tak berwujud benda dalam suatu angkatan manusia (generasi)
kapada keturunannya.
Dari pengertian hukum waris adat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris
adat pada intinya mengatur tentang suatu proses penerusan atau perpindahan harta
warisan dari pewaris kepada ahli warisnya secara turun temurun dan berkelanjutan.
Dimana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seorang ahli waris.
Proses penerusan ini dilakukan oleh pewaris kepada ahli warisnya, dimana
penerusan atau pengalihan atas harta yang berwujud benda dan tidak berwujud benda,
yang semuanya itu menyangkut hak dan kewajiban berupa kewajiban keagamaan. Dalam
hukum waris adat tidak hanya mengatur tentang harta yang berbentuk materi saja
melainkan non materi seperti benda-benda pusaka milik keluarga yang harus tetap dijaga
dan dilestarikan secara bersama-sama oleh pihak ahli waris. Hukum waris adat ada yang
tertulis dan ada yang tidak tertulis, tapi dalam pemberlakuannya memiliki kekuatan
hukum yang sama.
1. Bentuk Sistem Kekerabatan Hukum Adat Waris
Sistem kekeluargaan merupakan tonggak yang paling penting di dalam sistem
hukum adat, dikarenakan sistem kekeluargaan merupakan titik atau bentuk dasar adanya
sebuah masyarakat adat serta sifat dari kekeluargaan di Indonesia sendiri yang meruntut
pada sistem keturunan. Keturunan sendiri didasarkan pada hubungan darah dan
keterkaitan antara anak dengan orang tua. Dalam hukum adat Bali, sistem pewarisan yang
berlaku adalah sistem hukum waris adat dengan pembagian warisan ditentukan oleh
sistem kekerabatan.

Sistem kekerabatan merupakan suatu kondisi ketika suatu keluarga besar memiliki
aturan tertentu terkait posisi seseorang berdasarkan garis keturunan.
Terdapat tiga penggolongan dalam sistem kekerabatan :
1. Sistem Parental atau Bilateral
adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak dan ibu, artinya
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Dalam sistem
bilateral ini tidak ada perbedaan antara pihak bapak dan pihak ibu.
2. Sistem Matrilineal
adalah sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu (wanita), dimana kedudukan
wanita lebih menonjol dari kedudukan pria di dalam pewarisan.
3. Sistem Patrilineal
adalah sistem keturunan yang ditarik menurus garis bapak (laki-laki), dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan.

Terdapat tiga sistem pewarisan yang dikenal di dalam hukum adat meliputi :
1) Sistem Pewarisan Individual
memiliki ciri utama yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi secara merata baik
kepada anak laki-laki maupun anak perempuan.
2) Sistem Pewarisan Kolektif
adalah sistem pewarisan dimana seorang ahli waris menerima harta warisan
secara bulat, utuh, dan tidak terbagi-bagi secara perorangan dari pewarisnya.
3) Sistem Pewarisan Mayorat
yang memiliki ciri utama yaitu harta warisan hanya diwariskan kepada satu anak
yaitu anak tertua maupun anak tertentu saja. Dalam masyarakat, hukum Adat Bali
menganut sistem kewarisan mayorat, yang mana anak tertua laki-laki merupakan
ahli waris asli atau utama.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Bali menganut
sistem kekerabatan patrilineal sehingga kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan karena ditarik dari garis keturunan ayah. Dalam Hukum Hindu, sistem
pewarisan menggunakan sistem individual dan mayorat dengan sistem keturunan yang
bercorak patrilineal. Sistem tersebut dapat diketahui dari Pasal 104 dan 105 Bab IX.
Kitab Manawa Dharamasastra, yang menyatakan bahwa ;
Urdhwam pitu|ca mãtu|sa sametya bhrãtarah samam, bhajeranpuitrikam anicaste hi
jiwatoh
(MD. IX. 104)
Artinya : Setelah meninggal dunia ayah dan ibu, saudara-saudara (laki) setelah
berkumpul bersama-sama mereka boleh membagi harta (orang tua) sesungguhnya tidak
ada kekuasaan atas harta itu selagi orang tua mereka masih hidup.
Dari bunyi pasal 104 di atas ada beberapa asas hukum yang dapat ditarik :
1. Penerusan warisan kepada ahli waris (anak laki-laki) dilakukan setelah orang
tuanya meninggal, dan atau kemungkinan semasih orang tuanya hidup (seperti
dalam masyarakat Hindu di Bali, adanya pembagian sementara semasih orang
tuanya masih hidup dengan cara pedom Pamong/Raksa saja).
2. Terlihat adanya tiga unsur yang berkaitan dengan hukum waris yaitu, pewaris
(orang tua), ahli waris (anak laki-laki), dan harta warisan baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud (seperti kewajiban terhadap leluhur dan
kemasyarakatan).
Jadi pada prinsipnya anak perempuan dalam keluarga masyarakat Bali tidak bisa menjadi
ahli waris. Tetapi tidak menutup kemungkinan bisa diberikan harta warisan yang
berbentuk materi oleh orang tuanya sebagai bekal apabila anak perempuannya memasuki
kehidupan berumah tangga.

Unsur yang Terlibat dalam Sistem Hukum Adat Waris Bali


a. Pewaris
Pewaris adalah orang atau subjek yang memiliki harta warisan (peninggalan)
selagi ia masih hidup atau sudah meninggal dunia, harta peninggalan akan diteruskan
penguasaan atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Menurut pandangan
tradisional Bali, yang dapat menjadi pewaris hanyalah seorang ayah atau seorang laki-
laki. Paham ini tampaknya dilandasi pemikiran bahwa dalam sistem kekeluargaan purusa,
ayah adalah kepala keluarga, pencari nafkah dan pemilik harta keluarga yang diwarisi
secara turun-temurun dari ayah-ayah sebelumnya.
Dalam logika ini, harta warisan diturunkan melalui garis laki-laki sehingga semua
harta adalah milik laki-laki, sedangkan perempuan bukanlah pemilik harta, kehidupannya
di bawah tanggung jawab laki-laki. Sebelum menikah, anak perempuan adalah milik dan
tanggung jawab ayahnya, dan setelah menikah ia adalah milik dan tanggung jawab
suaminya sebagai “milik”, apapun yang dimiliki oleh perempuan, itu adalah milik ayah
atau suaminya juga. Seiringnya zaman modern, pemikiran seperti ini mulai terkikis sebab
tidak sedikit sosok ibu bekeja di luar rumah dengan penghasilan yang memadai, sehingga
mempunyai andil dalam pembentukan harta keluarga, khususnya yang berupa harta
bersama (gunakaya).
b. Harta Warisan
adalah sesuatu yang diwariskan, baik berupa harta, nama baik, dan lain-lain.
Dalam pengertian yang lebih sempit, warisan diartikan sebagai barang-barang berupa
harta benda yang ditinggalkan oleh seorang pewaris. Dalam hukum adat Bali, warisan
tidak hanya berupa barang berwujud seperti harta benda milik keluarga, melainkan juga
berupa hak-hak kemasyarakatan, seperti hak atas tanah karang desa yang melekat pada
status seseorang sebagai anggota masyarakat desa (krama desa pakrainan), seperti hak
memanfaatkan setra (kuburan milik desa), bersembahyang di Kahyangan Desa, dan lain-
lain.

Warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari sumbernya dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Aetamian (harta pusaka)
yaitu berupa harta yang diperoleh karena pewarisan secara turun-temurun.
Aetamian meliputi :
a. Tetamian yang tidak dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai
magis religius, seperti tempat persembahyangan keluarga
(sanggah/merajan), dan lain-lain.
b. Tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak mempunyai
nilai religius, seperti sawah, ladang, dan lain-lain.
2. Tetatadan
Yaitu harta yang dibawa masing-masing suami dan istri ke dalam pernikahan, baik
yang diperoleh atas usahanya sendiri (sekaya), ataupun pemberian (jiwadana).
3. Pegunkaya (gunakaya),
yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama pernikahan berlangsung.

Menurut Peswara Pewarisan Tahun 1900, harta warisan terjadi dari hasil bersih
kekayaan pewaris setelah dipotongkan hutangnya termasuk juga hutang-hutang yang
dibuat untuk ongkos penyelenggaraan pengabenan pewaris. Terdapat penafsiran terhadap
Peswara ini bahwa hutang pewaris tidak ditanggung oleh ahli warisnya jika harta warisan
tidak mencukupi.

c. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Mengenai ahli waris, dalam hukum adat
dikenal adanya penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis
pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-
urutan keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris dengan pengertian
bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain.
Garis pokok pengganti adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di
antara kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli
waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti ini maka harus
diperhatikan dengan seksama sistem kekeluargaan yang berlaku. Dengan garis pokok
keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu :
1. Kelompok keutamaan pertama adalah keturunan pewaris.
2. Kelompok keutamaan kedua adalah orang tua pewaris.
3. Kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4. Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya.

Warisan berupa swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya, yaitu :
1. Warisan parhyangan (berhubungan dengan keyakinan sebagai umat Hindu).
2. Warisan pawongan (berhubungan dengan aktivitas sosial sebagai umat Hindu).
3. Warisan palemahan (berhubungan dengan tata kelola lingkungan alam sesuai
dengan keyakinan Hindu).

2. Pembagian Hak Waris


Masyarakat adat Bali menganut sistem purusa, yaitu kekerabatan yang didasarkan pada
garis keturunan dan laki-laki. Dengan kata lain, hanya anak laki-laki yang memiliki
kekuasaan mutlak dalam sebuah keluarga.
Sementara anak perempuan, akibat perkawinan yang mengharuskan mereka untuk
mengikuti suaminya sehingga anak perempuan keluar dari keluarga asalnya. Atas dasar
itulah, perempuan dalam hukum waris adat Bali tidak diperhitungkan sebagai ahli waris,
kecuali perempuan yang memiliki kedudukan sebagai purusa.

a. Hak Waris Pada Laki-Laki


- Tetap tinggal di natah
Pada hukum waris adat Bali, posisi laki-laki adalah yang utama sebagai ahli
waris. Laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, tidak terlepas dari peran dan
tanggung jawabnya. Sebab tanggung jawab laki-laki sebagai generasi penerus
keluarga, akan bertanggung jawab terhadap orang tua dan leluhur.
Prinsip ini, antara lain, ditunjukkan oleh ”Putusan Mahkamah Agung No.
200K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958,” Dalam putusan tersebut Mahkamah
Agung menyatakan “Menurut Hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah
keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; maka Men Sardji
sebagai saudara perempuan bukanlah ahli waris dari mendiang Pan Sarning”. Prinsip
bahwa anak perempuan bukanlah ahli waris penuh terhadap harta warisan orang
tuanya memang sudah lama menjadi panutan bagi masyarakat-masyarakat di Bali.

- Keluar dari natah


Berdasarkan prinsip keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewajiban
(swadharma) yang dianut dalam hukum adat waris Bali, maka orang yang tidak lagi
melaksanakan kewajiban dalam keluarga tidak berhak lagi atas harta warisan. Pada
awalnya, paradima masyarakat terhadap status seseorang dikatakan ninggal kedaton
yakni ketika seseorang meninggalkan tanggung jawab dalam keluarga.
“Pesamuhan Agung III MUDP” menyatakan bahwa orang yang dinyatakan
“ninggal kedaton” memiliki batas dan memiliki hak dari bagian atas harta yang
berasal dari warisan orang tuanya yang berasal dari pagunakaya (harta bersama),
yakni sebagian atas anak laki-laki (purusa) kemudian untuk lebih dulu dikurangi satu
pertiga bagi duwe tengah atau milik bersama, hal ini dikuasai dan bukan merupakan
hak milik dari anak yang nguwubang (melanjutkan swadharmna/tanggung jawab)
orang tuanya.

Seorang anak laki-laki yang telah kawin nyentana tidak lagi memiliki hak waris
dalam keluarga asalnya dikarenakan bahwa yang bersangkutan dapat dikategorikan
ninggal kedaton, yaitu meninggalkan tanggung jawabnya dalam keluarga asalnya.
Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)
Bali Nomor 01.Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 pada prinsipnya menyatakan bahwa
laki-laki nyentana dapat dikualifikasikan sebagai ninggal kedaton terbatas dan berhak
atas bagian tertentu dari harta gunakaya orang tuanya.

b. Hak Waris pada Perempuan


- Tetap tinggal di natah
Kedudukan wanita Bali setelah dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan Agung III
MUDP Bali merupakan sebuah jalan yang baik untuk memperkuat hukum adat waris
Bali yang sudah lama berlaku dimasyarakat Bali yang dimana mendiskriminasi
wanita akan tidak berhaknya mewaris. Walaupun dalam masyarakat Bali merupakan
polemik yang pro dan kontra, dengan adanya keputusan Pesamuhan III MUDP Bali
(Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP-BALI/X/2010) ini kedudukan wanita dalam
keluarganya mengenai mewaris jadi wanita dapat mewaris dalam keluarganya atau
menjadi ahli waris.
Jadi pada umumnya pembagian waris untuk wanita dapat dilakukan jika wanita
itu tidak kawin keluar atau ninggalin kedaton. Dan apabila wanita tersebut kawin
keluar, wanita dikatakan ninggalin kedaton batas, yang dimana ninggal kedaton tetapi
dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat
Hindu, maka warisannya juga masih dapat di terima dan diberikan oleh orang tuanya.
Karena kodrat wanita memang harus keluar tetapi wanita tidak akan pernah lupa akan
kewajibannya dalam ikut serta menjaga orang tuanya, dan merawatnya walaupun
wanita itu sudah ikut dikerabat suaminya.

- Keluar dari natah


“Natah” dalam tradisi Hindu di Bali merujuk pada tempat tinggal keluarga atau
kompleks rumah tangga yang terdiri dari berbagai bangunan. Ini adalah tempat
dimana anggota keluarga hidup bersama, termasuk orang tua, anak-anak, dan anggota
lainnya. Namun, ketika seorang wanita menikah, tradisi tersebut menyiratkan bahwa
ia akan meninggalkan tempat tinggal keluarganya (keluar natah) dan pindah ke
tempat tinggal suami serta keluarganya.
Pada dasarnya, anak perempuan yang kawin keluar tidak akan mendapatkan harta
warisan orang tuanya. Namun jika orang tua anak perempuan tersebut meninggal
sebelum anak perempuan tersebut kawin keluar, anak perempuan tersebut berhak atas
bagian harta warisan orang tuanya. Namun, harta tersebut hanya bisa dinikmati dan
tidak untuk diperjual-belikan.

c. Hak Waris pada Janda


Menurut hukum adat waris yang berlaku pada masyarakat Hindu di Bali, janda
bukan ahli waris dan tidak berhak mewaris atas harta peninggalan suaminya. Akan tetapi,
seorang janda dapat menguasai dan menikmati harta peninggalan suaminya sampai dia
meninggal dunia atau kawin lagi, dengan catatan dia tetap menjalankan dharmanya
sebagai janda.
Apabila seorang janda melanggar dharmanya maka dia dapat dipecat sebagai
janda dari almarhum suaminya dan harus mengembalikan seluruh harta peninggalan
suami yang telah dikuasai kepada anak-anaknya atau kepada keluarga suami (kepurusa).
Sehubungan dengan masih lemahnya kedudukan anak perempuan dan janda dalam
mewaris menurut Hukum Adat Bali, disarankan agar anak-anak perempuan atas dasar
persamaan hak dan keadilan diberi hak mewaris meski dengan bagian yang berbeda
(lebih kecil) dibanding anak laki-laki.
Para janda di Bali hendaknya tidak hanya diberi hak untuk menikmati harta
peninggalan suami, tetapi juga diberi hak untuk mewaris. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan persamaan hak dan kedudukan antara suami dan istri, serta eratnya
hubungan suami-istri sehingga kadangkala melebihi hubungan darah atau keturunan.

d. Pada Anak Angkat


Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua angkatnya adalah sebagai anak
kandung sehingga berfungsi sebagai pelanjut keturunan dan berkedudukan sebagai ahli
waris. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji tata cara adat pengangkatan anak
menurut hukum adat bali serta kedudukan anak angkat terkait harta warisan orang tuanya
(biologis dan angkat).
Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris dengan pendekatan yuridis
dan sosiologis. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
sekunder. Dengan ketentuan anak angkat dari clan sendiri mewarisi semua harta warisan
orang tua angkatnya, termasuk harta pusaka.
Sebaliknya anak angkat bukan dari clan sendiri hanya mewarisi harta gunakaya
(harta pencaharian) orang tua angkatnya, dan harta pusaka kembali kepada asalnya. Anak
angkat tersebut tidak berhak mewaris terhadap harta peninggalan dari orang tua
kandungnya oleh karena hubungan kekeluargaannya telah terputus.

e. Hak Waris pada Laki-Laki Berpindah Agama


Dalam Undang-Uundang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) mengatur bahwa,
“Negara mengakui dan menghormati ketentuan-ketentuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”.
Beralih atau pindah agama dalam arti meninggalkan Agama Hindu berarti :
“Seseorang tidak akan ada hubungan lagi dengan sanggah kemulan yang berhubungan
sangat erat dengan asal-usul penerus harta warisan tersebut. Selain itu orang yang beralih
agama tidak lagi mempunyai hubungan dengan Desa Adat dan Kahyangan Tiga yang
menentukan kewajiban beragama ke desa atau ke Kahyangan Tiga tersebut”.
Menurut pandangan I Gede Pudja menyatakan bahwa :
“Meninggalkan agama leluhur dianggap juga sebagai lenyapnya kedudukan mereka
sebagai ahli waris. Kejadian inipun dianggap sebagai akibat dari meninggalkan agama
yang dianutnya, jelas mereka tidak akan dapat melaksanakan kewajibannya seorang
anak atau putra terhadap leluhurnya. Oleh karena itu dianggap menghalangi
kedudukannya sebagai ahli waris”.

Menurut pandangan K.R.M.H. Soeripto yang menyatakan bahwa :


“Meninggalkan agama Hindu Bali menimbulkan kejaten juga menyebabkan kehilangan
hak atas warisan sebab meninggalkan agama Hindu Bali dianggap meninggalkan hak
dan kewajiban baik didalam kerabat dalam arti luas (dadya) maupun dalam arti sempit
(terhadap orang tuanya sendiri)”.

f. Hak Waris bagi Laki-Laki yang Berpindah Agama ke Agama Lainnya, namun
Kembali Lagi Memeluk Agama Hindu
Jika membahas tentang masyarakat Bali yang memilih pindah agama dari agama
Hindu ke agama lain maka kita akan membahas lebih dalam tentang ninggal kedaton.
Ninggal kedaton dikenal pula dengan sebutan nilar kedaton, ninggal kawitan, atau pegat
mapianak. Ninggal kedaton merupakan meninggalkan keratuan atau “kerajaan” atau
“rumah tinggal orang tua”.
Dalam konteks pewarisan ninggal kedaton memiliki makna meninggalkan
kewajiban atau tanggung jawab (swadharma) terhadap keluarga (leluhur) dan masyarakat.
Swadharma yang dimaksud meliputi : swadharma parahyangan, swadharma pawongan,
dan swadharma palemahan. Tanggung jawab yang berhubungan dengan parahyangan
atau tempat suci keluarga. Tanggung jawab yang berhubungan dengan pawongan atau
anggota keluarga. Selain tanggung jawab tersebut, ahli waris juga harus melaksanakan
kewajiban atau tanggung jawab terhadap masyarakat hukum adat, seperti mebanjar dan
medesa adat. Setelah semua kewajiban atau tanggung jawab dilaksanakan oleh ahli waris
kepada keluarga maupun masyarakat adat barulah memiliki hak (swadikara) atas berbagai
fasilitas dari keluarga maupun dari masyarakat desa adat. Apabila seorang laki-laki
berpindah ke agama lainnya, maka menurut hukum adat Bali hak Jurnal Konstruksi
Hukum Vol. 3, No. 2, 2022 297 mewaris bersangkutan gugur. Selain pindah
agama/keyakinan ada beberapa hal yang mengakibatkan gugurnya seorang ahli waris
sebagai berikut :
1. Seorang anak yang dianggap durhaka sehingga dipecat kedudukannya sebagai
anak oleh orang tuanya (pegat mapianak).
2. Seseorang yang dengan sengaja meninggalkan tanggung jawab keluarga dan
masyarakat (ninggal kedaton) untuk jangka waktu tertentu (ngumbang), tanpa
alasan yang dapat diterima oleh keluarga atau masyarakat.
3. Seseorang yang tidak lagi memeluk agama Hindu.

Jadi menurut kami, pewarisan bagi seorang laki-laki yang berpindah ke agama lainnya
serta kembali memeluk agama Hindu, jika dilihat dari prosesi upacara untuk masuk ke
dalam agama Hindu di Bali (Suddhi Wadani) mengartikan bahwa seseorang tersebut
terlahir kembali dari agama yang berbeda ke agama Hindu. Walaupun sudah sempat
memeluknya namun dalam prosesi tersebut harus melaksanakan prosesi seperti otonan,
mepandes, dan perkawinan seperti yang di atur dalam Hukum adat Bali, jadi menurut
kami orang seperti diatas juga tidak dapat mewaris tetapi jika ingin diberikan sesuatu
dalam bentuk hibah dari keluarga itu sah sah saja, tetapi dalam hibah ini tidak ada
paksaan dari siapapun karena hibah bersifat sukarela.

3. Kewajiban-Kewajiban Seorang Ahli Waris


Pewarisan dalam hukum adat Bali tidak semata-mata berisi hak ahli waris atas
harta warisan, lebih dari itu yang terpenting adalah kewajiban ahli waris terhadap pewaris
sebagai konsekwensi dari hak yang diterima, seorang ahli waris mempunyai kewajiban-
kewajiban tertentu, yaitu :
1. Memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu dalam
melakukan kegiatannya sehari-hari.
2. Menguburkan jenasah pewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan (upacara
pembakaran jenazah) bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di
sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga).
3. Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan.
4. Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayahan) terhadap banjar/desa.

4. Aturan Tentang Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali :


Aturan tentang pewarisan menurut hukum adat bali dapat ditemui pada :
1. Adat kebiasaan (tidak tertulis) yang hidup dan ditaati oleh masyarakat hukum adat
(desa adat) di Bali.
2. Paswara 1900.
3. Awig-awig desa adat.
4. Keputusan MUDP Bali (2010).

Anda mungkin juga menyukai